Perdagangan anak

Perdagangan manusia melibatkan anak usia 18 tahun ke bawah

Perdagangan anak merupakan perdagangan manusia dengan korban yang dikategorikan sebagai anak-anak atau orang berusia 18 tahun ke bawah untuk tujuan-tujuan eksploitatif. Dalam Protokol Palermo, Persatuan Bangsa-Bangsa mendefinisikan perdagangan manusia sebagai "perekrutan, pengiriman, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau dengan pemberian hadiah atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi harus mencakup, sedikitnya, pelacuran atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa dengan perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ tubuh".[1] Anak-anak korban perdagangan juga ada yang dipaksa bekerja sebagai tentara anak, dilibatkan dalam tindak kejahatan, dan dijual untuk kepentingan adopsi ilegal.[2] Anak-anak dan perempuan merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban perdagangan manusia.[3]

Laporan mengenai pekerja anak

Ada tiga unsur yang mendefinisikan perdagangan orang, yaitu proses, cara yang digunakan, dan tujuan eksploitasi. Salah satu contoh proses adalah perekrutan, sedangkan metode yang digunakan dapat berupa penipuan. Contoh tujuan eksploitasi bisa bermacam-macam, salah satunya eksploitasi seksual komersial.[4] Kompleksitas tersebut membuat perdagangan orang disebut sebagai serangkaian proses dan bukan peristiwa tunggal.[5] Perdagangan manusia berbeda dengan penyelundupan manusia yang umumnya dilakukan secara sukarela. Korban penyelundupan mengetahui tujuan mereka diselundupkan dan mereka dapat memberikan persetujuan. Penyelundupan juga bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, bukan eksploitasi.[6] Namun demikian, kasus penyelundupan orang juga banyak yang akhirnya terungkap sebagai kasus perdagangan.[7] Batasan antara perdagangan orang dan penyelundupan dalam kenyataannya seringkali kabur. Dalam konteks perdagangan anak, UNODC menyatakan bahwa persetujuan tidak relevan terlepas ada atau tidaknya cara untuk memperolehnya.[8] Dalam kasus perdagangan orang, tidak mungkin ada persetujuan dari korban.[6]

Menurut PBB, perdagangan orang tidak selalu melibatkan unsur pemindahan atau pengangkutan manusia dari satu tempat ke tempat yang lain. Dalam proses perdagangan, misalnya, ada tanda jadi dan korban yang dibatasi geraknya. Dengan kata lain, perdagangan orang lebih menyangkut pada bagaimana korban diperlakukan.[6] Perdagangan anak bisa terjadi di dalam negeri maupun lintas negara[9] dan korban bisa berasal dari berbagai jenis kelamin, usia, keluarga, latar belakang, dan status sosial ekonomi.[10] Sebanyak 32 negara melaporkan adanya kasus perdagangan manusia di negara mereka pada 2009. Namun, diduga hal ini terjadi di lebih banyak wilayah di dunia. Seorang anak dapat diperdagangkan berkali-kali dengan dalih untuk membayar upah agen.[11] ILO memperkirakan ada sekitar 2.5 juta orang dewasa dan anak-anak yang berisiko diperdagangkan di seluruh dunia.[12] Menurut laporan UNICEF yang dirilis pada 2018, perdagangan anak menyumbang sebesar 28% dari seluruh perdagangan orang dan dua dari tiga korbannya adalah anak perempuan.[13] Anak-anak korban perdagangan rentan terpapar kekerasan fisik, psikologis, dan seksual. Mereka juga berisiko mengalami gangguan kesehatan fisik, mental, psikologis, gangguan perkembangan, hingga masalah kesehatan turunan baik jangka pendek maupun panjang,[10] serta kehilangan nyawa.[14]

Perdagangan anak sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia

sunting

Perdagangan anak adalah kejahatan kemanusiaan dan merupakan bentuk kekerasan terhadap anak serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia.[11] Sejumlah ilmuwan memandang perdagangan anak dan perempuan sebagai isu HAM yang kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan isu-isu terkait HAM lainnya, seperti genosida, perang, dan kekerasan berbasis gender.[15] Perdagangan orang juga merupakan masalah HAM yang masih banyak disalahpahami dan sebagian besar kasusnya terjadi tanpa terdeteksi.[16] Perdagangan manusia baru mulai mendapatkan perhatian besar pada akhir abad 20. Lembaga pemerintah, organisasi internasional, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan media mulai benar-benar berusaha memahami dan menangani masalah ini secara efektif pada 1980-an.[17] Pada 1990-an, upaya pemberantasan perdagangan manusia terus berlanjut dan mengalami perkembangan cukup signifikan. Di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat, Britania Raya dan Irlandia Utara, serta Australia, pembahasan mengenai perdagangan manusia telah beralih ke isu perbudakan zaman modern.[4] Perbudakan modern merupakan istilah yang menaungi perdagangan manusia dan berbagai macam tindakan eksploitatif yang terjadi di dalamnya, seperti kerja paksa, jeratan utang, kawin paksa, perbudakan, dan praktik serupa lainnya.[18]

Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak PBB tahun 1989, anak-anak memiliki empat jenis hak. Keempat hak ini terlanggar saat mereka dalam status diperdagangkan, hak-hak tersebut meliputi:

  • Hak kelangsungan hidup adalah hak anak untuk hidup dan tercukupi kebutuhannya yang paling dasar, seperti gizi, tempat tinggal, standar hidup yang layak, dan akses terhadap layanan kesehatan.
  • Hak berkembang adalah hak anak untuk mengembangkan potensi intelektual, sosial, dan spiritualnya. Hak ini antara lain terdiri atas hak atas pendidikan, bermain, rekreasi, kegiatan budaya, akses informasi, dan kebebasan berpikir, hati nurani, dan kepercayaan.
  • Hak memperoleh perlindungan yaitu hak untuk memperoleh perlindungan dari berbagai bentuk diskriminasi, memastikan mereka dilindungi dari segala bentuk pelecehan, penelantaran, dan eksploitasi, termasuk pemberian perlakuan khusus kepada anak-anak pengungsi; perlindungan bagi anak dalam sistem peradilan pidana; perlindungan bagi anak dalam pekerjaan; serta perlindungan dan rehabilitasi bagi anak yang mengalami eksploitasi dalam bentuk apapun.
  • Hak untuk berpartisipasi dalam berbagai keputusan yang menyangkut kepentingan hidupnya. Hak partisipasi mencakup kebebasan anak-anak untuk menyatakan pendapat, memiliki suara terhadap hal-hal yang mempengaruhi kehidupan mereka, bergabung dalam perkumpulan, dan berorganisasi secara damai. Seiring dengan kemampuan mereka yang semakin berkembang, anak-anak memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat dan sebagai persiapan saat memasuki usia dewasa.[19]

Sebagaimana yang termaktub dalam piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, hak asasi manusia bersifat universal, berlaku untuk setiap manusia terlepas dari ras, jenis kelamin, asal etnis, atau karakteristik lainnya. Hak asasi manusia korban perdagangan tetap melekat pada diri mereka di mana pun mereka berada. Meski berada di negara asing, hukum internasional dengan jelas menyatakan bahwa orang-orang yang diperdagangkan tidak dapat didiskriminasi hanya karena status mereka sebagai non warga negara. Sehingga, dengan sedikit perkeculian wajar, hukum hak asasi manusia internasional berlaku untuk semua orang di dalam wilayah atau yurisdiksi suatu negara, terlepas apapun kebangsaan atau kewarganegaraannya dan bagaimana mereka berada di dalam wilayah tersebut.[6]

Sejarah perdagangan manusia

sunting

Perdagangan anak tak bisa dilepaskan dari sejarah perdagangan manusia dan perbudakan. Ilmuwan menyebutkan bahwa perdagangan manusia merupakan warisan imperialisme dan kolonialisme yang terjadi di hampir seluruh wilayah di dunia.[20] Perbudakan didefinisikan sebagai penguasaan seseorang terhadap orang lain untuk memperoleh keuntungan, baik berupa uang yang diperoleh dari memperdagangkan budak atau dalam bentuk keuntungan penghambaan atau pengabdian kepada tuan.[21]

