NAMA BULAN DALAM TRADISI LEWOTOBI- LEWOURAN


Masyarakat di Kampung Lewotobi dan Lewouran terhimpun dalam satu Desa namanya Desa Birawan. Sekarang telah berganti nama menjadi Desa Lewotobi di Kecamatan Ile Bura Kabupaten Flores Timur Provinsi NTT.

Mata Pencharian masyarakat ini yang terhimpun dalam rumpun suku Lamaholot adalah Petani dan Nelayan. Sebagai petani dan Nelayan, mereka mempunyai kalender musim dengan nama- nama bulan dalam sebuatan bahasa lokal. Setiap nama mengandung makna.

pada tulisan ini, penulis menurunkan beberapa nama bulan secara serial. Serial Pertama : Bulan Januari - Mei


Bulan Januari : MAPA Bulan Januari disebut Mapa. Etimologis Mapa berarti : Berhadapan. Pada bulan ini para petani berhadapan dengan rumput tanaman,. Ungkapan Mapa Nora artinya ; saat membersikan rumput di sekitar tanaman, para petani mengalas kaki mereka dengan rumput rumput karena cuaca panas. Saat bulan Januari curah hujan agak kurang dan cuaca cukup panas. Kebiasaaan para petani membersihkan ladang dari pagi sampai tengah hari. Istirarahat sejenak untuk makan siang dan melanjutkan pekerjaan. Pada bulan ini ditandai dengan buah- buah hutan seperti buah merah ( la’a ) dan buah Ata. Mapa juga berarti berhadapan dengan angina ribut yang disebut Wara Leko Nika. Wara artinya angina ribut. Nika : alat untuk menanam. Leko : patah. Artinya pada bulan Januari, waktu untuk menanam padi jagung sudah selesai. Jika ditanam, tanaman tumbuh tidak terlalu sehat karena kondisi tanah sudah dingin.

Bulan Februari : More More artinya Hujan. Istilah Hore More artinya menggayung/ambil air, menuangkan air. Artinya pada bulan ini hujan sangat lebat dan kebutuhan tanaman akan air sangat besar untuk proses pertumbuhan yang cepat. Pada bulan ini, disebut Wata Plae ( tanaman cepat besar ). Agar tumbuhan cepat tumbuh maka tanaman harus bersih dari gulma. Untuk itu maka pada bulan Januari para petani fokus membersihkan ladang, membersihkan gulma sehingga meskipun panas dengan istilah Mapa Nora mereka tetap bekerja.

Bulan Maret : Duru

Duru artinya Tanaman mulai matang. Pada bulan ditandai dengan pengambilan Nale ( Nyale ) di laut. Untuk pengambilan nyale dalam tradisi di Lewotobi, dilakukan oleh Suku Uran. Ritus pengambilan nyale diawali dengan puasa ke laut, ke lokasi pantai selama tiga malam berturut turut. Tiga malam mini kondisi laut dalam keadaan gelap. Artinya tidak ada aktivitas penangkapan ikan di malam hari. Pada malam ke empat, masyarakat ke pantai untuk mengambil nyale yang didahului oleh pihak Suku Uran. Tradisi ini sudah lama tidak dijalankan lagi. Saat ini pihak suku Uran di Lewotobi sedang mewacanakan untuk menghidupkan kembali ritus ini.

Nyale yang diambil selain digunakan untuk konsumsi juga digunakan untuk menyiram (srisa : mereciki ) tanaman padi jagung, kacang- kacang di ladang. Sebuah kebiasaan yang dilakukan dulu adalah ketika pulang ambil Nale masyarakat langsung bergerak menuju ladang. Dalam perjalanan ke ladang, petani memetik jagung petani lain di pinggir jalan, hanya satu – dua buah. Sebuah istilah yang dikenal “ Lako Wata “. Lako artinya tupai. Wata : Jagung. Dan pemilik kebun tidak marah. Sebuah kearifan belajar berbagi. Para petani dalam kesadaran penuh bahwa jagung di pinggir jalan untuk dibagikan ke sesama dan tidak ada yang menjadikan ini sebagai sebuah perkara. Pihak yang mengambil pun dengan kesadaran hanya satu- dua buah saja, cukup untuk malam tersebut. Kegiatan memetik jagung ini pun hanya berlangsung pada malam pengambilan Nale , hari lain tidak.

