KH Mas Abdurrahman bin Jamal al-Janakawi lahir di kampung Janaka, Menes, kabupaten Pandeglang, Banten pada tahun 1875, dan meninggal pada 27 Sya'ban 1363 Hijriyah (bertepatan dengan 16 Agustus 1944), adalah tokoh Islam di Indonesia dan dikenal pula sebagai pendiri salah satu organisasi massa Islam terbesar dan lembaga pendidikan tertia di Indonesia, Mathlaul Anwar.

Masa Studi KH Mas Abdurrahman

Sebagai anak dari tokoh agama dan tokoh masyarakat yang disegani, Abdurrahman kecil berkembang dalam asuhan keluarga. Dari keluarga ini pulalah untuk pertama kalinya Abdurrahman kecil berkenalan dengan ilmu keislaman, mulai dari mengaji, belajar shalat, memahami rukun Islam dan rukun iman, serta berbagai masalah agama lainnya. Dengan penuh telaten Mas Jamal memberikan bimbingan kepada Abdurrahman, sampai anak memiliki pengetahuan keagamaan yang memadai. Dalam catatan Nahid Abdurrahman, selain untuk kejujuran, KH Abdurrahman juga berguru kepada beberapa ulama, antara lain Kyai Shohib di sekitar Menes. Beliau juga sempat berguru kepada Kyai Ma'mun di Serang, seorang huffadz dan ahli dalam kajian dan bacaaan Al-Quran.

Sebagai anak desa, Abdurrahman kecil tentu tidak sekedar mengaji dan mempelajari ilmu agama. Dia juga rajin membantu orangtuanya bertani, di samping memiliki teman sepermainan sebagai bagian dari proses pembentukan karakter social dan keagamaannya di kelak kemudian hari. Dalam pandangan teman-teman sepermainannya, Abdurrahman kecil dikenal sebagai anak yang pandai, rajin, dan sopan. Potensi kepemimpinannya sudah nampak sejak sangat dini. Dalam pergaulannya sehari-hari Abdurrahman selalu berada di depan, dan menjadi pemimpin bagi kawan-kawan sepermainannya. Tidak jarang pula dia tampil menyelesaikan berbagai persoalan, dan diikuti oleh teman-temannya.

Selain berguru kepada orangtuanya, Mas Abdurrahman diduga juga belajar kepada kyai atau ustadz di sekitar Menes dan Pandeglang yang memang menjadi salah satu pusat perkembangan pondok pesantren di Banten. Sayangnya data tentang pengalaman pendidikan ini tidak tersedia, dan menjadi halaman gelap yang sulit ditelusuri. Karea itu, para penutur kisah hidupnya lebih sering mengambil jalan pintas dengan mengatakan bahwa Abdurrahman muda tidak berguru kemana pun selain kepada bapaknya, Mas Jamal. Sebagai anak keturunan seorang yang berpengaruh dan kelas menak di Menes, bukan hal yang mustahil Abdurrahman juga mengenyam sekolah umum di Menes, karena sejak 1887 di kota ini telah berdiri sekolah Belanda, setelah ibukota keresidenan Caringin dipindah akibat gelombang tsunami yang meluluhlantakkan seluruh kawasan pantai di Banten sebagai efek dari letusan dahsyat gunung Krakatau pada 1883. Tetapi lagi-lagi catatan tentang ini tidak tersedia.

Akibatnya, catatan pengalaman pendidikan Abdurrahman muda tidak tersedia dan menjadi halaman gelap dari sejarah sang tokoh. Bahwa kemungkinan Abdurrahman muda berguru ke beberapa pondok pesantren dan atau menjadi murid sekolah Belanda di Menes didasarkan atas fakta berikut ini. Pertama, keberangkatannya ke Mekkah untuk mempelajari ilmu agama jelas membutuhkan dasar-dasar keilmuan yang memadai terlebih dahulu, dan itu tidak cukup dengan hanya belajar dari orangtua –terlebih Mas Jamal sendiri tidak tercatat memiliki pondok pesantren. Karena itu, mestinya Abdurrahman muda pernah pula mengenyam pendidikan di pondok pesantren dan belajar kepada pada kyai dan ulama tradisional ketika itu.