Peneliti dan aktivis berpendapat bahwa sejarah perdagangan manusia di Barat dimulai dari pengiriman orang-orang Afrika ke Amerika Serikat dari abad 16 hingga 19. Diperkirakan sebanyak 9.5 juta orang telah dikirim ke AS untuk tujuan perbudakan.[17] Para warga kulit putih pemilik lahan pertanian menggunakan budak dari Afrika dan keturunannya untuk kepentingan kultivasi tanaman bahan-bahan mentah, seperti tembakau dan kapas. Hasil pertanian kemudian dikirim dan digunakan oleh orang-orang di luar koloni dan teritori, yang kemudian berkembang menjadi Amerika Serikat. Praktik perbudakan pada masa itu sangat mengakar di masyarakat dan hadir dalam hampir semua bidang kehidupan, bahkan orang tidak perlu memiliki budak untuk merasakan kehadirannya. Setiap orang yang hidup di AS saat itu terhubung dengan perbudakan melalui pakaian, makanan, dan semua alat hidup yang mereka pakai dan konsumsi. Warga kulih putih di bagian selatan umumnya mempekerjakan budak berasal dari Afrika untuk bekerja di lahan pertanian berskala besar. Sedangkan di wilayah utara, mereka menggunakan budak dari pribumi. Penduduk wilayah utara Amerika mempekerjakan budak untuk pekerjaan rumah tangga dan usaha kecil, seperti pertanian, pelayanan gereja, dan layanan kesehatan. Budak juga dipaksa bekerja di proyek konstruksi kampus-kampus ternama dan seluruh institusi yang dimiliki oleh orang-orang kaya pemilik bisnis perbudakan. Meski perbudakan di AS resmi dihapus, praktik serupa perbudakan dengan pola-pola rekrutmen dan kontrol yang sama masih dapat ditemui dalam bidang pertanian setelah masa itu.[22]

Sejumlah peneliti menyebutkan bahwa konsep mengenai perdagangan manusia dan undang-undang anti perdagangan manusia berawal dari kekhawatiran mengenai perbudakan orang kulit putih di AS pada akhir abad 19 hingga awal abad 20. Saat itu, wanita dan anak-anak perempuan kulit putih diculik, dijebak, dan diperdagangkan ke luar Amerika untuk tujuan eksploitasi seksual. Dari peristiwa itu, terlahir Undang-Undang Perdagangan Budak Kulit Putih yang mulai berlaku pada 1910.[17] Istilah 'human trafficking', menurut sejumlah peneliti, berasal dari istilah 'white slave traffic' yang merujuk pada perempuan kulit putih yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual dan 'trafficking in women and children' untuk menyebut kasus perdagangan manusia yang melibatkan anak-anak dan perempuan.[23]

Kita dengar sendiri dari seorang sahabat kita di Pedal (Klaten), bahwa di pasar sana tiap-tiap hari ada beberapa puluh anak-anak kecil dari desa-desa yang seolah-olah dipasarkan oleh orang tuanya dan banyak yang sudah dijual... Adapun orang-orang yang beli tiada lain sebab dari tiada kejam melihat itu anak-anak terlampau amat kurus dan warna mukanya bikin sedih hati.

Soenting Melajoe, No. 2, 10 Januari 1919

Di Indonesia, sejarah perbudakan sudah dikenal di zaman kerajaan dan berlanjut di era pendudukan Belanda dan Jepang. Raja umumnya memiliki beberapa selir yang berasal dari beragam latar belakang, baik dari masyarakat biasa maupun dari keluarga terpandang. Selir dari kalangan rakyat biasa diserahkan oleh keluarganya dengan motif agar memiliki ikatan keluarga dengan kerajaan. Mereka juga kadang dikorbankan oleh keluarganya sebagai bentuk penebusan hukuman. Selir yang berasal dari kalangan bangsawan umumnya dipersembahkan sebagai tanda pengabdian dan kesetiaan, atau loyalitas jika ia berasal dari kerajaan lain. Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, budak mulai diperdagangkan sebagai komoditas. Laki-laki dikerahkan sebagai tenaga kerja paksa, sedangkan perempuan dikirim untuk bisnis pelacuran. Penjajah Belanda menggunakan perempuan untuk melayani kebutuhan seksual para warga Eropa yang antara lain bekerja sebagai tentara, pedagang, dan pejabat tinggi. Di masa penjajahan Jepang, wanita-wanita Jawa mulai dikirim ke luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan Hong Kong, untuk menjadi pelacur dan melayani para petinggi militer Jepang. Para perempuan tersebut dikenal sebagai Ianfu.[21]

Lini masa sejarah perdagangan manusia[24]
Kurun waktu Perkembangan yang terjadi
3000 SM Perbudakan di Mesir Kuno, para budak dipekerjakan untuk membangun Piramida
Abad 15 Penguasa Portugal mengirim budak dari Afrika dan Eropa ke Amerika Serikat
Abad 18 Perdagangan budak di Eropa, Afrika, dan Amerika
Abad 19 Perbudakan yang terjadi pada masa perang sipil di Amerika pada kurun 1816-1865
Abad 20 Perbudakan pada masa pendudukan Belanda dan Jepang di Indonesia
Abad 21 Perbudakan modern, seperti kerja paksa buruh migran dan perdagangan seks komersial

Sejak sepuluh tahun yang lalu, secara internasional, kerangka hukum yang komprehensif tentang perdagangan orang mulai dikembangkan. Perubahan ini menandai adanya perubahan pola pandang masyarakat dunia tentang eksploitasi manusia.[6] Di masa perbudakan modern, perdagangan manusia semakin kompleks karena seringkali melibatkan jaringan lintas negara dan kawasan. Pada 2005, diperkirakan keuntungan yang dicapai dari perdagangan orang mencapai 10 milyar dolar AS.[20] Selama pandemi Covid-19, jumlah kasus perdagangan anak dan perempuan cenderung mengalami peningkatan. Di Indonesia, kenaikannya mencapai 62.5% pada 2020.[25]

Perjanjian internasional tentang perdagangan anak

sunting

Ada dua perjanjian internasional yang menjadi dasar kebijakan dan perundang-undangan tentang perdagangan anak di banyak negara, yaitu Konvensi Hak-Hak Anak oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCRC) pada 1989 dan Protokol untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak pada 2000 atau yang lebih dikenal sebagai Protokol Palermo. Konvensi Hak-Hak Anak meminta negara-negara untuk melakukan langkah-langkah pencegahan perdagangan anak, tetapi definisi tentang perdagangan anak itu sendiri belum muncul di dalam perjanjian tersebut. Menurut sejumlah ilmuwan, Konvensi Hak-Hak ini merupakan kesepakatan yang paling komprehensif dan banyak diratifikasi oleh negara-negara di dunia. Namun, ketiadaan definisi yang jelas menyulitkan upaya pencegahan bersama. Hambatan tersebut dapat diselesaikan dengan adanya definisi yang diberikan oleh Protokol Palermo. Hal ini sekaligus menandai upaya internasional dalam koordinasi pencegahan perdagangan anak secara lebih lanjut. Pada 2016, tercatat ada 158 negara yang telah memiliki undang-undang perdagangan orang dan segala jenis eksploitasinya. Jumlah ini naik dari yang semula hanya 33 negara pada 2003.[4] Pasal 5 Protokol Palermo mengharuskan negara-negara untuk menindak secara hukum perdagangan orang dan percobaannya, serta segala bentuk keterlibatan dan pengorganisasian perdagangan orang secara sengaja. Pada 2000, Majlis Umum PBB mengadopsi Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak yang melarang perdagangan anak untuk tujuan apapun, termasuk untuk eksploitasi dan kerja paksa.[26]

Jenis perdagangan anak

sunting

Eksploitasi seksual komersial anak

sunting
 
Anak perempuan yang menjadi korban eksploitasi seks komersial di distrik lampu merah di Mumbai, India

Eksploitasi seksual komersial anak adalah perdagangan anak berusia 18 tahun ke bawah untuk tujuan seksual demi mendapatkan imbalan berupa barang-barang berharga seperti makanan, tempat tinggal, obat-obatan, dan uang.[27] Bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang paling umum antara lain pelacuran, kawin paksa, pengantin pesanan, pariwisata seks anak, dan pornografi anak. Semua jenis eksploitasi seksual anak melanggar HAM dan kehormatan anak-anak.[28] Pada 2000, ILO melaporkan bahwa ada sebanyak 1.8 juta anak-anak di seluruh dunia yang terjebak dalam industri prostitusi dan pornografi.[29]

Berdasarkan hasil studi, anak-anak yang berisiko lebih besar menjadi korban eksploitasi seksual komersial adalah korban kekerasan, terutama kekerasan seksual. Selain itu, mereka yang memiliki keluarga disfungsi, seperti orang tua pecandu alkohol dan obat-obatan terlarang, memiliki gangguan kesehatan mental, atau pelaku kekerasan dalam rumah tangga juga rentan menjadi korban. Kerentanan lebih tinggi juga terjadi pada anak-anak yang kabur dari rumah, baik hidup di jalanan maupun di penampungan. Orang tua dan pengasuh mereka terkadang memiliki kecacatan fisik, miskin, atau pernah melakukan pengabaian dan bahkan kekerasan.[30] Dalam kasus perdagangan seksual anak, peran orang-orang di sekitar korban cukup berpengaruh. Dalam beberapa kasus, anggota keluarga, kerabat, dan teman dekat bisa ikut terlibat dalam proses perekrutan. Pelaku perdagangan, misalnya, membujuk orang tua korban dengan janji mereka dan anaknya akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Modus yang lain adalah dengan menipu korban, contohnya dengan menjanjikan pekerjaan di rumah makan dan restoran, tapi pada kenyataannya dipekerjakan untuk pelacuran.[31]

