Kehidupan Sang Buddha

sunting
 
Pertapa Siddharta Gautama dengan lima pendamping, yang nantinya membentuk Sangha pertama. Lukisan tembok di sebuah kuli di Laos

Tipitaka memberikan banyak keterangan mengenai kehidupan Sang Buddha, demikian juga dengan berbagai kitab seperti Lalitavistara Sutra yang memberikan keterangan-keterangan lain.

Siddharta Gautama, sebagai pendiri Buddhisme, lahir di kota Lumbini sekitar tahun 563 SM dan dibesarkan di Kapilavastu.[1]

Sesaat setelah kelahiran pangeran Siddharta, seorang bijak mengunjungi ayahnya, Raja Śuddhodana. Orang bijak tersebut mengatakan bahwa Siddharta akan menjadi seorang raja besar (chakravartin) atau orang suci (Sadhu) tergantung bila ia melihat kehidupan diluar tembok istana atau tidak. Sang Raja yang berkeinginan agar pangeran Siddharta menjadi seorang raja, Śuddhodana menjaga anaknya dari kenyataan hidup yang kurang berkenan. Menginjak dewasa, Pangerang Siddharta menikahi Yasodhara, yang menjadi ibu atas anaknya, Rahula, yang kemudian mejadi seorang bhikkhu.

Pada usia 29 tahun, Pangeran Siddharta berkelana diluar lingkungan kerajaan beberapa kali, bertolak belakang dengan keinginan sang ayah. Akan hal ini, ia mengetahui penderitaan rakyatnya melalui berbagai pertemuan dengan seorang tua renta, seorang berpenyakit, mayat yang membusuk dan seorang pertapa. Dalam lingkungan Buddhis, hal ini dikenal dengan sebutan "Empat Penglihatan", salah satu dari perenungan Pangeran Siddharta. Empat penglihatan pada akhirnya mendorong Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan kerajaan dan memulai pencarian spiritual guna pembebasan dirinya sendiri dari penderitaan dengan menjalani kehidupan sebagai pertapa yang hidup dari sedekah - kegiatan spiritual yang dihormati pada saat itu. Ia menemukan pendamping dengan tujuan spiritual yang sama dan pengajar-pengajar yang mengajarkannya berbagai macam meditasi, termasuk Jhāna.

Para pertapa melatih banyak bentuk peniadaan-diri, termasuk puasa yang keras. Suatu hari, setelah berpuasa sedemikian rupa hingga hampir meninggal dunia, Gautama menerima sedikit susu dan nasi dari seorang gadis desa bernama Sujata. Setelah pengalaman ini, ia menyimpulkan bahwa pelaksanaan tapa seperti berpuasa, menahan nafas, dan penyiksaan diri membawa sedikit sekali manfaat spiritual. Ia melihat hal tersebut sebagai tidaklah menguntungkan karena ketergantungan akan membenci diri-sendiri dan penyiksaan diri.[2] Ia meninggalkan kehidupan sebagai pertapa, dan memusatkan diri apda meditasi anapanasati (kesadaran pernafasan - perhatian pada proses masuk dan keluarnya pernafasan), dengan demikian menemukan apa yang Agama Buddha sebut sebagai Jalan Tengah, cara wajar antara kegemaran dan penyiksaan diri secara berlebihan.

Setelah menemukan Jalan Tengah, ia duduk di bawah sebuah pohon, yang dikenal juga dengan sebutan pohon Bodhi, disebuah tempat bernama Bodh Gaya di India, dan bersumpah untuk tidak bangkit sebelum mencapai Nirwana. Pada usia 35 tahun, setelah melakukan meditasi selama beberapa hari, ia mencapai tujuannya dan menjadi seorang Buddha. Setelah kebangkitan spiritualnya, ia menarik perhatian sekelompok pengikut dan membentuk perintah kebiaraan. Ia menghabiskan masa hidupnya mengajarkan Dhamma, berkelana menyusuri bagian timur laut dari anak benua India. Ia meninggal dunia pada usia 80 tahun (483 SM) di Kushinagara, India.