Sayangnya KH Abdurrahman sendiri tidak menuliskan sejarah dan pengalaman hidupnya. Keberngkatannya ke Mekkah sendiri memang tidak semata-mata untuk menunaikan ibadah haji dan mendalami ilmu agama, tetapi yang paling utama adalah berziarah ke makan orangtuanya yang meninggal di Mekkah saat menjalankan haji. Tetapi usaha untuk lebih mendalam ilmu agama di sana akan sulit dilakukan jika ia tidak memiliki basis keilmuan yang memadai sebelumnya.

Kedua, sebagai anak dari seorang menak di Menes sebagaimana nampak dari sebutan “Mas” di depan namanya, Abduurahman memiliki akses dan peluang yang terbuka untuk memasuki sekolah Belanda. Dan sebagai menak, tidak mustahil pula Mas Jamal menutup akses sepenuhnya kepada anaknya untuk memasuki sekolah kolonial itu. Tapi, biarlah hal ini menjadi pertanyaan abadi yang mungkin tak akan terjawab, karena memang data tentang itu belum ditemukan.

Hanya saja, jaringan sosialnya yang luas di sekitar Menes yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan ulama serta pejabat pemerintah hampir mustahil diperoleh tanpa latar belakang pendidikan dan pengakuan keilmuan sama sekali.

Ketiga, dengan melihat sepintas buku-buku yang ditulisnya, nampak bahwa Abdurrahman memiliki latar belakang pesantren yang kental, dengan penguasaan terhadap kitab kuning dan ilmu bahasa yang cukup matang. Keberangkatannya ke Mekkah pada sekitar 1905 –yang berarti saat itu usianya telah mengingjak 30 tahunan—mengindikasikan bahwa dalam waktu yang cukup lama beliau menimba ilmu terlebih dahulu di berbagai pondok pesantren di Banten.

Dua bukunya tentang ilmu sharaf dan terjemahan yang dilakukannya terhadap kitab Nahwu –untuk sekedar contoh—menunjukkan dengan jelas bahwa pendidikan awalnya ditempuh di pondok pesantren tradisional. Selain itu, kedekatannya dengan KH Asnawi Caringin menunjukkan pula bahwa beliau memiliki latar kepesantrenan yang kuat, serta dengan penguasaan ilmu-ilmu keislaman yang mumpuni.

Keempat, kepulangannya kembali ke Menes setelah belajar di Mekkah selama sekitar 10 tahun dilakukan karena panggilan para ulama dan tokoh masyarakat Menes yang memintanya untuk segera kembali ke tanah air. Untuk itu, beberapa tokoh masyarakat dan ulama bahkan rela patungan untuk menyediakan ongkos bagi Mas Abdurrahman Secara logis, hal ini hanya mungkin terjadi kepada seorang tokoh yang telah terkenal dan diketahui kemampuan ilmunya, serta memiliki jaringan social dan keilmuan yang luas. Nah, mungkinkah ini terjadi kepada seorang yang bahkan tidak pernah “mondok” sama sekali? Rasanya sulit diterima. Sebab, bagaimana mungkin orang sekaliber KH Abdul Lathief, Kyai Sholeh dan Entol Mohammad Yasin yang tercatat menjabat sebagai wedana (demang) di Menes bisa mengenalnya dengan dekat (dan memintanya segera kembali ke Menes) bila sebelumnya tidak terjadi kontak yang intens dengan tokoh ulama dan para priyayi di Menes.

