Orang Maluku di Belanda

Orang Maluku di Belanda mencakup semua anggota kelompok etnik asal Kepulauan Maluku beserta keturunannya yang bermukim di dan menjadi warganegara Belanda. Mereka sesungguhnya tidaklah homogen berasal dari satu suku bangsa yang sama, tetapi semuanya memiliki akar keluarga yang bermukim di Kep. Maluku dan berpihak pada Belanda pada waktu terjadi perang pada masa awal Kemerdekaan Indonesia (1945-1949).

Kedatangan orang Maluku di Rotterdam, Belanda (1951).

Sejarah sunting

 
Medali peringatan kedatangan orang Ambon ke Belanda ("Medali Rietkerk"), bagi mantan tentara KNIL yang telah menjadi warganegara Belanda.

Menurut asal-usulnya, banyak orang Maluku yang bergabung sebagai anggota tentara Hindia Belanda (KNIL). Ketika Indonesia mengumumkan kemerdekaan, 17 Agustus 1945, Belanda tidak mengakui dan mengklaim bahwa pemerintahan sipil Hindia Belanda (NICA) harus dipulihkan. Perselisihan ini memuncak pada dua "aksi polisional" yang dalam sejarah Indonesia dianggap sebagai agresi militer. Dalam kedua aksi ini, banyak orang-orang Maluku terlibat dalam peperangan di pihak Belanda.

Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, 27 Desember 1949, tentara Belanda harus angkat kaki dari Indonesia, termasuk Maluku. Namun, banyak orang Maluku pro-Belanda enggan meninggalkan tanah asal-usulnya. Chris Soumokil, Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT), kemudian secara sepihak mengumumkan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) pada tanggal 25 April 1950, sebagai reaksi atas bergabungnya NIT (yang mencakup pula Maluku) ke dalam Republik Indonesia pada pertengahan April. Indonesia memandang RMS sebagai pemberontakan dan menjalankan ofensif militer.

Menghadapi perkembangan ini, banyak orang Maluku pro-Belanda/RMS mengajukan permohonan mengungsi ke Belanda karena merasa terancam keselamatannya. Belanda menyanggupi dan sekitar 12.500 orang, anggota KNIL asal Maluku beserta keluarganya, diangkut ke Belanda untuk sementara waktu. Mereka inilah yang menjadi cikal-bakal keberadaan etnik Maluku di Belanda.

Karena perkembangan hubungan Belanda-Indonesia yang memanas pada paruh akhir 1950-an, orang-orang Maluku ini tidak dapat dipulangkan dan mereka harus bertahan hidup di Belanda tanpa tunjangan. Pada akhirnya, mereka banyak yang memilih menetap di Belanda, walaupun kemudian hubungan kedua negara membaik.

Pada tahun 1970-an terjadi pergolakan yang dilakukan oleh sebagian keturunan Maluku di Belanda yang menuntut janji pemerintah Belanda untuk memperhatikan aspirasi mereka, khususnya mengenai pengakuan sebagai warga negara atau membantu mengadakan wilayah sendiri bagi mereka di Maluku. Peledakan kereta api serta penyanderaan staf konsulat Indonesia di Den Haag adalah beberapa dari aksi yang dilakukan mereka. Tindak kekerasan ini kemudian dapat diredam setelah dilakukan negosiasi dan Belanda bersedia mendirikan Museum Maluku di Utrecht.

Tokoh-tokoh sunting

Beberapa orang Maluku di Belanda menjadi tokoh yang cukup dikenal. Berikut beberapa di antaranya.

Lihat pula sunting