Konflik internal di Myanmar

Konflik internal di Myanmar mengacu pada serangkaian pemberontakan yang berlangsung di Myanmar sejak tahun 1948, ketika Myanmar (saat itu dikenal sebagai Burma) meraih kemerdekaan dari Britania Raya.[1][2] Konflik ini sebagian besar didasari oleh etnis, dengan beberapa kelompok etnis bersenjata melawan angkatan bersenjata Myanmar, Tatmadaw, demi memperjuangkan hak demokrasi mereka. Meskipun terdapat banyak gencatan senjata dan pembentukan zona otonomi pada tahun 2008, banyak kelompok bersenjata terus menyerukan kemerdekaan, peningkatan otonomi, atau federalisasi negara. Konflik ini digambarkan sebagai "Perang Saudara Terpanjang di Dunia" karena telah berlangsung selama tujuh dekade.[3][4]

Konflik internal di Myanmar

Peta situasi militer di Myanmar (per Februari 2022)
Tanggal02 April 1948 (1948-04-02) – sekarang
(76 tahun, 8 bulan, 2 minggu dan 5 hari)
LokasiMyanmar (Burma)
Hasil

Masih berlangsung

Pihak terlibat

Myanmar Dewan Administrasi Negara

Didukung oleh:


Sebelumnya:

Myanmar Pemerintah Persatuan Nasional


Kelompok-kelompok etnis bersenjata
Didukung oleh:

Pasukan
Lihat daftar Lihat daftar
Kekuatan
406.000 tentara Jumlah total pejuang tidak diketahui
Korban
170.000+ terbunuh
600.000–1.000.000 pengungsi internal

Latar belakang konflik

sunting

Pada masa Perang Dunia II, penjajahan Inggris di Burma mendapatkan perlawanan dari kelompok anti-kolonial yang membentuk Tentara Kemerdekaan Burma, kelompok ini semakin berpengaruh setelah pendudukan Jepang mendirikan negara boneka, Negara Burma pada 1942, Tentara Kemerdekaan Burma berganti menjadi Tentara Nasional Burma. Jenderal Aung San, Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan saat ini merasa sulit bagi Jepang untuk menang dan mulai membahas kemerdekaan Burma dengan pihak sekutu pada 1945.[5][6]

Untuk memperkuat kedudukan Burma yang merdeka, Aung San melakukan perundingan dengan para pemimpin etnis Chin, Kachin, dan Shan. Perjanjian Panglong yang memberikan status otonomi penuh bagi wilayah ketiga etnis sebagai bagian dari Negara Burma yang bersistem federal. Sayangnya Jenderal Aung San dibunuh tak lama setelahnya, dan perjanjian ini tidak dilaksanakan oleh pemerintahan Burma setelah mendapatkan kemerdekaan penuh dari Inggris pada 1948 yang mendorong pembentukan sistem negara kesatuan. Hal ini mendorong ketegangan hubungan antara pemerintahan Burma dengan kelompok minoritas lainnya hingga saat ini.[7][8]

Periode

sunting
 
Peta konflik Myanmar.

Konflik internal Myanmar dapat dikategorikan kedalam 5 bagian garis waktu sesuai pemerintahan masa itu yaitu, periode pasca kemerdekaan yang dipimpin sistem parlementer (1948-1962), periode junta militer pasca kudeta oleh Jenderal Ne Win (1962-1988), periode junta militer yang menggulingkan Ne Win setelah Pergolakan 8888 (1988-2011), periode pemerintahan sipil sistem parlementer (2011-2021), periode junta militer pasca kudeta yang dilakukan Min Aung Hlaing (2021-saat ini).

Pemerintahan Sipil I (1948–1962)

sunting

Setelah merdeka dari Inggris pada 4 Januari 1948, pemerintahan Burma mendapat 2 oposisi yang kuat dari Partai Komunis Burma (CPB) yang beraliran komunis dan Persatuan Nasional Karen (KNU) yang memperjuangkan kelompok etnis Karen.

