Peristiwa 19 Agustus 1966

Peristiwa 19 Agustus 1966 adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 19 Agustus 1966 di Bandung, Jawa Barat, Indonesia.

Peristiwa 19 Agustus 1966
Tanggal19 Agustus 1966
LokasiKota Bandung
SebabMassa pelajar dan mahasiswa Bandung melakukan aksi menyatakan sikap dan penolakan mereka terhadap pidato Soekarno "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah"
TujuanMembela Presiden Soekarno
MetodePenyerangan dengan senjata tajam
StatusSelesai
Pihak terlibat
Elemen Masyarakat Kota Bandung Yang Masih Pro Bung Karno
Massa pelajar dan mahasiswa di Bandung

Latar Belakang sunting

Pada perayaan 17 Agustus 1966 di Istana Merdeka yang merupakan perayaan Agustusan terakhir Soekarno sebagai Presiden. Soekarno menyampaikan sebuah pidato keras yang memicu rentetan masalah. Menjelang peringatan HUT ke-21 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu, sejumlah tokoh kesatuan aksi di Bandung (KAMI maupun KASI) telah menduga bahwa pidato yang akan disampaikan Presiden Soekarno dalam acara tersebut akan bernada keras. Ini terbaca melalui tanda-tanda ketidakpuasan yang diperlihatkan Soekarno setelah Sidang Umum IV MPRS pada 20 Juni hingga 5 Juli 1966 yang menolak pidato pertanggungjawabannya dan menanggalkan beberapa gelar dan wewenangnya.

Pada pelantikan Kabinet Ampera sebelumnya, Soekarno pun telah melontarkan ucapan-ucapan keras. Selain menegaskan keinginannya agar konfrontasi terhadap Malaysia tetap dilanjutkan, ia juga menyinggung soal Surat Perintah 11 Maret 1966. Tentang Surat Perintah 11 Maret 1966, Soekarno menyatakan bahwa itu adalah surat perintah biasa dan bukan transfer of authority atau pemindahan kekuasaan. Ia menyatakan Surat Perintah Sebelas Maret itu "bisa saya berikan kepada siapa saja". Namun tentu saja, semua sudah cukup terlambat bagi Soekarno karena Surat Perintah Sebelas Maret itu telah dikukuhkan melalui suatu TAP MPRS yang tak bisa lagi dicabut oleh Soekarno, kecuali ia bisa memulihkan kekuatan pendukungnya.

Untuk menghadapi kemungkinan Soekarno menyampaikan suatu pidato yang keras pada perayaan 17 Agustus 1966, para aktivis kesatuan aksi saat itu telah mempersiapkan beberapa tindakan antisipatif. Sementara itu di berbagai kampus perguruan tinggi di Bandung berlangsung berbagai apel mahasiswa. Mahasiswa pun menyelenggarakan suatu pawai alegoris keliling Kota Bandung pada Senin sore tanggal 15 Agustus. Sikap anti-Soekarno yang paling nyata, terekspresikan dalam pawai alegoris tersebut. Sebuah boneka besar yang menyerupai Soekarno di atas sebuah kendaraan bak terbuka amat menarik perhatian puluhan ribu massa rakyat yang menonton di sepanjang jalan. Dummy yang lengkap dengan berbagai bintang dan tanda jasa di dadanya itu disertai tulisan yang seakan pertanyaan Soekarno, "Tjing kuring hayang nyaho, naon Hati Nurani Rakyat" (Hayo, saya ingin tahu apa itu Hati Nurani Rakyat). Di sekeliling boneka, duduk bersimpuh sejumlah wanita cantik berkebaya atau berpakaian kimono Jepang yang diperankan sejumlah mahasiswi. Kendaraan pengangkutnya berjalan lambat-lambat dihela sejumlah manusia kurus kering, berbaju gembel berjalan tertatih-tatih tanda kelaparan dan kemelaratan.

