Rabies

penyakit infeksi virus pada sistem saraf yang mematikan
(Dialihkan dari Penyakit Anjing Gila)

Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit akibat infeksi virus rabies yang menimbulkan radang otak pada mamalia, termasuk manusia. Penyakit ini sangat mematikan dan bersifat zoonotik atau menular dari hewan ke manusia. Penularan terjadi saat partikel virus yang berada dalam air liur hewan terinfeksi—seperti anjing, kucing, monyet, kelelawar, dan rakun—berhasil masuk ke dalam tubuh manusia atau hewan peka lainnya, misalnya melalui gigitan atau cakaran, atau saat air liur tersebut mengenai mata, mulut, hidung, atau kulit yang terluka. Jangka waktu antara paparan virus dan timbulnya gejala biasanya berkisar dari satu hingga tiga bulan, tetapi dapat bervariasi dari kurang dari satu minggu hingga lebih dari satu tahun, tergantung pada jarak yang harus ditempuh virus dari saraf tepi ke saraf pusat. Gejala awal dapat berupa demam dan kesemutan di lokasi paparan. Gejala ini diikuti oleh satu atau beberapa gejala-gejala berikut: mual, muntah, kejang-kejang, eksitasi yang tidak terkendali, ketakutan terhadap air (hidrofobia), ketidakmampuan untuk menggerakkan bagian tubuh, kebingungan, dan kehilangan kesadaran. Begitu virus mencapai otak dan memicu gejala saraf, penderita rabies hampir selalu mengalami kematian, apa pun perawatan dan pengobatannya.

Rabies
Seorang penderita rabies yang sedang dirawat, 1958
Informasi umum
Nama lainPenyakit anjing gila
SpesialisasiPenyakit infeksi
TipeUrban, silvatik
PenyebabVirus rabies
Aspek klinis
Gejala dan tandaDemam, gangguan saraf, kejang, hidrofobia
Awal munculUmumnya 2–3 bulan (pada manusia) dan 6 bulan (pada hewan) setelah virus masuk melalui gigitan dan cakaran hewan penular rabies
DiagnosisFAT, IHC, RT-PCR
Tata laksana
PencegahanPemberian vaksin dan imunoglobulin rabies
PerawatanObat penenang, analgesik
PrognosisHampir selalu berakhir dengan kematian jika tanda klinis telah muncul
Distribusi dan frekuensi
Kematian59.000 per tahun

Secara epidemiologis, terdapat dua siklus rabies, yaitu rabies urban yang bersirkulasi di tengah masyarakat dengan hewan domestik sebagai reservoir utama dan rabies silvatik yang bersirkulasi di alam liar dengan satwa liar sebagai reservoir utama. Di negara-negara dengan rabies urban, lebih dari 99% kasus rabies pada manusia disebabkan oleh gigitan anjing. Di Benua Amerika, gigitan kelelawar merupakan sumber infeksi rabies yang paling banyak dilaporkan, sedangkan gigitan anjing berkontribusi pada kurang dari 5% kasus.

Program pengendalian rabies, terutama dengan vaksinasi anjing, telah menurunkan risiko rabies yang bersumber dari anjing di berbagai wilayah di dunia. Imunisasi rabies dianjurkan bagi individu berisiko tinggi, misalnya orang-orang yang pekerjaannya melibatkan anjing dan kelelawar atau orang yang menghabiskan waktu yang lama di wilayah-wilayah dengan kasus rabies yang tinggi. Pada orang yang diduga telah terpapar virus rabies, mencuci luka gigitan dan cakaran selama 15 menit dengan sabun dan air, iodin povidon, atau detergen dapat mengurangi jumlah partikel virus dan mungkin dapat meminimalkan risiko penularan. Pemberian vaksin rabies dan terkadang imunoglobulin rabies dapat mencegah penyakit ini secara efektif jika intervensi tersebut dilakukan sebelum gejala rabies muncul.

