Pemandian umum adalah fasilitas pemandian publik yang dapat diakses segolongan masyarakat pengguna. Pemandian umum muncul dari kebutuhan masyarakat akan kesehatan, kebersihan dan sanitasi. Meskipun sebagian pemandian umum dapat dinikmati mayarakat luas, pada kebanyakan kasus, istilah "umum" mungkin kurang tepat, karena beberapa pemandian umum terbatas pada keanggotaan khusus, jender tertentu, afiliasi keagamaan khusus, atau alasan lain.

Pemandian umum Asser Levy di Manhattan, New York City (1904-1906, dipugar 1989-1990)

Seiring dengan perubahan masyarakat, peran pemandian umum telah digantikan oleh fasilitas kamar mandi pribadi yang kian banyak dan terjangkau oleh masing-masing rumah tangga. Pemandian umum juga dapat berperan dalam sistem sosial sebagai tempat bergaul dan berkumpul. Meskipun disebut pemandian, aktivitas yang terdapat di dalamnya tidak mandi semata. Di zaman purba pada peradaban klasik, pemandian umum juga menawarkan fasilitas sauna, pijat, dan terapi relaksasi. Anggota masyarakat dapat menggunakannya sebagai tempat berkumpul, bertemu dan bersosialisasi. Pemandian umum kini dapat dibandingkan dengan spa.

Sejarah sunting

Peradaban Sungai Indus sunting

 
"Les petits Baigneurs," karya Alfred Laliberté pada 1915, dipugar pada 1992 di pemandian umum Maisonneuve, Montreal, Quebec

Pemandian umum tertua ditemukan di Peradaban Lembah Sungai Indus. Menurut John Keay, situs "Pemandian Besar" di Mohenjo Daro yang kini terletak di Pakistan memiliki ukuran yang setara dengan kolam renang kota modern, dilengkapi dengan tangga turun menuju air di masing-masing ujungnya.[1] Pemandian ini terletak di dalam kompleks bangunan yang rumit yang digunakan sebagai pemandian umum.[1] Pemandian besar dan wisma pendeta menunjukkan bahwa peradaban Indus telah mengembangkan agama atau sistem kepercayaan.

Yunani Kuno sunting

Dalam bukunya The Book of the Bath, Françoise de Bonneville menulis, "Sejarah pemandian umum bermula di Yunani pada abad ke-6 SM," dimana pria dan wanita mandi di kolam dekat tempat mereka berlatih, baik berlatih secara fisik ataupun secara intelektual. Tempat ini disebut gymnasia (dari Bahasa Yunani: gymnos yang berarti "telanjang"). Gymnasia kemudian memiliki kolam-kolam dalam ruangan yang dibangun di atas permukaan, pelataran terbuka dengan patung singa marmer tempat pancuran mandi, serta kolam melingkar dengan jenjang tingkatan atau tangga tempat duduk-duduk bercengkrama.

Kebiasaan mandi kemudian menjadi teritualisasi dan menjadi seni – dengan penggunaan pasir pembersih, air panas, udara panas dalam ruangan tertutup untuk "mandi uap", kolam air dingin, serta fasilitas pijat dengan minyak aromatik nan harum. Polis atau negara-kota di seluruh Yunani Kuno menyanjung situs tempat dimana "remaja belia berdiri dan menyiramkan air pada tubuh mereka."

Kekaisaran Romawi sunting

 
Reruntuhan pemandian Romawi di Dion, Yunani, menunjukkan sistem pemanas di bawah lantai atau hypocaust.

Thermae umum pertama dari tahun 19 SM memiliki rotunda berdiameter 25 meter, dikelilingi dengan ruangan-ruangan kecil, dibangun di atas taman yang memiliki sungai buatan dan kolam. Pada tahun 300 M, Pemandian Diocletian memiliki luas 140.000 meter persegi (1.500.000 sq ft), bangunan berbahan granit dan porfiri dapat menampung 3.000 orang tiap harinya. Pemandian Romawi telah menjadi persilangan "sesuatu di antara taman air dan taman bermain," dengan kolam-kolam, ruang permainan, taman, bahkan perpustakaan dan teater. Salah satu pemandian yang terkenal, adalah situs pemandian Aquae Sulis di Bath, Inggris.

