Phang Tjin Nio

(Dialihkan dari Pang Tjin Nio)

Maestro Gambang Kromong Klasik Pang Tjin Nio atau Encim Masnah (12 Januari 1926 – 26 Januari 2014) adalah penyanyi dan penari cokek tiga zaman. Ia mulai menyanyi dan penari cokek sejak berusia 14 tahun. Ia adalah satu dari dua wayang cokek yang menguasai Gambang Kromong klasik (Lagu Dalem). Ia berguru pada Encek Tek Kho (pimpinan Gambang Kromong Irama Persatuan di Pecah Kulit-Jakarta) sebelum terjun dalam dunia Gambang Kromong. Masnah pernah pula bermain lenong.

Pang Tjin Nio
LahirPang Tjin Nio
( 1926-01-12)12 Januari 1926
Banten Lama, Hindia Belanda
Meninggal26 Januari 2014(2014-01-26) (umur 88)
Sewan, Tangerang, Banten, Indonesia
Nama lainMasnah
Pekerjaan
Tahun aktif1940 - 2014
Suami/istriOen Oen Hok (w.1994)
Orang tuaPang An Tjong (ayah)

Disekitar tahun 1960an hanya ada beberapa penyanyi gambang kromong klasik spesialis lagu dalem selain Pang Tjin Nio seperti, Lim Ating, Pak Dompet, Tan Win Nio, Leni, dan Anah. Yang paling terkenal hanya Pang Tjin Nio dan Lim Ating.

Kehidupan awal sunting

Pang Tjin Nio Maestro lagu klasik Gambang Kromong yang pernah menjadi primadona pada tahun 1960-an ini dilahirkan di Banten, 1925. Berasal dari keluarga peranakan Tionghoa. Ibunya orang Indonesia asli berasal dari Mauk, sebuah daerah pinggir pantai utara Tangerang, provinsi Banten, sedangkan ayahnya orang Tionghoa (Pang An Tjong). Memiliki nama asli Pang Tjin Nio, sedangkan nama Masnah sendiri merupakan panggilan dari orang. Nama tersebut dilengkapi dengan “encim” didepannya, yang merupakan panggilan umum perempuan peranakan Tionghoa.

Dilahirkan sebagai anak tunggal. Ibunya seorang penyanyi gambang kromong. Masnah yang tak sempat kenal ayahnya kemudian dinikahkan oleh ibunya dalam usia yang masih sangat muda. Pada usia 14 tahun, ia sudah menikah enam kali. Suaminya yang keenam, Kim Siu, juga tak berumur panjang. Ia semakin terpukul ketika ibunya dan anak satu-satunya meninggal dunia.

Karier sebagai seniman Gambang Kromong sunting

Awal mula mengenal Gambang Kromong adalah ketika ia diajak temannya menonton Gambang Kromong. Salah seorang pemusik, Oen Oen Hok, yang kemudian menjadi suaminya, mengajaknya ikut tampil di panggung. Berbekal bakat menyanyi yang menurun dari ibunya, dalam tempo singkat ia mampu menghafal semua lagu klasik Betawi. Kemampuan menyanyinya juga diasah oleh seniman gambang kromong tenar pada masa itu, Tek Kho. Sejak saat itu ia menjadi penyanyi gambang kromong yang beredar dari satu panggung ke panggung yang lain bersama Gambang Kromong Irama Masa pimpinan suaminya Oen Oen Hok.

Di tahun 1960-an Encim Masnah sangat aktif tampil di panggung. Pada masa itu penyanyi Gambang Kromong hanya sedikit, sehingga namanya cepat dikenal di Jakarta dan Banten. Kesuksesannya tersebut sampai bisa membuatnya membeli sebuah rumah. Kariernya sempat terhenti pada tahun 1980-an karena larangan dari pemerintah, dan baru tampil kembali pada tahun 1990-an. Pada masa kepopulerannya ia bebas mengikuti kelompok mana pun yang mau menanggapnya, berbeda dengan sekarang. Ia tak mematok harga, di mana bayaran menyanyi tiga lagu dapat mencapati Rp. 1 juta lebih ditambah hasil saweran.