Rabies ditemukan di semua benua, kecuali Antarktika. Penyakit ini menyebabkan sekitar 59.000 kematian di seluruh dunia per tahun. Lebih dari 95% kematian tersebut terjadi di Afrika dan Asia dan sekitar 40% kematian terjadi pada anak berusia kurang dari 15 tahun. Sejumlah negara, termasuk Australia dan Jepang, serta sebagian besar Eropa Barat, tidak memiliki kasus rabies urban pada anjing. Banyak pulau-pulau di Samudra Pasifik tidak memiliki kasus rabies sama sekali.

Penyebab

sunting
 
Ilustrasi tiga dimensi bentuk virus rabies.

Rabies disebabkan oleh virus rabies (nama ilmiah: Lyssavirus rabies), sebuah spesies virus yang digolongkan dalam filum Negarnaviricota, kelas Monjiviricetes, ordo Mononegavirales, keluarga Rhabdoviridae, dan genus Lyssavirus.[1] Virus ini dikelompokkan dalam grup V dalam sistem klasifikasi Baltimore, yaitu virus RNA untai tunggal dengan sense negatif. Karakter Rhabdoviridae yaitu beramplop, berbentuk seperti peluru, dan memiliki panjang 180 nm dan diameter 75 nm.[2] Selain virus rabies (RABV), anggota Lyssavirus lainnya juga dapat mengakibatkan penyakit pada kelelawar yang serupa dengan rabies.

Hewan peka

sunting

Inang bagi virus rabies adalah mamalia. Berdasarkan siklus epidemiologisnya, rantai penularan rabies digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu urban dan silvatik. Rabies bentuk urban bersirkulasi di tengah masyarakat dengan hewan domestik, terutama anjing, sebagai reservoir utama.[3] Siklus ini ditemukan di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.[3] Sementara itu, rabies bentuk silvatik merupakan rabies yang bersirkulasi di alam liar, dengan hewan seperti kelelawar, rakun, dan rubah sebagai reservoir utama.[4] Rabies silvatik ditemukan di Amerika Utara dan Australia. Kombinasi keduanya juga bisa terjadi di beberapa wilayah di dunia.[3]

Penularan

sunting
 
Rubah merah (Vulpes vulpes), salah satu hewan penular rabies.

Hewan penular rabies

sunting

Walaupun semua mamalia rentan terhadap rabies, tetapi hanya sejumlah hewan yang dapat menularkan virus rabies. Kelompok ini disebut hewan penular rabies (HPR). Jenis HPR bervariasi pada berbagai letak geografis, misalnya HPR di Amerika Utara ialah rubah, sigung, rakun, dan kelelawar pemakan serangga; di Amerika Selatan yaitu anjing dan kelelawar vampir; di Eropa yaitu rubah dan kelelawar; di Afrika yaitu anjing, garangan, dan antelop; di Timur Tengah yaitu serigala dan anjing, dan di Asia yaitu anjing.[5] Secara garis besar, hewan pemakan daging (ordo karnivora) dan kampret (subordo microchiroptera) merupakan reservoir virus rabies yang umum di seluruh dunia.[6] Sementara jenis hewan yang dikategorikan sebagai HPR di Indonesia yaitu anjing, kucing, kera, dan hewan sebangsanya (anggota ordo karnivora dan primata).

Cara penularan

sunting

Dalam tubuh individu terinfeksi, virus ditemukan di air liur serta jaringan otak dan jaringan saraf.[7] Individu lain yang sehat dapat terinfeksi saat virus rabies masuk ke dalam tubuhnya melalui kulit yang terluka atau membran mukosa di mata, hidung, dan mulut.[7] Cara penularan yang paling sering terjadi adalah gigitan hewan terinfeksi. Di Indonesia, sebagian besar penularan rabies pada manusia terjadi akibat gigitan anjing (98%) dan sisanya oleh kera dan kucing.[8] Selain gigitan, virus rabies juga bisa masuk ke dalam tubuh melalui luka cakaran hewan apabila pada cakar hewan terdapat air liur yang mengandung virus. Partikel virus dapat ditemukan pada air liur sejak beberapa hari sebelum hewan menunjukkan tanda klinis rabies.[9]