Dr.Garrett G Fagan, Profesor Studi Mediterania Kuno dan Peradaban Klasik dan Sejarah Universitas Pennsylvania, menyebut pemandian umum sebagai "kegiatan sosial" bagi warga Romawi dalam bukunya "Bathing in Public in the Roman World". Dia juga menyatakan bahwa "Di Eropa Barat, kini hanya bangsa Finlandia yang tetap mempraktikkan kebiasaan mandi umum sejati." Dr. Fagan telah meneliti secara lebih jauh mengenai budaya mandi umum.[2][3]

Kekaisaran Utsmaniyah sunting

Pada masa Kesultanan Utsmaniyah pemandian umum berkembang luas. Pemandian memiliki latar belakang agama dan budaya populer, berasal dari ritual wudu yang disebutkan dalam Al Qur'an serta penggunaan ruangan uap oleh Bangsa Turki. Pemandian Turki yang disebut Hammam, juga dianggap sebagai ajang sosialisai dalam budaya Turki. Proses yang dilakukan dalam hammam mirip dengan tata cara pemandian Romawi.[4]

Pemandian umum di dunia sunting

Jepang sunting

 
Sentō, pemandian umum di Jepang.

Asal mula tradisi mandi di Jepang adalah tradisi Misogi, yaitu ritual penyucian dengan air.[5] Setelah Jepang menerima ajaran Buddha, banyak kuil memiliki pemandian dan sauna yang boleh digunakan oleh musafir, pengelana, atau siapa saja secara gratis.

Pada zaman Heian, wisma keluarga bangsawan, seperti keluarga kerajaan atau golongan samurai, memiliki pemandian. Pada era ini pemandian telah kehilangan makna ritual keagamaannya, dan telah beralih menjadi kegiatan kesenangan dan wisata. Misogi berubah menjadi Gyōzui, mandi di dalam bak mandi dangkal dari kayu.[6]

Pada abad ke-17, pengunjung Eropa yang datang ke Jepang mencatat kebiasaan mandi harian campuran bersama antara laki-laki dan perempuan.[5] Sebelum abad ke-19, ketika pengaruh Barat mulai meningkat, mandi bersama telanjang bulat campuran antara pria wanita, dan anak-anak dalam pemandian umum uniseks, atau sentō, adalah suatu kelaziman dan kebiasaan sehari-hari warga Jepang.

Pada masa kini, banyak pemerintah daerah yang melarang mandi bersama telanjang campuran pria dan wanita. Pemandian umum yang menggunakan air panas yang dialirkan dari onsen (mata air panas) sangat populer di Jepang. Kota atau desa yang memiliki sumber air panas, menjadi tujuan wisata populer dan menjadi kawasan resor, yang biasanya dikunjungi warga lokal maupun warga pendatang dari kota sekitar.

Indonesia sunting

 
Pemandian umum sebagai bagian dari ritual pembersihan di Tirta Empul, Bali.

Secara tradisional di Indonesia, kegiatan mandi senantiasa bersifat "umum", dalam artian bahwa pada jam tertentu warga dapat berkumpul di tepian sungai, kolam, atau sumber mata air, baik untuk mandi atau mencuci. Akan tetapi karena alasan kesusilaan dan kesopanan, beberapa bagian dari tempat mandi, misalnya tepian sungai, menerapkan pemisahan berdasarkan jenis kelamin. Sementara itu mandi dengan sepenuhnya telanjang bulat juga kurang lazim, karena orang-orang biasanya tetap mengenakan kain jarik (kain batik atau sarung) untuk melilit tubuh dan menutupi kemaluannya saat mandi. Beberapa pemandian sederhana berupa pancuran air mungkin memiliki sekat-sekat dari anyaman bambu untuk menjamin privasi. Praktik ini masih dapat dijumpai di daerah pedesaan di Indonesia.

