Pulau Natal

pulau di Australia

Pulau Natal adalah wilayah eksternal Australia di Samudra Hindia yang terdiri dari pulau dengan nama yang sama. Pulau ini terletak sekitar 350 kilometer (190 mil laut) di selatan Jawa dan Sumatra dan sekitar 1.550 km (840 mil laut) di barat laut dari titik terdekat di daratan Australia. Luasnya 135 kilometer persegi (52 sq mi).

Pulau Natal

Territory of Christmas Island (Inggris)
{{{coat_alt}}}
Lambang
Semboyan
Lagu kebangsaan
Advance Australia Fair
(Indonesia: "Majulah Australia Jaya")
Lokasi Pulau Natal
Lokasi Pulau Natal
Ibu kota
Flying Fish Cove
Bahasa resmiInggrisMelayu
PemerintahanMonarki konstitusional
• Raja
Charles III
Peter Cosgrove
Natasha Griggs
• Presiden Shire
Gordon Thomson
LegislatifShire Council
Teritori eksternal Australia
• Dikuasai oleh Imperium Britania Raya
1888
• Diambil alih oleh Australia
1957
Luas
 - Total
135 km2 (224)
 - Perairan (%)
0
Populasi
 - Perkiraan 2011
2.072[1] (248)
 - Sensus Penduduk 2016
1.843[2]
10,39/km2
PDB (KKB)(n/a)
 - Total
-
-
PDB (nominal)2010
 - Total
US$52,177 juta[3]
Mata uangDolar Australia (A$)
(AUD)
Zona waktuWaktu Standar Natal
(UTC+7)
Lajur kemudikiri
Kode telepon+61-8-9164
Kode ISO 3166CX
Ranah Internet.cx
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Pulau ini memiliki populasi sebesar 1.402 warga yang tinggal di sejumlah "daerah pemukiman" di ujung utara pulau: Flying Fish Cove (juga dikenal sebagai Kampung), Kota Perak, Poon Saan, dan Drumsite.

Pulau ini terisolasi secara geografis dan jauh dari jangkauan manusia hingga abad ke-19. Tidak mengherankan jika berbagai flora dan fauna endemik di pulau ini relatif tidak terganggu. Kondisi ini merupakan hal yang penting untuk para ilmuwan dan naturalists.

Sejarah

Sensus Agama di Pulau Natal (2022)[4]
Kristen Anglikan
  
100,0%

Christmas Island Tourism Association dalam laman resminya, menulis artikel berjudul The History of Christmas Island. Artikelnya menjelaskan tentang sejarah munculnya Pulau Natal (Christmas Island) di Australia. Christmas Island atau Pulau Natal merupakan pulau kecil berbatu di Samudra Hindia yang berjarak 2.600 kilometer (1.616 mil) di barat laut Perth, Australia.

Adanya penemuan fosfat pada 1888 memandu nasib Pulau Natal ke abad-abad berikutnya. Namun, selain penemuan fosfat, Pulau Natal juga merupakan tempat yang cukup bersejarah. Lantas, mengapa dinamakan sebagai Pulau Natal atau secara internasional dikenal dengan nama Christmas Island?

Kisah itu dimulai saat Kapten William Mynors singgah dan menemukan sebuah pulau, kemudian menamai pulau itu dengan nama Natal. Alasannya, karena dia menemukannya pada 25 Desember 1643, tepat saat perayaan Natal. William Mynors adalah seorang kapten laut berkebangsaan Inggris. Dia merupakan master kapal milik East India Company (EIC) bernama Royal Mary. Kapal Royal Mary beroperasi untuk EIC sepanjang tahun 1626 hingga 1639.

Setelah penemuan pada perayaan Natal 1643, pulau itu dimasukkan dalam peta navigasi Inggris dan Belanda sejak awal abad ke-17, tetapi baru pada 1666 peta yang diterbitkan oleh kartografer Belanda Pieter Goos memasukkan pulau itu. Selang beberapa abad selanjutnya, pada 6 Juni 1888, Inggris Raya menganeksasi Pulau Natal atas desakan John Murray. Penyebabnya adalah kemunculan fosfat membuat Inggris tergiur akan klaim atas Pulau Natal.