Sejumlah patung atau boneka sindiran lainnya karya para mahasiswa juga meramaikan pawai. Ada pula dua poster menyolok, berbunyi "Kalau tidak tahu Hati Nurani Rakyat, jangan mengaku Pemimpin Besar Revolusi" dan "Kalau tidak tahu Hanura, minggir saja Bung!" Salah satu boneka dalam arak-arakan itu rupanya tak hanya menyinggung perasaan Soekarno, tetapi juga sejumlah aparat keamanan. Boneka itu dirampas sejumlah aparat di depan Gedung MPRS yang lebih dikenal sebagai Gedung Merdeka. Boneka bertuliskan "Kecap Nomor Satu" di bagian badan dan bertuliskan 'batu' di bagian kepala itu, diinginkan mahasiswa untuk dibawa terus dalam pawai. Mahasiswa menolak dan mogok di jalan bersikeras menuntut boneka itu dikembalikan. Persoalan bisa diatasi ketika beberapa perwira Kodam Siliwangi datang setelah dihubungi para mahasiswa dan turun tangan untuk mengembalikan boneka itu.

Pidato 17 Agustus Soekarno, "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah", ternyata memang memancing kontroversi. Soekarno menyebut tahun 1966 sebagai tahun gawat, dan menunjuk adanya gerakan kaum revolusioner palsu sebagai penyebabnya. Dalam pidato itu, Presiden Soekarno tetap menyebut-nyebut Pantja Azimat Revolusi dan mengagungkan persatuan berdasarkan Nasakom. Namun bagian yang paling kontroversial ialah ketika Soekarno melontarkan tuduhan terhadap arus penentangan terhadap dirinya dan Nasakom sebagai sikap revolusioner yang palsu. Semua mengerti bahwa yang dimaksudkan terutama adalah kesatuan-kesatuan aksi. Seraya itu, Soekarno beragitasi, "Saudara-saudara kaum revolusioner sejati, kita berjalan terus, ya, kita berjalan terus, kita tidak akan berhenti. Kita berjalan terus, berjuang terus, maju terus pada sasaran tujuan seperti diamanatkan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945." Seruan itu bermakna komando bagi para pengikutnya yang masih setia untuk membela dirinya menghadapi penentangan "kaum revolusioner palsu".

Kronologi sunting

Seakan mengikuti seruan Soekarno dan sekaligus menjawab aksi-aksi anti-Soekarno yang diperlihatkan pelajar dan mahasiswa, barisan pendukung Soekarno melakukan penyerangan-penyerangan terhadap para penentang Soekarno di berbagai penjuru tanah air. Salah satu rangkaian serangan yang paling menonjol adalah yang terjadi di Bandung. Rabu tanggal 17 Agustus pagi itu sekelompok orang yang berseragam hitam-hitam melakukan serangan bersenjata api dan tajam ke Markas KAPPI di Jalan Kebon Jati Bandung dan pada sore harinya melakukan teror terhadap barisan KAMI dan KAPI yang ikut dalam pawai 17-an. Sejumlah kesatuan militer tertentu ikut membantu massa penyerang. Kampus ITB yang dijaga oleh Batalion 1 Mahawarman di bawah pimpinan wakil komandannya Tjipto Soekardono dan kampus Universitas Padjadjaran yang dijaga Batalion 2 Mahawarman di bawah komandannya Nugraha Besoes juga diserang, tapi bisa diatasi.

Akan tetapi serangan yang paling besar terjadi pada 19 Agustus 1966. Serangan dilakukan oleh kelompok berbaju hitam-hitam yang diidentifikasi sebagai anggota PNI Ali-Surachman terhadap markas kesatuan aksi selain kampus beberapa perguruan tinggi. Serangan itu terjadi setelah massa pelajar dan mahasiswa Bandung melakukan aksi menyatakan sikap dan penolakan mereka terhadap pidato Soekarno, "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah", yang oleh para mahasiswa disingkat menjadi "Jas Merah". Di Jakarta, pidato Soekarno kerap diringkas sebagai "Jali-Jali Merah". Warna merah waktu itu senantiasa diasosiasikan dengan komunisme. Hari itu, setelah satu gerombolan liar menduduki markas KAPPI pada jam 08.00, dua jam kemudian giliran Markas KAMI dan KAPI di Jalan Lembong mengalami serangan oleh sekitar 200 orang yang juga bersenjata api dan tajam. Sambil meneriakkan yel, "Hidup Bung Karno!", "Ganyang KAMI/KAPI", "KAMI/KAPI pelacur", dan sebagainya, mereka merusak markas tersebut. Mereka juga menurunkan bendera-bendera dan papan nama KAMI/KAPI. Mereka menyerang sejumlah anggota KAMI dan KAPI yang berada di tempat itu dengan senjata tajam, sehingga beberapa orang luka-luka.