Mendirikan organisasi massa dan lembaga pendidikan Mathlaul Anwar

Pada tahun-tahun itu, Indonesia sedang dalam keadaan penuh harapan, banyaknya anak bangsa yang melanjutkan studi keluar negeri baik mempelajari ilmu agama, sains, politik, dsb, diharap bisa membawa arah bangsa ke sudut berbeda.

Kebijakan politik etis 1901 yang dibuat Belanda sedikit membuka kran harapan kemajuan. Kebijakan politik etis muncul sebagai antitesa kebijakan tanam paksa, bahwa pemerintah Belanda saat itu punya tanggung jawab secara moral untuk kesejahteraan pribumi.

Tapi praktek di lapangan hanya sebagian kecil pribumi yang merasakan kebijakan itu. Hal ini menjadi perhatian besar para Kyai kampung di Menes, bahwa mereka butuh sosok meriam pemikiran untuk membawa Menes khususnya dan sekitarnya pada umumnya dari jurang kebodohan. Para Kyai di Menes berkumpul mengadakan musyawarah, pada kongklusinya para beliau sepakat memanggil putera daerah yang sedang menimba ilmu di Mekkah. KH Mas Abdurrahman kembali ketanah air sekitar tahun 1910 M.

Para Kyai sepuh menaruh harapan besar pada beliau sebagai sosok yang masih muda dan cerdas agar bisa membawa kondisi masyarakat Menes kearah yang lebih baik. Pada tahun 1916 M, ide para Kyai Sepuh dan KH Mas Abdurrahman terkait pendirian lembaga pendidikan Islam formal terejawantahkan. Berdirilah perguruan Islam dalam bentuk Madrasah yang dinamai "Mathlaul Anwar", sebagai direkturnya adalah KH Mas Abdurrahman dan Presiden Bistirnya KH Moh Yasin, dan dibantu oleh para Kyai Sepuh dan tokoh masyarakat lain di sekitar Menes. Langkah pertama yang dilakukan KH. Mas Abdurahman dismaping mengadakan pengajian dan tabliq ke berbagai tempat, juga menyelenggarakan pendidikan pondok pesantren. Dengan segala keterbatasannya, pendidikan pondok pesantren dirasakan kurang sistematis, baik dalam hal sarana, dana, manajemen maupun kader mubaliq kurang dapat dihasilan.

Ditambah pula dengan kondisi yang kurang aman dari berbagai pengawasan oleh Pemerintah Belanda. Maka para kyai mengadakan musyawarah di antaranya KH. Entol Mohamad Yasin sebagai kyai yang tergolong intelektual, beliau cenderung membentuk pendidikan sistem madrasah dan hl ini sependapat dengan KH. Mas Abdurahman. Beranjak dari sini, akhirnya pertemuan melahirkan kata sepakat untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang dikelola dan dan diasuh secara jema’ah dengan mengkoordinasikanberbagai disiplin ilmu terutama ilmu Islam yang dianggap merupakan kebutuhan yang mendesak.

Lembaga pendidikan tersebut bukan lagi bersifat tradisional seperti pondok pesantren yang telah ada, namun harus ditingkatkan menjadi bentuk madrasah. Untuk mencapai tujuan luhur ini sudah tentu dibutuhkan tenaga ahli dalam bidangnya. Dari sekian banyak nama madrasah yang diajukan, maka musyawarah memutuskan bahwa pemberian nama lembaga pendidikan diserahkan kepada KH. Mas Abdurahman untuk melakukan “istikhoroh”. Dari hasil istikhoroh tersebut maka lahirlah nama “ MATHLA’UL ANWAR” yang mempunyai makna “ TERBITNYA CAHAYA” pada tanggal 10 Ramadhan 1334 H bertepatan dengan Tanggal 10 Juli 1916 M yang ditetapkan sebagai tanggal lahirnya Organisasi Mathla’ul Anwar.