Kompleks situs purbakala Ratu Boko yang dibangun pada abad ke-8 M memiliki bangunan petirtaan, yaitu struktur kolam-kolam yang dikelilingi tembok yang berpintu gerbang dalam suatu lingkungan yang tertutup.[7] Hal ini membuktikan bahwa selain mandi di tepian sungai atau mata air, masyarakat Jawa Kuno pada masa Kerajaan Medang sudah mengenal dan membangun kolam pemandian. Meskipun pada hakikatnya kolam ini bukanlah kolam pemandian umum, karena diduga hanya kalangan bangsawan atau mereka yang bermukim di kompleks Ratu Bokolah yang boleh mandi di tempat ini. Situs Kota Majapahit di Trowulan yang berasal dari abad ke-14 memiliki beberapa struktur tirta atau pemandian. Misalnya Candi Tikus yang dipercaya sebagai kolam pemandian kerajaan, serta Kolam Segaran yang fungsinya selain sebagai kolam publik, juga sebagai kolam penampungan air.[8]

Di pulau Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, terdapat beberapa pemandian atau kompleks petirtaan berupa kolam-kolam dan pancuran. Salah satu contohnya adalah kompleks Goa Gajah dari abad ke-9 M. Contoh lainnya adalah kolam umum di Tirta Empul, yang sesungguhnya lebih terkait dengan ritual penyucian atau pembersihan diri dalam ajaran Hindu Dharma, daripada sebagai sarana sanitasi dan rekreasi.[9] Air jernih pegunungan di kolam pemandian ini menjadi sumber air sungai Pakerisan. Sementara itu di Kesultanan Yogyakarta terdapat situs Taman Sari, berupa kolam-kolam pemandian, menara, dan pesanggrahan, sebagai tempat keluarga kerajaan bercengkrama dan bersenang-senang.

Pemandian yang bersifat khusus dan istimewa dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa sendang atau sumber air bersih, dan sumber air panas alami biasanya memiliki kompleks atau bangunan pemandian umum. Beberapa pemandian tradisional ini kini biasanya telah berubah fungsi menjadi taman rekreasi kolam renang. Pemandian umum air panas dapat ditemukan di beberapa daerah, misalnya di Ciater, Cipanas Garut, dan Sangkanhurip di Jawa Barat.

Dewasa ini umumnya setiap rumah tangga memiliki kamar mandi pribadi sendiri. Akan tetapi pada kondisi tertentu, misalnya kawasan permukiman kumuh padat penduduk, terminal, atau pasar, dapat pula ditemui kamar mandi umum atau MCK (mandi, cuci, kakus). Sementara itu di pedesaan, lazim pula bagi warganya untuk berkumpul, mandi, dan mencuci di sekitar sumur, pompa air, atau sumber air yang ada di desanya.

Lihat juga sunting

 
Pemandian umum pada 1568

Referensi sunting

  1. ^ a b Keay, John (2001), India: A History, 13–14, Grove Press, ISBN 0-8021-3797-0.
  2. ^ "Professor Garrett G. Fagan - Audio & Video Lectures | The Great Courses®". Thegreatcourses.com. Diakses tanggal 2014-05-21. 
  3. ^ Fagan, Garrett G. "Bathing in Public in the Roman World - Garrett G. Fagan." Google Books. Web. 25 Oct. 2011. <http://books.google.com/books?id=R6tz_TzSVkAC>
  4. ^ "About Bath Houses, Turkish Baths and Sauna Culture and Bath Resources". Aquariussauna.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-09. Diakses tanggal 2014-05-21. 
  5. ^ a b Clark 1994, backcover Misogi
  6. ^ Clark 1994, p.36 Gyōzui
  7. ^ "The Majestic Beauty of the Ratu Boko Palace ruins". Wonderful Indonesia. Diakses tanggal 23 June 2014. 
  8. ^ Sita W. Dewi (9 April 2013). "Tracing the glory of Majapahit". The Jakarta Post. Diakses tanggal 5 February 2015. 
  9. ^ "Pura Tirta Empul". Burari Bali. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-06. Diakses tanggal 5 October 2014. 

Daftar pustaka sunting

Pranala luar sunting