Meskipun sangat jarang terjadi, rabies bisa ditularkan secara aerosol dengan cara menghirup udara yang tercemar virus rabies. Pada tahun 1962 dilaporkan kasus rabies pada dua orang penjelajah gua setelah mereka memasuki Gua Frio di Texas, Amerika Serikat yang ditempati kelelawar terinfeksi.[10] Mereka diduga tertular lewat udara karena tidak ditemukan sama sekali adanya tanda-tanda bekas gigitan kelelawar.[10]

Hingga saat ini belum ada bukti bahwa konsumsi hewan terinfeksi dapat menyebabkan penyakit rabies. Namun, orang yang menyembelih dan mengolah anjing dan kucing untuk dimakan dapat terinfeksi rabies. Secara terpisah, dua orang di Vietnam tertular rabies setelah masing-masing mengolah anjing yang telah mati karena kecelakaan lalu lintas dan kucing yang sedang sakit.[11] Beberapa pekan setelahnya, kedua orang ini meninggal dunia dengan hasil uji molekuler (PCR) positif rabies.[11] Orang lain yang mengonsumsi daging anjing dan daging kucing yang telah dimasak tetap sehat.[11]

Gejala dan tanda klinis

sunting
 
Seorang penderita rabies pada tahun 1959

Setelah virus rabies masuk ke dalam tubuh, penyakit rabies berjalan melalui lima fase atau stadium: (1) masa inkubasi (2) fase prodomal; (3) fase neurologis; (4) koma; dan (5) kematian.[12][13] Pendapat lain membagi fase penyakit rabies menjadi tiga, yaitu prodomal, eksitasi, dan paralisis.[14]

Masa inkubasi

sunting

Lamanya masa inkubasi (periode sejak virus masuk ke dalam tubuh hingga timbulnya manifestasi klinis) cukup bervariasi, tergantung pada jumlah virus yang masuk melalui luka, jumlah dan kedalaman luka, jarak luka dengan susunan saraf pusat, dan perlakuan luka setelah gigitan.[15] Pada manusia, masa inkubasi bervariasi mulai dari 5 hari hingga beberapa tahun (pada umumnya 2–3 bulan; sekitar 2–3% kasus memiliki masa inkubasi di atas 1 tahun, dengan kasus spesial di atas 8 tahun).[16][17][18] Sebagian besar hewan terinfeksi akan menunjukkan tanda rabies dalam 6 bulan setelah terpapar virus sehingga Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) menetapkan 6 bulan sebagai masa inkubasi penyakit rabies pada hewan.[19]

Fase prodromal

sunting

Pada fase prodomal (awal), gejala yang timbul tidak khas dan menyerupai infeksi pada umumnya seperti demam, gangguan pencernaan, dan mialgia.[12]

Fase neurologis

sunting
Penderita rabies yang mengalami hidrofobia

Pada fase ini, tanda-tanda gangguan saraf mulai terlihat. Penyakit rabies—baik pada manusia maupun hewan—dapat termanifestasi dalam bentuk ganas (furious rabies), bentuk paralitik (dumb rabies), maupun bentuk nonklasik sebagaimana berikut:[12]

  • Bentuk ganas terjadi pada sekitar 85% kasus yang ditandai dengan ensefalitis. Penderita mungkin kejang dan menunjukkan ketakutan pada air (hidrofobia) dan pada udara (aerofobia). Hidrofobia terutama timbul akibat rasa sakit dan kejang saat hendak menelan air. Selain gejala saraf, penderita bisa menjadi agresif, hiperaktif, dan hipersalivasi.
  • Bentuk paralisis terjadi pada kurang dari 20% kasus. Penderita mengalami kelumpuhan, kelemahan umum, dan gangguan mental.
  • Bentuk yang dianggap nonklasik jarang terjadi. Umumnya terkait dengan kejang dan gejala motorik dan sensorik yang lebih dalam.

Koma dan kematian

sunting

Koma biasanya dimulai 10 hari setelah fase sebelumnya.[12] Penderita mungkin mengalami hidrofobia berkelanjutan, periode apnea berkepanjangan, dan kelumpuhan yang lembek. Setelah koma, sebagian besar pasien akan mati dalam 2–3 hari tanpa perawatan suportif akibat gagal jantung.[12] Dengan perawatan suportif, hampir nol pasien yang mampu selamat dari rabies.