Sebagai mudir atau direktur adalah KH. Mas Abdurahman dengan presiden bistirnya KH. Entol Mohammad Yasin dari Kampung Kaduhawuk (Menes) serta dibantu oleh sejumlah kyai dan tokoh masyarakat sekitar Menes. Unutk sementara kegiatan belajar mengajar diselenggarakan di rumah KH. Mustaghfiri seorang dermawan Menes yang bersedia rumahnya digunakan untuk tempat belajar mengajar.

Selanjutnya dengan modal wakaf tanah dari Ki Demang Entol Djasudin yang terletak di pinggir jalan raya, dibangunlah sebuah gedung madrasah dengan cara gotong royong oleh seluruh masyarakat Menes pada tahun 1920. Bangunan pertama ini berukuran seluas 1000 m2 (20 m x 50 m) yang samapi saat ini masih berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan mulai dari TK sampai Madrasah Aliyah (sederajat SMA).

Gedung ini tidak lain adalah pusat perguruan Mathla’ul Anwar yang terletak di Kota Menes Pandeglang. Dari madrasah inilah mulai dihasilkan kader-kader mubaligh serta kyai dan ulama Mathla’ul Anwar ayng kemudian bergerak menyebar luaskan Mathla’ul Anwar keluar daerah pandeglang seperti ke Kabupaten Lebak, Serang, Tangerang, Bogor, Karawang sampai ke residenan Lampung. PAda Tahun 1936 jumlah madrasah Mathla’ul Anwar telah mencapai 40 madrasah yang tersebar di 7 daerah tersebut.

Adapun tujuan Mathlaul Anwar adalah agar ajaran Islam menjadi dasar bagi kehidupan baik secara individual maupun kolektif. KH Mas Abdurrahman selain seorang keturunan Kesultanan Banten beliaua adalah seorang santri yang mengenyam pendidikan agama di Mekkah dan sudah tersentuh arus modernisme.

Mathlaul Anwar adalah salah satu buah legalitas pemikirannya. Beliau menjadikan Mathlaul Anwar sebagai lokomotif pembawa gerbong pendidikan modern atau pembaharuan dan pemahaman keIslaman. Kini madrasah Mathlaul Anwar sudah tersebar di hampir seluruh provinsi di Nusantara, memberikan sumbangsih pemikiran terkhusus bagi masyarakat pedesaan.

Kehidupan Keluarga

KH Mas Abdurrahman bin Jamal al-Janakawi memiliki 6 (enam) orang istri yang dinikahinya secara bergantian sesuai dengan syari’at Islam. Sebagai Muslim, ia tidak menikah dengan enam istri sekaligus, melainkan berganti-ganti karena sang istri meninggal.

Pernikahannya dengan beberapa orang istri secara poligami dilakukan karena adanya tawaran dari masyarakat yang ingin meninahkan anaknya dengan beliau, misalnya dalam bentuk nadzar atau ekspresi kebanggaan warga kepada sang tokoh. Dalam catatan keluarga, istri-istrinya adalah Enong (putri Kyai Soleh, salah seorang tokoh yang meminta dan membiayai KH Abdurrahman kembali ke tanah air), Maemunah (Minot, Kananga-Soreang), Siti Hadijah (Ijot, Majau, Menes), Enjoh Juhariyah (Kadukaung), Yayah Abdul Lathif (Nanggorak), dan Su’aebah Tatu (Kampung Baru). Secara keseluruhan KH Abdurrahman memiliki 15 (limabelas) orang anak, terdiri atas 7 (tujuh) laki-laki dan 8 (delapan) perempuan, yang diperolehnya dari tiga istri, yakni Maemunah, Siti Hadijah, dan Enjoh Johariyah. Istrinya yang pertama (Enong) tidak membuahkan keturunan, karena tidak lama setelah menikah beliau meninggal di Tanjungpriuk dalam rencana perjalanan ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Juga dari istrinya yang ke-5 (Yayah Abdul Lathief) dank ke-6 (Su’aebah Tatu).

