Pelacuran di Korea Selatan

Prostitusi adalah hal yang ilegal dilakukan di Korea Selatan,[1] tetapi menurut Institut Pengembangan Wanita Korea, perdagangan seksual di Korea Selatan diperkirakan mencapai 14 triliun Won Korea Selatan ($ 13 miliar) pada tahun 2007, atau kira-kira 1,6% dari produk domestik bruto negara tersebut.[2] Menurut survei yang dilakukan oleh Departemen Urologi di Fakultas Kedokteran Universitas Korea pada tahun 2015, 23,1% pria dan 2,6% wanita berusia antara 18 dan 69 tahun memiliki pengalaman seksual dengan pelacuran.[3]

Perdagangan seks melibatkan sekitar 94 juta transaksi pada tahun 2007, turun dari 170 juta pada tahun 2002. Jumlah pelacur turun 18% menjadi 269.000 pada periode yang sama. Jumlah uang yang diperdagangkan untuk prostitusi lebih dari 14 triliun won, jauh lebih sedikit dari tahun 2002 dengan angka 24 triliun. Meskipun ada sanksi hukum dan tindakan keras dari kepolisian, namun prostitusi terus berkembang di Korea Selatan, sementara pekerja seks terus secara aktif menentang kegiatan negara.[4]

Sejarah sunting

Zaman pramodern sunting

Sebelum modernisasi Korea, tidak ada rumah bordil, tetapi suatu kasta yang terdiri dari wanita untuk kelas pemilik tanah elit sudah melakukan pekerjaan seksual.[5] Rumah bordil pertama Korea Selatan mulai berkembang setelah pertama kali membuka pelabuhannya di bawah perjanjian diplomatik pada tahun 1876, menghasilkan wilayah etnis imigran Jepang yang tumbuh di Busan, Motoyama dan Incheon.[6]

1960-an: militer AS sunting

Dari tahun 1960-an sampai sekarang prostitusi di kota-kota kamp AS telah ada di luar pangkalan militer AS (misalnya di luar Camp Casey dan Camp Stanley). Ini adalah hasil negosiasi antara pemerintah Korea Selatan dan militer AS mengenai prostitusi militer AS di kota-kota kamp di sekitar pangkalan militer AS. Pemerintah mendaftarkan seorang pelacur yang disebut Western princess dan mengharuskan mereka untuk membawa sertifikat medis. Polisi militer AS menyediakan keamanan di tempat-tempat pelacuran di kota kamp AS ini, dan menahan para pelacur yang dianggap sakit, untuk mencegah epidemi penyakit menular seksual. Keterlibatan pemerintah di masa lalu ini sebagian dimotivasi oleh ketakutan bahwa militer Amerika, yang melindungi Korea Selatan dari Korea Utara, akan pergi meninggalkan korea selatan.[7][8] Meskipun pejabat AS secara terbuka mengutuk prostitusi, namun mereka dianggap tidak berbuat banyak untuk mencegahnya, dan beberapa penduduk setempat menyatakan bahwa otoritas Angkatan Darat AS lebih suka memiliki layanan seks komersial yang tersedia untuk tentara.[9]

2000-an sunting

Pada tahun 2003, Kementerian Kesetaraan Gender Korea Selatan mengumumkan bahwa 260.000 wanita atau 1 dari 25 wanita muda Korea, mungkin terlibat dalam industri seks. Namun, Institut Pengembangan Wanita Korea menunjukkan bahwa 514.000 hingga 1,2 juta wanita Korea bekerja di industri prostitusi.[10] Selain itu, laporan serupa yang ditulis oleh Institut Kriminologi Korea mencatat bahwa 20% pria berusia 20-an membayar untuk layanan seks setidaknya empat kali sebulan,[11] dengan 358.000 pria mengunjungi pelacuran setiap hari.[12]

Pada tahun 2004, pemerintah Korea Selatan mengeluarkan undang-undang anti-prostitusi (Undang-Undang Khusus tentang Perdagangan Seks 2004) yang melarang pembelian dan penjualan jasa atau kegiatan seks dan menutup rumah bordil.[13] Tak lama kemudian, lebih dari 2.500 pekerja seks berdemonstrasi di jalan-jalan menuntut penghapusan undang-undang tersebut, karena mereka yakin undang-undang tersebut mengancam mata pencaharian mereka.[14] Pada tahun 2006, Kementerian Kesetaraan Gender, dalam upaya untuk mengatasi masalah tuntutan pelacur, mereka menawarkan uang tunai kepada perusahaan yang karyawan prianya berjanji untuk tidak membayar pesta seks setelah pesta kantor. Orang-orang yang bertanggung jawab atas kebijakan ini mengklaim bahwa mereka ingin mengakhiri budaya di mana laki-laki mabuk di pesta-pesta dan terus membeli jasa seks.[15]

