Pek Bung

kesenian tradisional dari Bantul

Pek Bung (bahasa Jawa: ꦥꦺꦏ꧀ꦧꦸꦁ, translit. Pèk Bung) adalah kesenian tradisional yang diciptakan oleh Suratmin dan Sumodele di Desa Wijirejo, Kapanéwon Pandak, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1942. Nama ini diambil dari bambu yang dipukul dan berbunyi "pek", serta ban karet yang dipasang di tembikar (bahasa Jawa: klenthing) dan berbunyi "bung". Kesenian tersebut awalnya digunakan sebagai sarana dakwah agama Islam serta sering ditampilkan dalam acara-acara tertentu seperti pesta pernikahan, sunat, merti desa, penyambutan tamu, dan peringatan hari besar Islam.

Pementasan Pek Bung.

Unsur kesenian ini terdiri atas panggung, tata suara, dan tata lampu. Pemain Pek Bung umumnya terdiri atas 12 orang instrumen musik dan seorang vokalis. Kostum yang digunakan oleh para pemain adalah pakaian Jawa berupa celana panjang hitam, surjan, jarik, dan kebaya. Adapun lagu yang dibawakan dalam kesenian ini adalah langgam Jawa, campursari, dan selawatan atau kasidah yang berisikan dakwah kehidupan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Noor Sulistya Budi (staf peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta), fungsi kesenian itu dikategorikan menjadi tujuh aspek, yaitu hiburan, komunikasi, edukasi, simbolis, estetis, religi, dan stabilitas budaya.

Asal-usul

sunting

Pek Bung dipelopori oleh Suratmin dan Sumodele di Desa Wijirejo, Kapanéwon Pandak, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1942.[1][2][3] Kesenian ini mengalami perkembangan pesat pada 1950–1960.[1][4][5] Menurut Budi, Pek Bung bermula dari kesenian Tuklik yang seluruh alat musiknya berasal dari bambu. Tuklik kemudian dinamakan menjadi Pek Bung. Nama tersebut berasal dari bambu yang dipukul dan berbunyi "pek", serta ban karet yang dipasang di tembikar (bahasa Jawa: klenthing) dan berbunyi "bung".[5][6][7] Seiring perkembangannya, peralatan yang digunakan dalam kesenian tersebut juga bertambah, yaitu klenthing sebagai bass dan kendhang; seruling untuk melodi; serta kentungan, garpu tala, cak cuk, marakas, gambang bambu, dan etek eser untuk melengkapi perpaduan ritme.[1][8] Saat ini, kesenian itu telah dipadukan dengan alat musik modern seperti gitar, ketipung, dan kibor.[1][9] Merujuk keterangan Wasis Suprapto dan Dodik Kariadi (peneliti dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Singkawang), Pek Bung sering dipentaskan bersamaan dengan kesenian Gejog Lesung.[10]

Kesenian ini sempat mati suri pada 1965 karena para anggotanya dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), terlebih awal 1980-an televisi mulai masuk di Indonesia.[4][5][11] Kesenian itu mulai dihidupkan kembali pada 2009 agar dapat dinikmati oleh masyarakat. Beberapa paguyuban yang didirikan untuk melestarikannya adalah Paguyuban Laras Wijisewu, Paguyuban Dakon Marga Budaya, Paguyuban Sambung Tresna, dan Paguyuban Tri Manunggal Sari.[1][2][3] Y. Sumandiyo Hadi (Guru Besar Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta) menengarai kesenian tersebut awalnya digunakan sebagai sarana dakwah agama Islam dan selawat nabi.[12] Hal inilah yang menyebabkan Agus Wijanarko (Ketua Paguyuban Tri Manunggal Sari) dalam wawancaranya dengan Budi mengungkapkan jika Pek Bung saat ini sering ditampilkan dalam acara-acara tertentu seperti pesta pernikahan, sunat, merti desa, penyambutan tamu, dan peringatan hari besar Islam.[3][13]