Setelah didirikannya pemukiman bernama Flying Fish Cove beserta perusahaan fosfat, 200 buruh Tiongkok, delapan manajer Eropa, dan lima polisi Sikh, tiba di pulau itu untuk menjadi tenaga kerja, ditambah dengan sejumlah kecil orang Melayu.

Nahas, selama Perang Dunia I yang terjadi sepanjang tahun 1914 hingga 1918, penambangan fosfat berkurang. Namun, di sisi lain, jalur kereta api dari Settlement ke South Point, mulai dibangun. Pada perayaan Natal selanjutnya tahun 1942, Jepang menyerang kapal fosfat dari Norwegia yang bernama The Eidsvold di Flying Fish Cove. Hal tersebut membuat 50 keluarga Asia dan Australia dievakuasi ke Perth, kisah perayaan Natal yang cukup kelam.

Tak berhenti di situ, 900 tentara Jepang menyerbu dan menduduki Pulau Natal, memenjarakan orang Eropa yang tersisa dan memburu 1.000 pekerja Melayu dan Tiongkok di hutan-hutan pulau itu.

“Sabotase penduduk pulau dan kapal selam Sekutu menyebabkan penangguhan penambangan fosfat yang ada di Pulau Natal,” ungkap Christmas Island Tourism Association dalam laman resminya.

“Tanda-tanda yang bisa kita saksikan hari ini (di pulau itu) adalah sejarah Perang Dunia II, pulau itu termasuk perkomplekan senjata yang dipulihkan,” tambahnya.

“Di sana juga dapat dilihat tentang invasi dan pendudukan Jepang, ketika penduduk pulau dan kapal selam Sekutu berhasil menyabotase usaha ranjau dan ratusan penduduk pulau kemudian dikirim ke kamp tawanan perang Jepang di Indonesia,” sambungnya.

Pada 1945, hari-hari buruk di Pulau Natal berakhir. Kekalahan Jepang di Perang Dunia II memukul mundur Jepang dari sana, meninggalkan Natal yang kemudian menjadi pulau bebas. Barulah pada 1949 Australia dan Selandia Baru membeli perusahaan bernama Christmas Island Phosphate dan Pulau Natal mulai dikelola oleh Koloni Singapura.

Inggris mengambil alih pulau itu dari Jepang atas nama Ratu Victoria, tetapi pada 1946, pulau itu ditempatkan di bawah yurisdiksi Koloni Mahkota Singapura. Pada 1958, Inggris (Kerajaan Britania Raya) mengalihkan kedaulatan ke Australia, sehingga pulau itu sampai saat ini menjadi bagian dari wilayah Australia.[5][6][6][7][8]

Fakta

Tempat migrasi kepiting merah terbesar di dunia

 
Migrasi kepiting merah di Pulau Natal.

Pulau ini merupakan tempat bermigrasi kepiting merah terbesar di dunia. Diperkirakan ada 4–50 juta lebih kepiting darat berwarna merah yang akan bermigrasi di pulau ini pada akhir bulan November hingga bulan Desember. Migrasi besar-besaran ini akan membuat jalanan serta berbagai wilayah di pulau ini akan dipenuhi dengan kepiting merah yang berlalu-lalang.

Sebagaimana dilansir dari laman VOA Indonesia, warga Pulau Natal di Australia mendapatkan tontontan yang memukau baru-baru ini. Mereka menyaksikan jutaan kepiting merah bermunculan dari tengah pulau itu untuk melakukan perjalanan migrasi tahunan ke lepas pantai Australia Barat.

Bagi Brendan Tiernan, manajer sumber daya alam Taman Nasional Pulau Natal, menyaksikan migrasi kepiting merah bukanlah hal baru. Namun, dia tetap sulit menutupi rasa takjubnya kepada fenomena alam ini, termasuk yang berlangsung pada awal tanggal 20-an November ini.

“Migrasi tahun ini benar-benar epik. Jalan-jalan dipenuhi kepiting merah. Ini menyebabkan kemacetan lalu lintas di pulau kecil ini dan orang-orang harus turun dari mobil mereka untuk membersihkan kepiting-kepiting agar mobil mereka bisa melintas,” jelasnya.