Kelompok Komunis memulai lebih awal melawan pemerintahan Burma dengan memulai konflik di Paukkongyi, Region Pegu (saat ini Region Bago), sampai pada puncaknya dimana CPB memiliki 15.000 pejuang melawan pemerintahan Burma.

Selain itu, Kelompok Karen memperjuangkan kemerdekaan wilayah Karen dan Karenni (saat ini Kayin dan Kayah) yang merupakan wilayah etnis mereka di Burma Bawah (saat ini Myanmar Luar) hingga saat ini etnis Karen mengalihkan fokus perjuangan mereka dari kemerdekaan menjadi hak otonomi penuh di bawah sistem federal.[9]

Junta Militer I – Ne Win (1962–1988)

sunting

Setelah suksesi tiga pemerintahan parlementer di Burma, Jenderal Ne Win bersama Tatmadaw, angkatan bersenjata Burma, melakukan kudeta, membubarkan pemerintahan parlementer dan membentuk pemerintahan junta militer pertama di Persatuan Burma. Setelahnya junta menuduh mereka dengan tindakan pelanggaran HAM berat yang mengakibatkan para anggota kabinet, parlemen, dan pemimpin politik dari etnis minoritas ditahan dan dihukum tanpa sidang. Ne Win kemudian membentuk Dewan Revolusioner Persatuan (DRP) yang menggantikan Parlemen Persatuan Myanmar sebagai lembaga pelaksana pemerintahan di Burma. Melalui DRP, Ne Win memulai sosialisme di Burma dan meluncurkan program ‘Jalan Burma menuju Sosialisme’ yang merancang arah pembangunan ekonomi, pengurangan pengaruh asing di dalam negeri, dan peningkatan pengaruh militer dalam pemerintahan. DRP kemudian membentuk Partai Program Sosialis Burma (PPSB)

Di masa ini pula para kelompok etnis minoritas memperkuat faksi militer mereka untuk melawan Ne Win yang menolak pembentukan sistem federal. Kelompok-kelompok perlawanan seperti kelompok komunis dan kelompok etnis memulai perang saudara besar-besaran dengan pemerintahan junta militer setelah gagal menemukan kata sepakat pada tahun 1963. Kelompok komunis CPB meniru gaya revolusi budaya dan militer dari Partai Komunis Tiongkok yang diasumsikan penduduk Burma sebagai bentuk intervensi Tiongkok yang berujung pada Kerusuhan Anti-Tiongkok 1967.

Meningkatnya serangan dalam negeri dan gagalnya program Jalan Burma menuju Sosialisme mendorong Ne Win kembali berunding dengan kelompok pemberontak pada 1972, yang berakhir dengan kegagalan, karena Ne Win menolak sistem federal multipartai diberlakukan. Pada tahun 1974, kepemilikan swasta disita dan diambil alih negara, PPSB juga ditetapkan sebagai partai tunggal yang menjalankan DRP. Selama 26 tahun kediktatoran Ne Win, Burma menjadi negara yang terbelakang dan terisolasi hingga pada 8 Agustus 1988 terjadi revolusi yang digerakkan mahasiswa dan pelajar di Burma yang dikenal sebagai ‘Pergolakkan 8888’.

Pergolakkan 8888

sunting

Demonstrasi besar telah terjadi di Myanmar sejak Maret 1988, dimulai dengan perkelahian antar mahasiswa dan seorang pemuda yang ternyata anak seorang pejabat di PPSB yang berakhir dengan penangkapan tak adil mahasiswa tersebut. Para mahasiswa kemudian berunjuk rasa di kantor polisi setempat yang dibalas dengan penugasan 500 pasukan anti huru hara sehingga berujung rusuh dan menyebabkan kematian, Phone Mew, seorang mahasiswa karena luka tembak. Kabar ini meningkatkan dukungan kepada para mahasiswa dan aktivis pro-demokrasi dan semakin meluas ke kampus lain. [10] Para mahasiswa yang turun ke jalan kemudian menyuarakan semua keresahan atas pertumbuhan ekonomi yang lambat, ketidakadilan hukum, korupsi, dan salah kelola pemerintahan yang dilakukan pemerintahan DRP selama ini. Menghadapi semua tuntutan tersebut, semua universitas selama beberapa bulan. Juni 1988, demonstrasi berskala besar kembali terjadi dan terus meluas ke daerah lain selain ibu kota Yangon. Pada 24 Juli 1988, Ne Win menyatakan mundur dan menjanjikan pemerintahan multipartai, namun dia menunjuk Sein Lwin sebagai penggantinya.

