Pariwisata berbasis budaya

Wisata berbasis budaya adalah salah satu jenis kegiatan pariwisata yang menggunakan kebudayaan sebagai objeknya. Pariwisata jenis ini dibedakan dari minat-minat khusus lain, seperti wisata alam, dan wisata petualangan.[1]

Ada 12 unsur kebudayaan yang dapat menarik kedatangan wisatawan,[2] yaitu:

  1. Bahasa (language).[2]
  2. Masyarakat (traditions).[2]
  3. Kerajinan tangan (handicraft).[2]
  4. Makanan dan kebiasaan makan (foods and eating habits).[2]
  5. Musik dan kesenian (art and music).[2]
  6. Sejarah suatu tempat (history of the region)[2]
  7. Cara Kerja dan Teknolgi (work and technology).[2]
  8. Agama (religion) yang dinyatakan dalam cerita atau sesuatu yang dapat disaksikan.[2]
  9. Bentuk dan karakteristik arsitektur di masing-masing daerah tujuan wisata (architectural characteristic in the area).[2]
  10. Tata cara berpakaian penduduk setempat (dress and clothes).[2]
  11. Sistem pendidikan (educational system).[2]
  12. Aktivitas pada waktu senggang (leisure activities).[2]

Objek-objek tersebut tidak jarang dikemas khusus bagi penyajian untuk turis, dengan maksud agar menjadi lebih menarik. Dalam hal inilah sering kali terdapat kesenjangan selera antara kalangan seni dan kalangan industri pariwisata. Kompromi-kompromi sering harus diambil. Kalangan seni mengatakan bahwa pengemasan khusus objek-objek tersebut untuk turis akan menghilangkan keaslian dari suatu budaya, sedangkan kalangan pariwisata mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah salah asalkan tidak menghilangkan substansi atau inti dari suatu karya seni.

Tari Kecak kerap dimodifikasi agar sesuai dengan keinginan turis

Kontroversi

sunting

Dalam perkembangannya pemanfaatan budaya untuk sektor pariwisata terdapat pro dan kontra.[3]

Pariwisata merusak budaya

sunting

Kaum yang menentang pariwisata berbasis budaya berpendapat bahwa kedatangan turis ke daerah tujuan wisata dapat merusak keaslian atau keutuhan hayati suatu produk budaya.[4] Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau, menghancurkan kebudayaan lokal.[4] Pariwisata secara langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata.[4] Ekspresi budaya dikomodifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan.[4] Contoh kasusnya adalah Sendra Tari Ramayana, tidak lagi disajikan secara utuh, peranan skenario tidak berfungsi lagi. Selain itu, tari Kecak juga mengalami nasib serupa. Pertunjukkan tari Kecak yang mudah disaksikan di Bali, kelihatan nilai sakralnya sudah terpotong-potong karena harus disesuaikan dengan waktu wisatawan yang ingin menyaksikannya

Pariwisata memperkuat budaya

sunting

Walaupun tidak sedikit pihak yang menentang perkembangan pariwisata berbasis budaya ini, namun banyak juga Sosiolog dan Antropolog yang justru melihat bahwa pariwisata (internasionalisasi) tidak merusak kebudayaan, melainkan justru memperkuat, karena terjadinya proses yang disebut involusi kebudayaan (cultural involution). Hal tersebut bisa dilihat dari kasus Bali. McKean (1978) mengatakan,

... meskipun perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali, … semua itu terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional … Kepariwisataan pada kenyataannya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi.

— McKean (1978)

Philip F. McKean (1973) bahkan menulis bahwa “the traditions of Bali will prosper in direct proportion to the success of tourist industry” (dikutip dalam Wood, 1979). Ahli lain berpendapat bahwa dampak kepariwisataan di Bali bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat (Lansing, 1974).