Para pelajar bertambah ragu untuk membuat pernyataan tak mendasar mengenai fakta sejarah akan kehidupan Siddharta Gautama.[3] Menurut Michael Carrithers, ketika terdapat alasan kuat untuk meragukan suatu riwayat tradisional, "garis besar kehidupan harus benar: lahir, dewasa, penyangkalan diri, mencari, sadar dan bebas, pengajaran, kematian." [4] Sebagian besar ahli sejarah sependapat bahwa ia hidup, mengajar dan membentuk ajaran kebiaraan, tetapi tidak senantiasa menerima sebagian besar dari biografinya.[5]

Konsep Agama Buddha

sunting

Kehidupan dan Dunia

sunting

Kamma: Sebab dan Akibat

sunting

Kelahiran Kembali

sunting

Lingkaran Samsara

sunting

Saṃsara atau sangsara dalam agama Buddha adalah sebuah keadaan tumimbal lahir (kelahiran kembali) yang berulang-ulang tanpa henti. Selain agama Buddha, kata samsara juga ditemukan dalam agama Hindu, Jainisme, serta beberapa agama terkait lainnya, dan merujuk kepada konsep reinkarnasi atau kelahiran kembali menurut tradisi filosofikal India.

Penderitaan: sebab dan solusi

sunting

Empat Kebenaran Mulia

sunting

Berdasarkan Tipitaka Pali, Empat Kebenaran Mulia merupakan ajaran pertama Sang Buddha setelah mencapai Nirwana. Hal ini seringkali dipertimbangkan sebagai inti ajaran Sang Buddha dan dipersembahkan selayaknya pemeriksaan medis dan resep penyembuhan - hal yang seringkali didapati pada saat itu:

  1. Kita mengetahui bahwa hidup adalah atau menuju kepada kesusahan / kekhawatiran (dukkha) dalam satu atau banyak hal.
  2. Penderitaan disebabkan oleh kebutuhan atau keterikatan dengan keinginan duniawi dalam segala hal. Hal ini seringkali dijelaskan sebagai ketergantungan yang tidak berdasar akan perasaan tertentu, terhadap diri sendiri, atau terhadap hal atau gelaja yang kita anggap sebagai penyebab kebahagiaan atau ketidak-bahagiaan.
  3. Penderitaan berakhir ketika keinginan berakhir, ketika seseorang terbebas dari keinginan. Hal ini dicapai dengan memutuskan segala khayalan, oleh karena itu mencapai keadaan Pencerahan (bodhi).
  4. Guna mencapai tingkat kebebasan ini dicapai dengan mengikuti jalan yang telah dipaparkan oleh Sang Buddha.

Dijelaskan dan diajarkan sebagai pengenalan akan Buddhisme oleh guru-guru Mahayana (contoh: Dalai Lama).

Berdasarkan pengertian lain oleh guru-guru dan ilmuwan Buddhis, yang belakangan ini dikelan oleh beberapa ilmuwan non-Buddhis dari negara Barat, "kebenaran" hanya merupakan suatu pernyataan, tetapi dikategorikan atau dampak dari fenomena duniawi, yang dibagi menjadi dua kategori:

  1. Penderitaan dan penyebab penderitaan
  2. Penghentian dan jalan menuju kebebasan dari penderitaan.

Akan tetapi, menurut Macmillan Encyclopedia of Buddhism[6] keempat hal ini adalah:

  1. Kebenaran Mulia mengenai penderitaan
  2. Kebenaran Mulia mengenai timbulnya penderitaan
  3. Kebenaran Mulia mengenai akhir penderitaan
  4. Kebenaran Mulia mengenai jalan menuju akhir dari penderitaan

Empat Kebenaran Mulia adalah ajaran lanjutan untuk mereka yang telah siap.

Jalan Utama Berunsur Delapan

sunting
 

Jalan Utama Berunsur Delapan, bagian keempat dari Empat Kesunytaan Mulia Sang Buddha, adalah jalan menuju lenyapnya Penderitaan (dukkha). Kedelapan unsur ini dimulai dengan kata Samma (dalam bahasa Pali) atau samyak (dalam bahasa Sansekerta) yang seringkali diartikan sebagai benar, sesuai, sempurna dan baik.