Para mahasiswa dan pendukung mereka menyadari meski telah mundur, DRP dan PPSB tetap setia pada Ne Win dan prinsip-prinsipnya. Demonstrasi masih terus berlanjut sampai pada puncaknya di 8 Agustus 1988. Semua golongan, kalangan, dan kelompok turun ke jalan menuntut pemberlakuan sistem multipartai dan penerapan HAM di Burma. Dari luar Yangon, 2000-5000 petani dan warga bergabung untuk menuntut perubahan. Pada 10 Agustus 1988, polisi menembaki perawat dan dokter yang merawat para pengunjuk rasa di rumah sakit Yangon.

Pada 13 Agustus 1988, Sein Lwin mundur, Dr. Maung Maung ditunjuk sebagai pengganti. Pada 22 Agustus 1988, jumlah pengunjuk rasa bertambah, dan titik demo menyebar ke seluruh Myanmar. Aung San Suu Kyi, putri Jenderal Aung San, terlibat dalam unjuk rasa dan memimpin demonstrasi di Pagoda Shwedagon. Pada masa ini juga, mantan Perdana Menteri U Nu, Brigjen Aung Gyi (mantan lawan politik Ne Win), bersama para pejabat yang pro-demokrasi ikut turun ke jalan.

Pada 18 September 1988, Jenderal Saw Maung bersama Tatmadaw mengambil alih pemerintahan, menggulingkan Dewan Revolusioner Persatuan dan Partai Program Sosialis Burma. Dia kemudian membentuk Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara (DPHKN) yang melawan balik para demonstran sampai akhirnya unjuk rasa berakhir pada 21 September 1988 dengan janji untuk melaksanakan Pemilu pada 1990.[11]

Junta Militer II – Than Shwe (1988–2011)

sunting

Pemilu dilakukan pada 1990 menghasilkan kemenangan mutlak kepada partai Liga Demokrasi Nasional (LDN) yang dipimpin Aung Sang Suu Kyi. DPHKN menolak mengakui hasil pemilu tersebut dan menjadikan Suu Kyi sebagai tahanan rumah. Tahun 1992, Jenderal Saw Maung mundur dari jabatannya di DPHKN dan digantikan oleh Jenderal Than Shwe. Sejak saat itu tidak lagi dilaksanakan Pemilu di Myanmar. Pada tahun 1997, Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara dibubarkan dan dibentuk Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara (DPPN) sebagai penggantinya.

Selama tahun 1990-an, Tatmadaw mendorong para pemberontak etnis di Burma dengan menyerang langsung ke pusat pertahanan mereka. Di tahun 2006, serangan berskala besar diluncurkan untuk menumpas Tentara Pembebasan Nasional Karen, yang mengakibatkan terusirnya para penduduk etnis Karen dari daerah mereka, dan diikuti dengan relokasi paksa para penduduk etnis Karen dari daerah Kayin. Pada tahun 2007, para biksu melakukan demonstrasi melawan pemerintahan Than Shwe menuntut Pemilu, hak asasi bagi etnis minoritas, dan pembebasan para tahanan politik, aksi ini dikenal sebagai Revolusi Saffron.

Tahun 2008, pemerintah memperkenalkan undang-undang dasar baru yang menjanjikan reformasi politik dari 2011 sampai 2015, pembentukan 5 Zona Administrasi Mandiri dan Divisi Administrasi Mandiri bagi 6 etnis minoritas.