Pelaku yang umumnya adalah sindikat juga menjebak korban dengan dalih utang, denda, dan uang tebusan.[32] Denda diberlakukan antara lain saat korban tidak memenuhi jumlah pelanggan atau berusaha melarikan diri.[33] Gabungan dari berbagai taktik dan strategi tersebut membuat korban terperangkap dan sulit untuk melepaskan diri. Media sosial juga turut memainkan peran penting dalam eksploitasi seksual komersial anak. Pelaku memanfaatkan media sosial untuk menjaring korban, melakukan proses pendekatan (grooming), hingga menawarkan korban kepada calon pembeli.[30]

Kekerasan seksual yang menjadi salah satu bibit eksploitasi seksual komersial sering dimulai dengan proses menjalin ikatan emosional oleh pelaku kepada korban atau disebut dengan grooming. Grooming adalah "sebuah upaya orang dewasa untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan ikatan emosional dengan seorang anak atau remaja, sehingga mereka dapat memanipulasi atau mengeksploitasi, bahkan melecehkan korban."[34] Pelaku perdagangan anak terkadang memanipulasi calon korban dengan menjanjikan mereka "uang, kehidupan yang lebih baik, cinta dan kasih sayang, serta rasa aman". Pelaku juga membangun hubungan yang seolah-olah adalah hubungan pacaran selama beberapa waktu, disertai dengan manipulasi psikologis seperti mengancam dan menakut-nakuti.[30] Kekerasan yang terjadi mirip dengan kekerasan dalam hubungan pacaran dan KDRT. Pelaku terkadang juga menggunakan minuman keras dan obat-obatan terlarang untuk memperdaya korban. Dari hasil studi, pelaku kejahatan anak memiliki ciri kepribadian yang anti sosial dan mengembangkan ketertarikan seksual kepada anak-anak daripada orang dewasa atau pedofilia. Beberapa faktor risiko lain yang menjadikan orang sebagai pelaku antara lain pengalaman menjadi korban, hiperseksualitas, dan penikmat materi seksual yang melibatkan anak (pornografi anak).[29]

Anak-anak korban eksploitasi seksual memiliki kerentanan lebih tinggi daripada orang dewasa yang berada dalam situasi yang sama. Mereka lebih rentan terserang HIV, peningkatan kemungkinan jalur genital yang robek akibat trauma fisik berulang, lebih rentan terhadap kekerasan, perilaku seksual berisiko yang lebih tinggi, tingkat pengetahuan HIV yang lebih rendah, dan jumlah kontak seksual yang lebih tinggi per harinya.[35] Gangguan kesehatan fisik yang dialami bisa berupa kehamilan tak diinginkan, aborsi berulang, dan terserang penyakit menular seksual secara berulang kali. Risiko kesehatan fisik lain yang mungkin muncul adalah infeksi, kecelakaan traumatis, dan malnutrisi. Masalah kejiwaan yang dapat menghampiri korban antara lain depresi, gangguan stres pasca trauma, pembunuhan, dan bunuh diri. Anak-anak korban komersialisasi seks tidak memiliki kesempatan bersekolah. Mereka juga dijauhi oleh keluarga dan ditolak oleh masyarakat. Akibatnya, mereka kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan dan hidup dalam lingkungan yang tidak higienis.[36] Selain itu, mereka juga rentan terhadap penyalahgunaan obat-obatan terlarang.[28]

Pelacuran anak

sunting

Pelacuran anak mengacu pada pelibatan anak-anak dalam kegiatan seksual dengan imbalan uang atau materi lainnya, seperti hadiah, makanan, dan pakaian. Diperkirakan ada sekitar 1 juta anak-anak yang dilacurkan setiap tahun di dunia dengan jumlah korban seluruhnya mencapai kurang lebih 10 juta anak.[28] Mereka dipekerjakan di tempat pelacuran, klub, panti pijat, bar, kafe, hotel, atau restoran. Anak laki-laki maupun perempuan sama-sama berpotensi dilacurkan. Di Pakistan, misalnya, lebih dari 95% supir truk terlibat hubungan seksual dengan anak laki-laki.[36] Namun, jumlah korban pelacuran anak masih didominasi oleh anak perempuan.[37]

Bagi pelaku eksploitasi, anak-anak lebih mudah dilecehkan daripada orang dewasa. Pelaku memanfaatkan kepatuhan dan sisi naif anak-anak yang membuat mereka tidak mampu membela diri. Perkembangan kognitif, emosional, dan fisik anak-anak juga belum matang. Mereka belum dapat menimbang konsekuensi negatif yang akan ditanggung di masa depan.[2] Selain itu, para pelaku juga terdorong oleh perasaan memiliki kekuatan seksual dan ekonomi yang lebih besar, ingin mencoba pengalaman baru, dan perasaan kebal hukum karena anonimitasnya. Dalam budaya tertentu, mitos sering menjadi pembenaran aktivitas seksual dengan anak-anak. Di beberapa tempat di Asia, misalnya, berhubungan seks dengan gadis perawan dipercaya bisa mencegah penularan dan menyembuhkan HIV/AIDS. Kebanyakan pria juga meyakini bahwa berhubungan seksual dengan perawan bisa meningkatkan kejantanan, memperpanjang usia, dan membawa kesuksesan dalam usaha.[36]

Menurut ahli, beberapa efek psikologis yang timbul pada anak-anak korban pelacuran adalah gangguan stres pasca trauma, harga diri rendah, trauma, mimpi buruk, gangguan makan, dan masalah-masalah psikologis lainnya tergantung pada individu. Anak laki-laki juga berpotensi mengalami krisis identitas seksual. Namun, anak laki-laki bisa lebih terbuka atas pengalaman masa lalunya dan masyarakat lebih dapat menerima keberadaan mereka. Sedangkan pada korban anak perempuan, mereka cenderung lebih tertutup dan merahasiakan kejadian tersebut karena kekhawatiran terhadap stigma.[38]

Menurut LSM Save the Children, pandemi Covid-19 membuat anak-anak korban pelacuran semakin terisolasi. Akibat pandemi, praktik pelacuran anak berpindah dari jalan ke dalam ruangan dan daring dan ini semakin menyulitkan upaya penyelamatan korban.[39] Selama pandemi, jumlah kasus pelacuran anak cenderung mengalami peningkatan. Di Indonesia, para pelaku mendekati korban melalui platform media sosial, seperti Facebook dan MiChat. Dari situ, mereka menjalin hubungan sebelum akhirnya memanfaatkan korban untuk uang. Menurut pegiat dari Ecpat International, alasan ekonomi menjadi pendorong bagi anak-anak untuk melacurkan diri. Selain itu, akses luas ke internet yang tidak disertai dengan kemampuan literasi digital yang memadai membuat anak-anak mudah terjebak dan menjadi korban.[40]

Pariwisata seks anak

sunting

Menurut definisi PBB, pariwisata seks anak adalah eksploitasi anak-anak oleh pelaku yang melakukan perjalanan lokal atau internasional dengan tujuan melakukan aktivitas seksual dengan mereka. Beberapa wilayah di dunia yang memiliki sejarah panjang dalam pariwisata seks anak antara lain Asia Tenggara, Amerika tengah, dan Brasil. Sedangkan beberapa kawasan yang terakhir dimasukkan ke dalam daftar meliputi Amerika Selatan, Afrika wilayah selatan, barat laut, dan timur, India, serta Mongolia. Sedangkan konsumen rata-rata datang dari negara-negara Eropa, Amerika Utara, Rusia, Jepang, Taiwan, Australia, dan Selandia Baru.[29] Jumlah korban tidak diketahui secara pasti, tetapi menurut perkiraan mencapai jutaan. Indonesia merupakan salah satu tujuan utama wisata seks anak di dunia, dua daerah yang paling terdampak adalah Bali dan Batam. Setiap tahun ada sekitar 100.000 perempuan dan anak yang diperdagangkan di Indonesia, 30% dari mereka merupakan anak berusia di bawah usia 18 tahun.[41] Menurut penelitian, pelaku maupun korban wisata seks anak sama-sama sulit diidentifikasi.[42]

Menurut sejumlah peneliti di Jerman, pariwisata seks anak didorong oleh kesan anonimitas yang timbul saat pelaku berada di negara asing dan asumsi berbasis prasangka mengenai budaya setempat. Orang-orang asing berasumsi bahwa anak-anak lokal memiliki keinginan seksual karena faktor budaya dan lingkungan yang berbeda dengan negara asal mereka. Konsumen pariwisata seks anak terdiri atas dua kelompok, yaitu orang-orang yang berniat dari awal dan mereka yang mau karena ada tawaran kesempatan.[29] Sedangkan peneliti di Indonesia berpendapat bahwa pariwisata seks anak tidak selalu dilakukan oleh warga negara asing. Bah dan Artaria, peneliti dari Universitas Airlangga, mengungkapkan adanya kesalahpahaman di masyarakat tentang hal ini. Menurut mereka, fenomena pariwasata seks anak dapat ditemui di masyarakat tanpa memandang status sosial ekonomi maupun politik. Hampir semua orang bisa terlibat, termasuk pria dan wanita, teman dekat, anggota keluarga, dan orang-orang dari semua orientasi seksual dan status sosial ekonomi.[42]