Tiernan mengatakan bahwa fenomena ekologi unik ini tidak terjadi di tempat lain di dunia dalam skala seperti itu. Setiap tahunnya jutaan kepiting di Pulau Natal bermigrasi ke laut untuk kawin dan bertelur.

“Kadang kami menyebut pulau ini pulau kepiting merah, masyarakat Pulau Natal menyadari pentingnya kepiting merah bagi ekosistem, bagi perekonomian, dan bagi pariwisata kita,” imbuhnya.

Setelah kawin, kepiting jantan terlebih dahulu melakukan perjalanan kembali ke darat, atau tepatnya ke kawasan pedalaman, sementara kepting betina tinggal di liang-liang di pantai selama sekitar dua pekan untuk bertelur. Setiap kepiting betina dapat menghasilkan hingga 100.000 telur, yang kemudian akan ditumpahkannya di laut.

“Reaksi warga sangat beragam. Beberapa orang ketakutan mendapati diri mereka dikelilingi oleh jutaan artropoda yang merangkak, sedangkan sejumlah lainnya berusaha berbaur dengan kepiting-kepiting itu. Mereka berbaring di tanah dan membiarkan kepiting-kepiting merah merayap di atas tubuh mereka. Ini benar-benar salah satu hal yang tidak dapat Anda lihat di tempat lain di planet ini, pada skala sebesar ini,” jelasnya.

Kepiting merah adalah hewan endemik Pulau Natal. Keberadaan mereka dilindungi oleh hukum untuk mempertahankan kelestariannya.

Pulau neraka bagi para imigran gelap

Ada satu fakta unik yang bisa dikatakan merupakan fakta kelam dari Christmas Island, yakni pulau ini sering kali dianggap sebagai pulau neraka bagi para imigran gelap. Pasalnya, Pulau Natal digunakan oleh pemerintah Australia sebagai pengamanan terhadap imigran gelap yang datang melalui jalur laut. Jika petugas keamanan laut melihat ada kapal yang mencurigakan dan membawa imigran gelap, mereka akan menangkapnya dan mengintrogasinya sebelum dipulangkan lagi ke negara asalnya.

Pernah menjadi pulau yang terisolasi

Fakta menarik lainnya dari Pulau Natal, yaitu pernah menjadi pulau yang terisolasi dari geografis dan jauh dari jangkauan manusia. Hal ini dikarenakan awalnya tidak ada yang memiliki pulau ini hingga abad ke-19, sehingga pulau ini otomatis menjadi pulau yang terisolir.

Bandar udara internasional

Bandar udara internasional yang berada di Pulau Natal, teritori Australia di Samudra Hindia adalah Bandar Udara Internasional Pulau Natal (IATA: XCH, ICAO: YPXM). Bandar udara ini terletak 2.600 kilometer (1.600 mil) dari arah barat laut kota di Perth (Australia Barat), 500 kilometer (310 mil) dari arah selatan Jakarta (Indonesia), dan 975 kilometer (606 mil) dari Keeling (Kepulauan Cocos).

Bandar udara ini berada di ketinggian 916 feet (279 meter) di atas permukaan laut. Bandar udara tersebut memiliki satu landasan pacu dengan arah 18/36 yang dilapisi aspal dengan ukuran 2.103 meter × 45 meter (6.900 feet × 148 feet).

Umat Islam di Pulau Natal

Pulau Natal identik dengan para pencari suaka. Pulau yang tidak memiliki penduduk asli ini sebagian besar warganya merupakan imigran yang sedang berjuang mendapatkan status kewarganegaraan dari pemerintah Australia. Nah, di antara para imigran itu terdapat kaum muslim yang membawa “hadiah” khusus berupa ajaran Islam untuk pulau di selatan Indonesia tersebut.

Berdasarkan informasi di laman Index Mundi tahun 2021, populasi muslim di pulau tersebut sebanyak 19,4% dari total penduduk 1.402 jiwa. Sebagian besar merupakan imigran beretnis Melayu. Namun, etnis tersebut bukanlah kelompok mayoritas.