Pemerintahan Sipil II (2011–2021)

sunting

Pemilu kembali dilaksanakan pada tahun 2010, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (PPSP) yang dibentuk pemerintahan junta sebelumnya memenangkan 129 dari 224 kursi di Dewan Kebangsaan (Majelis Tinggi Myanmar) dan 259 dari 440 kursi di Dewan Perwakilan (Majelis Rendah Myanmar). Thein Sein, Perdana Menteri di masa junta militer, terpilih sebagai Presiden Myanmar. Partai Liga Demokrasi Nasional, pemenang pemilu 1990 memilih tidak ikut serta, Namun mereka ikut serta dalam pemilihan sela di tahun 2012. Pada 2014, LDN mengajukan amandemen undang-undang dasar untuk menghapuskan klausa yang menghalangi Aung San Suu Kyi sebagai calon presiden mereka, namun pengajuan ini ditolak.[12]

Pada tahun 2011, Tatmadaw melancarkan serangan militer bernama Operasi Ketekunan (ဇွဲ မန် ဟိန်း) terhadap pemberontak di Shan.[13] Selama serangan, Tatmadaw berhadapan dengan Aliansi Tentara Nasional Demokratik Myanmar (ATNDM), dan Tentara Negara Shan - Utara (TNS-U), menanggapi penolakan kelompok ini terhadap kebijakan "One Nation, One Army".

Pada 2013, kerusuhan anti-muslim menyebar di berbagai daerah Myanmar, kekerasan ini terjadi bersamaan dengan gerakan kelompok nasionalis budha, Gerakan 969, yang dipimpin Sayadaw U Wirathu. Pada 2014, pasukan pemerintah menyerang markas Tentara Kemerdekaan Kachin (TKK) di dekat kota Laiza, menewaskan sedikitnya 22 pemberontak TKK.[14]

Dalam Pemilu 2015, LDN keluar sebagai pemenang, Aung San Suu Kyi yang tidak dapat menjabat sebagai presiden ditunjuk sebagai Penasehat Negara. Pemerintahan yang dipimpin LDN memulai berbagai dialog dan konferensi lintas etnis dan golongan untuk menciptakan perdamaian di Myanmar.[15][16] Meski demikian, kebijakan ini masih dikritisi karena mengabaikan keikutsertaan pihak-pihak yang masih angkat senjata dan dinilai masih sangat dipengaruhi oleh kekuasaan militer.[17] Beberapa politisi bahkan dibunuh dan dibungkam setelah menyuarakan sikap oposisi mereka atas pengaruh militer kepada pemerintahan sipil ini.[18]

Di Shan, militer terus menggempur pasukan Tentara Nasional Demokratik Myanmar (TNDM) yang berbasis di Kokang pada tahun 2015. [19] Di Rakhine, wilayah perbatasan Myanmar dan Bangladesh, Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (TPRA) memulai kontak tembak yang menewaskan 9 petugas perbatasan pada Oktober 2016, Tatmadaw membalas dengan operasi ‘pembersihan’ di wilayah utara Rakhine.[20] Serangan ini dibalas dengan serangan besar kedua oleh TPRA pada Agustus 2017.[21] Konflik ini menjadi sorotan internasional karena dianggap sebagai pembersihan etnis Rohingya alih-alih pemberantasan pasukan TPRA.[22]

Pada akhir November 2016, Aliansi Utara, yang terdiri atas gabungan kelompok pemberontak, Tentara Arakan (TA), Tentara Kemerdekaan Kachin (TNK), Aliansi Tentara Nasional Demokratik Myanmar (ATNDM), dan Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang (TPNT), melakukan serangan di kota Muse, daerah perbatasan Myanmar dan Tiongkok, di Shan.[23] Aliansi ini menduduki kota Mong Ko pada 25 November 2016 sampai 4 November 2016 demi menghindari serangan udara dari Angkatan Udara Myanmar.[24]

Pada 15 Agustus 2019, Aliansi Utara ke kantor kemiliteran di kota Nawnghkio, disertai serangan-serangan lain yang dibalas peringatan perang berskala penuh dari Tatmadaw jika Aliansi ini tidak mundur.[25]

Pemerintahan Junta Militer III – Min Aung Hlaing (2021–saat ini)

sunting

Pemilu sekali lagi dilaksanakan pada 2020, hasilnya memberikan kemenangan mutlak kepada Partai Liga Demokrasi Nasional, Presiden Win Mynt dan Penasehat Negara Aung San Suu Kyi kembali mendapatkan dukungan. LDN mendapatkan 138 dari 224 kursi Dewan Kebangsaan dan 258 dari 440 kursi Dewan Perwakilan.