Pelacuran remaja sunting

Menurut sebuah studi tahun 2012 yang dilakukan oleh Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga, 3% anak muda yang melarikan diri telah terkena industri pelacuran, baik sebagai pembeli ataupun pelacur.[16] Ada laporan terkait kasus gadis pelarian yang menjual seks melalui obrolan internet, dan tinggal bersama "keluarga" di jjimjilbang, atau tempat pemandian umum, dengan sesama gadis pelarian lainya. Menurut United Voice for Eradication of Prostitution, para pelacur remaja ini rentan terhadap kejahatan seperti pemerkosaan dan penyakit seperti sifilis. Residiv adalah hal yang biasa, dengan lebih dari separuh gadis yang telah dinasihati oleh Voice kembali ke industri perdagangan seks, Hal ini sering disebabkan karena pemerasan dari mantan mucikarinya ataupun karena pengucilan sosial dari calon suami dan keluarga.[17]

Berbeda dengan pelacuran remaja, perempuan berusia 50-an, 60-an, bahkan 70-an yang biasa disebut Bacchus Ladies terlibat dalam prostitusi di sebuah taman dekat stasiun kereta bawah tanah Jongno-3 di jantung kota Seoul.[18]

Lihat juga sunting

Referensi sunting

  1. ^ "US State Department Human Rights Report 2009: Republic of Korea". U.S. Department of State. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 Maret 2010. Diakses tanggal 5 November 2021. 
  2. ^ Tom Henheffer (18 Februari 2010). "South Korea takes on prostitution: The country's sex workers generate 1.6% of total GDP". McLean's. Diakses tanggal 5 November 2021. 
  3. ^ "[단독] 첫 성경험 연령 22.8세…남성 15%만 성매매 경험". 네이트뉴스 (dalam bahasa Korea). Diakses tanggal 5 November 2021. 
  4. ^ "S Korean sex workers rally against police crackdown". Asian Correspondent. AP News. 17 Mei 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-22. Diakses tanggal 5 November 2021. 
  5. ^ Cho, Grace (2008). Haunting the Korean Diaspora: Shame, Secrecy, and the Forgotten War. University of Minnesota Press. hlm. 103. ISBN 978-0816652754. 
  6. ^ "[BOOKS IN BRIEF]The history of prostitution". joinsmsn.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 Maret 2012. Diakses tanggal 6 November 2021. 
  7. ^ Sang-Hun, Choe (7 Januari 2009). "Ex-Prostitutes Say South Korea and U.S. Enabled Sex Trade Near Bases". The New York Times. Diakses tanggal 6 November 2021. 
  8. ^ Shaffer, Robert (1999). "Book Review: Sex among Allies: Military Prostitution in U.S.-Korea Relations". Journal of World History. 10 (2): 499–502. doi:10.1353/jwh.1999.0026. 
  9. ^ "Prostitution Thrives with U.S. Military Presence". Inter Press Service. 7 Juli 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 Agustus 2009. Diakses tanggal 6 November 2021. 
  10. ^ "Korea's sex industry is major money earner". JoongAng Ilbo English. 6 Februari 2003. Diakses tanggal 7 November 2021. 
  11. ^ David Scofield (September 25, 2004). "Korea's 'crackdown culture' - now it's brothels". Asia Times Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 September 2004. Diakses tanggal 7 November 2021. 
  12. ^ "Changing attitude toward sex threatens South Korea / Growing promiscuity, lack of education may lead to increase in AIDS, experts say". San Francisco Chronicle. 14 Maret 2003. Diakses tanggal 7 November 2021. 
  13. ^ "South Korea gets tough on sex tourism". The Sydney Morning Herald. 20 September 2007. Diakses tanggal 7 November 2021. 
  14. ^ Joo-Hyun, C. (2005). "Intersectionality revealed: Sexual politics in post-IMF Korea". Korea Journal. 45 (3): 105. 
  15. ^ "S Koreans offered cash for no sex". BBC News. 26 Desember 2006. Diakses tanggal 25 November 2021. 
  16. ^ "청소년 자료실(간행물발간자료실) _ 여성가족부". Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 April 2014. Diakses tanggal 7 November 2021. 
  17. ^ Chang, Jennifer. "SKorea's secret: Runaway teen prostitution". Seoul: Al Jazeera. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 November 2012. Diakses tanggal 7 November 2021. 
  18. ^ Williamson, Lucy (10 Juni 2014). "The Korean grandmothers who sell sex". BBC News. Diakses tanggal 7 November 2021. 

Pranala luar sunting