Dari istri yang kedua, Maemunah, KH Mas Abdurrahman dikaruniai 8 (delapan) orang anak, yaitu M. Emod, H. Abeh Chabri, Hamid, Enong Hasanah, Aena Eno, Mariyam, H. Adung Abdurrahman, dan Bai Aisyah. Sementara itu, dari istrinya yang ke-3, Siti Hadijah (Ijot), dikaruniai 4 (empat) orang anak, yakni KH. Cholid, KH. Muslim, Hj. E. Muslimah, dan Nahid Abdurrahman (pernah menjadi Sekjen PB Mathla’ul Anwar). Sedangkan dari istrinya yang keempat, Enjoh Juhaeriyah, dikaruniai 4 (empat) orang anak: Enong Johariah, H Mundiah Mumun, dan Jahriyah. Dari ke-15 anaknya, setidaknya terdapat 4 (empat) orang anaknya yang cukup popular di kalangan masyarakat Menes dan warga Mathla’ul Anwar, yakni KH. Cholid, KH. Muslim, H. Adung Abdurrahman, dan Nahid Abdurrahman.

Karya-karya KH Mas Abdurrahman

1. Tarjamah Jamilah atas Matan Ajurumiyah

Sebagaimana telah jelas dari judulnya, buku ini merupakan terjemahan kitab tipis Matn jurumiah, yang membahas tentan ilmu nahu dan tata bahasa Arab. Di kalangan pondok pesantren, kitab tipis ini amatlah popular, dan merupakan kajian wajib yang mesti dilewati oleh setiap santri. Mengingat posisinya yang penting itulah, KH Mas Abdurrahman kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Sunda, untuk menjadi bahan ajar bagi seluruh siswa dan santri di lembaga pendidikan Mathla’ul Anwar. Dari sisi format, buku ini mungkin tidak pas disebut buku –apalagi kitab, mengingat ukurannya yang terlampau kecil (seperti layaknya sebuah buku saku) dengan jumlah halaman yang tipis, tidak sampai 100 halaman. Dapat dipastikan, penerjemahan ini dilakukan untuk mengisi kekosongan bahan ajar dalam bidang studi bahasa Arab di lingkungan organisasi Mathla’ul Anwar. Meski demikian, penggunaannya sebagai bahan ajar tidak hanya di gunakan di MA, melainkan juga di lembaga pendidikan lainnya.

2. Aljawaiz fi Ahkam al-Janaiz

Secara akademis, kitab atau buku ini merupakan karya terbaik dan paling serius yang disusun oleh KH Abdurrahman. Bahkan, karya ini bisa disebut sebagai magnum opus-nya, baik dari tingkat ketebalan buku yang mencapai 76 halaman maupun dari kelengkapan persoalan yang dibahasnya. Dalam kitab ini juga disebut secara langsung sumber rujukan serta pendapat para ulama tentang masalah yang dibahas, sehingga secara akademik nuktah pemikiran yang termaktub di dalamnya bisa diferivikasi. Kitab ini ditulis dalam huruf jawi berbahasa Sunda. Masing-masing halaman berisi 17 baris, kecuali halaman awal yang berisi 15 baris. Sebagaimana tertera dalam jilidnya, kitab ini ditulis pada tahun 1349 Hijriyyah. Di akhir naskah tertulis “rampungna dinten itsnen kaping 29 Dzul-qa’dah sanah 1349.” Berbeda dari buku lainnya, karya ini juga mencantumkan peringatan untuk tidak mengutip dan menggandakan karya ini kecuali atas seizin penulisnya: “la yajuzu thabhun hadza al-kitab illa bi idzni mu’allafih.” Seperti diakuinya sendiri, buku ini ditulis berdasarkan sumber yang paling popular dan mu’tamad di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah: “ngumpulkeun kawula kadinya tina sagala kitab nu masyhur-masyhur tur nu mu’tamad-mu’tamad mungguh ahli sunnah wal Jamaah.” (hal. 2). Secara sistematis kitab tanpa daftar isi ini mengupas tentang tatacara pengurusan jenazah sesuai dengan syari’at Islam. Sebelum masuk pada bahasan khusus tentang pengurusan jenazah (kitab al-jana’iz), penulis mengupas terlebih dahulu tentang latar belakang munculnya naskah ini, tentang sunnah melayat orang yang sakit, makruh hukumnya makan di tempat melayat, dan anjuran membaca doa bagi keselamatan orang yang meninggal pada saat melayat.