Pada 1 Februari 2021, Jenderal Min Aung Hlaing dan Tatmadaw menggulingkan pemerintahan sipil dengan tuduhan kecurangan pemilu, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan berbagai tuduhan lainnya. Presiden Win Mynt, Penasehat Negara Suu Kyi, pejabat kabinet, bersama para anggota parlemen lainnya dijadikan tahanan rumah di Naypyidaw. Tatmadaw kemudian membentuk Dewan Administrasi Negara (DAN).[26]

Setelahnya protes dan unjuk rasa besar terjadi, masyarakat menuntut Min Aung Hlaing mundur dan membubarkan DAN, membebaskan para tahanan politik saat kudeta, dan mengembalikan pemerintahan sipil. Para demonstran sebelumnya melengkapi diri dengan senjata ringan seperti katapel, bom molotov, tameng buatan, dan lainnya.[27] Pada Maret 2021, dilaporkan bahwa banyak dari para pendemo yang bergerak menuju daerah perbatasan untuk berlatih secara militer kepada pasukan pemberontak yang mengarah pada pecahnya perang saudara berskala besar.[28] Pemerintahan sipil di pengasingan, Komite Perwakilan Majelis Persatuan (KPMP) mengajukan pembentukan ‘pasukan bersenjata federal’ untuk melawan pasukan militer.[29]

Kontak tembak intens terawal antara pasukan perlawanan dengan Tatmadaw terjadi di kota Kalay, Sagaing. Setelah Tatmadaw menyerang kemah pertahanan di Kalay pada 28 Maret 2021, pasukan perlawanan menyerang balik dengan senjata api berburu atau senjata api rumahan lainnya.[30] Beberapa pasukan pemberontak yang selama ini menentang pemerintahan pun ikut terlibat dan meningkatkan serangan mereka kepada Tatmadaw.[31] April 2012, LDN bersama pasukan kelompok etnis minoritas dan partai-partai pro-demokrasi membentuk Pemerintahan Persatuan Nasional Myanmar (PPN Myanmar). Di beberapa daerah etnis minoritas, pasukan militer mereka mulai mempersenjatai para pasukan perlawan bukan lagi sekedar melatih mereka.

Pada 5 Mei 2021, PPN Myanmar mendeklarasikan pembentukan sayap militer mereka, Pasukan Pertahanan Rakyat (PPR), sebagai tahap awal Tentara Federal Persatuan untuk melindungi para pendukung pemerintahan sipil dari serangan Tatmadaw. Pasukan ini mengikat aliansi dengan Front Demokratik Seluruh Pelajar Burma (FDSPB), Tentara Arakan, Tentara Pembebasan Rakyat Bamar (TPRB), Tentara Nasional Chin (TNC), Tentara Kemerdekaan Kachin (TKK), Tentara Pembebasan Nasional Karen (TPNK), Tentara Nasional Kuki (TNK), Aliansi Tentara Nasional Demokratik Myanmar (ATNDM), dan Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang. Di akhir 2021, Partai Komunis Burma (CPB) mendirikan kembali sayap militer mereka Pasukan Pembebasan Rakyat dan mengikat aliansi dengan PPR.

Menurut laporan LSM ACLED, selama tahun 2021 diperkirakan 11.000 orang meninggal dalam konflik pasca kudeta ini.

