Halo, Zulkifli Mappasomba.
Memulai
Tips

Selamat menjelajah, kami menunggu suntingan Anda di Wikipedia bahasa Indonesia!

Welcome! If you do not understand the Indonesian language, you may want to visit the embassy or find users who speak your language. Enjoy!

-- Kℇℵ℟ℑℭK 19 Maret 2020 11.36 (UTC)Balas

Gaukang Karaeng Galesong

sunting

Gaukang merupakan acara adat tahunan keluarga kerajaan khususnya dan masyarakat Galesong Kabupaten Takalar pada umunya. Gaukang adalah tradisi memperingati panji kebesaran Kerajaan Galesong yang dilaksanakan setiap 27 Rajab tahun Hijriah.

Gaukang atau tammu taung berarti peringatan hari ulang tahun yang menjadi agenda tahunan panji kebesaran milik Kerajaan Galesong, sejarah ini tidak diketahui dengan pasti, hanya menjadi cerita tutur orang tua kampung.

Sekisar awal abad ke-17, Datu Sawitto (Pinrang) mempunyai seorang anak bernama Mappalemba. Ia merupakan anak tunggal dari seorang permaisuri. Setelah ibunya meninggal, Datu Sawitto kawin lagi. Dari pernikahan itu, lahir seorang anak lelaki.

Setelah Datu Sawitto wafat, maka dewan adat mengadakan musyawarah untuk memilih pewaris tahta kerajaan. Dalam rapat itu, ada yang berpendapat untuk mengangkat Mappalemba menjadi Datu Sawitto menggantikan ayahnya.

Dari pihak saudara tirinya, ada yang menuntut hak demokrasi dengan jalan pemilihan yang belakangan disetujui. Pasca pemilihan, saudara tiri Mappalemba terpilih dari buah kesepakatan dewan adat.

Mappalemba kecewa, ia mengundang keluarga dan tokoh-tokoh beserta masyarakat yang memihak padanya. Ia mengadakan forum, lalu berpesan bahwa: 1.) Dirinya akan meninggalkan negerinya tanpa menyebut tempat tujuan (yang akhirnya ke Galesong). Segala ketentuan takdir yang akan terjadi padanya diserahkan kepada Tuhan. 2.) Setelah kepergiannya, ia meminta agar Sawitto diubah (Pinra) namanya.

Setelah beberapa tahun menetap di Galesong, anaknya Bau Bonsu menikah dengan Boe Janggo. Masa itu, Boe Janggo menjabat sebagai Lompo (semacam kepala desa). Setelah perkawinan itu, Bau Bonsu melahirkan dua putra. Anak pertama bernama Datu Lolo dan anak keduanya bernama Sambung Biseya. Pada masa kanak-kanak, Sambung Bisea dijadikan anak angkat oleh Somba Barombong, sehingga lebih banyak bermukim di Barombong.

Beberapa tahun kemudian, sekitar bulan Jumadil Akhir, pada masa pemerintahan I Kaseng Daeng Managara menjadi Karaeng Galesong, masyarakat Galesong gempar. Mereka berduyun-duyung ke pantai (Kampung Bayoa) karena mendengar riuh suara gendang dan pui-pui di sekitar pantai.

Dikiranya ada hajatan kerajaan. Namun setelah mereka saksikan, tidak ada orang yang menyertai bebunyian itu. Suaranya semakin jelas, sampai akhirnya yang terlihat hanyalah bakul persegi yang mengapung di tengah laut.

Ada juga cerita tutur tentang sejarah Gaukang yang mengatakan bahwa suatu ketika seorang nelayan melaporkan kejadian gaib yang dialaminya kepada tokoh masyarakat Daenta Lowa-lowa, di Kampung Ujung sekitar Pantai Galesong. Bahwa dirinya telah dua kali diperlihatkan peristiwa aneh yang berlangsung selama dua Jumat berturut-turut.

Temuan gaib itu berupa bunyi-bunyian dari suara khas gendang, royong, pui-pui, lesung, dan berbagai suara lainnya. Suara itu terkadang dirasakan sangat dekat dan ada kalanya sayup-sayup. Seiring matahari terbit, terlihat benda aneh semacam potongan bambu tiba-tiba muncul dan kemudian hilang dengan sekejap di hadapannya.

Masyarakat penasaran dan mulai ingin meraihnya. Ada yang mendayung, dan ada pula yang berenang. Namun semakin didekati, benda itu bergerak menjauh. Ketika orang kembali ke pantai, benda itu juga mendekat.

Di antara orang-orang itu, hadir juga Mappalemba, Boe Janggo, Boe Sanro dan Datu Lolo. Setelah Mappalemba melihat benda itu, ia mengatakan bahwa benda yang hanyut itu merupakan panji kebesaran Datu Sawitto. Ia bersama cucunya, Datu lolo, mendayung mengambil benda itu.

Benda itu diraihnya dan dibawa ke sebelah utara Pulau Sanrobengi dan diletakkan di gugusan karang bernama Taka Kekea. Benda itu serupa bakul persegi yang terbungkus. Isinya kancing, anak baccing, oja, dll. Setelah itu, dibawanya ke rumah Boe Janggo.