Penelitian di Bali pada 122 kasus gigitan HPR menunjukkan bahwa lokasi gigitan anjing rabies terbanyak ditemukan di kaki (52%), tangan (32%), badan (6%), dan kepala (4%).[20] Rerata kematian timbul setelah 19 hari pada gigitan wajah, 83 hari pada badan, 122 hari pada tangan, dan 166 hari pada kaki.[20] Makin dekat lokasi gigitan dengan kepala, maka makin cepat waktu kematian setelah gigitan.[20]

Diagnosis

sunting
 
Spesimen kepala HPR untuk uji laboratorium

Diagnosis terhadap hewan dan manusia yang diduga menderita rabies perlu dilakukan sesegera mungkin untuk menentukan penanganan selanjutnya. Metode standar untuk mendiagnosis penyakit ini adalah uji antibodi fluoresen (FAT), suatu uji berbasis imunohistokimia yang direkomendasikan oleh WHO.[21][22] Prinsipnya adalah ikatan antara antigen rabies dan antibodi spesifik yang telah dilabel dengan senyawa fluoresens yang akan berpendar sehingga memudahkan deteksi. Spesimen yang dibutuhkan oleh pengujian ini adalah otak. Oleh karena itu, FAT tidak bisa diterapkan terhadap individu yang masih hidup. Hewan yang diduga terinfeksi virus rabies akan disuntik mati terlebih dahulu (eutanasia) untuk mendapatkan spesimen otak.

Metode pengujian lain dapat dilakukan menggunakan serum, cairan sumsum tulang belakang, atau air liur penderita walaupun tidak memberikan keakuratan 100%. Selain itu, diagnosis dapat juga dilakukan dengan biopsi kulit leher atau sel epitel kornea mata walaupun hasilnya tidak terlalu tepat sehingga nantinya akan dilakukan kembali diagnosis pascamati setelah hewan atau manusia yang terinfeksi meninggal.[22]

Penanganan

sunting

Orang yang digigit anjing harus mewaspadai kemungkinan tertular rabies, terutama di daerah endemik. Kewaspadaan juga dilakukan saat digigit atau dicakar HPR lainnya. Sebisa mungkin hewan yang menyerang ditangkap dan diamankan untuk pengamatan lebih lanjut. Penanganan pertama setelah digigit anjing adalah mencuci luka bekas gigitan dengan sabun atau deterjen di bawah air mengalir selama 15 menit, diikuti pemberian etanol (700 ml/l), cairan iodin povidon, atau zat lain yang bersifat virusidal.[23][24]

Perawatan yang diberikan setelah terpapar atau terpajan—disebut dengan profilaksis pascapajanan—bergantung pada jenis kontak dan kondisi luka yang ditimbulkan. WHO mengelompokkan tiga kategori paparan terhadap rabies untuk menentukan tindakan selanjutnya yang akan diambil.

Profilaksis pascapajanan yang direkomendasikan WHO, tergantung pada jenis pajanan[23][25][26]
Kategori Jenis kontak dengan hewan ganas terduga atau terinfeksi rabies Jenis paparan Rekomendasi profilaksis pascapajanan
I Menyentuh atau memberi makan hewan, jilatan pada kulit yang utuh, kontak antara kulit yang utuh dengan sekresi atau eksresi manusia atau hewan ganas Tidak ada Tak ada, jika riwayat dapat dipercaya
II Menggigit kulit yang tidak tertutup, goresan kecil atau lecet tanpa perdarahan Ringan Berikan vaksinasi sesegera mungkin. Hentikan terapi jika hewan tetap sehat setelah 10 hari atau terbukti negatif rabies berdasarkan pengujian laboratorium
III Gigitan atau goresan transdermal, baik tunggal maupun banyak; kulit terluka atau selaput lendir bersentuhan dengan air liur (misalnya akibat jilatan); dan paparan terhadap kelelawar Berat Berikan vaksinasi dan imunoglobulin rabies sesegera mungkin. Imunoglobulin dapat diberikan hingga 7 hari setelah injeksi vaksin yang pertama. Hentikan terapi jika hewan tetap sehat setelah 10 hari atau terbukti negatif rabies berdasarkan pengujian laboratorium