Terdapat beragam etnis yang tinggal di daratan yang hanya berjarak 500 kilometer dari Jakarta tersebut, antara lain Anglo Australian, Eropa, Han (Tiongkok), dan sebagainya. Data menunjukkan jika penganut Buddha di pulau ini sebanyak 18,3%, Roman Katolik 8,8%, Protestan 6,5%, serta kepercayaan lain sebanyak 27,7%. Dengan demikian, Islam menjadi agama mayoritas kedua di pulau tersebut. Komunitas muslim lebih banyak tinggal di Flying Fish Cove atau dikenal pula dengan nama “Kampong”.

Kawasan ini di peta juga kerap disebut sebagai “Settlement”. Kawasan tersebut yang menjadi permukiman orang-orang Inggris setelah ditemukannya pulau ini. Kampong memiliki sebuah pelabuhan kecil yang menjadi tempat berlabuh kapal-kapal wisatawan. Pemandangannya sangat cantik dengan garis pantai yang elok dipandang mata.

Umat muslim hidup damai di pulau multietnis ini. Pemerintah setempat menerapkan libur untuk hari besar tiap etnis dan umat beragama. Dua hari raya, yaitu Idulfitri dan Iduladha pun ditetapkan menjadi hari libur. Beragam festival budaya Islam pun diizinkan untuk digelar. Sebagaimana di Indonesia dan Malaysia, umat Islam di Pulau Natal juga menggelar perayaan Islam tradisional, yaitu peringatan hari kematian, pengajian, khitanan, syukuran, dan perayaan lain pun kerap dihelat warga muslim.

Ada juga tradisi muslim lainnya di pulau tersebut, yakni kewajiban mengenakan baju muslim atau yang menutup aurat bagi setiap pengunjung kawasan Kampong. Aturan tersebut telah membudaya dan tak ada yang merasa keberatan. Muslim setempat yang memang didominasi Melayu terbiasa mengenakan sarung, baju koko, dan peci. Beberapa di antara mereka pun mengenakan gamis yang umumnya berwarna putih. Nyaris tak ada perbedaan dengan muslim di Indonesia atau Malaysia.

Bebas dari COVID-19

Pada masa awal pandemi COVID-19, Pulau Natal menjadi tempat karantina bagi warga Australia. Sejak 18 Maret 2020, larangan berkunjung ke pulau ini diberlakukan, kecuali bagi warga yang tinggal di sana atau seorang pekerja yang memiliki urusan penting. Dikarenakan menerapkan protokol yang cukup ketat, hingga September 2020 belum ada satu pun kasus positif COVID-19 di sana, sehingga dianggap sebagai wilayah bebas virus Corona.

“Lokasinya terpencil dan fasilitas kesehatan yang terbatas membuat komunitas kami lebih rentan terkena virus dan beberapa orang mungkin akan dievakuasi,” kata Natasha Griggs, Administrator Wilayah Samudra Hindia Australia.

Surga tersembunyi

Pulau Natal adalah salah satu spot rekreasi terbaik. Tidak dipungkiri kalau dilihat dari letaknya, pulau satu ini jelas menawarkan sesuatu yang luar biasa, terutama pantai-pantainya yang indah dengan pemandangan langsung ke arah Samudra Hindia. Pihak Australia sendiri memang diklaim mendapatkan banyak sekali keuntungan dari sektor wisata pulau ini.

Tidak hanya memiliki keindahan, pulau ini juga mengandung banyak kekayaan tambang. Sejak dulu, Pulau Natal dikenal sebagai penghasil fosfat yang cukup terkenal, bahkan sampai pernah didatangkan para pekerja dari Tiongkok untuk menggali bahan tambang itu. Selain itu, Pulau Natal ini juga mempunyai kekayaan kelautan yang luar biasa. Rumor mengatakan kalau tempat ini bisa menghasilkan ikan dalam jumlah yang sangat besar, termasuk potensi kepiting sebanyak 30 juta kilogram.