Teror dan penyerangan itu berlangsung diiringi oleh tembakan-tembakan senjata api, yang mengindikasikan terlibatnya sejumlah anggota militer dari kesatuan tertentu. Setelah penyerangan di Jalan Lembong itu, serangan berlanjut ke kampus Universitas Parahyangan yang terletak di Jalan Merdeka yang merupakan siku Jalan Lembong. Sejumlah mahasiswa anggota KAMI dan Resimen Mahawarman yang ada di kampus mencoba mempertahankan kampus mereka. Tembakan peringatan ke atas yang diberikan oleh anggota-anggota Mahawarman, langsung dijawab dengan tembakan mendatar yang terarah sehingga melukai beberapa anggota Mahawarman. Salah seorang anggota Mahawarman, Julius Usman, tewas oleh tembakan itu.

Seorang reporter Mingguan Mahasiswa Indonesia yang menyaksikan langsung peristiwa melaporkan bahwa, "Suatu hal yang sangat menarik ialah sebagian di antara penyerang-penyerang itu adalah anak-anak tanggung dan pada umumnya terdiri dari para gelandangan." Sebagian massa yang dikerahkan adalah kalangan penjahat dan tukang-tukang pukul dari sekitar wilayah Stasiun Bandung, dan dari "daerah basis PKI dan ASU lainnya seperti Babakan Ciparay". Istilah "ASU" di sini sudah berkembang dari akronim untuk Ali-Surachman menjadi "Aku anak Soekarno". Dalam usaha memperbesar massanya, gerombolan itu "menyeret siapa saja yang berada di jalanan atau mereka yang sedang menonton peristiwa, setelah terlebih dulu dipaksa untuk mengakui sebagai pengikut Soekarno".

Sewaktu mendengar adanya serangan terhadap Konsulat KAMI, 19 Agustus 1966, sejumlah aktivis mahasiswa, Rahman Tolleng dan beberapa orang lainnya yang berada di kantor Mingguan Mahasiswa Indonesia di Jalan Tamblong Dalam yang jaraknya hanya tujuh menit berjalan kaki ke Jalan Lembong, mendatangi markas KAMI itu. Namun setiba di sana ia dan kawan-kawan malah dibawa untuk "diamankan" oleh petugas Garnisun Bandung selama beberapa jam di kantor instansi militer itu. Sewaktu akan diangkut ke Garnisun, Rahman Tolleng sempat membentak dan mendorong Mansur Tuakia yang mau ikut naik kendaraan. "Tak usah ikut!" Mansur yang salah paham, mulanya kesal tetapi kemudian sadar bahwa sebenarnya Rahman berniat mencegah dirinya ikut terbawa ke Garnisun. Selama di Garnisun, Rahman mencium adanya ketidakberesan dan hal-hal yang mencurigakan dari perlakuan beberapa perwira di situ. Mereka ditanyai macam-macam. Seakan-akan para aktivis mahasiswa inilah para tersangka. Beruntung bahwa pada petang hari, Panglima Kodam Siliwangi Hartono Rekso Dharsono yang mencium gelagat tidak beres yang dilakukan sejumlah perwira bawahannya dalam peristiwa tersebut, bertindak tegas. Keadaan berbalik. Para aktivis kesatuan aksi dibebaskan. Sejumlah perwira di Garnisun Bandung balik ditangkap.

