Perang Mandar–Kadombuku
Perang Mandar–Kadombuku (bahasa Inggris: Mandarese–Kadombuku War), adalah sebuah perang suku yang terjadi antara To Mandar menghadapi To Kadombuku sekitar tahun ca 1820-an hingga 1832-an.[a] Seorang misionaris dari Belanda, Albertus Christiaan Kruyt dalam bukunya —"De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes"— menyebutkan bahwa orang-orang Mandar memiliki pengaruh cukup besar di wilayah Kadombuku. Kruyt lebih lanjut menyatakan mengenai bagaimana mereka ada di sana, dan berapa banyak jumlah mereka, tidak dapat diketahui.[1]
Latar belakang
suntingSetelah kedatangan Mandar di wilayah pesisir Teluk Tomini, To Kadombuku dibujuk untuk memeluk agama Islam dan mereka dibagikan bendera warna-warni. Beberapa yang setuju dengan ajakan tersebut, mulai memeluk agama Islam. Segera setelah mereka memeluk agama Islam, mereka diperingatkan akan diberikan denda 40 budak muda jika ada anak atau sanak saudara mereka yang memakan daging babi. Sedangkan mereka yang tidak setuju dengan ajakan tersebut, memberontak dan memulai perang. Peperangan ini dimenangkan oleh orang-orang Mandar yang memaksa mereka untuk mengadopsi agama Islam.[2]
Dengan kemenangan tersebut, orang-orang dari Mandar kemudian kembali ke Ampibabo—di sebelah utara dari Parigi—dengan beberapa orang dari To Kadombuku yang menemani mereka untuk menetap di sana. Beberapa orang dari To Kadombuku di bawa ke Ampibabo oleh To Mandar dan beberapa dari mereka mendapatkan keturunan sehingga ada hubungan kekeluargaan di antara To Kadombuku dan mereka yang menetap di Ampibabo. Peristiwa ini sendiri dicatat oleh Kruyt di dalam bukunya.[b]
Orang-orang yang tersisa dari To Kadombuku, tidak terlalu memberi rasa hormat kepada supremasi Mandar, terlebih setelah masuknya misionaris dan pemerintah Belanda. Mereka akhirnya kembali ke daerahnya dan bergabung dengan suku lainnya dan menetap di wilayah yang sekarang ini dikenal dengan Pandiri dan Watuawu.
Menurut etnolog Swedia Walter Kaudern, perang ini tampaknya tidak menyebabkan sebuah migrasi khusus dari To Kadombuku ke permukiman di Ampibabo. Kaudern lebih lanjut menyatakan bahwa "tidak diragukan lagi, suku itu (Kadombuku) dihancurkan oleh perang". Perang yang dilancarkan To Lage dan To Napu terhadap To Kadombuku, tampaknya merupakan serangan fatal. Peperangan dengan kedua suku ini sendiri berlanjut tiga tahun dan berakhir dengan musuh mengambil alih desa Kadombuku dan merusaknya. Kaudern percaya bahwa perang ini telah memberikan kontribusi untuk membuat To Kadombuku menemukan jalan mereka menuju lembah di dekat Sungai Poso.[3]
Catatan
sunting- ^ A.C. Kruyt dalam bukunya yang dipublikasikan tahun 1912, hanya mengatakan bahwa perang ini "terjadi sekitar 80 tahun yang lalu", mengindikasikan peristiwa ini terjadi kurang lebih sekitar tahun 1820-an hingga 1830-an.
- ^ bahasa Belanda: Enkele Ro Kadombuku zijn de Mandareezen daarheen gevolgd, en hebben im Ampibabo nakomelingen gekregen, zoodat er tot nu toe familieverwantschap bestaat tusschen de Ro Kadombuku ela de inwoners van Ampibabo.
bahasa Indonesia: Beberapa orang dari To Kadombuku mengikuti orang-orang suku Mandar ke Ampibabo, dan mendapatkan keturunan, sehingga sampai sekarang hubungan kekeluargaan masih ada di antara To Kadombuku dan orang-orang Ampibabo.
Referensi
sunting- ^ Kaudern 1925, hlm. 112.
- ^ Adriani & Kruyt 1912, hlm. 42.
- ^ Kaudern 1925, hlm. 123.
Sumber
sunting- Adriani, Nicolaus; Kruyt, Albertus Christiaan (1912). De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes. Batavia: Landsdrukkerij.
- Kaudern, Walter (1925). Migrations of the Toradja in Central Celebes. Ethnographical studies in Celebes (2). Den Haag: Elanders Boktryckeri Aktiebolag.