Dari hasil studi literatur sistematik, peneliti menemukan teknik dan strategi yang dilakukan pelaku untuk merekrut korban turisme seksual anak, yaitu teknik jeratan utang, kekerasan emosional, dukungan fisik, cinta palsu, kecanduan narkoba, kekerasan fisik, pemberian hadiah dan bantuan, penerapan kekuasaan dan otoritas, pemberian janji palsu, serta grooming. Anak-anak, karena faktor kerentanan dan ketidakdewasaan, juga bisa tergoda dengan iming-iming materi yang dapat digunakan untuk membiayai gaya hidup.[42] Di Bali, para aktivis HAM menyatakan bahwa pelaku pedofil Australia menyerbu pulau itu dan menjebak korban dengan berpura-pura mengadopsi dan mengangkat korban sebagai anak asuh. Anak laki-laki lebih rentan terhadap pelecehan seksual karena pandangan umum laki-laki lebih maskulin dan kuat, sehingga kecil kemungkinannya menjadi korban kejahatan seks. Pelaku berasumsi mereka akan sulit diringkus karena anak laki-laki umumnya lebih memilih diam daripada menceritakan pengalaman buruk yang dialami.[41]

Pornografi anak

sunting

Undang-Undang Federal AS mendefinisikan pornografi anak sebagai penggambaran visual perilaku seksual eksplisit yang melibatkan anak di bawah umur atau orang yang berusia kurang dari 18 tahun. Pornografi anak dalam bentuk gambar juga dikategorikan sebagai pelecehan seksual anak.[43] Anak-anak yang terlibat dalam pornografi adalah korban perdagangan meskipun tidak ada bukti kekerasan, ancaman, paksaan atau penipuan. Para ahli hukum berpendapat bahwa pornografi yang melibatkan anak-anak memenuhi kriteria hukum perdagangan seks. Aspek komersial dari pornografi anak terletak pada bisnis video porno yang diedarkan melalui internet. Pelaku kejahatan memperdagangkan sesuatu yang dipandang bernilai secara komersial.[44] Selain video dan gambar, pornografi anak dapat berupa telepon dan panggilan video seks [45] dan teks.[46] Di era digital saat ini, pornografi anak merupakan salah satu bentuk praktik kekerasan dan penyalahgunaan yang difasilitasi teknologi.[46]

Selama masa pandemi Covid-19, konten seks komersial anak dilaporkan mengalami peningkatan cukup signifikan. Permintaan pornografi anak di beberapa negara anggota Uni Eropa meningkat sebesar 30%.[39] Upaya perusahaan-perusahaan teknologi untuk memoderasi konten juga terhambat oleh kebijakan kerja yang berubah akibat pandemi. Saat ini, pembuat dan distributor video dan gambar seks anak menyebarkan iklan melalui sejumlah platform besar, seperti YouTube, Facebook, Twitter dan Instagram. Mereka menggunakan bahasa kode yang mampu mengelabui alat pendeteksi milik perusahaan-perusahaan media sosial tersebut. Akibatnya, perusahaan media sosial kini sangat bergantung pada laporan masyarakat. Jika sudah bertemu dengan konsumen yang tepat, pelaku menggiring konsumen ke kanal yang lebih privat yang telah diamankan oleh enkripsi atau layanan berbagi data tanpa pengawasan. Menurut pakar, selama pandemi, laporan aktivitas eksploitasi seksual anak meningkat rata-rata 30% secara global. Selama pandemi, orang dewasa dan anak-anak sama-sama tinggal di rumah dan menghabiskan banyak waktu di internet. Orang dewasa bisa menjadi predator, sementara anak-anak rentan menjadi korban, baik oleh orang-orang di sekitarnya, seperti keluarga dan teman, maupun predator asing yang ditemui di dunia maya. Pelaku kejahatan seksual anak bisa mengeksploitasi status sosial ekonomi anak-anak dengan mengiming-imingi mereka uang.[47]

Meski dampaknya merusak, beberapa negara tidak memiliki undang-undang tentang pornografi anak. Berdasarkan hasil studi pada 2006, sebanyak 95 negara dari 184 negara anggota Interpol dilaporkan belum mengatur masalah ini dalam hukum positif mereka. Di beberapa negara yang lain, undang-undang yang ada dipandang belum memadai. Di 138 negara, kepemilikan pornografi anak tidak dianggap sebagai kejahatan, sedangkan 122 negara tidak mempunyai undang-undang yang secara khusus mengatur distribusi pornografi anak melalui komputer dan internet. Hanya lima negara yang dipandang memiliki peraturan yang cukup komprehensif dan berdampak untuk upaya penghapusan pornografi anak yaitu Australia, Belgia, Prancis, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat.[48]

Pernikahan paksa dan pernikahan anak

sunting

Pernikahan paksa merupakan perkawinan yang di dalamnya terdapat orang tak mampu menolak paksaan menikah oleh orang lain, seperti orang tua, wali, kerabat atau orang dan kelompok lain. Sedangkan pernikahan anak adalah pernikahan paksa terhadap individu di bawah usia 18 tahun. Karakteristik utama pernikahan paksa adalah tidak adanya persetujuan oleh setidaknya satu orang dalam hubungan perkawinan.[39] Anak laki-laki maupun perempuan sama-sama bisa menjadi korban pernikahan paksa dan dini, tetapi jumlah korban didominasi oleh anak-anak perempuan.[49]

Berdasarkan penelitian, korban pernikahan dini umumnya adalah anak-anak perempuan yang berlatar belakang keluarga miskin. Pernikahan paksa tersebut diatur oleh anggota keluarga, agen pernikahan atau perantara dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial atau materi. Dalam beberapa kasus, pengantin wanita diculik oleh keluarga maupun agen. Beberapa metode pemaksaan atau penipuan digunakan untuk mendapatkan persetujuan korban dan walinya, termasuk penculikan, penipuan, penyalahgunaan kerentanan, dan penerimaan pembayaran atau hadiah. Korban menghadapi kekerasan, pelecehan, dibatasi pergerakannya serta dijauhkan dari orang tua dan teman-teman mereka.[50] Meski pernikahan anak di bawah usia 18 tahun telah resmi dilarang di 88% negara di dunia, ada perkecualian yang bisa diterapkan jika orang tua atau wali memberikan persetujuan. Sebanyak 27% negara yang memiliki undang-undang yang mewajibkan persetujuan orang tua juga memiliki celah hukum. Orang tua bisa memberikan persetujuan untuk menikahkan anak perempuan di usia dua sampai empat tahun lebih awal daripada anak laki-laki. Anak-anak perempuan ini biasanya dinikahkan dengan pria yang usianya sangat jauh di atasnya.[16]

Pernikahan paksa umumnya tidak dilakukan secara resmi dan tercatat. Sehingga, statistik kasusnya menjadi bervariasi. Pada 2003, International Center for Research on Women memperkirakan lebih dari 51 juta anak perempuan di bawah usia 18 tahun dinikahkan secara paksa. Sementara laporan ILO pada 2016 menyebutkan sekitar 15.4 juta orang hidup dalam pernikahan paksa.[18] Pernikahan paksa dan pernikahan dini banyak terjadi di negara-negara di Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, serta bekas republik Soviet. Namun demikian, kasus kawin paksa juga masih ditemukan di negara-negara lebih maju, seperti Amerika Utara dan Eropa. Korban kawin paksa juga bisa sekaligus menjadi korban perbudakan yang lain, misalnya perdagangan anak untuk tujuan seksual.[39] Anak-anak korban kawin paksa dan pernikahan dini kehilangan otonomi seksualnya dan rentan dijadikan pekerja domestik dan non formal berkedok perkawinan.[18] Korban kesulitan mendapatkan pertolongan karena kekhawatiran terhadap stigma. Tradisi lokal, kepercayaan agama dan struktur sosial menghambat upaya pencegahan pernikahan paksa. Dalam banyak budaya, pernikahan dipandang sebagai urusan pribadi dan keluarga, sehingga, meski ada kekerasan di dalamnya, korban dan keluarga cenderung enggan melapor.[50] Anak-anak korban pernikahan dini rentan terhadap KDRT, komplikasi kehamilan dan kelahiran, dan HIV.[16]