  • Pañña (prajñā); kebijaksanaan yang memurnikan pikiran guna mencapai pengertian spiritual akan sifat alami segala sesuatunya, meliputi:
  1. sammä-ditthi (samyak dṛṣṭi); mengerti keberadaan sebagaimana adanya, dan bukan seperti yang terlihat
  2. sammä-sankappa (samyak saṃkalpa); perhatian bukan pada hal yang mementingkan diri sendiri.
  • Sīla (Sila); tata-krama atau moral yang benar, yang menghindari perbuatan yang tidak benar. Meliputi:
  1. sammä-väcä (samyak vāc); berbicara dengan benar dan bukan dengan cara yang tidak benar
  2. sammä-kammanta (samyak karman); tidak bertindak merugikan / menyusahkan
  3. sammä-ājīva (samyak ājīvana); melakukan pekerjaan atau menjalani kehidupan yang tidak merugikan
  • Samādhi (Samādhi); ketaatan batin yang dibutuhkan guna memahami pikiran diri sendiri. Hal ini dilakukan melalui berbagai pelatihan perenungan dan meditasi, yang meliputi:
  1. sammä-väyäma (samyak vyāyāma); berupaya untuk memperbaiki
  2. sammä-sati (samyak smṛti); melihat segala sesuatunya dengan kesadaran penuh, memperhatikan keadaan diri sendiri tanpa keinginan atau ketidak inginan.
    1. samādhi (samādhi): correct meditation or concentration,[47] explained as the first 4 dhyānas Perhatian Benar (sammä-sati)
  3. sammä-samädhi (samyak samādhi); meditasi atau pemusatan perhatian yang benar, sebagaimana dijelaskan pada empat dhyānas.

Ada dua cara dalam melatih Jalan Utama Berunsur Delapan, baik dengan pengembangan keseluruhan (kedelapan unsur dilatih secara paralel atau bersamaan), atau tingkatan bertahap melalui satu unsur guna memulai tahapan berikut.

Berdasarkan sumber awal (Empat Nikaya), Jalan Utama Berunsur Delapan tidak diajarkan kepada orang awam, dan sedikit sekali diketahui oleh beberapa negara di Asia Timur.

Jalan Tengah

sunting

Sebuah aturan pemandu yang penting dalam ajaran Agama Buddha adalah Jalan Tengah, yang dikatakan telah ditemukan kembali oleh Siddharta Gautama sebelum ia mencapai pencerahan (bodhi). Jalan Tengah memiliki beberapa definisi:

  1. Ajaran mengenai ketidak-berlebihan: sebuah langkah yang wajar, jauh dari kegemaran atau penyiksaan diri yang berlebihan
  2. Dasar penengah antara pandangan metafisik tertentu (contoh, hal yang sesungguhnya ada atau tiada) [7]
  3. Suatu penjelasan akan Nirwana (pencerahan sempurna), suatu keadaan dimana terdapat kejelasan bahwa seluruh dualitas yang ada di bumi adalah delusi.
  4. Suatu istilah lain akan kehampaan, sifat sesungguhnya seluruh gejala (dalam Ajaran Mahayana), kurangnya keberadaan hal yang tidak dapat dipisahkan, yang menghindari pengertian berlebih akan keabadian dan nihilisme atau kurangnya keberadaan dan ketiadaan.

Beragam Kenyataan

sunting

Para pengikut Agama Buddhia telah menghasilkan teori, filosofi dan pandangan hidup yang cerdas dan luar biasa (sebagai contoh, Abhidharma, filosofi Buddhis dan Kenyataan dalam pengertian Buddhisme). Beberapa aliran dalam Buddhisme mencegah pelajaran secara doktrinal, sedangkan yang lain menilainya sebagai suatu keharusan, tetapi sebagian besar memberikan perhatian tertentu, paling tidak untuk sekumpulan orang pada tingkatan tertentu. Pengertian akan Kebebasan (Nirwana), tujuan pengikut Agama Buddha, sangat berhubungan dengan pengertian benar akan kenyataan. Dalam pengembangan sifat sejati diri dan segala gejala, seseorang terbebaskan dari lingkaran kesusahan (Dukkha) dan kelahiran kembali yang tidak terencana (Samsara).

Ketidak-kekalan, derita dan tanpa-inti

sunting

Ketidak-kekalan adalah satu dari Tiga Corak Kehidupan. Istilah ini menggambarkan pendapat Agama Buddha bahwa segala hal atau gejala yang berkondisi (materi atau pengalaman) adalah tidak tetap, senantiasa berubah dan tidak kekal. Segala sesuatu yang kita alami melalui indera kita terbentuk dari bagian-bagian, yang keberadaannya terbentuk dari kondisi-kondisi luar. Segala sesuatu berubah senantiasa, demikian juga dengan kondisi dan hal itu sendiri berubah tanpa henti. Segala hal berubah menjadi sesuatu, dan berhenti. Tidak ada yang abadi.

