Pengguna:Argo Carpathians/Penyimpanan/5

Jokowi menerima tanggapan dan respons yang beragam dari para pengamat dan kritikus. Di luar, Jokowi mendapatkan penilaian positif dari Kishore Mahbubani, mantan Presiden Dewan Keamanan PBB sekaligus pengamat Asia Research Institute di Universitas Nasional Singapura. Ia menyebut Jokowi sebagai sosok yang "jenius".[1] Penilaian tersebut menimbulkan pro-kontra di Indonesia. Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, berterima kasih atas pujian Mahbubani yang "saintifik dan berdasarkan data",[2] sementara kritikus pemerintah Rocky Gerung menyebut argumen Mahbubani hanyalah "semacam jualan dan advertorial" untuk memuji Jokowi.[3] Felix Nathaniel dari situs Tirto mengkritik Mahbubani, dan menilainya melakukan cherry-picking.[4] Burhanuddin Muhtadi menyayangkan penilaian Mahbubani yang menurutnya "tidak utuh" karena hanya melihat dari sudut pandang tertentu, dan mengacuhkan sisi lain seperti demokrasi dan HAM.[5]

Kepemimpinan Jokowi menerima kritik karena dinilai sebagai pemerintahan yang "otoriter", khususnya pada periode kedua. Koalisi pemerintah dinilai telah melemahkan pihak oposisi untuk memperkuat posisi mereka sendiri.[6][7]

Beberapa pengamat menggambarkan Jokowi sebagai sosok presiden developmentalis. Jacqui Baker (2016) menilainya sebagai sosok yang menunjukkan "ketidaksabaran dengan kompleksitas hukum" dan "kecenderungan iliberal" yang konsisten dengan asal usul kelas borjuis kecilnya.[8] Eve Warburton (2016) menyebut Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi sebagai negara yang "berorientasi ideologis statis-nasionalis". Menurutnya, Jokowi merupakan seseorang yang memandang pemeliharaan negara yang kuat dan lanskap politik yang stabil sebagai hal yang penting untuk pencapaian tujuan ekonomi.[9]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting

Sumber

sunting
Jurnal
Situs web