Mengapa hanya satu – dua buah dan di pinggir jalan. Kesadaran petani bahwa masih ada petani lain di belakang yang akan memetik dan masih banyak ladang lain yang akan dilewati. Di pinggir jalan karena petani tidak boleh masuk ke dalam kebun petani lain. Sebuah penghormatan dan penghargaan bagi tanaman dan pemilik kebun. Nilai lain adalah mengambil secukupnya, tidak lebih. .Pengambilan jagung pun bukan wajib dilakukan di setiap ladang yang dilewati. Petani hanya mengambil cukup untuk dinikmati pada malam tersebut dengan lauk pauk ikan Nale.

Tradisi Srisa/mereciki tanaman padi jagung, kacang – kacangan, umbi – umbian dengan Nale karena Nale dipadang sebagai ikan besar, sebagai Ratu laut yang harus diperlakukan dengan hormat saat pengambilan karena ia membawakan berkat bagi tanaman. Ikan dari laut, direciki pada tanaman menyombolkan sebuah kesatuan relasi kosmik daratan dan laut yang membawakan berkat bagi para petani. Berkat relasi kosmik ini agar tanaman mulai matang. Istilah Wata Bete Kemehe, Tehe Pluo Pote, Wete Kuma melukiskan bahwa tanaman – tanaman adalah gadis yang sedang hamil siap melahirkan kehidupan bagi keberlangsungan sebuah peradaban kemanusiaan. Teriakan- teriakan saat Pengambilan Nale : gere duru gere, gere duru gere ( gere : naik ) adalah ekspresi harapan dan doa untuk hasil yang diperoleh cukup, hasil seperti ribuan untaian nale yang muncul di permukaan laut. Gere Duru Gere, sebuah syair penuh makna, untaian harapan bagi Sang Ratu laut. Gere : naik, tunjukan dirimu, berikan berkatmu dengan mempersembahkan diri, agar di tangan para petani dirimu dibawa ke tengah ladang, ke tengah para gadis yang sedang hamil, agar berkatmu menghasilkan buah- buah ladang yang melimpah.


                                                       April : Breke Kre/Bleke Kre

Sebutan Bulan April dengan kata Breke Kre. Breke adalah sarana tangkap ikan yang terbuat dari kawat. Mata Pencaharian Masyarakat Lewotobi Lewouran adalah Petani – Nelayan. Mereka selalu membagi waktu kerja mengolah ladang dan mencari ikan. Ketika ene sare ( kondisi laut tenang dan pergerakan arus yang tepat untuk menangkap ikan ) maka para nelayan pergi melaut. Kebiasaan mencari ikan selain menggunakan perahu juga dengan menembak ikan di pinggir pantai menggunakan kawat ( breke kre).

Penggunaan kata Breke ini menegaskan bahwa masyarakat Lewotobi Lewouran sangat memahami alam, bahwa upaya membangun kehidupan tidak hanya bergantung pada hasil ladang saja tetapi juga dari hasil laut.

                                                  Bulan Mei : Breke Bele/Bleke Bele.

Breke Bele adalah kawat yang digunakan untuk memancing ikan di laut yang dalam. Bulan April dan Bulan Mei bagi petani adalah musim untuk menangkap ikan. Pada bulan Mei, hasil tangkapan ikan bukan hanya untuk dijual tetapi digunakan khusus untuk mempersembahkan kepada saudari karena Opu Bine akan dihargai dengan menikmati hasil ladang pertama. Beras baru dengan lauk ikan segar adalah menu perjamuan sukacita.