Berdasarkan hukum ketidak-kekalan, sejalan dengan usia, tubuh manusia mengalami perubahan-perubahan, lingkaran kelahiran kembali (samsara), dan dalam hal kematian. Hukum ini juga menyatakan bahwa karena segala sesuatu adalah tidak abadi, keterikatan akan hal ini adalah tidak berguna dan akan menuntun kepada kesusahan (Dukkha)

Derita, walaupun dukkha seringkali diterjemahkan sebagai "penderitaan", arti filosofisnya lebih menyerupai "kegelisahan", selayaknya berada dalam keadaan terganggu. Dengan demikian, "penderitaan" merupakan artian yang terlalu sempit untuk "konotasi emosional yang negatif" (Jeffrey Po), [8] yang dapat memberikan kesan akan pandangan Buddhis yang kurang yakin, tetapi Agama Buddha bukanlah mengenai keyakinan atau ketidak-yakinan, tetapi kenyataan. Dengan demikian, banyak dari naskah atau tulisan-tulisan Agama Buddha, kata Dukkha dibiarkan demikian adanya, tanpa pemberian arti, guna memberikan arti yang lebih luas.

Tanpa Inti; dalam filosofi India, pengertian akan diri disebut ātman (yang lebih mengarah kepada, "Jiwa" atau diri-metafisik), yang merujuk pada keadaan yang tidak berubah, bersifat tetap lewat pemahaman akan keberadaan. Agama Buddha tidak menerima pemahaman akan ātman, pada penekanan ketidak kekalan, tetapi kemampuan untuk berubah. Oleh karena itu, seluruh pemahaman akan diri secara keseluruhan adalah tidak benar dan terbentuk di alam ketidak-tahuan.

Dalam berbagai "Nikaya", kata "anatta" bukan berarti pernyataan metafisik, tetapi sebagai pendekatan untuk mendapatkan pembebasan dari penderitaan. Sesungguhnya, Sang Buddha meninggalkan kedua pendekatan metafisik "Saya memiliki diri" dan "Saya tidak memiliki Diri" sebagai pandangan yang nantinya akan mengikat seseorang kepada penderitaan.[9] Dengan mengamati secara terus menerus perubahan pembentuk fisik atau mental ("skandha") dari seseorang atau suatu benda, seorang akan berkesimpulan bahwa tidak ada bagian ataupun orang itu (secara keseluruhan) termasuk dalam Diri.

Hukum sebab musabab

sunting

Ajaran Paticcasamuppada yang seringkali diartikan sebagai "Hukum Sebab Musabab" merupakan ajaran terpenting dalam Agama Buddha. Hal terpenting yang diajarkan adalah dua belas Nidana (yang berarti penyebab, dasar atau sumber), yang menjelaskan secara terperinci kesinambungan lingkaran penderitaan akan kelahiran kembali (Samsara). Dua belas Nidana menjelaskan hubungan sebab-akibat antara hal-hal dalam lingkaran keberadaan, yang masing-masing berhubungan dengan yang lain:

  1. Avidyā : ketidaktahuan / kebodohan, terutama dalam hal spiritual
  2. Saṃskāras : bentuk-bentuk perbuatan / Kamma
  3. Vijñāna : kesadaran
  4. Nāmarūpa : Batin dan Jasmani
  5. Ṣaḍāyatana : Enam indera, mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran
  6. Sparśa : Kesan-kesan
  7. Vedanā : Perasaan
  8. Tṛṣṇā : Keinginan / kehausan, tetapi dalam Buddhisme seringkali diartikan sebagai keinginan duniawi
  9. Upādāna : Kemelekatan, kata ini juga berarti bahan bakar, yang menghidupi lingkaran kelahiran kembali
  10. Bhava : Proses tumimbal lahir
  11. Jāti : Kelahiran kembali
  12. Jarāmaraṇa : Usia tua dan kematian, dan juga śokaparidevaduḥkhadaurmanasyopāyāsa (kKelapukan, kematian, sakit, kesedihan dan penderitaan)

Mahluk yang memiliki perasaan senantiasa menderita melalui samsara, hingga mereka terbebaskan dari penderitaan ini denagn mencapai Nirwana. Dimana tidak terdapatnya Nidana yang pertama, ketidaktahuan/kebodohan, yang menjadi pencetus ketidak beradaan yang lainnya.

