Bermani atau Bêmanai adalah salah satu dari empat petulai atau klan suku Rejang.[1] Petulai ini didirikan oleh Biku Bermano, dengan Kota Rukam (Kutai Ukêm; Taukêm) sebagai permukiman pertama sekaligus asal-usul anak keturunan petulai ini.[2] Kota Rukam sendiri terletak tidak jauh dari danau Tes, antara wilayah Tes dan Kutai Donok yang sekarang. Anak cucu subsuku Bermani nantinya akan pergi berpencar ke luar Lebong dan tetap mempertahankan kesatuan di antara mereka.[1]

Setelah Belanda menduduki Tanah Rejang pada 1860an, pemerintah kolonial mulai membagi daerah-daerah yang dihuni masyarakat Rejang ke dalam marga. Petulai Bermani yang keturunannya menyebar jauh ke luar Lebong kemudian dibagi menjadi beberapa marga terpisah. Biasanya marga yang penduduk aslinya merupakan keturunan petulai Bermani menambahkan nama Bermani pada marga yang didirikan Belanda di wilayah mereka.

Wilayah

sunting

Wilayah petulai Bermani dibagi oleh Belanda menjadi beberapa marga, seperti Bermani Palik, Bermani Perbo di Ulau Bioa (Rejang Pesisir, saat ini termasuk Bengkulu Utara); Bermani Lebong yang nantinya digabungkan menjadi marga Bermani Jurukalang; serta Bermani Ulu dan Bermani Ilir (masing-masing di Rejang Lebong dan Kepahiang).

Festival adat

sunting

Petulai Bermani khususnya di wilayah Bermani Palik dan Perbo memiliki festival adat serta ritual yang berkaitan dengan pesta panen, yang disebut Mêdundang.[3] Mêdundang merayakan persatuan antara semangat padi laki-laki dan semangat padi perempuan. Perayaan festival ini dipusatkan di Aur Gading, sebuah desa tua dan besar milik klan ini. Padi merupakan salah satu tanaman terpenting bagi masyarakat Rejang. Oleh karenanya, pesta dan persembahan menyambut dan sesudah panen memiliki fungsi yang sangat penting dan sakral.

Mêdundang dirayakan dalam bentuk bimbang kejai selama tujuh hari, tujuh malam. Pada acara bimbang, akan dipentaskan tarian yang bernama sama, yang konon katanya merupakan tarian para dewa. Hanya petulai Bermani saja yang diperbolehkan untuk menyelenggarakan mêdundang. Namun, petulai lain dapat hadir dan berpartisipasi apabila diundang.[3] Festival ini diadakan setiap tahun hingga masa pendudukan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, mêdundang terus dilakukan hingga berhenti pada tahun 1963 dengan alasan yang tidak diketahui.[3]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Hamidy, Sata, Fajar, & Suhandi 1990, hlm. 58.
  2. ^ Jaspan 1984, hlm. 132.
  3. ^ a b c Jaspan 1984, hlm. 63.

Daftar pustaka

sunting