Memiliki daya tarik wisata yang menawan

Fakta menarik terakhir dari Pulau Natal adalah memiliki daya tarik wisata yang sangat besar, meskipun luas wilayahnya kecil. Selain karena adanya migrasi kepiting merah, salah satu daya tarik dari pulau tersebut adalah menjadi spot scuba diving terbaik yang ada di dunia.

Tak hanya scuba diving, ada banyak daya tarik lain yang dimiliki oleh Pulau Natal, misalkan saja pemandangan alam yang sangat indah, sehingga kita bisa berlibur sambil menikmati suasana asri. Perlu diketahui juga kalau ada Taman Nasional yang berada di Pulau Natal. Taman Nasional ini memiliki aneka spesies burung serta hewan endemik lainnya.

Objek wisata

Beberapa objek wisata di Pulau Natal yang dapat dikunjungi oleh para wisatawan antara lain:

  • Christmas Island National Park.
  • Christmas Island Visitor Centre.
  • The Dales Hiking Trail.
  • The Grotto.
  • Lily Beach.
  • Dolly Beach.
  • Gun Emplacement.
  • Margaret Knoll Lookout.
  • Greta Beach.
  • Ethel Beach.
  • Ma Chor Nui Nui Temple.
  • The Blowholes.
  • Tai Jin House.
  • Territory Day Park.
  • National Park Bird Feeding.
  • Golf Course Lookout.
  • Soon Tien Kong Temple.
  • West White Beach.
  • SIEV-X Memorial.
  • SIEV-221 Memorial.
  • South Point Railway Station.
  • Anderson Dale Walk.
  • Christmas Island Golf Course.

Cara menuju Pulau Natal

Untuk kalian yang tertarik berlibur ke Pulau Natal, disarankan menggunakan jalur udara alias menggunakan pesawat terbang. Ada dua cara yang bisa kalian tempuh, yaitu menaiki pesawat dari Indonesia menuju ke Perth, Australia atau bisa juga langsung terbang dari Indonesia ke Pulau Natal. Menurut situs parksaustralia.gov.au, kalian bisa menggunakan maskapai Garuda Indonesia jika naik pesawat langsung dari Indonesia ke Pulau Natal, yang memiliki jadwal penerbangan setiap minggunya ke pulau tersebut. Penerbangan ini akan memakan waktu selama satu setengah jam saja. Sementara itu, jika terbang ke Perth, Australia terlebih dulu, akan ada kapal feri yang mengantar kalian ke pulau tersebut. Supaya perjalanan wisata kalian jadi lebih lancar, alangkah baiknya jika menghubungi laman Christmas Island Tourism Association untuk informasi yang lebih detail.

Demografi

 
Piramida populasi Pulau Christmas, dari sensus tahun 2011, menunjukkan proporsi pria yang lebih besar daripada wanita.

leluhur Pulau Natal' (2021)[9]

  Keturunan Tionghoa (22.2%)
  Keturunan Melayu (16.1%)
  Keturunan Inggris (12.5%)
  Lainnya (43%)

Pada Sensus Australia 2021, jumlah penduduk Pulau Christmas adalah 1.692 jiwa.[9] 22,2% penduduknya merupakan keturunan Tionghoa (naik dari 18,3% di tahun 2001), 17,0% keturunan Australia (11,7% di tahun 2001), 16,1% keturunan Melayu (9,3% di tahun 2001), 12,5% keturunan Inggris (8,9% di tahun 2001), dan 3,8% penduduknya merupakan keturunan Indonesia. Pada tahun 2021, sebagian besar penduduknya merupakan orang yang lahir di Pulau Christmas dan banyak yang berasal dari Tionghoa dan Melayu.[9] 40,8% orang lahir di Australia. Negara tempat lahir paling umum berikutnya adalah Malaysia dengan 18,6%. 29,3% penduduk berbicara bahasa Inggris sebagai bahasa keluarga, sementara 18,4% berbicara bahasa Melayu, 13,9% berbicara bahasa Tionghoa Mandarin, 3,7% bahasa Kanton, dan 2,1% Min Selatan (Minnan).[9] Additionally, terdapat populasi lokal kecil dari India Malaysia dan orang Indonesia.[10][11]