Bentuk pertunjukan

sunting

Budi menyebut salah satu unsur pokok dalam pementasan Pek Bung adalah panggung. Panggung yang digunakan biasanya tidak terlalu tinggi, bahkan terkadang memakai panggung terbuka tanpa atap.[14] Hal ini dimaksudkan agar para pemain lebih bebas berekspresi dan penonton dapat melihat dari semua sisi dengan antusias.[15] Wijanarko menambahkan jika jarak antara penonton dan penyanyi sangatlah dekat untuk memperlihatkan kerukunan di antara warga.[14] Kuswarsantyo (Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta) selanjutnya mengatakan bahwa paguyuban Pek Bung biasa menggunakan tata suara akustik untuk acara sederhana. Namun, kelompok-kelompok tersebut menggunakan tata suara tambahan, seperti sound control, audio mixer, dan pengeras suara untuk acara besar.[16] Analisis yang dilakukan oleh Yanti Heriyawati (Dosen Pascasarjana Institut Seni Budaya Indonesia Bandung) menunjukkan kesenian tradisional seperti Pek Bung umumnya menggunakan pencahayaan berupa lampu pijar dan lampu neon, tetapi terkadang mengikuti panitia penyelenggara dan format acara.[17]

Pemain Pek Bung umumnya terdiri atas 12 orang instrumen musik dan seorang vokalis; terkadang ditambah tiga orang vokalis pendukung agar lebih meriah.[14] Kostum yang digunakan oleh pemusik adalah surjan dan celana panjang hitam yang dibalut dengan jarik hingga paha. Adapun penyanyi laki-laki memakai pakaian yang sama dengan pemusik, tetapi balutan jariknya hingga bawah lutut, ditambah dengan blangkon, sedangkan penyanyi wanita memakai kebaya, jarik, kain panjang, dan bagian kepalanya bersanggul atau berkerudung.[18]

Sebelum pentas dimulai, para pemain terlebih dahulu melakukan doa bersama yang dipimpin oleh ketua paguyuban.[19] Para pemain selanjutnya menyapa para penonton dengan bahasa Jawa krama. Hal ini disinyalir oleh Budi untuk menunjukkan kesopanan masyarakat Jawa (bahasa Jawa: unggah-ungguh).[14] Lagu-lagu yang kerap dibawakan dalam kesenian ini, yaitu lagu edukasi, langgam Jawa, campursari, dan selawatan atau kasidah, seperti Angin Mamiri, Bunga Rampai, Genjer-Genjer, Janger, Jenang Gula, Kepiye ta Awakku, Kupu-Kupu, Lumpang Sagu, Ongke-Ongke, dan Sinande-Nande,[9] sedangkan ritmenya cenderung pelan agar mudah didengarkan.[20] Adapun pesan utama yang disampaikan melalui lagu-lagu tersebut adalah dakwah kehidupan, yang diharapkan mampu memengaruhi pandangan keagamaan para penonton.[21]

Fungsi

sunting

Soedarsono (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada) dalam bukunya berjudul Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi menjelaskan bahwa seni pertunjukan seperti Pek Bung mempunyai beberapa fungsi, yaitu sarana ritual, ungkapan hiburan masyarakat, dan presentasi estetis.[22] Sementara itu, Heriyawati menguraikan fungsi kesenian tradisional tersebut meliputi sarana pengungkapan emosional, penghayatan estetis, hiburan, komunikasi, simbolis, reaksi jasmani, norma sosial, kesinambungan budaya, dan pengintegrasian masyarakat.[23] Budi lantas meringkas pendapat dari kedua pakar itu dan mengkategorikan fungsi Pek Bung menjadi tujuh aspek, yaitu hiburan, komunikasi, edukasi, simbolis, estetis, religi, dan stabilitas budaya.[24]

Pek Bung berfungsi sebagai sarana hiburan karena ritmenya memberikan suasana tenang. Penonton yang mendengarkan lagu-lagu dengan tempo lambat setidaknya memperoleh suasana santai dan dapat melupakan sejenak masalah-masalah dalam kehidupannya.[25] Sependapat dengan Budi, Novena Ulita (Dosen Fakultas Desain dan Seni Kreatif Universitas Mercu Buana Jakarta) menengarai kesenian ini muncul sebagai sarana hiburan dan jauh dari nilai sakral, meskipun saat ini kadang ditampilkan dalam acara merti desa dan peringatan hari besar Islam.[15] Pek Bung juga berfungsi sebagai sarana komunikasi karena para pemain dapat berinteraksi dengan penonton secara dekat.[25]