Kesunyataan

sunting

Speculation versus direct experience: Buddhist epistemology

sunting

Pembebasan

sunting

Nirwana

sunting

Buddhas

sunting
Theravada
sunting
Mahayana
sunting
Buddha eras
sunting

Bodhisattva

sunting

Aliran Mahayana menekankan, dan bahkan, menyarankan siapa saja untuk mengikuti jejak seorang Bodhisattva.

Bodhisattva dapat berarti baik "seseorang (sattva) yang tercerahkan (bodhi)" atau, berdasarkan ejaan Sansekerta satva, "seseorang dengan pemikiran luar biasa (satva) untuk pencerahan (bodhi)". Dengan arti lain, "Seseorang yang Bijaksana". [10]

Dalam Agama Buddha, kata Bodhisattva dapat diartikan dalam berbagai artian berbeda. Sumber dalam aliran Theravada dan Mahayana menganggap seorang Bodhisattva adalah seseorang yang menuju kepada jalan kebuddhaan, sementara berdasarkan sumber lain dalam aliran Mahayana menyatakan bahwa seorang Bodhisattva meninggalkan kebuddhaan,[11][12] tetapi terlebih dalam aliran Mahayana, seorang Bodhisattva dianggap sebagai seseorang yang menunda masuk ke Nirvana, dengan belas kasih-nya, guna menolong umat manusia mencapai pencerahan. Oleh karena itu, seorang Bodhisattva adalah seseorang yang telah mencapai tingkatan pencerahan tertentu dan menggunakan kebijaksanaan mereka untuk membantu mahluk hidup lain mencapai pembebasan diri mereka sendiri.

Hal ini dilihat oleh aliran Theravada sebagai suatu pilihan, akan tetapi Mahayana menyarankan semua orang untuk mengikuti jejak dan janji Bodhisattva. Dengan janji-janji ini, seseorang berjanji berupaya membantu pencerahan sempurna akan mahluk hidup lain.

Sebuah kalimat terkenal oleh Shantideva (Buddhis dari India - abad ke 8), kutipan favorit Dalai lama, merangkum maksud seorang Bodhisattva (Bodhicitta) sebagai berikut:

Menurut Mahayana, seorang Bodhisattva melakukan enam kesempurnaan: berbagi, berkelakuan baik, sabar, upaya yang menyenangkan, memusatkan pikiran dan kebijaksanaan.

Practice

sunting

Devotion

sunting

Berlindung pada Tiga Mustika

sunting

Pada awalnya, langkah pertama yang harus diambil oleh kebanyakan kumpulan pengikut ajaran Sang Buddha adalah berlindung pada Tiga Mustika (Pali: Tiratana ; Sansekerta : Triratana) sebagai landasan ajaran suatu kepercayaan. Dalam Majjhima Nikaya terdapat penjelasan mengenai ajaran untuk berlindung demi seorang anak atau bahkan anak yang belum dilahirkan, yang dikenal juga oleh sebagian besar pengikut sebagai naskah terdahulu. Agama Buddha Tibet terkadang menambah "Berlindung pada Lama" sebagai perlindungan keempatnya.

Tiga Mustika tersebut adalah:

  • Buddha. Gelar yang diberikan kepada seseorang yang telah mencapai Pencerahan sempurna. Kata Buddha sedndiri dapat diterjemahkan sebagai suatu pemahaman selain dari pada orang tertentu: Kebijaksanaan sempurna yang mengerti akan Dhamma dan melihat kenyataan dalam bentuk sesungguhnya. Dalam Mahayana, Buddha dapat dilihat sebagai Perlindungan Tertinggi: 'Buddha adalah Perlinddung Satu-satunya. Buddha adalah Kekal, Abadi, Tidak dapat dibinasakan dan Perlindungan Mutlak.'
  • Dhamma. Ajaran atau hukum sejati, seperti yang diuraikan oleh Sang Buddha. Dapat juga, dalam tradisi Mahayana, arti tambahan dari Kebenaran yang utama dan mendukung yang tidak dapat dipisahkan dari Sang Buddha.
  • Sangha. Persamuan pelaksanaan kebiaraan atau mereka yang telah mencapai satu dari Empat Tingkatan Pencerahan.

