Okratoksin merupakan jenis mikotoksin yang termasuk kedalam kelompok derivate 7 isokumarin yang berkaitan dengan ikatan amida serta termasuk kelompok amino dari L-b fenilalanina. Okratoksin dihasilkan dari beberapa kapang seperti Aspergilus sp. terutama A. Ocharaceus, dan A carbonarius, serta beberapa Penicilium sp. terutama P. Verrucosum. Genus lain yang dapat memproduksi Oktaroksin antara lain A. niger, A. westerdijkiae, A. alliaceus, A. sclerotiorum, A. sulphureus, A. albertensis, A. auricomus, A. lacticoffeatus, A. sclerotioniger, A. fumigates, A. versicolor, A. wenti, A. awamori, A. cretensis, A. flocculosus, A. pseudoelegans, A. roseoglobulosus, A. westerdijkiae, dan A. affinis. Sedangkan genus Pencillium yang juga dapat memproduksi Okratoksin, yaitu P. nordicum, P. expansum P. chrysogenum, P. glycyrrhizacola, dan P. polonicu. [1] Okratoksin banyak ditemukan pada legume dan produk serealia. kacang-kacangan, biji-bijian (Termasuk biji kopi), buah kering, anggur merah serta produk hewan ternak.

Sejarah

sunting

Okratoksin pertama kali ditemukan dalam kapang Aspergillus ochraceus yang dipublikasikan oleh Van Der Merwe et all pada tahun 1965.[2] Secara alami Aspergillus ochraceus ini terdapat dalam berbagai tanaman yang sudah mati dan membusuk, biji-bijian, buah-buahan dan kacang-kacangan.

 
Okratoksin A

Okratoksin terdiri dari 4 kelompok yaitu okratoksin A, Okratoksin B, Okratoksin C dan Oktratoksin TA. Namun okratoksin yang paling sering dijumpai adalah Okratoksin A.

Okratoksin A

sunting
 
Oktratoksin TA

Okratoksin A merupakan toksin yang paling toksik dalam kelompok okratoksin dibandingan dengan jenis okratoksin lainnya. Okratoksin A diklasifikasi sebagai senyawa karsinogen group 2B pada hewan laboratorium meskipun mekanisme toksisitasnya belum diketahui secara pasti.[3] Okratoksin A ini bersifat nefrotofisik, imunotoksik, teratogenik, karsinogenik, neurotoksik dan genotoksik pada manusia dan hewan ternak. Okratoksin A bersifat sebagai zat karsinogenik karena dapat terakumulasi di dalam daging hewan. Oleh sebab itu, daging dan olahannya dapat terkontaminasi oleh jenis toksin ini. Sifat-sifat okratoksin tersebut berpotensi menimbulkan penyakit yang disebut Okratoksikosis.[4]

 
Okratoksin B
 
Okratoksin C

Dampak

sunting

Terhadap manusia

sunting

Okratoksin masuk sel tubuh melalui transporter, kemudian berubah bentuk menjadi beberapa molekul. Molekul baru tersebut akan berikatan dengan DNA dan menyebabkan mutasi gen, kerusakan DNA tersebut dapat berkelanjutan memicu kanker (khususnya saluran urine). Okratoksin juga dapat menghambat sintesis protein yang menghambat proses metabolism sehingga menyebabkan nefrotoksi atau gangguan ginjal. Gejala Okratoksikosis antara lain penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, depresi, dehidrasi, dan poliuria.

Okratoksin A mempunyai afinitas yang kuat pada otak, terutama bagian otak kecil tepatnya pada sel Purkinje, mesencephalon ventral dan struktur hipolampus. Selain itu, okratoksin juga dapat menyebabkan penipisan akut dopamin striatal yang merupakan penyebab utama penyakit parkinson namun tidak menyebabkan kematian sel dibagian otak.[5]

Dampak kesehatan akibat okratoksin lainnya dapat toksisitas akut pada fungsi hati serta mengakibatkan teratogenik melalui plasenta dan imunosupresi. Dalam ginjal, oktaroksin A juga dapat menyebabkan FSGS atau Focal Segmental Glumerulosclerosis yang dapat diindikasi dengan adanya toksin ini di dalam urin pasien tersebut.[2]