Pengantin pesanan

sunting

Pengantin pesanan pos (mail-order bride) adalah perempuan yang dapat dipilih dan dipesan sebagai pasangan. Mereka dapat dipesan melalui agen, baik secara tatap muka maupun melalui internet. Pengantin perempuan biasanya adalah penduduk negara berkembang yang ingin menikah dengan warga negara asing, umumnya dari negara yang lebih maju. Korban tertipu janji calo yang menawarkan kehidupan yang lebih baik di negara baru. Para pria yang menghendaki pasangan bisa memilih perempuan dengan membayar sejumlah uang kepada agen. Mereka lantas membiayai perjalanan perempuan ke negaranya untuk melangsungkan pernikahan. Pernikahan dengan akad jual-beli ini tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Faktor perbedaan bahasa, budaya, dan adanya kekerasan domestik menjadi beberapa kendala. Jika terjadi kekerasan, korban juga sulit untuk kembali ke negara asalnya akibat hambatan biaya. Mereka umumnya dibuat sangat tergantung pada suami.[16] Korban pengantin pesanan tidak hanya perempuan dewasa, tapi juga anak-anak.[51]

Budaya patriarki mendorong para pria di negara-negara tujuan untuk mencari perempuan dengan standar-standar norma dan peran gender tradisional. Karakteristik istri ideal, menurut mereka, antara lain berorientasi keluarga, tidak tertarik mengejar pendidikan dan karier, serta tidak pernah berpikir tentang perceraian. Perempuan dari Asia, misalnya Filipina, digambarkan memiliki idealitas tersebut.[52] Di Tiongkok, perempuan Eropa Timur dipandang lebih mampu menerima dan lebih mementingkan karakter suami yang baik dan peduli pada keluarga dibandingkan harta.[53] Pandangan patriarki heteronormatif seperti ini dapat mendorong laki-laki untuk bersikap kasar terhadap perempuan yang tidak mengikuti peran gendernya.[54] Laki-laki dari kalangan menengah ke atas di Cina cenderung memilih pengantin dari Eropa Timur, sedangkan kalangan bawah mencari wanita dari kawasan Asia Tenggara.[53]

Pengantin perempuan rentan menjadi korban perdagangan orang. Mereka disalurkan ke bisnis seks komersial dan kerja paksa lainnya. Di Indonesia, korban pengantin pesanan dikirim untuk pria yang berasal dari Taiwan, Tiongkok, Singapura, dan Hong Kong.[55] Penelitian di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa pengantin pesanan biasanya berasal dari keluarga miskin dan kurang terdidik. Jumlah pengantin pesanan dari Taiwan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sejak 1992, setidaknya ada lebih dari 2000 perempuan Indonesia yang menikah dengan pria Taiwan dan memperoleh izin tinggal di Taiwan setiap tahunnya.[56] Selain Indonesia, kawasan yang dikenal sebagai sumber pengantin pesanan adalah negara-negara di Asia Tenggara lainnya, Asia Selatan[56], serta Eropa Timur.[53]

Kerja paksa

sunting
 
Seorang pekerja anak di Etiopia

Anak korban perdagangan juga dipekerjakan di berbagai sektor ekonomi swasta dan informal, beberapa di antaranya adalah pekerjaan domestik (pekerja rumah tangga), pertanian dan perkebunan komersial, perikanan atau pekerjaan jermal, budidaya narkotika dan obat-obatan terlarang serta perdagangannya, sektor konstruksi, serta industri manufaktur.[18] Sebagian lain dipekerjakan di jalanan dengan menjadi pengamen dan pengemis.[57]

Pekerjaan domestik lebih banyak diisi oleh pekerja anak perempuan. Menurut laporan ILO, beberapa risiko yang dihadapi oleh anak-anak pekerja domestik berupa upah yang tidak dibayar, penahanan upah, upah lembur yang rendah, jam kerja yang panjang dan beban kerja yang berat, hari istirahat yang tidak memadai, tidak adanya perawatan kesehatan dan cuti hamil, kondisi hidup yang buruk, dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kontrak dan pemutusan hubungan kerja.[18]

Menurut laporan ILO, mayoritas korban kerja paksa mengalami berbagai bentuk paksaan dari majikan atau agen sebagai cara untuk mencegah mereka melarikan diri. Hampir seperempat korban (24%) gajinya dipotong atau diancam tidak akan dibayar dengan upah yang seharusnya agar tidak kabur. Disusul dengan ancaman kekerasan (17%), tindak kekerasan fisik (16%), dan ancaman terhadap keluarga (12%). Sebanyak 7% dari perempuan mengalami kekerasan seksual.[18]

Tentara anak

sunting
 
Tentara anak anggota kelompok pemberontakan LURD di Liberia

Peperangan menimbulkan beragam dampak negatif, antara lain kemiskinan, peningkatan jumlah pengungsi, menurunnya tingkat keamanan, dan munculnya kebutuhan tenaga kerja untuk perang. Dalam situasi konflik dan perang, anak menjadi korban perdagangan yang dilakukan oleh orang dewasa termasuk oleh orang tua mereka sendiri.[58] Menurut ilmuwan, seorang tentara anak diperdagangkan ketika memenuhi satu atau beberapa kriteria yaitu mengalami perekrutan paksa, direkrut tanpa persetujuan dari orang tua atau wali, dan ketika orang-orang tersebut tidak sepenuhnya diinformasikan tentang tugas-tugas yang terlibat dalam dinas militer.[59] Anak-anak juga bisa terlibat dengan 'sukarela' dengan alasan sebagai tanda hormat kepada keluarga dan kelompok yang mereka bela, taktik bertahan hidup karena dijanjikan keamanan dan rasa kekeluargaan, dijanjikan bayaran, atau ingin membalas dendam atas ketidakadilan yang dialami.[16]

Anak-anak yang berpindah-pindah tempat karena mengungsi adalah salah satu kelompok yang paling rentan diculik dan dipaksa menjadi tentara anak. Korban bisa anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka diculik dari rumah, disiksa, diindoktrinasi secara brutal, dipaksa mabuk dengan obat-obatan terlarang, diancam akan dibunuh atau dipotong-potong anggota tubuhnya jika tidak melawan. Mereka juga dipaksa kembali ke rumah untuk menyaksikan atau berpartisipasi dalam kematian atau penyerangan terhadap anggota keluarga mereka sendiri, diharuskan membunuh teman-temannya yang membangkang, dan dipaksa menyaksikan temannya dihukum saat mencoba melarikan diri. Beberapa anak yang berusaha kabur dilaporkan direbus hidup-hidup dan tentara anak lainnya dipaksa memakan daging manusia sebagai bagian dari pelatihan mereka. Anak perempuan sering diperkosa, diperbudak, dan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari. Anak-anak ini dibius untuk menghilangkan rasa takut, dipersenjatai, dan diindoktrinasi atau dicuci otak untuk melakukan berbagai macam kekejaman.[60]

Pelibatan anak-anak dalam konflik memiliki beberapa tujuan spesifik, yaitu untuk memenangkan perang, memenuhi kebutuhan seksual tentara dewasa, menambah pasokan tenaga kerja, dan untuk menyiapkan mereka menjadi tentara yang tangguh dan cekatan.[61] Mereka ditugaskan antara lain untuk terlibat dalam pertempuran langsung atau bekerja sebagai mata-mata, juru masak, pembawa pesan, kuli, pelaku bom bunuh diri, dan budak seks.[16] Sebagai prajurit perang, anak-anak terancam terluka fisik, kehilangan anggota tubuh, hingga tewas di medan perang. Anak-anak juga berisiko mengalami gangguan jiwa akibat menyaksikan dan terlibat dalam aksi kekerasan.