3. Al-Musamma bi al-Takhfif fi ‘Ilm al-Tashrif

Melengkapi terjemahan Jurumiah, KH Abdurrahman juga menulis sebuah kitab kecil dalam bidang sharaf, yakni gramatika bahasa Arab. Kitab tipis ini merupakan usahanya untuk melengkapi bahan ajar bagi penguasaan bahasa Arab di lingkungan Mathla’ul Anwar. Secaea fisik buku ini berukuran 20x12 cm, dengan tebal 38 halaman dan masing-masing halaman berjumlah 18 baris. Sesuai keterangannya di akhir buku, naskah ini selesai ditulisnya pada hari Senin 9 Ramadhan 1371 Hijriyah (tanggal ini jelas perlu diverifikasi ulang, karena tahunnya yang hamper pasti tidak tepat, atau mungkin lebih merupakan tahun penulisan ulang yang dilakukan penerbitnya. Bandingkan dengan tahun wafatnya, 1363 H.). Tidak jelas penerbit apa yang pertama kali mencetak dan mendistribusikan. Tapi edisi terakhir (tanpa tahun) diterbitkan oleh took kitab H. Abdurrachim, sepertinya dengan mempertahankan bentuk awalnya, bahkan sepertinya hanya sekedar meng-copy bentuk aslinya. Sebagaimana umumnya beberapa kitab lainnya, l-Musamma bi al-Takhfif fi ‘Ilm al-Tashrif merupakan bahan bacaan praktis bagi siswa atau santri agar mampu memahami gramatika bahasa Arab, suatu kebutuhan yang mutlak diperlukan dalam penguasaan terhadap literatur klasik Islam.

4. Mandzumat fi Bayani Asbab al-Hifdzi wa al-Ghina

Naskah ini merupakan hal yang unik dan satu-satunya yang ditulis dalam bentuk nadzam dan disiapkan untuk segmen pembaca dalam tiga bahasa sekaligus: Arab, Indonesia, dan Sunda sekaligus yang disusun secara bergantian. Uniknya lagi, nadzam atau syair dalam ketiga bahasa yang dipakainya memiliki tingkat kualitas yang sama baiknya. Menarik bahwa naskah ini ditulis tidak sekedar untuk bimbingan keilmuan dan keagamaan, tetapi juga disusun sebagai media bagi pembangunan sebuah masjid. Dalam cover buku ini tertulis: “Inilah pemberian tahu, siapa yang beli ini Mandzumat akan didermakan separuh raganya untuk pendirian Masjid Kampung Soreang Menes…” Sesuai judulnya, nadzam ini berisi tentang kiat untuk menjadi pintar dan mudah menghafal serta doa dan usaha agar seseorang berhasil meraih kekayaan. Berukuran 17x12 cm, buku ini selesai ditulis pada 12 Jumadil Ula 1353 Hijriyah, atau sekitar 10 tahun sebelum wafatnya, dan diterbitkan oleh Toko Kitab Harun bin Ali Ibrahim, Pekojan, Betawi (Jakarta).