Sensus Australia 2016 mencatat bahwa populasi Pulau Christmas terdiri dari 40,5% perempuan dan 59,5% laki-laki, sementara pada tahun 2011 angkanya adalah 29,3% perempuan dan 70,7% laki-laki.[9] Sebaliknya, angka tahun 2021 untuk seluruh Australia adalah 50,7% perempuan, 49,3% laki-laki.[12] Sejak tahun 1998, tidak ada layanan persalinan di pulau ini; para ibu hamil melakukan perjalanan ke daratan Australia sekitar satu bulan sebelum tanggal jatuh tempo untuk melahirkan.[13]

Etnis

Secara historis, mayoritas penduduk Christmas Island adalah mereka yang berasal dari Cina, Melayu, dan India, yang merupakan pemukim permanen awal.[14] Saat ini, sebagian besar penduduknya adalah Tionghoa-Malaysia, dengan sejumlah besar orang Australia Eropa dan Melayu Malaysia serta komunitas India Malaysia yang lebih kecil, di samping pendatang dari Filipina yang lebih baru. Sejak pergantian abad ke-21 dan hingga saat ini, orang Eropa sebagian besar membatasi diri mereka di The Settlement, di mana terdapat sebuah supermarket kecil dan beberapa restoran, orang Melayu tinggal di Melayu Kampung di pesisir, dan orang Tionghoa tinggal di Poon Saan (Kanton berarti "di tengah-tengah bukit")[15]

Bahasa

Bahasa utama yang digunakan di rumah di Pulau Christmas, menurut responden, adalah bahasa Inggris (28%), Mandarin (17%), Melayu (17%), dengan jumlah penutur yang lebih kecil dari bahasa Kanton (4%) dan Hokkien (2%). 27% tidak menyebutkan bahasa.[16]

Agama

Agama di Pulau Natal (2021)[17] Harap diperhatikan bahwa beberapa gangguan statistik ditambahkan ke data sensus yang dirilis untuk umum, untuk melindungi privasi penduduk.

  Islam (22%)
  Buddha (15%)
  Katolik (7%)
  Protestan (5%)
  Kristen lainnya (2%)
  Agama lain (1%)
  Kepercayaan Sekuler dan Kepercayaan Spiritual Lainnya dan Tidak Memiliki Afiliasi Agama (20%)
  Afiliasi agama tidak disebutkan (27%)

Praktik keagamaan berbeda berdasarkan geografi di seluruh pulau dan secara efektif sesuai dengan tiga pemukiman utama di pulau ini: ibu kota (hanya dikenal sebagai Pemukiman), daerah Kanton Poon Saan, dan desa air Melayu yang sering disebut sebagai Kampung.

The Capital

Karena banyaknya orang Inggris dan Australia yang menjadi mayoritas di ibu kota pulau ini, terdapat pengaruh Anglo-Celtic yang kuat di The Settlement yang berkontribusi pada kuatnya kehadiran agama Katolik. Hal ini semakin diperkuat oleh kedatangan orang Filipina baru-baru ini.[15]

Poon Saan

 
Sebuah kuil Tao

Di daerah Poon Saan, yang berfungsi sebagai Chinatown di pulau ini, agama Buddha merupakan hal yang lumrah. Praktik-praktik tradisional Kanton juga terwakili di daerah ini.[15] Kuil dan tempat suci Tionghoa termasuk tujuh kuil Buddha (seperti Biara Guan Yin (观音寺) di Gaze Road), sepuluh kuil Tao (seperti Soon Tian Kong (顺天宫) di South Point dan Kuil Sumur Hibah Guan Di) dan kuil-kuil yang didedikasikan untuk Na Du Gong atau Datuk Keramat di pulau ini.[18]

Kampung

Orang Melayu yang telah menetap di tepi pulau di kampung pesisir cenderung mengikuti Islam Sunni.[15] Kampung ini memiliki sebuah masjid, namun kondisinya sudah lapuk dan rusak dengan kayu-kayu yang sudah lapuk dan retak-retak.[19]

Kelompok lain

Kelompok-kelompok lain yang lebih kecil dan kurang terkonsentrasi secara geografis termasuk Anglikan yang berjumlah 3,6%, penganut Gereja Uniting yang berjumlah 1,2%, Protestan lainnya yang berjumlah 1,7%, dan kelompok-kelompok Kristen lainnya dengan 3,3%. Komunitas agama lain secara kolektif merupakan 0,6% dari populasi pulau ini.