Tentara anak sudah ada pada perang dunia kedua. Saat ini mereka banyak ditemui di negara-negara berkonflik dan terlibat terorisme, seperti negara-negara di Afrika, Timur Tengah,[61] dan Amerika Selatan[16]. Menurut laporan Child Soldiers International, jumlah anak-anak yang terlibat dalam konflik bersenjata meningkat 159% sejak 2012.[16] Selama perang sipil yang berlangsung selama 17 tahun di Sierra Leone, sebanyak satu juta anak terpaksa mengungsi. Di antara mereka, ada sekitar 25.000 anak-anak yang diculik dan dijadikan prajurit anak. Di negara yang menderita konflik sipil, tentara anak rentan dieksploitasi oleh organisasi paramiliter informal yang bukan bagian dari pemerintah.[14]

Adopsi ilegal

sunting

Perdagangan anak untuk kepentingan adopsi secara ilegal seringkali melibatkan penculikan, penipuan dalam pernyataan adopsi, pemalsuan dokumen, pemaksaan terhadap orang tua kandung, dan adanya keuntungan finansial bagi penyalur.[62] Salah satu negara yang paling menderita adopsi ilegal adalah Tiongkok dengan jumlah korban yang mencapai puluhan hingga ratusan ribu per tahun. Di Cina, mayoritas korban dijual atau ditinggalkan oleh orang tua mereka dan konsumen membeli mereka dengan tujuan pengangkatan anak. Anak korban perdagangan dijual beberapa kali, termasuk melalui geng. Pendorong utama perdagangan anak di Tiongkok adalah kemiskinan, aturan adopsi yang ketat, dan keuntungan finansial.[63] Hal ini ditambah dengan 'kebijakan satu anak' yang sempat diberlakukan sejak 1980 hingga 2016.[64] Tradisi Cina yang memiliki favoritisme terhadap anak laki-laki daripada anak perempuan juga turut mendukung tren perdagangan anak. Anak laki-laki dijual dengan harga lebih tinggi. Sepanjang 2008 hingga 2017, sebanyak 59% korban perdagangan anak yang tercatat di pengadilan adalah anak laki-laki.[65] Adopsi ilegal di Cina kini juga dilakukan secara daring lewat forum dan kelompok obrolan di internet.[66]

Perdagangan organ

sunting

Salah satu jenis eksploitasi yang paling terselubung dalam perdagangan orang adalah jual beli organ. Perdagangan organ adalah praktik mencuri atau membeli organ melalui eksploitasi untuk dijual di pasar gelap. Bentuk jual beli organ yang lain berupa wisata transplantasi yaitu bepergian ke negara lain dengan tujuan untuk membeli, menjual, atau menerima organ. Perdagangan organ bisa dalam bentuk jual beli organ saja atau memperdagangkan orang untuk diangkat organnya.[67] Diperkirakan 10% dari seluruh transplantasi organ yang dilakukan di dunia melibatkan transaksi di pasar gelap. Perdagangan ini umumnya dilakukan oleh calo yang berasal dari komunitas yang sama dengan korban. Mereka berperan untuk mencari dan memperdaya korban, termasuk dengan menipu. Korban biasanya dijanjikan dengan bayaran, pembebasan utang, atau diyakinkan bahwa organ yang dijual bukan bagian penting dari tubuh mereka atau dapat tumbuh lagi dengan sendirinya. Seringkali korban tidak menerima bayaran sesuai dengan yang dijanjikan.[16]

Jual beli organ di pasar gelap didorong oleh tingginya permintaan, sementara persediaan yang ada sangat sedikit. Para pelaku kejahatan perdagangan organ biasanya menyasar korban laki-laki dan perempuan penduduk negara berkembang, dan terkadang juga anak-anak. Beberapa kelompok yang paling berisiko terhadap perdagangan organ antara lain orang-orang miskin dan buta huruf, serta komunitas rentan, seperti narapidana, imigran gelap, dan pengungsi politik dan ekonomi. Pada kasus yang melibatkan orang dewasa, ada kemungkinan mereka dengan kesadaran sendiri menjual organnya di pasar gelap. Namun, pada anak-anak, seringkali korban dilaporkan telah hilang atau ditemukan meninggal dunia dengan beberapa organ yang sudah lenyap.[67] Jumlah korban tidak diketahui secara pasti, tetapi WHO memperkirakan jumlah mereka terus meningkat setiap tahun. Tiongkok merupakan salah satu negara tujuan turisme transplantasi organ. Para penerima donor adalah orang-orang kaya yang melakukan wisata transplantasi. Mereka berasal dari berbagai negara antara lain AS, Arab Saudi dan negara-negara teluk, Taiwan, Jepang, Mesir, Israel, hingga negara-negara di Amerika Selatan. Menurut sebuah studi, sekitar 70% penerima donor tidak tercatat dalam sistem donor organ resmi.[16]

Perdagangan anak di dalam negeri

sunting

Perdagangan manusia di dalam negeri sulit terdeteksi karena keterbatasan definisi 'perdagangan' dan korban yang tidak semenonjol korban orang asing.[68] Menurut pakar, perdagangan anak di dalam negeri kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan perdagangan anak transnasional. Berdasarkan laporan di Amerika Serikat, anak-anak yang diperdagangkan di dalam negeri AS umumnya untuk tujuan eksploitasi seksual.[69] Diperkirakan sekitar 150.000 sampai 300.000 anak-anak warga dan warga tetap AS menjadi korban eksploitasi seksual komersial setiap tahunnya.[70] Masalah keluarga seperti orang tua yang kecanduan, disfungsi keluarga, dukungan keluarga yang kurang, dan tekanan ekonomi juga dapat menjadi faktor risiko anak diperdagangkan.[71] Di Indonesia, prostitusi juga merupakan salah satu tujuan utama eksploitasi anak. Perdagangan anak di dalam negeri selama Januari hingga April 2021 didominasi oleh pelacuran anak, jumlahnya mencapai 217 anak atau 93% dari keseluruhan korban.[72] Temuan ini konsisten dengan hasil laporan KPAI pada tahun-tahun sebelumnya yang menyebutkan bahwa eksploitasi seksual komersial dan kekerasan seksual mendominasi kasus perdagangan anak.[73]

Perdagangan anak lintas negara

sunting

Perdagangan anak juga bisa menjadi kejahatan transnasional jika melibatkan dua negara atau lebih. Anak-anak dapat diperdagangkan ke negara-negara tetangga atau ke negara-negara lain yang lebih jauh. Sebuah negara dapat memiliki satu atau lebih peran dalam proses perdagangan, yaitu sebagai negara sumber (pemasok), negara transit, dan negara tujuan. Di masa kolonialisme, negara jajahan menjadi negara pemasok budak, sedangkan negara penjajah menjadi negara tujuan. Hal yang sama juga terjadi saat ini, negara maju menjadi tujuan bagi orang-orang yang diperdagangkan dari negara-negara miskin dan berkembang.[20]

Pelaku kejahatan perdagangan orang lintas negara biasanya adalah sindikat dan melibatkan jaringan mafia yang ada di dalam negeri, mereka bertugas sebagai perekrut atau agen.[73] Globalisasi dan kemudahan untuk melakukan perjalanan internasional menjadi salah satu faktor penarik kejahatan-kejahatan lintas negara, termasuk perdagangan perempuan dan anak.[74] Di Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia membuat daftar modus yang sering digunakan dalam perdagangan anak, yaitu: "pengiriman buruh migran perempuan, pengiriman Pembantu Rumah Tangga (PRT), eksploitasi seksual, perbudakan, pengantin pesanan, pekerja anak, pengambilan organ tubuh, adopsi anak, penghambaan, duta seni, budaya, dan bahasa, serta kerja paksa hingga penculikan anak atau remaja".[73] Di Indonesia, transaksi perdagangan anak dan perempuan lintas negara sering terjadi di perbatasan negara. Oleh karena itu, perdagangan perempuan dan anak turut dipicu oleh lemahnya tingkat penjagaan dan keamanan di wilayah perbatasan.[74] Tindak pidana perdagangan orang lintas negara seringkali sulit untuk ditindak hukum akibat kurangnya bukti. Menurut para aktivis, upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah meningkatkan sosialisasi pencegahan di masyarakat.[75]

Faktor-faktor penyebab perdagangan anak

sunting

Anak-anak rentan terhadap perdagangan orang antara lain karena kemiskinan, kurangnya kesadaran mengenai buruh anak, tingkat pendidikan yang rendah, minimnya pencatatan kelahiran, krisis kemanusiaan, faktor budaya,[76] undang-undang yang tidak efektif, dan lemahnya penegakan hukum dalam tindak pidana perdagangan orang.[77] Faktor sosial dan budaya, seperti kesenjangan gender yang ada dalam beberapa budaya, menyebabkan anak-anak perempuan lebih rentan terhadap perdagangan.[3] Para ilmuwan juga menyebut globalisasi ekonomi sebagai faktor yang turut menyuburkan perdagangan anak lintas negara. Hal ini ditandai dengan kemudahan melakukan perjalanan antar negara, terutama dari negara berkembang ke negara maju, baik secara sah maupun ilegal. Pelaku kejahatan internasional memanfaatkan hal tersebut untuk memperdagangkan manusia dan mengirim uang, barang, dan jasa.[77]

Faktor ekonomi

sunting

Faktor pendorong terbesar perdagangan anak adalah kemiskinan dan keterbatasan lapangan pekerjaan. Warga miskin, termasuk di antaranya anak-anak, termotivasi untuk memperbaiki nasib dengan mencari pekerjaan ke luar kota, daerah, hingga luar negeri.[78] Sayangnya, mereka tidak memiliki informasi yang cukup tentang daerah atau negara yang akan mereka tuju, sehingga mereka menghadapi risiko diperdagangkan.[79] Beberapa negara yang mengalami perpecahan, seperti negara-negara eks Uni Soviet, menderita kelemahan ekonomi. Kondisi ini mendorong suburnya perdagangan perempuan dan anak di kawasan Eropa Timur.[80] Di Indonesia, kemiskinan, pengangguran, dan tingkat pendidikan yang rendah merupakan beberapa faktor pendorong perdagangan anak dan perempuan.[25] Faktor ekonomi ini terkadang berpadu dengan faktor ekologis, di antaranya tingkat kepadatan penduduk tinggi yang turut menyumbang kerentanan suatu daerah. Provinsi berpenduduk padat, seperti Jawa Timur, memiliki kerentanan yang lebih tinggi. Jawa Timur dikenal sebagai pengirim, penerima, dan daerah transit untuk perdagangan orang baik domestik maupun lintas negara. Provinsi ini juga merupakan penyumbang buruh migran terbesar di Indonesia, dan oleh karenanya rentan terhadap perdagangan manusia.[81]