Berdasarkan berbagai kitab, Sang Buddha memperkenalkan dirinya sebagai contoh. Dhamma memberikan perlindungan dengan memberikan petunjuk untuk pengurangan penderitaan dan pencapaian Nirwana. Sangha diartikan sebagai tempat perlindungan dengan mempertahankan ajaran-ajaran Sang Buddha yang sejati dan menyediakan teladan lebih lanjut bahwa kebenaran akan ajaran Sang Buddha dapat dicapai.

Buddhist ethics

sunting

Monastic life

sunting

Meditation

sunting

Samādhi (meditative cultivation): samatha meditation

sunting
In Theravāda
sunting

Prajñā (Wisdom): vipassana meditation

sunting

Zen (禅), berasal dari bahasa Jepang, atau disebut Ch'an (dalam bahasa Cina), berasal dari istilah dalam bahasa Sansekerta dyana (yang berarti "meditasi"). Zen adalah bagian dari Agama Buddha yang menjadi terkenal di Cina dan Jepang, yang menggunakan meditasi sebagai penekanan khususnya. Berbeda dengan aliran lain, Zen lebih menitik-beratkan pada terobosan spiritual kepada kebenaran sejati daripada pemahaman akan berbagai kitab-suci.

Zen dibagi kedalam dua sekolah utama:

  • Rinzai (臨済宗), yang menggunakan pertolongan sebuah Koan (公案, sebuah teka-teki atau kuiz yang digunakan dalam meditasi) dalam melaksanakan meditasi sebagai sarana penerobosan spiritual,
  • dan Soto (曹洞宗), yang juga menggunakan Koan, lebih memusatkan perhatian kepasa Shikantaza atau "hanya duduk".


Ajaran Zen seringkali bertentangan, guna melonggarkan pegangan terhadap ego dan mempermudah pemahaman diri akan Diri-Sesungguhnya atau Diri-Tak-Berbentuk, yang sama seperti Sang Buddha sendiri. Menurut Guru Zen, Kosho Uchiyama, ketika pemikiran dan pemusatan diri pada "saya" terlampaui, Kebangkitan akan Diri yang sejati timbul: 'Ketika kita melepaskan pemikiran-pemikiran dan bangun akan kenyataan kehidupan yang bekerja melampaui hal tersebut, kita menemukan Diri yang hidup dalam dunia kehidupan tidak bercabang (sebelum pemisahan menjadi dua) yang melampaui seluruh mahluk hidup dan segala keberadaan.'[13] Oleh karena itu, pemikiran dan pemahaman tidak boleh dibiarkan membatasi atau mengikat. Walau bagaimanapun, Zen tidak mengabaikan kitab-kitab suci[14].

Vajrayana dan Tantrayana

sunting

Sejarah

sunting

Filosofi

sunting

Agama Buddha di India

sunting

Sekte Awal

sunting

Sekte awal Budhisme merupakan tahapan awal dari Buddhisme secara keseluruhan, dikenal oleh hampir seluruh penganut Agama Buddha. Kitab utamanya adalah Vinaya Pitaka dan keempat Nikaya yang utama atau Agama

Beberapa ajaran dasar terlihat diberbagai kitab-kitab awal, sehingga sebagian besar pengikut menyimpulkan bahwa Sang Buddha pasti mengajarkan hal yang sama sebagai berikut:[15]

Sebagian penganut kurang setuju, dan telah mengajukan banyak pendapat lain.[16][17]

Early Buddhist schools

sunting

Early Mahayana Buddhism

sunting
Origins of Mahayana
sunting
Earliest Mahayana Sutras
sunting

Late Mahayana Buddhism

sunting

Vajrayana (Esoteric Buddhism)

sunting

Buddhism in other countries

sunting

Buddhism today

sunting

Schools and traditions

sunting

Theravāda

sunting

Mahayana

sunting

Mulai dari abad ke 5 Masehi, Ajaran Mahayana sudah berkembang di India, pada era kerajaan Gupta. Pusat Ajaran Mahayana telah pula didirikan, salah satu pusat terpenting adalah Universitas Nalanda di Timur-Laut India.

Mahayana mengenal seluruh atau sebagian dari Mahayana Sutra. Beberapa dari Sutra-sutra ini merupakan pembuktian akan Sang Buddha sendiri, dan kepercayaan akan penyembahan akan sutra-sutra ini dijelaskan dalam beberapa sutra (contoh: Sutra Teratai dan Mahaparinibbana Sutra) yang menjadi dasar pencerahan mendatang akan kebuddhaan (Buddhahood) itu sendiri.

Agama Buddha yang berada di Asia Timur, yang dilakukan di Cina, Jepang, Korea, Singapura, beberapa daerah di Rusia dan sebagian besar dari Vietnam. Agama Buddha yang dianut di Tibet, daerah Himalaya, dan Mongolia juga berasal dari Ajaran Mahayana, yang memiliki penjelasan lebih lanjut. Agama Buddha di wilayah Timur memiliki banyak macam aliran, beberapa dari daerah ini berkumpul menjadi satu kesatuan bentuk Agama Buddha. Akan tetapi, di negara Jepang perbedaan ini membentuk sebutan yang berbeda. Lima bentuk utama adalah sebagai berikut.

  • Nichiren, terutama di Jepang
  • Pure Land
  • Shingon, bentuk dari Vajrayana
  • Tendai
  • Chan / Zen

Di Korea, hampir seluruh Aliran Agama Buddha merupakan bagian dari Aliran Chogye, yang secara resminya merupakan Son (Zen), tetapi dengan unsur kokoh dari tradisi lain.[18]

Vajrayāna

sunting

Buddhist texts

sunting

Pāli Tipitaka

sunting

Mahayana Sutras

sunting

Comparative studies

sunting
sunting

Lihat pula

sunting

Footnotes

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ (Inggris) UNESCO, Lumbini is the birthplace of the Lord Buddha, Gethin Foundations, p. 19, which states that in the mid-3rd century BCE the Emperor Ashoka determined that Lumbini was the Buddha's birthplace and thus installed a pillar there with the inscription: "... this is where the Buddha, sage of the Śākyas, was born."
  2. ^ (Inggris) Wild mind Buddhist Meditation, The Buddha’s biography: Spiritual Quest and Awakening
  3. ^ (Inggris)Lopez (1995). Buddhism in Practice. Princeton University Press. p. 16.
  4. ^ (Inggris)Carrithers, Michael. "The Buddha," in the Oxford University paperback Founders of Faith, 1986, p. 10.
  5. ^ Macmillan Encyclopedia of Buddhism Vol. 1, p. 352
  6. ^ 2004, Volume One, page 296
  7. ^ (Inggris) Kohn, Shambhala, pp. 131,143
  8. ^ Jeffrey Po, “Is Buddhism a Pessimistic Way of Life?”
  9. ^ Thanissaro Bhikkhu,The Not-Self Strategy, See Point 3 – Pandangan Bhikkhu Thanissaro atas Sabbasava Sutta.
  10. ^ (Inggris) Coomaraswamy, Ananda (1975). Buddha and the Gospel of Buddhism. Boston: University Books, Inc.. p. 225.
  11. ^ Cook, Hua-yen Buddhism, Pennsylvania State University Press, 1977, p. 110f
  12. ^ Macmillan Encyclopedia of Buddhism. Vol. 1, page 351
  13. ^ (Inggris) Kosho Uchiyama, Opening the Hand of Thought: Approach to Zen, Penguin Books, New York, 1993, p. 98
  14. ^ Harvey, Introduction, pp. 165f
  15. ^ (Inggris)Mitchell, Buddhism, Oxford University Press, 2002, p. 34 & table of contents
  16. ^ (Inggris)Skorupski, Buddhist Forum, vol I, Heritage, Delhi/SOAS, London, 1990, p. 5; Journal of the International Association of Buddhist Studies, vol 21 (1998), part 1, pp. 4, 11
  17. ^ (Inggris)see also the book Bones, Stones, and Buddhist Monks, University of Hawai'i Press, by Dr Gregory Schopen
  18. ^ (Inggris)Macmillan Encyclopedia of Buddhism (Volume One), pages 430, 435

Online

sunting

Pranala luar

sunting