Mengutip pernyataan Wijanarko, Budi menyatakan Pek Bung berfungsi sebagai media edukasi karena lagu yang disajikan terkadang berisi ajakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), misalnya pementasan Pek Bung yang diselenggarakan oleh Puskesmas Pandak I dan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta pada 2007. Adapun fungsi seni pertunjukan tersebut secara simbolis adalah sebagai penanda kesenian islami yang menjunjung nilai sosial dan moral masyarakat melalui lagu-lagu yang dibawakan.[25] Soedarsono kemudian mengutarakan jika Pek Bung dan seni pertunjukan lainnya yang disajikan dalam masyarakat juga menampilkan fungsi estetis dan artistik.[26] Fungsi ini dalam Pek Bung digunakan oleh para pemusik dan penyanyi sebagai media ekspresi melalui pakaian dan perlengkapan musik tradisional yang digunakan.[27]

Secara umum, fungsi Pek Bung dalam aspek religi terlihat dalam kegiatan merti desa, yaitu sebagai ungkapan rasa syukur para petani atas keberhasilan panen. Selain itu, kesenian ini juga dijadikan sebagai media dakwah dalam acara peringatan hari besar Islam. Terakhir, Pek Bung berfungsi terhadap stabilitas budaya. Kesenian tradisional itu memiliki peran penting dalam meningkatkan apresiasi masyarakat dari generasi ke generasi (bahasa Jawa: nguri-uri budaya).[27]

Lihat pula

sunting

Rujukan

sunting
  1. ^ a b c d e Budi (2019), hlm. 195
  2. ^ a b Hadi & Utama (2017), hlm. 133
  3. ^ a b c Ulita (2013), hlm. 59
  4. ^ a b "Lahir pada Masa Penjajahan, Pek Bung Jadi Kesenian Kebanggaan Kampung Gedongsari". Ini Baru Indonesia. Diakses tanggal 9 September 2021. 
  5. ^ a b c "Musik Pek Bung Mati Suri". Kompas. Diakses tanggal 9 September 2021. 
  6. ^ Budi (2019), hlm. 193
  7. ^ Suratmin & Moertjipto (1990), hlm. 90
  8. ^ Nurlena, Taufiq & Musadad (2021), hlm. 70
  9. ^ a b "Pek Bung Wijirejo". Bantulpedia. Diakses tanggal 9 September 2021. 
  10. ^ Suprapto & Kariadi (2018), hlm. 59–60
  11. ^ Iswantoro & Bananjungua (2017), hlm. 63
  12. ^ Hadi (2015), hlm. 14–15
  13. ^ Budi (2019), hlm. 194–195
  14. ^ a b c d Budi (2019), hlm. 197
  15. ^ a b Ulita (2013), hlm. 61
  16. ^ Kuswarsantyo (2015), hlm. 24–25
  17. ^ Heriyawati (2016), hlm. 33
  18. ^ Budi (2019), hlm. 198
  19. ^ Budi (2019), hlm. 194
  20. ^ Budi (2019), hlm. 196
  21. ^ Budi (2019), hlm. 193–194
  22. ^ Soedarsono (2014), hlm. 17
  23. ^ Heriyawati (2016), hlm. 33–34
  24. ^ Budi (2019), hlm. 200–201
  25. ^ a b c Budi (2019), hlm. 200
  26. ^ Soedarsono (2014), hlm. 17–18
  27. ^ a b Budi (2019), hlm. 201

Daftar pustaka

sunting

Buku

  • Hadi, Dwi Winanto; Utama, Bakti (2017). Direktori Kekayaan dan Keragaman Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (PDF). Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-10-14. Diakses tanggal 2021-09-09. 
  • Hadi, Y. Sumandiyo (2015). Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia. 
  • Heriyawati, Yanti (2016). Seni Pertunjukan dan Ritual. Yogyakarta: Ombak Tiga. 
  • Iswantoro, Nur; Bananjungua, Raudal T. (2017). Ragam Seni Pertunjukan Musik Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: UPTD Taman Budaya. 
  • Kuswarsantyo (2015). Pemetaan Kesenian Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Penguatan Program Keistimewaan. Yogyakarta: Pusat Studi Budaya Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Negeri Yogyakarta. 
  • Soedarsono (2014). Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  • Suratmin; Moertjipto (1990). Bentuk-Bentuk Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya. 

Jurnal

Pranala luar

sunting