Terhadap hewan

sunting

Okratoksin A dapat menyebabkan imunosupresi dan imunotoksisitas pada hewan. Aktivitas imunosupresan toksin pada hewan merupakan respon terhadap antibodi yang tertekan, pengurangan ukuran organ kekebalan seperti timus, limpa dan kelenjar getah bening, perubahan jumlah dan fungsi sel kekebalan serta perubahan produksi sitokin.[6]

Okratoksikosis pada hewan ternak disebabkan oleh terdapatnya kontaminasi oktaroksin A pada pakan yang melebihi ambang batas. Keberadaan toksin ini dapat mempengaruhi metabolisme yang nantinya akan menyebabkan dampak ekonomi yang besar dalam sebuah industri seperti penurunan produksi, reproduksi, kualitas dan keamanan pangan pada hewan, khususnya pada industri unggas. Ayam, kalkun dan bebek merupakan hewan yang rentan terkena toksin ini.[7] Kontaminasi okratoksin A pada pakan tidak hanya membahayakan kesehatan ternak, tetapi juga menimbulkan residu pada produk ternak antara lain daging, hati, ginjal, telur, dan susu. Tanda-tanda klinis oktratoksikosis pada unggas antara lain terjadinya penurunan berat badan konveksi pakan yang burukm produksi telur berkurang dan kualitas kulit telur yang buruk.

Batas maksimum

sunting

Okratoksin A merupakan senyawa yang stabil dan tidak rusak oleh proses pemanasan, sehingga adanya toksin ini dalam bahan pakan dan juga pangan dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan. WHO mengeluarkan regulasi Okratoksin A pada serealia dengan batas maksimum 5 µg/kg dan produknya 3 µg/kg.

Pada Tahun 2006 EFSA (European Food Safety Authority) menetapkan asupan mingguan yang dapat ditoleransi atau dikenal dengan Tolerable Weekly Intake (TWI) oktatoksin A yaitu sebanyak 120 ng/kg atau setara dengan asupan harian yang ditoleransi (Tolerable Daily Intake/TDI) yaitu 14 ng/kg.[8] sementara di berbagai Negara telah mentapkan batas yang lebih rendah untuk asupan oktaroksin A yang dilihat berdasarkan kebiasaan konsumsi penduduk di daerah tersebut. Misalnya di Amerika Serikat, FDA (Food and Drug Administration) mempertimbangkan TDI sebanyak 5 ng/kg yang dilihat berdasarkan berat badan rata-rata pria 86 kg dan wanita 74 kg. Asupan harian yang dapat ditoleransi atau TDI sebanyak 5 ng/kg dapat dilihat.[9]

Jenis Kelamin Berat Badan Okratoksin A yang dapat ditoleransi (ng)
Pria 86 430
Wanita 74 370

Di Indonesia, BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) mentapkan batas maksimum cemaran Okratoksin A yang dikelompokkan berdasarkan jenis pangan. yaitu :

Jenis Pangan Batas Maksimum (ppb atau µg/kg)
Produk serealia (wheat, barley, rye, grain dan brow rice) 5
Produk olahan serealia siap konsumsi 3
Kopi bubuk, kopi sangria 5
Kopi instan 10
Anggur (dalam bentuk jus atau sari buah) 2
Anggur (dalam bentuk buah kering) 10
MP-ASI berbahan dasar serealia 2.
Bir 0,2
Wine 2

Faktor yang memengaruhi

sunting

Faktor yang mempengaruhi produksi okratoksin yang paling umum adalah adanya cendawan atau kapang yang toksigen, substart yang cocok untuk pertumbuhan cendawan dan lingkungan yang mendukung cendawan untuk memproduksi toksin seperti aktivitas air (aw) dan kadar air, suhu, substrat, O2 dan CO2, interaksi mikrob, kerusakan mekanis, infestasi serangga, jumlah spora dan lama penyimpanan/waktu.