Tidak ada budaya asli

sunting

Terlepas dari pro kontra tersebut, sosiolog Selo Soemardjan mengungkapkan pendapatnya. Menurutnya, kebudayaan akan terus berkembang, karena memang dengan sengaja atau tidak, memang terus berkembang, karena adanya rangsangan, seperti adanya perkembangan industri pariwisata. Proses saling memengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat. Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses dipengaruhi dan memengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah, atau dengan kata lain budaya adalah suatu hal yang dinamis, yang terus berkembang seiring perputaran waktu, baik karena dipengaruhi pariwisata ataupun dipengaruhi masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri.

Perkembangan

sunting

Pada waktunya nanti, diramalkan objek wisata yang diminati wisman (wisatawan mancanegara)lebih banyak terpusat pada hasil kebudayaan suatu bangsa. Oleh karena itu dalam industri pariwisata nanti, hasil kebudayaan bangsa merupakan “komoditi” utama untuk menarik wisman berkunjung ke Indonesia. Di samping itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PATA tahun 1961 di Amerika Utara, diperoleh suatu kesimpulan bahwa lebih dari 50% wisman yang mengunjungi Asia dan daerah Pasifik, motivasi perjalanan wisata mereka adalah untuk melihat dan menyaksikan adat-istiadat, the way of life, peninggalan sejarah, bangunan-bangunan kuno yang tinggi nilainya. Pendapat tersebut tidaklah salah. Menurut penelitian Citra Pariwisata Indonesia pada tahun 2003, budaya merupakan elemen pariwisata yang paling menarik minat wisatawan mancanegara untuk datang ke Indonesia. Budaya mendapatkan skor 42,33 dari wisatawan mancanegara dalam kategori 'sangat menarik' dan berada di atas elemen lainnya seperti keindahan alam dan peninggalan sejarah, dengan skor masing-masing 39,42 dan 30,86. Hal tersebut membuktikan bahwa atraksi budaya merupakan hal yang paling disukai para turis dari pariwisata di Indonesia.

Pariwisata Berbasis Budaya di Indonesia

sunting

Penerapan kegiatan pariwisata berbasis budaya di Indonesia telah ditunjukkan oleh beberapa provinsi. Selain provinsi Bali, provinsi lain yang fokus dalam pelaksanaan sektor ini adalah Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya kota Yogyakarta.[5] Sejak tahun 2008, daerah ini telah mencanangkan diri sebagai kota pariwisata berbasis budaya. Di Jogjakarta, pengembangan pariwisata disesuaikan dengan potensi yang ada dan berpusat pada budaya Jawa yang selaras dengan sejarah dan budaya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Banyak rencana aksi telah dicanangkan untuk mendukung pelaksanaan program ini. Mulai dari pengembangan dan peningkatan kuantitas serta kualitas fasilitas, memperbanyak event-event wisata, seni,dan budaya, sampai ke optimalisasi pemasaran program. Hasilnya pun mulai terlihat, salah satunya adalah keberadaan Taman Pintar Yogyakarta yang tidak hanya memiliki arena permainan, tetapi juga mengajak pengunjung untuk mengenal sejarah dan budaya Jogjakarta.[6]

Rujukan

sunting
  1. ^ Oka A. Yoeti. Pariwisata Berbasis Budaya, Masalah dan Solusinya. PT.Pradnya Paramita. Jakarta. 1996.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m (Inggris) Ritchie dan Zins. Tourism in Contemporary Society, An Introductory Text. Chapter 19: Social and Cultural Impacts. Page 221
  3. ^ I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri.Sosiologi Pariwisata. Andi. Yogyakarta. 2005.
  4. ^ a b c d (Inggris) Britton. Cultural expressionas are bastradized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism. Penerbit?. Kota? 1977. Hal. 272
  5. ^ [1] Diarsipkan 2010-05-10 di Wayback Machine. Situs Resmi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jogjakarta
  6. ^ [2] Diarsipkan 2010-01-10 di Wayback Machine. Situs Budaya melayu