Akibat sunting

Dalam keterangan persnya kemudian, Kodam Siliwangi mengumumkan tentang penangkapan perwira-perwira Garnisun Bandung, yakni :

Mereka diketahui terlibat langsung dalam Peristiwa 19 Agustus 1966 itu. Bersama para perwira itu, ditangkap ratusan orang lainnya, yang terlibat dalam peristiwa, termasuk beberapa pengurus PNI Cabang Bandung. Secara internal PNI Bandung sendiri melakukan pemecatan-pemecatan atas mereka yang terlibat:

Investigasi sunting

Sebenarnya, pada tanggal 18 Agustus malam sejumlah anggota KAMI, Johny Pattipeluhu, Marzuki Darusman, Gani Subrata, Piet Tuanakotta, dan Taripan Pakpahan memergoki dan "menangkap" sejumlah oknum ASU yang baru saja mengikuti rapat di kantor Wali Kota Kotamadya Bandung. Namun para mahasiswa itu belum bisa dengan segera malam itu menemukan kaitan-kaitan yang cukup jelas antara tangkapan mereka dengan apa yang kemudian terjadi tepat sehari sesudahnya. Mereka yang "ditangkap" hanya mengakui adanya rencana gerakan, yang melibatkan sejumlah perwira Kodim Bandung, Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara dan Brimob Kepolisian RI, tanpa menyebut bahwa itu sudah akan dilaksanakan esok pagi. Satuan Kujang Siliwangi dalam rangkaian pembersihan setelah Peristiwa 19 Agustus 1966, menyita tak kurang dari 150 pucuk senjata api. Ini semacam konfirmasi bahwa memang ada keterlibatan unsur militer dalam peristiwa. Sementara itu Wali Kota Bandung yang menyediakan tempat rapat, di kemudian hari ditangkap Kodam Siliwangi karena keterlibatannya dengan PKI.

Terungkap pula kemudian bahwa gerakan yang dilakukan KAMI dan KAPI tanggal 18 Agustus 1966 yang berupa penurunan dan penyobekan gambar-gambar Soekarno, telah dijadikan alasan pemicu guna meledakkan kemarahan para pendukung Soekarno melakukan pembalasan. Tetapi, gerakan itu sendiri sudah sejak lama direncanakan sejak 2 Agustus hingga 18 Agustus malam sebelum terjadinya aksi penyobekan gambar Soekarno.

Sebenarnya, adalah tokoh KAMI Bandung, Soegeng Sarjadi yang juga Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran yang memulai aksi penyobekan gambar Soekarno itu. Sewaktu berlangsung apel massa mahasiswa dan pelajar di markas KAMI Jalan Lembong tanggal 18 Agustus pagi, tatkala tampil di panggung untuk berorasi di depan massa, Soegeng mengeluarkan gulungan kertas tebal di balik jaketnya. Sambil mengembangkan kertas itu Soegeng bertanya kepada massa, "Saudara-saudara, ini gambar siapa?" Dijawab, "Gambar Soekarno!"

Mendapat sambutan yang luar biasa, Soegeng menambah dosis orasinya, "Inilah saudara-saudara, otak Lubang Buaya, arsitek Gestapu! Apakah saudara-saudara setuju kalau gambar orang yang sudah menyengsarakan rakyat ini kita turunkan dan kita hancurkan?!" Begitu mendapat tempik sorak, "Setuju!" Soegeng segera menyobek-nyobek gambar Soekarno itu lalu mencampakkannya ke tanah. Soegeng yang kala itu dianggap salah satu orator ulung oleh para mahasiswa, menambah lagi suntikan terakhirnya, "Semua gambar Soekarno, di kantor-kantor, di rumah-rumah, di perusahaan-perusahaan negara atau swasta agar diturunkan!"

Dampak "suntikan" Soegeng itu luar biasa dan berhasil menggerakkan massa menjelajahi Bandung memasuki kantor-kantor untuk menjalankan apa yang dianjurkannya.

Gambar Soekarno itu berasal dari Mansur Tuakia. "Saya yang menyerahkan gambar itu," ujar Mansur dalam wawancara. Mansur Tuakia, anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah waktu itu adalah Sekretaris I KAMI Bandung. Gambar itu berasal dari bingkai yang biasa digantung di salah satu ruang KAMI Konsulat Bandung, diturunkan dari tempatnya oleh seorang aktivis bernama Anis Afiff atas suruhan Mansur. "Saya menyerahkan kepada Soegeng yang akan berorasi. Saya pikir siapa tahu ada gunanya. Ternyata Soegeng menyobeknya di depan massa pelajar dan mahasiswa." Penurunan dan penyobekan gambar Soekarno tanggal 18 Agustus 1966 itu menjadi gerakan paling terbuka dan terang-terangan selain melalui pawai alegoris empat hari sebelumnya yang untuk pertama kali dilakukan di Indonesia dalam rangka penolakan terhadap Soekarno.