Mappalemba kemudian memberitahukan kepada menantunya, bahwa benda itu miliknya, dan menurut kebiasaan di Sawitto, dalam setiap tahun diperingati (Gaukang) disertai dengan upacara kerajaan pada akhir Jumat bulan Jumadil Akhir.

Sebab biaya pelaksanaan Gaukang sangat banyak, maka Mappalemba mengusul kepada menantunya agar Gaukang diserahkan kepada Karaeng Galesong. Sebelum itu, diadakan musyawarah dulu sebagai berikut:

Panji kebesaran yang berada di rumah Boe Janggo dibawa ke Istana Balla Lompoa pada bulan Rajab dan dijadikan panji kebesaran Kerajaan Galesong.

Karena upacara Gaukang yang dilaksanan setiap tahun dan memakan biaya cukup banyak, maka seluruh rakyat Galesong diminta untuk menyumbang seikhlasnya. Boe Janggo memberikan sawahnya yang terletak di Tamparang Lebbaya kepada paganrang di depan (penabuh gendang depan) 4 petak sawah; pengusung rakit-rakit 2 petak sawah; patakgalak lengu’ (pemegang lengu') 2 petak sawah; pinati (Panitia) 4 petak sawah.

Karaeng Galesong memberikan sawahnya yang terletak di Kampung Malolo kepada paganrang di belakang (penabuh gendang belakang) 2 petak; papuik-puik sepetak. Upacara peringatan hari ulang tahun panji kebesaran Kerajaan Galesong dilaksanakan pada malam Jumat di akhir bulan. Boe Janggo diangkat menjadi Anrong Guru (ketua panitia) yang ditugaskan untuk mengatur kepanitiaan dan memimpin persiapan dan jalannya Gaukang. Apabila suatu waktu, Boe Janggo sakit atau telah uzur dan tidak mampu lagi menjalankan tugasnya, maka yang berhak menggantikannya sebagai Anrong Guru harus berasal dari keturunannya atau keluarga terdekatnya. Tidak diperkenankan dikelola orang lain. Maka resmilah Gaukang menjadi milik Kerajaan Galesong. Upacara penyerahannya dilaksanakan dengan meriah, disaksikan banyak masyarakat. Sebagai apresiasi kepada Mappalemba dan keluarganya, Karaeng Galesong menghadiahkan 19 petak sawah dan perkampungan yang dinamai La Bottoe atawa Kampung Lambatowa pada kemudian hari. Demikian juga Kampung Sawakong Towa.

Adapun makam Mappalemba atau Lembaya kini berada di Kampung Pa’la’lakkang, sekitar 300 meter dari Balla Lompoa Galesong. Makam Boe Janggo terletak di Kampung Lanna sektar 200 meter dari Balla Lompoa dan makam Datu Lolo terletak di Manjalling, Galesong Selatan.

Sebelum Gaukang dilaksanakan. Setiap Senin, Kamis, dan Jumat banyak masyarakat yang datang secara ikhlas ke rumah adat membawa pisang, lilin, gula, kemenyan dan sirih. Mereka menyadari Gaukang menjadi bagian penting dalam kehidupan berbudayanya.

Sebelum puncak hari pelaksanaan, terlebih dahulu dilakukan Tunrung Pabballe (irama gendang ini sebagai pra pelaksanaan yang berfungsi menyemangati para bangsawan) selama 3 hari berturut-turut.

Upacara ini dipusatkan di Balla Lompoa dan dihadiri oleh para pemangku adat Karaeng Galesong, para sesepuh, tokoh adat, pejabat pemerintahan dan warga setempat.

Gaukang diawali dengan ritual Appalili yakni mengelilingi kampung-kampung, dimulai dari kompleks rumah adat menuju ke Bungung Barania yang diiringi gendang khas Makassar.

Selama Appalili, tiga anak gadis kecil diusung di dalam keranda serta seekor sapi yang berada di barisan paling depan rombongan. Setelah sampai di sumur keramat (Bungung Barania), airnya lalu diambil oleh pemangku adat dan dibawa ke Balla Lompoa untuk mencuci benda-benda pusaka kerajaan. Saat ke Balla Lompoa, rombongan melewati jalan yang berbeda.

Sesampai di istana, rombongan tidak langsung masuk, tetapi mengelilingi Balla Lompoa sebanyak tujuh kali. Setelah itu sapi yang ikut dalam arak-arakan, disembelih di halaman Balla Lompoa.

Sesudahnya, pemangku adat Karaeng Galesong, di hadapan para tamu undangan, memberi sambutan, mengutarakan sejarah dan ungkapan rasa syukur terkait Gaukang yang telah berlangsung ratusan tahun. Begitu pula tamu kehormatan, dipersilakan untuk memberi sambutan. Setelah itu, tarian dan hiburan menyertai di sela-sela istirahat.

Zulkifli Mappasomba (bicara) 19 Maret 2020 11.51 (UTC)Balas