Referensi

  1. ^ Biro Statistik Australia (31 Oktober 2012). "Christmas Island". 2011 Census QuickStats. Diakses tanggal 30 July 2013. 
  2. ^ "2016 Census: Christmas Island" (PDF). Department of Infrastructure and Regional Development. Australian Government. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 11 January 2018. Diakses tanggal 3 May 2020. 
  3. ^ Lundy, Kate (2010). "Chapter 3: The economic environment of the Indian Ocean Territories". Inquiry into the changing economic environment in the Indian Ocean Territories (PDF). Parliament House, Canberra: Joint Standing Committee on the National Capital and External Territories. hlm. 22. ISBN 978-0-642-79276-1. 
  4. ^ "Christmas Island Religions - Demographics". www.indexmundi.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-05-31. 
  5. ^ "Department of the Environment, Water, Heritage and the Arts – Christmas Island History". Australian Government. 8 July 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 March 2012. Diakses tanggal 26 April 2009. 
  6. ^ a b   Chisholm, Hugh, ed. (1911). "Christmas Island". Encyclopædia Britannica. 6 (edisi ke-11). Cambridge University Press. hlm. 294–295. 
  7. ^ "Digital Collections – Maps – Goos, Pieter, ca. 1616–1675. Paskaerte Zynde t'Oosterdeel Van Oost Indien (cartographic material) : met alle de Eylanden deer ontrendt geleegen van C. Comorin tot aen Iapan". National Library of Australia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-05. Diakses tanggal 26 April 2009. 
  8. ^ Carney, Gerard (2006). The constitutional systems of the Australian states and territories. Cambridge University Press. hlm. 477. ISBN 0-521-86305-8. The uninhabited island was named on Christmas Day, 1643, by Captain William Mynors as he sailed past, leaving to William Dampier the honour of first landing ashore in 1688. 
  9. ^ a b c d e "2021 Census: Christmas Island". Department of Infrastructure and Regional Development. Australian Government. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 November 2022. Diakses tanggal 27 November 2022. 
  10. ^ "Island induction". Christmas Island District High School. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 August 2017. Diakses tanggal 28 October 2015. 
  11. ^ Dennis, Simone (2008). Christmas Island: An Anthropological Study. Cambria Press. hlm. 91ff. ISBN 9781604975109. Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 December 2015. Diakses tanggal 6 November 2015 – via Google Books. 
  12. ^ "2021 Census QuickStats: Australia". Australian Bureau of Statistics (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 October 2022. Diakses tanggal 27 November 2022. 
  13. ^ Joyner, Tom (22 January 2019). "Why there have been no childbirths on Christmas Island in 21 years". ABC News (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 June 2020. Diakses tanggal 7 April 2020. 
  14. ^ Neville-Hadley, Peter (14 December 2017). "Christmas Island – the next big thing in travel? Home to Chinese, Indians, and Malays, it's a fascinating mix of cultures". www.scmp.com. South China Morning Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 December 2017. Diakses tanggal 17 January 2017. 
  15. ^ a b c d Lee, Regina (2 February 2013). "Christmas Island's ethnic groups". The Star. Malaysia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 July 2020. Diakses tanggal 3 May 2020. 
  16. ^ Christmas Island, CIA Factbook, 2016 estimate.
  17. ^ Australian Bureau of Statistics (2022), 2021 Census of Population and Housing – General Community Profile: Christmas Island (LGA51710), Commonwealth of Australia, ("General Community Profile" XLS file download: Table G14 – Religious Affiliation by Sex)  Direct file download (1 MB).
  18. ^ "Christmas Island Heritage – Temples and Shrines". 19 September 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 June 2020. Diakses tanggal 7 June 2020. 
  19. ^ Templat:Cite AHD

Pranala luar

(Inggris) http://www.aerospace-technology.com/projects/christmas/christmas3.html