Hikma Ma’ruf Asli dengan nama populer sejak SLTA hingga Kuliah, yakni, Ma'ruf Asli Bhakti.

Pendidikan:

SD Negeri 2 di Desa Ogowele, kini Desa Ogowele Buga Kecamatan Dondo, Lulus Tahun 1990

SMP Negeri 2 Lais Kecamatan Dondo Lulus Tahun 1993

STM Negeri Palu, Sulawesi Tengah Lulus Tahun 1996

Universitas Negeri Yogyakarta, masuk 1996, Lulus Tahun 2003

Pernah menjabat Wakil Ketua Umum PRIMA, Paratai Rakyat Adil Makmur, namun mengundurkan diri pada Bulan Mei 2023.

Sebelum bergabung membangun PRIMA, pernah menjabat Ketua DPD PAN Kabupaten Tolitoli jaman kepemimpinan Hatta Rajasa, Ketua Umum PAN.

Aktif di Media Online Kliknusantara.com sebagai owner dan pimpinan


Sosok ini dikenal di kalangan aktivis HMI (MPO) dan PII serta aktivis Pergerakan Mahasiswa 98 di Yogyakarta. Ia menyelesaikan studi sarjananya Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2003.

Awal masuk di bangku kuliah bersamaan awal resesi ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis moneter pada akhir 96 dan 97 membuatnya lebih banyak di luar kampus. Ia bergabung dengan sejumlah mahasiswa menyuarakan tuntutan reformasi. Gerakan anti KKN Rezim penguasa Suharto berhasil menumbangkan Penguasa Orde Baru itu dari kursi kepresidenan.

Sikap dan pemikirannya tak ada yang berubah sedari mahasiswa hingga saat ini. Sosok ini terus kritis terhadap realitas sosial dimana  masyarakat kecil yang selalu dilemahkan dan termarjinalkan.

Bahkan selesai menamatkan pendidikan Sarjananya di Kota Pelajar Yogyakarta, ia kembali ke kampung halamannya di Tolitoli, Sulawesi Tengah. Ia bergabung dan berinteraksi dengan anak-anak muda desa, petani, nelayan. Sambil memberikan pendampingan, pembinaan sekaligus mengadvokasi warga yang dinilainya butuh pembelaan.

Kehadirannya di desa mengamati dari dekat merasakan kehidupan nyata para petani. Pada kesimpulannya, petani sulit berkembang karena distribusi kebutuhan pokok petani dari hulu hingga hilir terjerat sistem ijon dan rente yang mengerak. Para rentenir mengendalikan kebutuhan dasar petani mulai dari benih, pupuk bahkan biaya operasional. Begitu juga saat panen, petani tak lagi memegang kendali pada proses panen. Semua dikendalikan para lintah darat.

Pada pokoknya dari mulai membajak sawah hingga selesai timbang hasil panen, sistem kerja tengkulak begitu keras mencekik, Alih-alih lunas hutang, petani memiliki saldo sekalipun dibuatkan cara agar tetap berhutang. Petani dibuat bekerja sepanjang tahun untuk para tengkulak meski mereka menggarap sawah atau lahan sendiri.

Sebuah sistem yang hanya dapat kita baca dalam sejarah penjajahan Belanda, namun begitu nyata di kehidupan petani kita hingga saat ini. Anehnya para tengkulak tak bekerja sendiri pun tak menikmati sendiri. Support sistem pemerintahan di daerah juga menyuburkan serta menggemukkan para tengkulak.

Oknum instansi pemerintahan yang mestinya direct menangani dengan petani tanpa perantara justru terjebak dengan permainan para lintah darat. Kebijakan pupuk bersubsidi misalnya, akan lebih mudah didapatkan dari gudang-gudang para tengkulak dari pada dari distributor resmi pemerintah.

Demikian pula  Alsintan (Peralatan Mesin Pertanian) akan lebih mudah terdistribusi kepada kelompok-kelompok tani yang memiliki relasi dengan para rentenir modern itu. Akan lebih hebat lagi jika rentenir itu memiliki kedekatan politik dengan penguasa politik di daerah.

Sistem kelola pertanian demikian menurutnya dipastikan membenamkan petani menjadi sapi perah para rentenir dan mitra kekuasaan yang dipegangnya. Semua itu menjadi catatan penting bagi Ma'ruf  saat menyertai para petani komoditi Padi, Jagung, Kakao, Kelapa, Cengkeh bahkan Cabai.

Dalam pandangannya, berinteraksi dengan para petani, peternak, nelayan, bahkan masyarakat lokal pedalaman mengolah rotan, penambang galian C, Penambang emas ilegal, adalah kuliah lanjutan yang nyata.

Langkah itu diambilnya sebagai upaya menghilangkan sindrom menara gading yang mengungkung para sarjana. Menurutnya para akademisi kampus hanya berpuas diri membicarakan petani dari literasi satu ke literasi lainnya memiliki pengalaman empirik. Makanya selalu gagal membaca realitas sosial, utamanya masyarakat kecil. Secara teoritik sangat terstruktur dan sistematis, namun saat dihadapkan dengan realitas justru tak sinkron.

Kenyang dengan pengalaman interaksi sosial hingga politik dan ekonomi di daerahnya, serta merasa tanggung jawab sosial keluarga sudah tuntas baginya Ayah dari Aziza, Akbar dan Alif ini kembali merantau meninggalkan kampung halaman.

Terhitung sejak November 2019, Ma'ruf  hijrah ke Jakarta. Ia memboyong istri dan anaknya menjajal Ibu Kota. Secara singkat ketika ditanya mengapa Jakarta? Dijawabnya sederhana, biar adil, dekat ke Sulawesi dimana asal usul dan orang tuanya dan dekat ke Sumatra (Palembang) kampung halaman Sang istri.

Seiring waktu dan Pandemi Covid-19 melanda, Jakarta memiliki warna yang berbeda baginya. Jakarta terasa lebih segar udaranya tak sumpek dengan polusi seperti yang ia rasakan sebelum-sebelumnya. Tak terasa ia kembali aktif di dunia gerakan setelah bertemu dengan kawan-kawan lamanya semasa ber-HMI. Oleh rekan-rekan sesama aktivis pergerakan mahasiswa 98, ia didaulat menjadi Koordinator Nasional Liga Eksponen 98.

Meski mengaku sempat canggung, apalagi levelnya nasional, namun atas interaksinya dengan rekan-rekannya sesama mantan aktivis, serta dorongan kawan dekatnya sesama Alumni HMI (MPO), membuatnya bisa percaya diri dan berani kembali tampil di dunia gerakan.

Bahkan lebih jauh dari itu, rekan-rekannya memediasi interaksi dengan aktivis Pro Demokrasi seperti PRD dan sejumlah pimpinan Aktivis Buruh nasional yang kemudian berkolaborasi dalam berbagai isu, termasuk perlunya pendirian partai alternatif.

Diskursus itu pun berlanjut hingga muncul ajakan berkolaborasi membangun Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA). Di partai yang dikomandani Agus Jabo Priyono (Ketua Umum PRD) ini, Ma'ruf di dapuk sebagai Wakil Ketua Umum.