Faktor lingkungan

sunting

Sebagian anak menjadi korban perdagangan karena faktor lingkungan, misalnya didorong dan dipaksa oleh orang tua.[82] Berdasarkan penelitian di Kota Malang, Jawa Timur, diketahui bahwa beberapa orang tua menyuruh anaknya untuk mengamen dan mengemis guna mencukupi kebutuhan mereka, termasuk membeli rokok.[83] Di Jawa Barat, ditemukan orang tua yang mengeluh saat putrinya dikembalikan ke keluarga setelah diselamatkan dari kasus perdagangan. Mereka tidak siap kehilangan pemasukan dari anaknya yang dipaksa bekerja sebagai pekerja seks.[84] Kurangnya perhatian orang tua terhadap anak juga menjadi faktor lingkungan yang memperbesar risiko. Berdasarkan hasil studi, anak-anak yang tidak memiliki dukungan sosial memadai, memiliki sejarah sebagai korban kekerasan fisik, seksual, dan pengalaman masa kecil yang merugikan (adverse childhood experiences), serta memiliki citra diri yang rendah seringkali menjadi sasaran pelaku perdagangan orang. Selain itu, anak-anak imigran yang tidak tercatat dan anggota komunitas terpinggirkan juga rentan menjadi korban eksploitasi. Beberapa contoh komunitas yang mengalami peminggiran antara lain penduduk asli, anak-anak minoritas seksual, dan mereka yang berasal dari ras/kelompok etnik minoritas. Mereka yang harus berpindah tempat tinggal karena tertimpa bencana alam dan konflik sosial juga rentan diperdagangkan.[85]

Faktor pendidikan

sunting

Kemiskinan membuat anak-anak kesulitan untuk mengakses pendidikan yang layak. Setelah lulus SMP/SMA, banyak dari mereka yang ingin langsung bekerja. Tanpa pengalaman dan kemampuan yang memadai, mereka tergiur dengan janji gaji besar yang ditawarkan oleh agen.[83] Pendidikan yang rendah dan usia dini juga berhubungan dengan tingkat literasi digital yang lemah. Akses anak-anak yang lebih luas terhadap internet saat ini tidak diimbangi dengan kemampuan literasi yang baik. Akibatnya, banyak dari mereka yang terlibat dalam penyalahgunaan media sosial, serta mudah terjebak oleh bujukan pelaku grooming. Hal ini semakin terlihat selama masa pandemi Covid-19.[40] Banyaknya waktu yang dihabiskan di dunia maya selama pandemi menjadikan anak-anak lebih rentan terpapar konten seksual dan kemungkinan berkontak dengan para predator. Anak-anak juga belum memiliki pengetahuan, kemampuan, dan sumber daya yang memadai untuk menjaga diri mereka sendiri saat menggunakan internet.[86]

Faktor sosial dan budaya

sunting

Adat dan budaya patriarki mendorong suburnya perdagangan anak. Beberapa budaya lebih mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan,[87] seperti di Tiongkok[88] dan India[89]. Di beberapa budaya, seperti di Timur Tengah, Asia Selatan dan Afrika Utara, orang tua juga harus menyediakan mahar tinggi saat menikahkan anak perempuan mereka. Akibatnya, anak perempuan sering dianggap sebagai beban keluarga.[90] Kondisi tersebut menimbulkan kesenjangan akses antara laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan, ekonomi, dan lapangan kerja. Faktor kemiskinan dan pandangan bahwa anak perempuan sebagai beban tersebut mendorong orang tua untuk menjual anak perempuannya ke agen pelacuran. Selain terlepas dari tanggung jawab, orang tua juga termotivasi oleh imbalan uang.[87] Di negara-negara tertentu, ada pandangan umum bahwa anak harus mendukung ekonomi keluarga. Di sisi lain, budaya mengutamakan anak laki-laki membuat proporsi penduduk antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang di Cina. Sehingga, untuk mendapatkan pasangan, banyak laki-laki Cina memesan calon pengantin perempuan dari luar negeri. Hal ini kemudian turut berkontribusi pada penyalahgunaan pengantin pesanan.[53]

Perkawinan anak juga menjadi faktor pendorong perdagangan anak. Di Indonesia, anak-anak yang menikah kemudian bercerai akan kesulitan menemukan pekerjaan layak. Mereka pun akhirnya terdorong untuk bekerja di luar negeri dan berpotensi terjebak dalam perdagangan orang.[81] Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI menyebutkan beberapa faktor utama yang mendorong perdagangan anak dan perempuan, yaitu "kebiasaan merantau untuk memperbaiki nasib, budaya konsumtif, tradisi perkawinan anak, dan diskriminasi gender".[25] Pemahaman yang rendah mengenai hak-hak anak juga merupakan faktor sosial budaya yang menyuburkan perdagangan anak di beberapa negara.

Faktor penegakan hukum

sunting

Tingginya angka kasus perdagangan anak juga disebabkan oleh ketiadaan aturan hukum yang jelas dan lemahnya penegakan hukum terhadap kasus perdagangan manusia.[83] Perdagangan anak umumnya melibatkan jaringan pelaku yang beroperasi secara rapi, sehingga menyulitkan upaya pengungkapan perkara. Hal ini ditambah dengan aparat penegak hukum yang lambat dalam menangani kasus.[91] Pakar hukum di Indonesia mengindikasikan adanya upaya intervensi kasus oleh pelaku. Akibatnya, peran aparat dalam penegakan hukum perdagangan manusia menjadi lemah.[92] Hal yang sama juga terjadi dalam kasus pornografi anak dan pernikahan anak, banyak negara yang masih memiliki aturan yang permisif atau bahkan belum memiliki undang-undangnya sama sekali.[48]

Perdagangan anak dan penggunaan obat-obatan terlarang

sunting

Penyalahgunaan narkotika di kalangan korban perdagangan anak merupakan sesuatu yang umum ditemui. Obat-obatan terlarang digunakan untuk berbagai tujuan di antaranya mendorong kepatuhan, menciptakan ketergantungan, menimbulkan "kebiasaan", menghukum korban yang memberontak, mengatasi stres akibat perdagangan seks, menjerat korban yang rentan, mengkriminalisasi korban, dan melumpuhkan korban. Berdasarkan laporan, sebanyak 70% korban perdagangan orang menggunakan narkotika. [16]

Para pelaku menggunakan narkoba untuk menarik sebagian kecil korban yang sudah memiliki ketergantungan sebelumnya. Obat-obatan terlarang juga digunakan untuk mengikat pemakai baru. Narkotika juga digunakan sebagai hadiah atas kepatuhan dan sebagai hukuman bagi korban yang sudah mencapai level adiksi. Pelaku juga terkadang memaksa korban untuk mengonsumsi zat adiktif agar mereka ketergantungan, ketergantungan membuat korban berhutang kepada pengedarnya, dapat mengendalikan korban, dan korban memilih tetap tinggal akibat adanya ikatan trauma terlepas dari pengalaman buruk yang dialami. Bagi korban, obat-obatan menjadi salah satu pelarian untuk berdamai dengan keadaan. Perempuan dan anak korban eksploitasi seks sering dipaksa melayani banyak pelanggan setiap hari, berhubungan seks tanpa kondom, dan dikejar target pendapatan.[16]

Hambatan dalam penanganan perdagangan anak

sunting

Ada sejumlah faktor yang menjadi tantangan dalam upaya penanganan perdagangan anak, baik yang berasal dari korban maupun aspek-aspek lainnya. Namun, tantangan yang utama bersumber dari sifat perdagangan orang itu sendiri. Kejahatan perdagangan orang seringkali sulit terlacak karena sifatnya sebagai kegiatan ilegal. Pangkalan data untuk melacak kasus juga sangat minim dan di lapangan ditemui kesulitan dalam mengidentifikasi korban.[2] Beberapa tantangan yang lain adalah keragaman interpretasi tentang perdagangan anak dan perbedaan usia konsen di beberapa negara, serta aspek kebijakan dan penegakan hukum.