Encim Masnah ternyata pernah masuk "dapur rekaman". Adalah Smithsonian Institute dari Amerika Serikat (Smithsonian Folkways) yang merekam suara Masnah. Kala itu ia menyanyikan lagu klasik Gambang Kromong diiringi oleh suaminya yang terakhir, Oen Oen Hok. Judul albumnya: Music from the Outskirt of Jakarta-Gambang Kromong yang diproduksi pada tahun 1991. Masnah juga pernah manggung di Esplanade, Singapura, selama beberapa hari (18-21 September 2006) diiringi grup Gambang Kromong Sinar Gemilang pimpinan Souw Ong Kian.

Disekitar tahun 1950an Encim Masnah bersama Suaminya Oen Oen Hok mendirikan grup Gambang Kromong Irama Masa yang berpangkal di Kp. Sewan Kongsi, Neglasari, Kota Tangerang, dan di awal tahun 1980an encim Masnah bersama grup Gambang Kromong Irama Masa banyak mengeluarkan album rekaman kaset diantaranya :

1. Album Kong Ji Lok

2. Album Bunga Siantan Wetan

3. Album Stambul Bujuk

4. Album Cong Bang (Kroncong Gambang)

5. Album Jali-Jali Sewan Kongsi

6. Album Jali-Jali Kampung Nanggul

7. Album Ayam Jago Gaya Baru

8. Album Aneka Stambul

9. Album Hidup di Bui

10. Album Sirih Kuning

11. Album Gunung Payung

12. Album Pecah Piring

13. Dll.

Kematian sunting

Terakhir, 28 Desember 2007, Pang Tjin Nio mendapat penghargaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik karena dianggap sebagai sebagai praktisi dan pelestari Gambang Kromong. Di masa tuanya, Encim Masnah menderita asma dan hipertensi. Encim Masnah meninggal dunia pada tanggal 26 Januari 2014.[1]

Penghargaan sunting

  • Diundang menyanyi ke Singapura (2006)
  • Penghargaan sebagai seniman yang setia merawat tradisi dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI (2007),
  • Penghargaan seniman dan budayawan Provinsi Banten dari Gubernur Banten (2009),
  • Penghargaan dari Lembaga Kebudayaan Betawi (2011),
  • Bentara Budaya Award (2012)
  • HUT PSMTI Awards Ke 25 - Kategori kreativitas seni dan kebudayaan (2023)

Filmografi sunting

  • Anak Naga Beranak Naga (film dokumenter)
  • Dua Perempuan (film dokumenter)
  • The Legend Of Pang Tjin Nio (film dokumenter)

Film The Legend of Pang Tjin Nio merupakan film yang didekasikan untuk Maestro Gambang Kromong Pang Tjin Nio (Masnah). Film ini menuturkan perjalanan Sang Maestro, sejak ia mengenal gambang kromong, kiprahnya dari panggung ke panggung, juga sekelumit kehidupan sederhananya di Desa Sewan, Tangerang, Banten. Selain menuturkan kisahnya, Pang Tjin Nio juga memperdengarkan kesahajaan lagu klasik dan lagu sayur (pop) gambang kromong di panggung-panggung hajatan di kalangan Cina Benteng. Selain itu, film juga memperlihatkan keberadaan cokek, tradisi ngibing, sisi buram kesenian akselerasi Cina, Betawi, dan Sunda ini, serta sekilas keberadaan warga Cina Benteng di daerah Tangerang.

Premis yang diusung film ini adalah perjuangan perempuan berusia senja dengan bakat menyanyinya dan sisi lain kehidupan warga Cina Benteng. Dua konsep kunci film ini adalah perjuangan perempuan dan kesederhanaan kaum minoritas bernama Cina Benteng. Ini sekaligus memberikan gambaran tentang feminisme, identitas, sekaligus keberadaan kaum minoritas di negeri ini.

Pranala luar sunting

Referensi sunting

  1. ^ Darmawan, Ariani. "Selamat Jalan, Cim Masnah…". kineruku. Diakses tanggal 11 April 2019.