Referensi

sunting
  1. Saputra, Dede. (2015).Mikotoksin dan Bahaya Kontaminasinya Pada Bahan Pangan. Binus. https://foodtech.binus.ac.id/2015/06/24/mikotoksin-dan-bahaya-kontaminasinya-pada-bahan-pangan/
  2. PM, Widiyanti. R, Maryam (2020). Homogenitas dan Stabilitas Kit ELISA OTA, serta Aplikasinya untuk Mendeteksi Okratoksin A pada Pakan Unggas. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Virtual : https://dx.doi.org/10.14334/Pros.Semnas.TPV-2020-p.664-676
  3. Cfns. (2020). Okratoksin A. [Online] Tersedia : https://cfns.ugm.ac.id/2020/08/24/okratoksin-a-ota/
  4. Badan Pengawas Obat Dan Makanan. (2018), Batas Maksimum Cemaran Kimia Dalam Pangan Olahan. Badan pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. http://eservice.insw.go.id/files/atr/06.%20PerBPOM%20No%208%20Tahun%202018.pdf
  5. Ziegler,K.et al. Ochratoxin A from a toxicological perspective. https://europepmc.org/article/med/10849253
  6. J. Varga. E. Kevel. Ochratoxin production by Aspergillus species. https://journals.asm.org/doi/10.1128/aem.62.12.4461-4464.1996[pranala nonaktif permanen]
  7. Steyn, Ps. et al. Ochratoxin A, a Toxic Metabolite produced by Aspergillus ochraceus Wilh. 205, pages1112–1113 (1965). https://www.nature.com/articles/2051112a0
  1. ^ Saputra, Dede. (2015).Mikotoksin dan Bahaya Kontaminasinya Pada Bahan Pangan. Binus [Online] Tersedia : MIKOTOKSIN DAN BAHAYA KONTAMINASINYA PADA BAHAN PANGAN – Department of Food Technology (binus.ac.id)
  2. ^ a b "Okratoksin A (OTA) – cfns.ugm.ac.id/id/" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-29. 
  3. ^ R, Maryam. dkk (2020). "Homogenitas dan Stabilitas Kit ELISA OTA, serta Aplikasinya untuk Mendeteksi Okratoksin A pada Pakan Unggas". Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Virtual 2020. 1 (1): 664–675. doi:ttp://dx.doi.org/10.14334/Pros.Semnas.TPV-2020-p.664-676 Periksa nilai |doi= (bantuan).  line feed character di |title= pada posisi 61 (bantuan)
  4. ^ Pfohl-Leszkowicz, Annie; Manderville, Richard A. (2007). "Ochratoxin A: An overview on toxicity and carcinogenicity in animals and humans". Molecular Nutrition & Food Research (dalam bahasa Inggris). 51 (1): 61–99. doi:10.1002/mnfr.200600137. ISSN 1613-4133. 
  5. ^ A, Delmadani, (1999). "Toksisitas selektif ochratoxin A dalam budaya primer dari daerah otak yang berbeda". Racun Toksik. 73 (2): 108–114. doi:10.1007/s002040050594. 
  6. ^ Al-Anati, L.; Petzinger, E. (2006). "Immunotoxic activity of ochratoxin A". Journal of Veterinary Pharmacology and Therapeutics (dalam bahasa Inggris). 29 (2): 79–90. doi:10.1111/j.1365-2885.2006.00718.x. ISSN 1365-2885. 
  7. ^ R, Maryam (2020). "Homogenitas dan Stabilitas Kit ELISA OTA, serta Aplikasinya untuk Mendeteksi Okratoksin A pada Pakan Unggas". Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Virtual 2020. 1 (1): 664–675. doi:http://dx.doi.org/10.14334/Pros.Semnas.TPV-2020-p.664-676 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  8. ^ "Opinion of the Scientific Panel on contaminants in the food chain [CONTAM] related to ochratoxin A in food | European Food Safety Authority". www.efsa.europa.eu (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-29. 
  9. ^ JØrgensen, Kevin (2005-01). "Occurrence of ochratoxin A in commodities and processed food – A review of EU occurrence data". Food Additives & Contaminants. 22 (sup1): 26–30. doi:10.1080/02652030500344811. ISSN 0265-203X.