Beragamnya interpretasi mengenai perdagangan anak menjadi tantangan di banyak negara. Di AS, misalnya, ada negara bagian yang mengharuskan adanya unsur migrasi atau perpindahan korban, sedangkan yang lain mengecualikan eksploitasi seksual komersial atas inisiatif individu (seks untuk bertahan hidup) dari perdagangan orang.[2] Dalam konteks pelacuran anak, negara-negara memiliki usia persetujuan atau usia konsen yang bervariasi. Hal yang sama juga terjadi di negara federal seperti AS, usia konsen di negara-negara bagian bisa berbeda-beda. Akibatnya, ada kemungkinan korban perdagangan anak disebut sebagai korban di sebuah negara, tapi di negara lain mereka dikategorikan sebagai pekerja seksual dan pelaku kejahatan.[93] Penegakan hukum yang lemah di beberapa negara menjadi masalah tersendiri. UNICEF melaporkan bahwa masih banyak negara di Eropa yang belum memiliki rencana aksi yang spesifik terkait perdagangan anak pada 2008.[94]

Dari sisi korban, banyak dari mereka yang enggan melapor karena rasa malu, takut, memiliki pengetahuan yang rendah mengenai hak-hak mereka, atau bahkan karena loyalitasnya terhadap pelaku.[2] Anak-anak khawatir terhadap stigma yang diberikan masyarakat terhadap korban eksploitasi seksual komersial.[38] Anak-anak juga cenderung menyalahkan diri sendiri dan memandang bahwa mereka bertanggung jawab atas eksploitasi yang menimpa mereka. Di kalangan tenaga kesehatan, pemahaman minim dan persepsi yang keliru mengenai perdagangan anak juga menjadi penghambat upaya penanganan. Sehingga, mereka semakin rentan karena tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan.[95]

Referensi

sunting
  1. ^ UN General Assembly 2001.
  2. ^ a b c d e Greenbaum et al 2018, hlm. 159-160:"Trafficking may also include forced begging or engaging in criminal acts, forced participation in armed conflict, or illegal adoption. (...)"
  3. ^ a b UNODC.
  4. ^ a b c Cockbain & Olver 2019, hlm. 96:"The Palermo Protocol proved highly influential in galvanising governmental support for counter-trafficking and shaping national legislation and policies. (…)"
  5. ^ Aberdeen City Council 2021.
  6. ^ a b c d e OHCHR 2014a.
  7. ^ U.S. Immigration and Customs Enforcement’s (ICE) 2021.
  8. ^ United Nations Office on Drugs and Crime 2014.
  9. ^ Putri & Takariawan 2017, hlm. 245.
  10. ^ a b Wood 2020, hlm. 1.
  11. ^ a b Rafferty 2007, hlm. 401:"The illegal trading of people for the purpose of exploiting their labour is a fundamental violation of their human rights. (...)"
  12. ^ Moore, Kaplan & Barron 2017, hlm. 413:"The International Labor Organization estimates that 2.5 million adults and children are at risk for trafficking worldwide. (...)"
  13. ^ Save the Children.
  14. ^ a b Beyrer 2004, hlm. 16-17.
  15. ^ Lewoleba & Harefa 2020, hlm. 111.
  16. ^ a b c d e f g h i j k l Meshelemiah & Lynch 2019.
  17. ^ a b c Koh 2019:"Since the 1980s, there has been growing attention and effort on the part of governments, international organizations, non governmental organizations (NGOs), academia, and the media to understand, quantify, and combat the problem more effectively. (...)"
  18. ^ a b c d e f ILO 2017.
  19. ^ Children's Rights Alliance.
  20. ^ a b c Syamsuddin 2020, hlm. 16-17.
  21. ^ a b Agustina 2006, hlm. 47-48.
  22. ^ Chisolm-Straker & Chondate 2021, hlm. 3-4.
  23. ^ Syamsuddin 2020, hlm. 18.
  24. ^ Kompak Jakarta.
  25. ^ a b c Sinaga 2021.
  26. ^ OHCHR 2014b.
  27. ^ Urada et al. 2019, hlm. 4.
  28. ^ a b c Willis & Levy 2002, hlm. 1417-1418:"Worldwide, an estimated 1 million children are forced into prostitution every year and the total number of prostituted children could be as high as 10 million. (...)”
  29. ^ a b c d Koops et al 2017, hlm. 1-2.
  30. ^ a b c Moore, Kaplan & Barron 2017, hlm. 415:"Runaway, homeless, and group home youth are also at high risk because they often come from environments with caregiver abandonment or impaired supervision, poverty, neglect, and abuse (...)"
  31. ^ Elsera 2016, hlm. 16.
  32. ^ CNN Indonesia 2020.
  33. ^ Masahiro 2021.
  34. ^ Parhani 2021.
  35. ^ Urada et al. 2019, hlm. 2.
  36. ^ a b c Busuttil 2011.
  37. ^ Conradi 2013, hlm. 1211:"According to the ILO, girls are disproportionately affected by trafficking, and are trafficked in particular for commercial sexual exploitation and child domestic labor."
  38. ^ a b Lee.
  39. ^ a b c d Relief Web 2020.
  40. ^ a b Yulisman 2021.
  41. ^ a b Moore 2020.
  42. ^ a b c Bah & Artaria 2020, hlm. 527-528.
  43. ^ The United States of Department of Justice 2015.
  44. ^ Human Trafficking Collaborative Network (HTCN) 2017.
  45. ^ Azhari 2020.
  46. ^ a b Bailey 2021, hlm. 1-2.
  47. ^ Solon 2020.
  48. ^ a b ICMEC.
  49. ^ Božić 2017, hlm. 48-49.
  50. ^ a b UN 2020.
  51. ^ Rachmat 2019.
  52. ^ Lloyd 2000, hlm. 341.
  53. ^ a b c d Chow 2017.
  54. ^ Wilk 2017, hlm. 99-100.
  55. ^ Triana, Rochayanti & Isbandi 2009, hlm. 30.
  56. ^ a b Lessy 2006, hlm. 339-340.
  57. ^ The Jakarta Post 2016.
  58. ^ Conradi 2013, hlm. 1214:"When direct appeals to boys and girls fail, recruiters may turn to their parents."
  59. ^ Tiefenbrun 2007, hlm. 2.
  60. ^ Tiefenbrun 2007, hlm. 7-8.
  61. ^ a b Didier 2021.
  62. ^ OHCHR 2021.
  63. ^ Jiang 2016.
  64. ^ McDonell 2021.
  65. ^ Xiong 2021, hlm. asbtract:"The author identified 1,328 court documents of trafficking transactions of children below the age of four for illegal adoption from 2008 to 2017 in China. 59% of the victims were boys (...)"
  66. ^ Yiwen 2016.
  67. ^ a b Bagheri 2016, hlm. 239:"Whether an organ alone is trafficked (trafficking in organ), or a human being is trafficked for the purpose of organ removal, organ shortage for transplantation is the common root of these two kinds of organ trafficking. (...)"
  68. ^ Conradi 2013, hlm. 1210-1211:"Traffificking can take place both across or within state borders. (...)"
  69. ^ Rizen 2015, hlm. 163:"Within doemstic child trafficking, cases on sex trafficking are more prevalent than labor trafficking."
  70. ^ Songs & Joseph 2020, hlm. 140:"Annually, it has been estimated that between 200,000 children are sex-trafficked and 244,000–360,000 children are at risk of being sex trafficked in the United States."
  71. ^ Songs & Joseph 2020, hlm. 141-142:"Family problems, such as parental addiction, family dysfunction, lack of family support, and financial strain, can also serve as risk factors for DMST. (...)"
  72. ^ Jayani 2021.
  73. ^ a b c CNN Indonesia 2019.
  74. ^ a b Ayu & Putri 2018, hlm. 64.
  75. ^ BBC News Indonesia 2019.
  76. ^ Lewoleba & Harefa 2020, hlm. 115.
  77. ^ a b Miko 2001.
  78. ^ Agustina 2006, hlm. 54.
  79. ^ Hanifah 2008, hlm. 49.
  80. ^ Tverdova 2011, hlm. 329-330.
  81. ^ a b Putri & Takariawan 2017, hlm. 248.
  82. ^ Hakim 2021.
  83. ^ a b c Plantika 2019, hlm. 12-13.
  84. ^ Lessy 2006, hlm. 337.
  85. ^ National Center on Safe Supportive Learning Environments 2021.
  86. ^ UNICEF 2020.
  87. ^ a b Kunwar 2020.
  88. ^ Xiong 2021, hlm. abstract:"The author identified 1,328 court documents of trafficking transactions of children below the age of four for illegal adoption from 2008 to 2017 in China. 59% of the victims were boys. (...)"
  89. ^ Krishnan 2018.
  90. ^ Outlook India 2014.
  91. ^ Ardianto 2013, hlm. 12.
  92. ^ Hukum Online 2014.
  93. ^ Rippey 2016.
  94. ^ UNICEF 2008.
  95. ^ Institute of Medicine and National Research Council 2014, hlm. 13.

Daftar pustaka

sunting

Bab buku

sunting

Jurnal

sunting

Dokumen

sunting

Sumber daring

sunting