5. Kumpulan Lima Khuthbah

Buku atau kitab tipis berukuran saku ini (setebal 36 halaman) berisi tentang lima khutbah, yakni Idul Fitri (1-12), Idul Adha (12-19), Khutbah Jum’at (20-27), Khutbah Nikah (27-31), dan Talqin mayyit.(32-36). Dalam penelusuran naskah di lapangan, penulis mendapatkan 3 (tiga) versi penerbitan, yakni dalam bentuk tulis tangan, cetak batu, dan computerized. Ini mengindikasikan, sebagaimana para informan mengatakan, bahwa buku kumpulan lima khutbah ini merupakan buku penting dan digunakan oleh masyarakat berbagai kalangan dan dijadikan bahan rujukan khutbah di berbagai tempat. Berbeda dari buku-bukunya yang lain, kumpulan lima khutbah ini terbit dengan cetakan yang lebih modern. Teksnya tidak lagi berbentuk tulis tangan, tetapi sudah dalam bentuk cetakan. Ukuran fisik buku ini 14x10 cm, dengan tebal sekitar 40 halaman, dengan kondisi cover dan halaman pertama dan terakhir sudah hilang.

6. Dua Risalah Miftah Bab al-Islam fi Arkan al-Islam wa al-Iman dan Siqayat al-‘Athsyan fi Tajwid al-Qur’an

Buku berukuran sedikit lebih besar dari buku saku ini dua naskah, yakni tentang rukun Islam dan rukun Iman sertta tentang cara membaca al-Quran (tajwid). Naskah pertama berjudul Miftah Bab al-Salam (hal 1-15), sedangkan naskah kedua berjudul Siqayat al-‘Athsyan fi Tajwid al-Qur’an (hal 16-43). Sesuai penjelasan penuliskan pada baris penutup (hal 43), risalah terakhir yang membahas tentang tajwid merupakan terjemahan dari sebuah kitab berjudul Fathurrahman. Tetapi KH Abdurrahman bin Jamal sepertinya melakukan penerjemahannya secara bebas dengan mengambil hal-hal penting dan inti dari ki8tab tersebut. Seperti Awalan, buku kecil yang ditulis dalam bahasa jawi berbicara Sunda ini ditulis untuk memenuhi kebutuhan bahan bacaan bagi siswa madrasah dalam bidang tauhid dan tajwid yang memang masih langka saat itu. Mereka adalah tangan kanan raja Pajajaran bernama Pucuk Umun. Ketika Kerajaan Pajajaran ditaklukan oleh Sultan Maulana Hasanudin Putra Syarief Hidayatullah Sultan Cirebon, Pucuk Umun lari ke selatan, sedangkan Senopati Mas Jong dan Agus Ju menyerahkan diri kepada Sultan Maulana Hasanudin. Kemudian Mas Jong dan Agus Ju memeluk agama Islam serta mendapat kedudukanpenting sebagai senopati Kasultanan Banten dengan gelar kehormatan Ratu Bagus Ju dan Kimas Jong. Pada masa keruntuhan kasultanan Banten, para ulama/kyai dan guru agama keluarga besar kasultanan Banten meninggalkan istana masuk ke daerah pedalaman. Mereka menjauhkan diri dari keramaian kota, karena Kesultanan sudah berubah menjadi Keresidenan Banten yang dipimpin oleh seorang Residen Bangsa Belanda. Dengan berakhirnya kekuasaan Sultan Banten sebagai pusat dakwah islam, Para Ulama/Kiai, guru agama yang semula bertugas secara resmi sabagi perangkat Kesultanan, kini menjadi orang buronan yang selalu diawasi dan di kejar-kejar dianggap sabagai sumber malapetaka dan pemberontak terhadap pemerintahan Belanda, termasuk keturunan Mas Jong dan Agus Ju pergi mininggalkan istana Kesultanan masuk ke pedalaman di Lereng Gunung Haseupan tepatnya dusun Janaka dalam rangka menusun kembali kekuatan untuk bergerilya melawan Belanda, termasuk di antaranya K. Mas Djamal Al Djanakawi ayahnya KH. Mas Abdurahman.