Referensi

sunting
  1. ^ "Myanmar: Air strikes have become a deadly new tactic in the civil war". BBC News (dalam bahasa Inggris). 2023-01-31. Diakses tanggal 2023-10-09. 
  2. ^ "In pictures: A ceasefire in Myanmar?". www.aljazeera.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-10-09. 
  3. ^ "David Miliband: How to Bring Peace to the World's Longest Civil War". Time (dalam bahasa Inggris). 2016-12-12. Diakses tanggal 2023-05-11. 
  4. ^ "Marking 70 Years of War in Myanmar". thediplomat.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-11. 
  5. ^ Burmese Communist Party and the State-to-State Relations between China and Burma Diarsipkan 2008-05-28 di Wayback Machine. diakses 21 Februari 2017
  6. ^ Allen, Louis (1986). Burma: the Longest War 1941-45. Great Britain: J.M. Dent and Sons. ISBN 0-460-02474-4. 
  7. ^ [1] Diarsipkan 2021-02-24 di Wayback Machine. diakses 21 Februari 2017
  8. ^ Callahan, M., Making Enemies. War and State Building in Burma. United States of America: Cornell University Press, 2003, p. 118 - 123
  9. ^ "Internal conflict in Myanmar". Wikipedia (dalam bahasa Inggris). 2023-05-06. 
  10. ^ [2] diakses 21 Februari 2017
  11. ^ "The Burma Socialist Programme Party (BSPP) | Religious Literacy Project". web.archive.org. 2018-03-07. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-03-07. Diakses tanggal 2023-05-11. 
  12. ^ Landler, Mark (2014-11-14). "Obama and Aung San Suu Kyi Meet Again, With Battle Scars". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 2023-05-12. 
  13. ^ [3] Diarsipkan 2011-06-15 di Wayback Machine. diakses 21 Februari 2017
  14. ^ [4] diakses 21 Februari 2017
  15. ^ "Myanmar's Upcoming 4th Union Peace Conference: Time for a Rethink". thediplomat.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-11. 
  16. ^ "Peace process convention — 21st Century Panglong (Fourth Meeting), to move forward". Burma News International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-11. 
  17. ^ Tarabay, Jamie (2017-09-22). "Myanmar's military: The power Aung San Suu Kyi can't control". CNN (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-11. 
  18. ^ "In a Muslim lawyer's murder, Myanmar's shattered dream". Reuters (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-11. 
  19. ^ [5] Diarsipkan 2015-09-23 di Wayback Machine. diakses 21 Februari 2017
  20. ^ [6] diakses 21 Februari 2017
  21. ^ "Myanmar tensions: Dozens dead in Rakhine militant attack". BBC News (dalam bahasa Inggris). 2017-08-25. Diakses tanggal 2023-05-11. 
  22. ^ Smith, Ben Westcott,Karen (2017-09-11). "Rohingya violence a 'textbook example of ethnic cleansing,' UN rights chief says". CNN (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-11. 
  23. ^ "8 killed as ethnic rebels hit Muse- DVB Multimedia Group". web.archive.org. 2018-05-04. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-05-04. Diakses tanggal 2023-05-11. 
  24. ^ "Burmese army recaptures Mongko- DVB Multimedia Group". web.archive.org. 2018-05-03. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-05-03. Diakses tanggal 2023-05-11. 
  25. ^ "Myanmar army warns of full-scale war in Shan State". Burma News International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-11. 
  26. ^ "Myanmar Coup: With Aung San Suu Kyi Detained, Military Takes Over Government : NPR". web.archive.org. 2021-02-08. Archived from the original on 2021-02-08. Diakses tanggal 2023-05-11. 
  27. ^ "Myanmar Now". Myanmar Now (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-11. 
  28. ^ "UN envoy urges action to prevent Myanmar 'civil war'". Eleven Media Group Co., Ltd (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-11. 
  29. ^ "Myanmar Now". Myanmar Now (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-11. 
  30. ^ "Myanmar security forces attack town that resisted with arms". AP NEWS (dalam bahasa Inggris). 2021-04-20. Diakses tanggal 2023-05-11. 
  31. ^ Chanayuth (2021-04-16). "Myanmar Military Suffers Heavy Casualties in Attacks by Ethnic Armed Group in Kachin State". The Irrawaddy (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-11.