Untuk nama Bulan April dan Mei ini yang biasa disebut Breke Kre ( April ) dan Mei ( Breke Bele ), bagi penulis, Bulan April juga bisa disebut Bleke Kre dan Bulan Mei disebut Bleke Bele. Bleke adalah wadah untuk menyimpan padi terbuat dari anyaman daun lontar. Bulan April adalah Bulan, masa memanen hasil ladang. Sebuah Tradisi dalam memanen padi adalah adanya Bleke kre. Bleke Kre ini berisi pada yang dipanen pertama di tengah ladang dan digantung di pojok bagian kiri dalam lumbung. Ketika kegiatan memanen padi esok harinya, Bleke kre ini dikeluarkan, ditaruh di depan pondok, setangkai padi diambil, taruh dalam bakul yang akan digunakan pada hari tersebut. Setelah panen, diambil sejumput padi dan dimasukan ke dalam bleke kre ini selanjutnya digantung dalam pondok/lumbung. Ritual ini terus menerus sampai selesai kegiatan memanen padi.

Pada bulan Mei, hasil panen dikeluarkan dari dalam pondok untuk proses pembersihan. Dan padi yang digantung dalam bleke Kre akan digabung dengan padi dalam Bleke Bele yang dipersembahkan untuk Opu Bine. ( Opu adalah suami dari saudari ) Bine adalah Saudari. Dari uraian di atas bagi penulis, Bulan April selain disebut Breke Kre dan Breke Bele untuk melukiskan aktivitas pencarian ikan, bulan April dan Mei juga dapat disebut Bleke Kre dan Bleke Bele.

Aktivitas Pertanian di bulan April adalah memanen padi dan pada bulan Mei adalah aktivitas membersihkan gabah padi agar didapatkan padi yang bernas, untuk siap diolah untuk bahan makanan. Kegiatan memanen padi biasanya dilakukan secara gotong royong. Untuk menjamu tenaga kerja, para petani menyiapkan ikan. Ada juga yang menjamu dengan lauk pauk berupa daging babi atau kambing, ayam. Penggunaan kata Breke Kre, breke Bele melukiskan tentang lauk pauk berupa ikan dari pantai selatan Lewotobi yang sangat enak. Ungkapan sastra “Tua moe teti heri lodo, ike moe lau nuse dai, tobo behi hada loto lolo” adalah sebuah tuturan tentang kenikamatan hasil alam yang dinikmati dalam kebersamaan. Opu Bine datang membawa tuak dan ikan, mengunjugi ina ama. Hasil ikan dari ina ama dan tuak disatukan , bersama sama menikmati dalam semangat berbagi, semangat penuh kekeluargaan. Ungpakan tobo behi hada loto lolo adalah ekspresi merendahan diri, ekspresi melayani. Tuak dalam Nawi ( wadah dari bambu ), saat dituang ke dalam gelas dari tempurung, opu mengambil posisis duduk. Nawi tersebut, ditaruh di atas lutut agar proses menuang tuak tidak tumpah ke tanah. Gambaran ukuran nawi biasanya besar sehingga jika dituang dalam posisi berdiri sangat sulit.

Akivitas pada bulan Mei yakni Opu Bine mengeluarkan padi dalam Bleke Kre dan mengambungkan dalam Bleke Bele untuk dibawa pulang sebenarnya merupakan puncak perayaan petani dalam mengolah hasil ladang. Pesta Petani adalah saat hasil ladang mereka diambil dan dinikmati oleh Opu Bine. Mengapa Opu Bine ( Opu : sebutan untuk suami dari saudari , Bine : Saudari ). Nolo Bare ( tanamana padi jagung, kacang- kacangan ) dipercayai sebagai Saudari yang rela mengorbankan jiwa dan raganya demi keberlangsungan sebuah kehidupan peradaban manusia ( ata dike ). Kata Nolo berarti yang dulu kala, sesuatu yang telah menjadi tradisi. Bare artinya perempuan. Nolo Bare berarti Perempuan yang dulu kala, perempuan yang menjamin keberlangsungan tradisi dan peradaban kehidupan manusia. Nolo Bare menegaskan nilai kesakralan tradisi, nilai pengorbanan dan darinya spirit merawat kehidupan harus tetap dan terus diturukan dalam setiap generasi.

Bersambung

Penulis Fabianus Boli Uran Penulis Buku di Balik Kesunyian Lewouran Duli Detu Saka Ruka Paji Wuri