Barisan Soekarno menganggap penyobekan gambar itu sebagai penghinaan besar terhadap Soekarno. Menjadi alasan pemicu membangkitkan kemarahan massa pendukung Soekarno sebagai kekuatan yang bertugas untuk "menagih" keesokan harinya, yang harus dibayar mahal oleh pergerakan 1966 di Bandung, yakni dengan nyawa Julius Usman. Di dalam tubuh KAMI sendiri sempat timbul kontroversi dan tindakan Soegeng itu telah dijadikan bahan kecaman, khususnya di kalangan aktivis yang masih ragu turut serta dalam gerakan menurunkan Soekarno. Rahman Tolleng, tidak ikut mempersalahkan Soegeng. Namun terlepas dari kontroversi itu, bagaiamanapun juga apa yang dilakukan Soegeng menjadi salah satu akselerator dalam proses menuju kejatuhan Soekarno. Eksternal KAMI, terjadi pula polemik tentang "penyebab" Peristiwa 19 Agustus 1966.

Front Pantjasila Jawa Barat menganggap pidato Jas Merah Soekarno telah menjadi pemicu benturan dalam masyarakat. Sebaliknya, DPP PNI Osa-Usep, melalui Ketuanya Osa Maliki, mempersalahkan aksi penurunan dan penyobekan gambar Bung Karno lah yang menjadi pemicu kemarahan massa pendukung Soekarno. PNI Osa-Usep ini sebenarnya pada mulanya cukup mendapat simpati di kalangan pergerakan 1966 karena sikapnya yang tegas menghadapi PNI Ali-Surachman (Asu) yang nyata-nyata punya garis politik sejajar dengan PKI. Namun, dalam hal Soekarno, agaknya PNI Osa-Usep sama saja dengan PNI Asu yang digantikannya dalam kancah politik kala itu.

Sebagai reaksi atas sikap DPP PNI ini tiga tokoh teras PNI Bandung, dari jajaran Ketua, Alex Prawiranata, Emon Suriaatmadja, dan Mohammad A. Hawadi, menyatakan keluar dari PNI. Penilaian DPP terhadap peristiwa itu mereka anggap tidak objektif dan gegabah, yang dilakukan tanpa menanyakan duduk peristiwa sebenarnya terlebih dulu kepada DPD PNI Bandung. Mereka menyatakan pula kekecewaan mendalam terhadap sejumlah Ketua DPP PNI yang dalam berbagai kesempatan senantiasa masih saja menyatakan bahwa "Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan", padahal harus ditarik garis yang jelas antara Marhaenisme dan Marxisme. Bersamaan dengan itu, PNI telah kembali kepada sikap pengkultusan individu dan sikap pembelaan terhadap Orde Lama Soekarno.

Namun reaksi yang dianggap paling berharga oleh para aktivis pergerakan 1966, adalah yang datang dari Mayor Jenderal Hartono Rekso Dharsono yang kala itu baru sebulan menjabat sebagai Panglima Siliwangi. Selain langsung melakukan tindakan pembersihan internal Siliwangi, juga mengeluarkan keputusan untuk memakamkan Julius Usman yang merupakan mahasiswa Universitas Parahyangan korban Peristiwa 19 Agustus 1966 di Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Mayor Jenderal Hartono Rekso Dharsono menyatakan bahwa tindakan-tindakan mahasiswa dan pelajar sebelum peristiwa pawai alegoris dan aksi penurunan gambar Soekarno merupakan manifestasi semangat angkatan muda yang meluap-luap dan ingin cepat sampai pada tujuan perjuangan.

Referensi sunting

  • Aly, Rum. 2023. Kisah Seorang Jenderal Idealis: H.R. Dharsono. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara