Qurotul Ain

penyebar agama Islam di Indonesia
(Dialihkan dari Qurotul ain)

Syekh Quro adalah Syekh Qurotul Ain atau Syekh Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah. Menurut Naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang Ulama. Beliau adalah putra Syekh Yusuf Ash-Shiddiq bin Jamaluddin Akbar Al Husaini.

As-Syekh

Sayyid Hasanuddin
( Syekh Qurotul'ain )
Petunjuk Makam Syekh Quro dan Syekh Bentong
Informasi pribadi
Lahir
Sayyid Hasanuddin
AgamaIslam
PasanganRatna Sondari
Anak
Orang tua
DenominasiSunni

Berikut adalah daftar muridnya yang dikenal, antara lain :

Syekh Qurotul'ain dan Syekh Nurjati merupakan Penyebar agama Islam periode Awal di Jawa Barat.

Kedatangan Laksamana Cheng Ho

sunting
 
Laksamana Cheng Ho

Ekspedisi Tiongkok datang ke Cirebon atas titah Kaisar Ming, Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming yang sangat terkenal pada tahun 1432 masehi. Dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho dan Laksamana Sampo Bo.

Kaisar Ming menugaskan untuk mengunjungi berbagai bangsa-bangsa untuk menjalin hubungan Persaudaraan antara Tiongkok dengan bangsa-bangsa tersebut. Kaisar Ming membekali ekspedisi dengan 25.000 hingga 27.000 orang pasukan dan 50 buah kapal besar.

Catatan lain bahkan menyebutkan armada terdiri 307 kapal laut yang terdiri dari kapal besar dan kecil, mulai dari kapal bertiang layar tiga hingga bertiang layar sembilan. Kapal terbesar mempunyai panjang sekitar 400 feet atau 120 meter dan lebar 160 feet atau 50 meter. Rangka layar kapal terdiri dari bambu Tiongkok.

Cheng Ho atau Zheng He (Hanzi tradisional:鄭和, Hanzi sederhana: 郑和, Arab: تشنغ هو, Hanyu Pinyin: Zhèng Hé, Wade-Giles: Cheng Ho; nama asli: 马三宝 Hanyu Pinyin: Ma Sanbao) (Nama Arab: حاجي محمود شمس; Haji Mahmud Shams) (1371 - 1433), adalah seorang pelaut dan penjelajah Tiongkok terkenal.

Di antara penjelajahannya adalah ekspedisi ke Nusantara antara tahun 1405 hingga 1433 masehi. Cheng Ho adalah keturunan suku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han tetapi memeluk agama Islam.

Ekspedisi pertama Cheng Ho dan pasukannya mendatangi Cirebon tahun 1405 masehi. Mereka sebetulnya datang hanya untuk mengisi air bersih bagi kepentingan pasukan. Namun, mengisi air untuk armada Cheng Ho tentu membutuhkan waktu lama. Sebab, kapal-kapalnya besar dan jumlah penumpangnya banyak. Singgah di wilayah dalam waktu lama tentu harus minta izin kepada penguasa lokal.

Itulah awal persahabatan Cirebon dengan Cheng Ho. Saat itu Kesultanan Cirebon belum ada. Masih di bawah kekuasaan Kerajaan Singapura (bagian dari Kerajaan Sunda-Pajajaran). Baru pada 1430 masehi Kasunanan Cirebon ada. Dimulai ketika putra Kerajaan Pajajaran Pangeran Cakrabuana mendirikan Keraton Pakungwati.

Hampir semua wilayah Cirebon pernah didatangi Cheng Ho. Tapi, daerah yang menjadi tempat tinggal selama di Cirebon adalah kawasan Muara Jati. Daerah itu sekarang menjadi area makam Sunan Gunung Jati.

Cheng Ho memberikan hadiah berupa guci dan piring-piring dengan lafaz tauhid, yang sekarang masuk dalam pusaka keramat Kesultanan Kasepuhan Cirebon yang hanya boleh dilihat pada Jumat.

Kunjungan Cheng Ho juga banyak memberikan bantuan alih teknologi ke masyarakat Cirebon. Di antaranya adalah manajemen kesyahbandaran, dan pembuatan jala penangkap ikan. Sehingga hasil tangkapan nelayan Cirebon menjadi lebih banyak. Bukan hanya itu, prajurit Cheng Ho juga mengajarkan teknik bercocok tanam.

Sebagai tanda persahabatan juga salah satunya membangun mercusuar untuk mempermudah dalam mengontrol Pelabuhan Muara Jati.

Hubungan Cirebon dengan Tiongkok tak hanya sampai pada kunjungan Cheng Ho. Hubungan pernikahan juga terjadi antara Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon yang juga salah seorang Wali Sanga, dengan salah satu putri dari Tiongkok, yakni Putri Ong Tien Nio. Baju-baju peninggalan Ong Tien Nio sampai sekarang masih tersimpan di museum dalam Keraton Kasepuhan Cirebon.

Cheng Ho dan Sunan Gunung Jati memang beda zaman. Cheng Ho kali pertama datang ke Cirebon pada 1405, sedangkan Sunan Gunung Jati memerintah Cirebon mulai 1479.

Meski sempat lama singgah di Cirebon, tidak banyak petilasan Cheng Ho di daerah itu. Yang masih bisa dijumpai adalah bekas mercusuar di kawasan Muara Jati. Mercusuarnya sendiri roboh pada zaman Belanda. Kini satu-satunya landmark justru bangunan modern berupa replika kapal yang dibangun pengusaha Cirebon keturunan Tionghoa. Yakni restoran berupa replika kapal Cheng Ho.

Kedatangan Laksamana Sampo Bo

sunting

Ekspedisi berikutnya, saat mendarat di negeri Campa (Kamboja), Laksamana sampo Bo bertemu dengan Laksamana Sampo Lo Khoei Kian. Sampo Lo Khoei Kian adalah salah seorang laksamana laut yang sangat tangguh dan kepercayaan juga orang andalan dari Panglima Cheng Ho.

Kemudian Laksamana Sampo Bo dan beserta segenap ekspedisinya meninggalkan negeri Campa- Kamboja untuk melanjutkan perjalanan ke negeri-negeri berikutnya. Dalam perjalanan ini, seorang pemuda Hasanuddin bin Yusuf Ash-Shodiq ikut dalam perjalanan Sampo Bo. Hasanuddin bin Yusuf Ash-Shodiq adalah putra seorang ulama besar di Campa yg bernama Yusuf Ash-Shodiq atau dengan sebutan Syeikh Yusuf Ash-Shodiq. Syekh Hasanuddin Azmatkhan adalah adik ipar dari Laksamana Sampo Lo khoei kian, yang telah menikahi kakak perempuannya yang bernama Syarifah Hayati binti Syekh Yusuf Ash-Shodiq Azmatkhan.

Ketika mendarat di Cirebon, ekspedisi Sampo Bo menjalin hubungan dengan Keraton Cirebon dan sebagai tanda persahabatan tersebut didirikan Menara mercusuar di Pelabuhan Cirebon. Sementara Laksamana Sampo Lo Khoei Kian beserta prajuritnya dikenalkan oleh Cirebon kepada Raja Sunda-Pajajaran di Pakuan – Pajajaran.

Prabu Siliwangi menganugerahkan lahan tanah dan jabatan untuk Laksamana Sampo Lo Khoei Kian dan wakilnya bernama Laksamana Muda Sampo Lo Kian Zhee adiknya. Demikian juga beberapa orang kepercayaan yang konon katanya ada 20 orang yg diangkat menjadi wakil mereka. Adalah orang-orang tangguh yang pilih tanding. Ada 20 orang yang masih dingat dengan baik oleh para nara sumber adalah : Dai min, Bai lin, I bung, Lo Ih, Khu sen, Lu wek, dll.

Laksamana Sampo Lo Khoei Kian dan Laksamana Muda Sampo Lo Kian Zhee adiknya diberikan lahan tanah di daerah Pulo Aren dan mendirikan bentengan bernama Cha kung (sekarang Cakung, Jakarta Timur). Sampo Lo Khoei Kian diberi nama jabatan oleh Raja Sunda dengan nama Rakean Jaya Laksana. Sementara Sampo Lo Kian Zhee diberi nama jabatan Rakean Jagabaya.

Tujuan utama perjalanan Cheng Ho dalam rangka menjalin persahabatan dengan raja-raja tetangga Tiongkok di seberang lautan. Maka ketika Syekh Quro beserta pengiringnya turun Muara Jati dan kemudian ke Pelabuhan Pura Dalam Karawang, maka armada Tiongkokpun berlabuh di Pelabuhan Muara Jati - Cirebon dan mengisi perbekalan.

Dakwah Di Cirebon

sunting

Syekh Quro datang di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon pada tahun 1416 Masehi. Sementara Syekh Nurjati mendarat di Cirebon pada tahun 1420 Masehi atau 4 tahun setelah pendaratan Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro di Cirebon. Kedatangan Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro di Cirebon, disambut baik oleh Syahbandar atau penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang bernama Ki Gedeng Tapa.

Maksud dan tujuan kedatangan Syekh Hasanuddin ke Cirebon adalah untuk menyebarkan ajaran Agama Islam kepada Rakyat Cirebon. Syekh Hasanuddin ketika di Cirebon, namanya disebut dengan sebutan Syekh Mursahadatillah oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat Cirebon.

Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syekh Hasanuddin untuk menyebarkan ajaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon rupanya diketahui oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu Angga Larang. Kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya untuk mengetahui misi penyebaran Agama Islam yang dibawakan oleh Syekh Hasanudin.

Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon, maka utusan tersebut diterima dengan ramah oleh Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah atau Syekh Quro. Syekh Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah seraya berkata kepada utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang : “Kelak dari keturunan raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam ”. Peristiwa ini disambut gembira oleh Ki Gedeng Tapa dan para santri atau rakyat Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin terus berguru kepada Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau Syekh Quro untuk memperdalam ajaran Agama Islam.

Suatu waktu Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah pernah pamit kepada Ki Gedeng Tapa - Muara Jati Cirebon karena harus berdakwah ke Malaka dan Sumatera, maka Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon menitipkan anak kandung Putri kesayangannya yang bernama Nyi Subang Larang, untuk ikut berlayar bersama Syekh Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah ke Malaka.

Menetap Di Karawang

sunting

Di Kabupaten Karawang pada tahun 1418 M didirikan pesantren dan sekaligus masjid di Pelabuhan Bunut Kertayasa, Karawang Kulon Karawang Barat sekarang, diberi nama Pondok Quro yang artinya tempat untuk belajar Al Quran.

Di Karawang, Syekh Hasanudin dikenal dengan nama Syekh Quro karena dia adalah seorang yang hafal Al-Quran (hafidz) sekaligus qori yang bersuara merdu.

Syekh Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi, yang datang bersama para santrinya antara lain: Syekh Abdurrahman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang.

Syekh Quro kemudian menikah dengan Ratna Sondari putrinya dari Ki Gedeng Karawang dan lahir seorang putra yang bernama Syekh Ahmad Azmatkhan yang menjadi penghulu pertama di Karawang. Syekh Quro juga memiliki salah satu santri yang sangat berjasa dalam menyebarkan ajaran Agama Islam di Karawang yaitu bernama Syech Abdulah Dargom alias Syech Darugem bin Jabir Modafah alias Syech Maghribi keturunan dari Sayyidina Usman bin Affan r. a. Yang kelak disebut dengan nama Syekh Bentong alias Tan Go. Syekh Bentong memiliki seorang istri yang bernama Siu Te Yo dan dia mempunyai seorang putri yang diberi nama Siu Ban Ci.

Menjadi Penghulu Pernikahan Muridnya

sunting
 
Reden Pamanah Rasa Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja

Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan dakwahnya di musholla yang dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang agama Islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, karena ia bersama santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al-Qur’an memberikan daya tarik tersendiri, karena ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan masuk Islam.

Perkembangan pesat paguron Syech Quro di Karawang menarik hati Raja Sunda-Pajajaran Prabu Anggalarang, sehingga segera mengirim utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk meninjau Pesantren Syekh Quro. Tatkala putra mahkota ini tiba di tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang. Putra Mahkota (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji atau Prabu Siliwangi) itu pun dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Larang yang cantik itu dan halus budinya.

Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyai Subang Larang dengan syarat mas kawinnya haruslah berupa “Bintang Saketi Jejer Seratus”, yaitu simbol dari “tasbih” yang berada di Negeri Makkah.

Sumber lain menyatakan bahwa hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu haruslah patuh dalam melaksanakan syariat Islam. Selain itu, Nyai Subang Larang juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak haruslah ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa, sehingga beberapa waktu kemudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro (atau Mesjid Agung Karawang sekarang) dimana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulunya.

Raden Pamanah Rasa dan Nyai Subang Larang dikaruniai 3 orang putra yang bernama:

1. Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Yang lahir pada tahun 1345 Saka atau tahun 1423 Masehi ).

2. Nyi Mas Rara Santang atau Syarifah Muda’im ( Yang lahir pada tahun 1348 Saka atau tahun 1426 Masehi ).

3. Raja Sangara atau Raden Kian Santang ( Yang lahir pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi ).

Ketika anak–anak Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa telah menginjak usia dewasa dan telah mendapat bimbingan dari Waliyullah Syekh Quro, maka ketiga anak – anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa itu ditugaskan oleh Syekh Quro untuk lebih memperdalam lagi ajaran Agama Islam ke Pelabuhan Cirebon untuk berguru kepada Syekh Nurjati Cirebon.

Setelah cukup mendapatkan bimbingan dari Syekh Nurjati Cirebon, maka ketiga anak–anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa, adik bungsu dari Nyi Mas Rara Santang dan Raden Walasungsang yang bernama Raden Sangara atau Raden Kian Santang bertugas menyebarkan dan mengajarkan ajaran Agama Islam di Barat Cirebon yakni ke wilayah Limbangan - Kabupaten Garut. Sedangkan Nyi Mas Rara Santang bersama kakaknya Raden Walasungsang ditugaskan untuk berhaji dan sebelum berhaji disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa untuk mendapatkan bimbingan.

Penugasan Dakwah

sunting

Ketika usia anak Syekh Quro dan Ratna Sondari sudah beranjak dewasa, akhirnya Syekh Quro berwasiat kepada santri–santri yang sudah cukup ilmu pengetahuan tentang ajaran Agama Islam seperti: Syekh Abdurrahman dan Syekh Maulana Madzkur di tugaskan untuk menyebarkan ajaran Agama Islam ke bagian selatan Karawang, tepatnya ke kecamatan Telukjambe, Ciampel, Pangkalan, dan Tegalwaru sekarang. Sedangkan anaknya Syekh Quro dengan Ratna Sondari yang bernama Syekh Ahmad, ditugaskan oleh sang ayah meneruskan perjuangan menyebarkan ajaran Agama Islam di Pesantren Quro Karawang atau Masjid Agung Karawang sekarang.

Sedangkan sisa santrinya yang lain yakni Syech Bentong ikut bersama Syech Quro dan Ratna Sondari istrinya pergi ke bagian Utara Karawang tepatnya ke Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang sekarang untuk menyebarkan ajaran Agama Islam dan bermunajat kepada Allah swt. Di Pulo Bata Syech Quro dan Syech Bentong membuat sumur yang bernama sumur Awisan, kini sumur tersebut masih dipergunakan sampai sekarang.

Waktu terus bergulir usia Syech Quro sudah sangat uzur, akhirnya Syech Quro Karawang meninggal dunia dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulo Kalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Maka penerus perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam di Pulo Bata, diteruskan oleh Syekh Bentong sampai akhir hayatnya Syekh Bentong.

Hubungan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati

sunting

Di tandai dengan hubungan berikut :

1. Syekh Quro Karawang mengirimkan orang kepercayaannya yang bergelar Penghulu Karawang ke Dukuh Pasambangan untuk menjalin persahabatan.

2. Ratna Sondari ( Puteri Ki Gedeng Karawang ) atau istrinya Syekh Quro Karawang memberikan sumbangan hartanya untuk mendirikan sebuah masjid di Gunung Sembung ( Nur Giri Cipta Rengga ) yang bernama Masjid Dog Jumeneng atau Masjid Sang Saka Ratu.

3. Syekh Abdullah Dargom alias Syekh Darugem alias Syekh Bentong dan Syekh Bayanullah ( Adiknya Syekh Nurjati Cirebon ) setelah menunaikan ibadah haji, mereka ( Syekh Bayanullah dan Syekh Bentong ) mendirikan Pesantren Quro di Desa Sidapurna Kabupaten Kuningan Jawa Barat sekarang.

4. Cucunya Syekh Ahmad dari Nyi Mas Kedaton yang bernama Sayyid Musa Azmatkhan, kelak Sayyid Musa Azmatkhan menjadi Lebai atau pemimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon pada masa pemerintahan Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Sedang Syekh Ahmad itu sendiri merupakan anak dari Syekh Quro Karawang dengan Ratna Sondari putri Ki Gedeng Karawang.

5. Pengangkatan juru kunci di situs maqom Syekh Quro dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman Cirebon.

Makam Syekh Quro Karawang dan Makam Syekh Bentong ditemukan oleh Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha pada tahun 1859 Masehi atau pada abad ke – 19. Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha, di tugaskan oleh Kesultanan Cirebon, untuk mencari makam Maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syech Quro.

Bukti adanya makam Syekh Quro Karawang di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang, di perkuat lagi oleh Sunan Kanoman Cirebon yaitu Pangeran Haji Raja Adipati Jalaluddin saat berkunjung ke tempat itu dan surat, penjelasan sekaligus pernyataan dari Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII Nomor: P-062/KB/PMPJA/XII/11/1992 pada tanggal 05 Nopember 1992 yang di tunjukan kepada Kepala Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang.

Referensi

sunting
  1. Syehk Quro Karawang Diarsipkan 2015-02-16 di Wayback Machine. Disparbud Prov. Jabar
  2. Biografi Syekh Nurjati Diarsipkan 2015-01-20 di Wayback Machine. IAIN Cirebon
  3. Sejarah Makam Syekh Quro Lemah Gandu
  4. Biografi Syekh Nurjati H. R. Bambang Irianto, BA dan Dra. Siti Fatimah, M.hum. 2009. Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi) perintis Dakwah dan Pendidikan. Cirebon: Zulfana Cierbon