Petilasan Keraton Ambarketawang
Pesanggrahan Ambarketawang adalah salah satu lokasi cagar budaya yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terletak di Kalurahan Ambarketawang, Kapanewon Gamping, Kabupaten Sleman. Nama Ambarketawang adalah nama untuk sebuah keraton yang menjadi kediaman sementara Sri Sultan Hamengkubowono I. Secara garis besar, terbagi menjadi tiga petilasan yaitu bekas Keraton Ambarketawang, Kestalan dan Kademangan. Sri Sultan Hamengku Buwono I membangun keraton ini pada tahun 1755 yang kala itu masih bergelar Pangeran Mangkubumi. Bertepatan setelah pecahnya kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Kasultanan (Yogyakarta) dan Kasunanan (Solo) melalui perjanjian Giyanti. [1]
Bangunan yang didirikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I ini yang diberi nama Ambarketawang, adalah tempat yang sebelumnya terdapat pesanggarahan yang bernama Pesanggrahan Gamping atau disebut pula dengan nama Puro-puro. Arti dari nama ini sendiri adalah tempat tinggal, lebih spesifik lagi tempat tinggal untuk orang -orang terutama untuk para prajurit Kerajaan Mataram yang berada dalam perjalanan. Secara geografis, letak pesanggrahan ini berada dalam wilayah perbukitan yang cukup tinggi. Ini berhubungan dengan nama Ambarketawang itu sendiri, yakni bila diartikan secara etimologis, ambar yang berarti mencium atau meniliti, sedangkan kata ketawang diartikan sebagai bawang, atau tinggi. Jadi apabila digabungkan dalam satu frase, nama ambarketawang adalah tempat yang tinggi yang dimanfaatkan untuk melihat dan memastikan arah. [2]
Bangunan dibagi menjadi tiga bagian utama. Bangunan pertama, yang mana membujur dari utara ke selatan yang panjangnya delapan meter, lalu kemudian bangunan yang kedua yang letaknya persis di utara bangunan pertama dengan ukuran panjang enam meter dan lebar satu meter, lalu bangunan ketiga yang membentuk huruf L yang panjangnya hingga lima belas meter. Selain tiga bangunan utama tersebut, juga ditemukan bangunan kestalan, atau kandang kuda. Bangunan Kestalan ini berupa dinding yang lokasinya berada sekitar seratus meter dari bangunan keraton. Sementara itu bagian utama lain yaitu Kademangan, ditemukan berada pada seratus delapan puluh meter arah barat daya keraton.[3]
Pada situs ini dapat dijumpai pula yaitu sisa-sisa dinding tembok, yaitu pada bagian sisi utara, barat serta sisi selatan yang membujur sepanjang empat belas meter. Dinding tersebut dibuat melintang, mengelilingi bangunan yang memiliki luas empat hekater. Dinding yang mengeliling ini memiliki tebal hingga lima puluh sentimer dan tingginya mencapai tiga meter. Di sebelah utara terdapat saluran irigasi yang disebut urung-urung. Saluran berada di bawah pagar tembok, berbelok menuju arah Kestalan untuk keperluan memandikan kuda dan mencuci kereta.
Sri Sultan Hamengku Buwono I diketahui menempati keraton ini tidak lebih dari satu tahun lamanya, yaitu dari tahun 1681 hingga tahun 1682. Setelah pembangunan keraton yang berada di Desa Pacethokan (yang menjadi lokasi keraton Yogyakarta hingga saat ini) selesai, Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama abdi dalem-nya segera pindah ke keraton tersebut. Hanya dua abdi dalem Sri Sultan, yaitu Kyai Wirasuta dan Nyai Wirasuta yang memilih untuk tetap tinggal, yang nanti pada kelanjutannya dari kisah dua abdi dalem Sri Sultan ini muncullah tradisi Saparan Bekakak yang masih dilestarikan hingga saat ini.[4]
Referensi
sunting- Kawasan Ambarketawang Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan), diakses pada 1 Februari 2020
- Pesanggrahan Ambarketawang Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan), diakses pada 1 Februari 2020
- Situs Keraton Ambarketawang diakses pada 1 Februari 2020
- Ada Kisah Mistis Di Balik Ritual Sembelih Bekakak Di Gamping Diarsipkan 2020-02-02 di Wayback Machine., Kedaulatan Rakyat diakses pada 1 Februari 2020