Periode observasi selama 10 hari hanya berlaku untuk anjing dan kucing.[27] Jenis hewan lain sebaiknya langsung dieutanasi (kecuali bila termasuk satwa langka atau dilindungi) lalu diambil spesimen jaringannya untuk deteksi antigen rabies melalui uji laboratorium.[28] Gigitan di daerah kepala, leher, wajah, tangan, dan genital dianggap paparan kategori III karena daerah tersebut memiliki banyak inervasi saraf.[28]

Vaksinasi pascapajanan

sunting

Bagi orang dewasa dan anak-anak, vaksin rabies disuntikkan di daerah deltoideus; bagi anak berusia di bawah 2 tahun, suntikan dilakukan di sisi anterolateral (samping depan) paha.[29] Penyuntikan secara intradermal lebih direkomendasikan dibanding intramuskuler.[27] Bagi orang yang belum pernah diberi vaksin rabies sebelumnya, vaksinasi secara intradermal dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada hari ke-0, ke-3, dan ke-7; masing-masing disuntikkan pada dua lokasi yang berbeda.[30] Bagi orang yang pernah disuntik dengan minimum dua dosis vaksin rabies, vaksinasi pascapajanan cukup diberikan pada hari ke-0 dan hari ke-3 di satu lokasi, atau hanya pada hari ke-0 di empat lokasi.[31]

Sebagai alternatif, penyuntikan vaksin secara intramuskuler juga dapat dilakukan. Bagi orang yang belum pernah divaksinasi, penyuntikan vaksin intramuskuler bisa dilakukan dengan dua cara: (1) Empat kali suntikan pada hari ke-0, ke-3, ke-7, dan ke-14; masing-masing di satu lokasi, dan (2) Tiga kali suntikan, yaitu pada hari ke-0 (dua lokasi), hari ke-7 (satu lokasi), dan hari ke-21 hingga ke-28 (dua lokasi).[30] Bagi orang yang telah mendapatkan kekebalan melalui dua dosis vaksin rabies, vaksinasi intramuskuler cukup diberikan pada hari ke-0 dan hari ke-3, masing-masing di satu lokasi.[31]

Pemberian imunoglobulin rabies

sunting

Selain vaksin rabies, orang-orang dengan pajanan kategori III wajib diberikan imunoglobulin rabies. Pemberian obat ini juga dilakukan untuk orang dengan pajanan kategori II yang memiliki gangguan sistem imun, misalnya pasien AIDS dan transplantasi organ.[32] Orang yang telah mendapatkan kekebalan terhadap rabies tidak perlu diberikan imunoglobulin rabies. Imunoglobulin rabies berfungsi untuk memberikan kekebalan pasif sebelum tubuh pasien membentuk antibodi sebagai respons terhadap vaksinasi.[33]

Imunoglobulin rabies disuntikkan pada lokasi gigitan dan di sekitar lokasi gigitan untuk menetralkan virus rabies yang berada di lokasi tersebut.[34] Pemberiannya hanya dilakukan satu kali, bersamaan dengan vaksinasi pascapajanan atau beberapa hari sesudahnya. Setelah tujuh hari pasca vaksinasi, pemberian imunoglobulin rabies tidak disarankan karena tubuh telah mulai membentuk antibodi.[33]

Pencegahan

sunting
 
Vaksin rabies

Meskipun sifatnya sangat mematikan, rabies bisa dicegah dengan pemberian vaksinasi. Penyuntikan vaksin rabies pada hewan merupakan kunci untuk memberantas penyakit ini. Orang-orang yang berisiko tinggi terpapar virus juga dapat diberi vaksin, seperti dokter hewan, petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan terinfeksi, Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah endemik rabies.[35]

Vaksinasi idealnya dapat memberikan perlindungan seumur hidup.[36] Namun, seiring berjalannya waktu kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap rabies harus mendapatkan dosis booster vaksinasi setiap 3 tahun.[37] Pentingnya vaksinasi rabies terhadap hewan peliharaan seperti anjing juga merupakan salah satu cara pencegahan yang harus diperhatikan.

Distribusi

sunting
 
Kematian akibat rabies per juta orang pada tahun 2012
  0
  1
  2–4
  5–9
  10–17
  18–69
 
Negara bebas rabies (warna hijau) pada tahun 2010
 selalu bebas rabies
 rabies dieliminasi sebelum 1990
 rabies dieliminasi pada atau setelah 1990
 tahun eliminasi rabies tidak diketahui

Rabies ditemukan di seluruh dunia, kecuali Antarktika, dengan 95% kematian pada manusia terjadi di Asia dan Afrika.[38] Setiap tahun, hampir 59.000 orang meninggal dunia akibat rabies.[39] Gigitan anjing berkontribusi terhadap 99% kasus rabies pada manusia dan sekitar 40% orang yang digigit anjing terduga rabies merupakan anak berusia di bawah 15 tahun.[38]

Sejarah

sunting

Kata rabies berasal dari bahasa Sanskerta kuno "rabhas" yang artinya melakukan kekerasan atau kejahatan.[40] Dalam bahasa Yunani, rabies disebut "lyssa" atau "lytaa" yang artinya kegilaan.[40] Dalam bahasa Jerman, rabies disebut "tollwut" yang berasal dari bahasa Indo-Jermanik "dhvar" yang artinya merusak dan "wut" yang artinya marah.[40] Dalam bahasa Prancis, rabies disebut "rage" berasal dari kata benda "robere" yang artinya menjadi gila.[40]

Rabies merupakan penyakit yang telah lama tercatat dalam sejarah perabadan manusia. Catatan tertulis mengenai perilaku anjing yang tiba-tiba menjadi buas ditemukan pada Kode Mesopotamia yang ditulis 4000 tahun lalu serta pada Kode Babilonia Eshunna yang ditulis sekitar tahun 2300 SM.[41] Sekitar 500 SM, Demokritos juga menuliskan karakteristik gejala penyakit yang menyerupai rabies.[40]

Pada abad ke-4 SM, Aristoteles menulis pada Natural History of Animals edisi 8, bab 22:[40]

.... anjing itu menjadi gila. Hal ini menyebabkan mereka menjadi lekas marah dan semua binatang yang digigitnya juga mengalami sakit yang sama.

Hippokrates, Plutarkhos, Xenophon, Epimarcus, Virgil, Horatius, dan Ovidius adalah orang-orang yang pernah menyinggung karakteristik rabies dalam tulisan-tulisannya.[40] Celsius, seorang dokter pada zaman Romawi, mengasosiasikan hidrofobia (ketakutan terhadap air) dengan gigitan anjing pada tahun 100 Masehi.[41] Cardanus, seorang penulis zaman Romawi menjelaskan infektivitas air liur anjing yang terkena rabies.[40] Para penulis Romawi zaman itu mendeskripsikan materi infeksius tersebut sebagai racun, di mana "virus" adalah kata Latin bagi racun.[40]

Pliny dan Ovid adalah orang yang pertama menjelaskan penyebab lain dari rabies, yaitu cacing lidah anjing (dog tongue worm).[40] Untuk mencegah rabies pada masa itu, permukaan lidah yang diduga mengandung cacing dipotong.[40] Anggapan tersebut bertahan sampai abad ke-19, ketika akhirnya Louis Pasteur berhasil mendemonstrasikan penyebaran rabies dengan menumbuhkan jaringan otak yang terinfeksi pada tahun 1885.[40][41] Goldwasser dan Kissling menemukan cara diagnosis rabies secara modern pada tahun 1958, yaitu dengan teknik antibodi imunofluoresens langsung (direct immunofluorescent antibody) untuk menemukan antigen rabies pada jaringan.[41]

Hari Rabies Sedunia

sunting
 
Logo Hari Rabies Sedunia.

Hari Rabies Sedunia (bahasa Inggris: World Rabies Day atau WRD) merupakan hari penting internasional yang diselenggarakan pada tanggal 28 September setiap tahun. Peringatan Hari Rabies Sedunia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya penyakit rabies dan pentingnya memberantas penyakit ini.

Hari Rabies Sedunia mulai diselenggarakan pada tahun 2007.[42] Secara umum, pelaksanaan WRD dilakukan dengan sosialiasi kepada masyarakat dan vaksinasi rabies terhadap hewan, terutama anjing. Tujuan yang ingin dicapai oleh kampanye ini adalah memastikan anjing divaksin, membantu masyarakat yang membutuhkan profilaksis pascapajanan, dan menjadikan dunia bebas dari penyakit rabies pada tahun 2030.[43]

Lihat pula

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ "ICTV Code: The International Code of Virus Classification and Nomenclature October 2018". International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV). Diakses tanggal 26 Agustus 2019. 
  2. ^ "Lyssavirus". Viral Zone. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 September 2019. Diakses tanggal 17 September 2019. 
  3. ^ a b c OIE (2014), hlm. 1.
  4. ^ "Animal rabies". Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 November 2018. Diakses tanggal 17 September 2019. 
  5. ^ Kemenkes (2016), hlm. 2.
  6. ^ Smith (1996), hlm. 168.
  7. ^ a b "How is rabies transmitted?". Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC). Diakses tanggal 25 Desember 2019. 
  8. ^ Kemenkes (2014), hlm. 1.
  9. ^ OIE (2014), hlm. 2.
  10. ^ a b Constantine (1962).
  11. ^ a b c Wertheim dkk. (2009).
  12. ^ a b c d e Koury & Warrington (2019).
  13. ^ Rupprecht (1996).
  14. ^ Yousaf dkk. (2012).
  15. ^ Dirkeswan (2014), hlm. 85.
  16. ^ WHO (2018), hlm. 18.
  17. ^ WHO (2018), hlm. 61.
  18. ^ Boland dkk. (2014).
  19. ^ OIE Code (2019), hlm. 1.
  20. ^ a b c Suatha dkk. (2015).
  21. ^ "Diagnosis". WHO. Diakses tanggal 30 Januari 2020. 
  22. ^ a b "Diagnosis of rabies in animals". Rabies Information System of the WHO Collaboration Centre for Rabies Surveillance and Research. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Juni 2010. Diakses tanggal 16 Mei 2010. 
  23. ^ a b "International travel and health: Rabies". WHO. Diakses tanggal 1 Januari 2020. 
  24. ^ WHO (2014), hlm. 6.
  25. ^ "WHO announces new rabies recommendations". WHO. Diakses tanggal 1 Januari 2020. 
  26. ^ WHO (2014), hlm. 7.
  27. ^ a b WHO (2018), hlm. 153.
  28. ^ a b WHO (2018), hlm. 156.
  29. ^ WHO (2018), hlm. 66.
  30. ^ a b WHO (2018), hlm. 67.
  31. ^ a b WHO (2018), hlm. 68.
  32. ^ WHO (2018), hlm. 52.
  33. ^ a b WHO (2018), hlm. 69.
  34. ^ WHO (2018), hlm. 53.
  35. ^ Sacramento dkk. (1992).
  36. ^ Dowdle & Orenstein (1994).
  37. ^ Madigan dkk. (2009), hlm. 1003-1005.
  38. ^ a b "Rabies Key Facts". Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Mei 2019. 
  39. ^ "Rabies Portal: What is rabies?". Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 September 2019. Diakses tanggal 17 September 2019. 
  40. ^ a b c d e f g h i j k l Steele & Fernandez (1991), hlm. 1.
  41. ^ a b c d Mrak & Young (1994), hlm. 1.
  42. ^ GARC (2019), hlm. 4.
  43. ^ "Get ready for World Rabies Day 2019". Rabies alliance. Global Alliance for Rabies Control (GARC). 2019. Diakses tanggal 21 September 2019. 

Daftar pustaka

sunting

Buku dan dokumen

sunting

Jurnal

sunting

Pranala luar

sunting
  •   Media tentang Rabies di Wikimedia Commons
  • Wikidata memiliki halaman tentang


Klasifikasi
Sumber luar