Paluwala
Paluwala merupakan pakaian tradisional pria dari suku Gorontalo, Pulau Sulawesi, Indonesia.[1]
Paluwala merupakan salah satu pakaian adat Gorontalo yang wajib digunakan dalam upacara pernikahan. Paluwala wajib digunakan oleh mempelai laki-laki dalam acara resepsi pernikahan atau pada acara kebesaran yang penting dan sakral.
Paluwala kemudian ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2012.
Penggunaan
suntingPaluwala merupakan baju adat yang digunakan oleh para pria suku Gorontalo dalam berbagai kegiatan kebesaran adat yang sakral. Pasangan dari pakaian adat Paluwala adalah Bili'u, yang dikenakan oleh para perempuan Gorontalo.
Pakaian adat Bili'u dan Paluwala biasanya digunakan oleh kedua mempelai pengantin pada acara resepsi pernikahan dengan adat Gorontalo yang kuat. Mempelai pria biasanya akan menabuh genderang adat untuk mengiringi mempelai perempuan dengan baju adat Bili'u untuk menari "Tidi Lo Polopalo" .[2]
Makna Paluwala
suntingPaluwala pada hakikatnya bermakna sebagai tudung kepala atau mahkota. Bedanya, Paluwala merupakan kosa kata asli dalam bahasa Gorontalo yang juga digunakan sebagai nama pakaian adat pria suku Gorontalo.
Secara filosofis maupun bentuknya, Paluwala diartikan sebagai sebuah pakaian yang memiliki ikatan kesetiaan secara vertikal maupun horizontal. Maknanya adalah seorang pria yang mengenakan Paluwala wajib menjaga keterikatan, kesetiaan, dan kehormatannya secara vertikal di hadapan Allah swt, Tuhan yang maha esa serta turut pula menjaga keterikatan, martabat, kesetiaan, dan kehormatannya di hadapan istri serta keluarga.[3]
Tentunya, nilai-nilai filosofis pada pakaian adat Paluwala bermuara pada harapan bagi mempelai pria agar dapat menjadi pemimpin keluarga yang bertakwa, adil, bertanggungjawab, dan menjadi teladan keluarga dengan penuh kasih sayang.
Pergeseran nama
suntingDalam perkembangannya, nama baju adat Paluwala lebih populer dengan sebutan Makuta yang diserap dari kata Mahkota atau penutup kepala yang digunakan.[4]
Generasi muda kini lebih mengenal kata "Makuta" yang akar kata aslinya dalam bahasa Gorontalo adalah Paluwala untuk merujuk pada pakaian adat laki-laki Gorontalo. Sebutan Makuta dipengaruhi oleh Belanda saat datang ke Gorontalo karena sulit mengucapkan kata Paluwala.[5]
Keputusan Seminar Adat Gorontalo
suntingDalam seminar adat Gorontalo yang diinisiasi oleh lembaga BKOW Provinsi Gorontalo, Paluwala kembali ditetapkan sebagai nama resmi pakaian adat kebesaran dan utama pria Gorontalo dalam upacara adat pernikahan.[6]
Oleh sebab itu, sudah selayaknya nama Paluwala hidup dan lestari kembali dalam lisan masyarakat Gorontalo serta secara umum bagi seluruh masyarakat nusantara di pentas nasional.
Warna Adat
suntingAdat Gorontalo mengenal empat warna adat yang disebut dengan "Tilabataila", yakni Merah, Kuning, Hijau dan Ungu.[7] Ke-empat warna adat ini biasanya menjadi pakem pemilihan warna dalam pakaian adat Gorontalo, termasuk pula warna pakaian Paluwala. Adapun nilai filosofis dari warna adat Gorontalo adalah:
Nilai Filosofis Warna Adat
Warna | Arti |
---|---|
Ungu | keanggunan, kesetiaan, dan kewibawaan |
Merah | keberanian dan tanggungjawab |
Kuning | kemuliaan dan kejujuran |
Hijau | kesuburan, kesejahteraan, dan kerukunan |
Bagi adat Gorontalo, warna ungu menjadi warna kebangsawanan tertinggi dengan nilai-nilai adat yang luhur.
Warisan Budaya Takbenda Indonesia
suntingPada tahun 2012, Paluwala ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia yang berasal dari Gorontalo, Sulawesi.[8]
Perkembangan terkini
suntingVariasi Warna
Pada masa kini, pakaian adat Paluwala mengalami perubahan dalam hal warna, yaitu terdapat variasi warna selain empat warna adat yang telah ditentukan. Variasi warna ini biasanya diikuti oleh perkembangan zaman dengan pilihan warna yang mengikuti selera generasi muda. Perubahan pada warna pakaian, membuat pakaian adat Paluwala lebih kekinian dan diminati oleh generasi muda tanpa merubah aturan pakaian adat Paluwala atau pakem adat dalam kultur masyarakat Gorontalo.
Warna yang dihindari
Meskipun tidak ada larangan adat untuk menggunakan warna selain 4 warna adat (Tilabataila), namun sebaiknya menghindari warna putih dan biru. Kedua warna ini biasanya dihindari sebab warna putih melambangkan kesucian, sedangkan warna biru bermakna duka cita yang biasanya juga digunakan dalam upacara pemakaman atau acara peringatan kematian.
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ "Warisan Budaya Takbenda | Beranda". warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2022-08-19.
- ^ https://www.kompas.com/skola/read/2021/03/12/180608469/tari-tidi-lo-polopalo-tarian-pernikahan-di-gorontalo
- ^ "Pakaian Adat Pengantin Gorontalo » Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2022-08-19.
- ^ Bangi Amas, Soviani Rambu (2020-09-30). "Bentuk, Fungsi dan Makna Tuturan Adat Perkawinan Dadang Nulang Lunung Tapu pada Masyarakat Desa Anajiaka, Kecamatan Umbu Ratu Nggay Barat, Kabupaten Sumba Tengah". Jurnal Edukasi Sumba (JES). 4 (2): 130–137. doi:10.53395/jes.v4i2.192. ISSN 2714-8580.
- ^ Hariana, S. and LL, H., T., & Gustami, SP.(2016). Modifikasi Busana Bili’u dan Paluwala Sebagai Pakaian Perkawinan Masyarakat Gorontalo: Aspek Sosiologi dan Teknologis. In Seminar Nasional Dalam Rangka Konvensi Nasional VIII APTEKINDO dan Temu Karya XIX FT/FPTK Se-Indonesia Medan, 3-6 Agustus 2016.
- ^ "BKOW Gelar Seminar Pakaian Adat | Go-Pena". go-pena.id. Diakses tanggal 2022-08-30.
- ^ Times, I. D. N.; Arthasalina, Dian Septi. "Filosofi Bijak di Balik Baju dan Aksesoris Pengantin Adat Gorontalo". IDN Times. Diakses tanggal 2022-08-19.
- ^ "Warisan Budaya Takbenda | Beranda". warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2022-08-30.