Qatadah bin Idris
Abu 'Aziz Qatadah bin Idris bin Muta'in al-Hassani al-Hasyimi, adalah seorang Syarif yang berkuasa di Mekkah era Ayyubiyah. Keluarganya dari keturunan Musa bin Abdullah telah berkuasa sejak tahun 967 sejak Syarif Ja'far bin Muhammad bin Husain al-Hassani menguasai Mekkah atas nama Fathimiyah.
Syarif Qatadah bin Idris bin Muta'in | |
---|---|
Amir dari Mekkah | |
Berkuasa | 1201–1220 |
Penobatan | 1201 |
Pendahulu | Syarif Muktsir bin Isa al-Hawasyim |
Penerus | Syarif Hasan |
Kelahiran | Antara 1130-an atau 1150-an Wadi Yanbu (hari ini menjadi Provinsi Madinah, Arab Saudi) |
Kematian | 1220/1221 |
Keturunan | |
Wangsa | Banu Hasan |
Ayah | Syarif Idris bin Muta'in bin Abdul Karim |
Ia mengawali dominasi Mekkah oleh Bani Qatadah sampai jatuhnya Hijaz ketika negara ini di bawah kepemimpinan Syarif Ali bin Husain bin Ali al-Awn al-Abdali al-Qatadi oleh Abdul Aziz dari Kesultanan Nejd pada 1925.
Ia juga merupakan pendiri keluarga Banu Qatadah. Keturunannya selain menjadi Syarif di Mekkah tapi juga konon sampai ke Brunei, yakni Syarif Ali bin Ajlan yang menjadi leluhur keluarga Bolkiah dan kemudian satu pangeran Brunei membawa dinasti ini menguasai Bima. Selain itu salah satu keturunan Qatadah, Husain bin Ali kemudian memulai Revolusi Arab dan putranya, Abdullah bin Husain menjadi raja pertama Yordania modern. Putra Husain yang lain, Faisal menjadi penggerak utama Revolusi Arab, menjadi raja pertama Irak sampai wafatnya dan Suriah sebentar.
Nasab
suntingQatadah bin Idris bin Mutha'in bin Abdul Karim bin Isa bin Husain bin Sulaiman bin Ali bin Abdullah bin Muhammad bin Musa bin Abdullah bin Musa bin Abdullah bin Hasan bin Hasan bin Ali (dan Fatimah az-Zahra binti Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib) bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim
Dia berputerakan.
Biografi
suntingTanggal lahir Qatadah tidak dicatat, tetapi berdasarkan laporan tentang usianya saat meninggal, ia lahir sekitar awal 1130-an atau awal 1150-an.[1] Ia adalah keturunan 18 dari Rasul Muhammad Saw. Ibnu Khaldun menulis bahwa Bani Hasan bin Hasan hingga masa Qatadah bermukim di sekitar Nahr al-Alqamiyah di Wadi Yanbu. Ia mengklasifikasikan mereka sebagai orang-orang badiyah (gurun atau pedesaan), yang dibedakan dari orang-orang hadar (kota).[2]
Menuru al-Mundhzri , Qatadah lahir dan besar di Wadi Yanbu.[3] Setelah menjadi pemimpin klannya, Dhawu Muta'in, ia memulai kampanye perluasan wilayah. Dia melawan klan Syarif dari Banu Harb, Banu Isa, Banu Ali, Banu Ahmad, dan Banu Ibrahim. Kemudian dia mendapatkan dukungan dari Banu Ahmad dan Banu Ibrahim dan menyelesaikan penaklukannya atas Wadi Yanbu. Selanjutnya dia pindah ke selatan dan menaklukkan Wadi al-Safra dari Banu Yahya.[4][2][5]
Antara pengambil-alihan Ayyubiyah atas Mekkah pada 1175 dan 1200, pangeran Abbasiyah, Syarif yang berbasis Madinah, dan Ayyubiyah di bawah Amir Tughtakin bin Ayyub (saudara Salahuddin al-Ayyubi) berjuang untuk menguasai kota yang diperintah oleh Syarif Muktsir bin Isa bin Fulaitha al-Hawasyim. Pada 1200-1201, pejabat Mekah memilih Qatadah, salah satu dari mereka, untuk memerintah menggantikan Syarif Muktsir. Qatadah diakui oleh Sultan Ayyubiyah Mesir, al-Kamil sebagai Amir (Pangeran atau Adipati) atas Mekkah. Setelah mendapatkan kendali atas Keamiran Mekah, Qatadah memperluas pengaruhnya ke Madinah dan Ta'if , dan sebagian Najd dan Yaman. Dia mempertahankan benteng garnisun di Yanbu yang memungkinkan untuk mendapatkan bagian yang baik dari keuntungan perdagangan Laut Merah karena banyak kapal berhenti di pelabuhan ini sebelum melanjutkan ke Mesir. Sejarawan Belanda Christiaan Snouck Hurgronje menyebutnya sebagai "jenius politik".
Pada 1205, Qatadah dan Amir Madinah, SyarifSalim bin Qasim bin Muhanna bin Husain bin Muhanna al-Akbar Hamzah bin Dawud bin Qasim bin Ubaidillah bin Tahir bin Yahya Al-Nasabah bin Husain bin Ja'far bin Ubaidillah bin Husain bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib al-Husaini, terlibat konflik. Masing-masing mengumpulkan pasukan besar dan bertempur di pinggiran Madinah. Setelah mengunjungi dan berdoa di kamar Nabi Muhammad di Masjid Nabawi, Qatadah melanjutkan untuk menghadapi Salim. Yang terakhir mendorongnya kembali dan mengejar Qatadah ke Mekkah. Salim mengepungnya di sana, tetapi Qatadah mengirim surat kepada komandan Salim meminta mereka membelot. Akibatnya, para komandan Salim cenderung mendukung Qatadah. Setelah menyadari hal tersebut, Salim mundur ke Madinah, dan posisi Qatadah di wilayah tersebut diperkuat.
Otonomi dan tindakan Qatadah yang tumbuh mengganggu Khalifah di Bagdad, Sultan di Kairo, dan Amir di Yaman. Tantangan dari pihak berwenang tersebut bertepatan dengan haji tahunan karavan jemaah ke Mekah. Karenanya, karavan dari Kairo, Baghdad, dan Damaskus ditemani oleh berapa pun pasukan yang dianggap perlu oleh khalifah atau sultan untuk menyampaikan pesan ke Qatadah. Pada 1212, upaya pembunuhan terhadap Qatadah terjadi selama haji. Qatadah mencurigai Abbasiyah bertanggung jawab dan memerintahkan pasukan budak Nubianya untuk menyerang karavan Baghdad, meskipun mereka telah melarikan diri untuk bergabung dengan karavan Damaskus di mana mereka mendapatkan perlindungan dari ibu Salahuddin. Qatadah menuntut kompensasi 100.000 dinar karena membatalkan serangan terhadap karavan, tetapi ketika ibu Salahuddin hanya bisa mengumpulkan 30.000 dinar, Qatadah tetap berhenti. Namun, dia juga berjanji akan membunuh setiap peziarah yang datang dari Baghdad pada tahun berikutnya.
Referensi
sunting- ^ Ibn Fahd 1986, hlm. 575–576.
- ^ a b Ibn Khaldūn 2000, hlm. 135.
- ^ Ibn Fahd 1986, hlm. 566.
- ^ Ibn Fahd 1986, hlm. 551.
- ^ al-Qalqashandī 1914, hlm. 272.