Abdul Jalil Syah dari Siak

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan
(Dialihkan dari Raja Kecik)

Sultan Abdul Jalil Syah, atau dikenal juga dengan panggilan Raja Kecil, adalah pendiri Kesultanan Siak Sri Inderapura. Menurut legenda, ia adalah putra Sultan Mahmud Shah II dari Johor dan dengan klaim tersebut, ia menghimpun berbagai suku bangsa di pesisir timur Sumatera untuk merebut takhta Johor, yang diduduki oleh Tengku Bendahara setelah kematian ayahnya. Setelah empat tahun berkuasa di Johor, ia dilengserkan dan mundur ke Buantan serta mendirikan Kesultanan Siak. Dari Buantan, Raja Kecil merongrong kekuasaan Johor dengan berbagai serangan dan mengamankan wilayahnya yang kaya dengan sumber daya alam.[1]

Raja Kecik
Yang Dipertuan Besar Siak Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah ibni Sultan Mahmud Syah
Makam Raja Kecil di Buantan, Siak
Sultan Siak Sri Indrapura ke-1
Berkuasa17231746
PenerusTengku Buwang Asmara
KelahiranJohor, Kesultanan Johor
KematianBuantan, Siak
Pemakaman
Buantan, Siak
Istri
  • Ence Kecil/Jenamal
  • Tengku Kamariah
Keturunan
DinastiMauli
AyahSultan Mahmud Syah II Johor
IbuEncik Apong

Historiografi

Sumber utama yang menceritakan Raja Kecil adalah Hikayat Siak dan Tuhfat al-Nafis. Kedua sumber ini menceritakan Raja Kecil dengan sudut pandang yang bertentangan, sekalipun menampilkan banyak fakta yang sama. Hikayat Siak dan Tuhfat al-Nafis sama-sama mencatat bahwa Raja Kecil dibesarkan di Pagaruyung dengan asuhan Puti Jamilan, memerintah Johor setelah direbut dari Sultan Abdul Jalil keturunan Bendahara, terusir ke Siak dan sering menyerang Johor setelah itu.[2]

Perbedaan mendasar di antara keduanya adalah keberpihakan: Tuhfat an-Nafis sangat berpihak kepada tokoh-tokoh Bugis, di mana Raja Ali Haji merupakan keturunan bangsa tersebut, serta menjelek-jelekkan pihak Siak dan Minangkabau yang menjadi musuh utama pada masa tersebut. Sementara itu, Hikayat Siak membela Raja Kecil dan pengikutnya dan memberi alasan logis terhadap beberapa tindakan-tindakan Raja Kecil terhadap Bugis. Terkadang, hasil perang dimenangkan pihak yang didukung oleh masing-masing penulis, seperti dalam serangan Kedah.[2]

Di samping itu, orang Belanda juga mencatat keberadaan Raja Kecil, terutama aktivitasnya saat dewasa.[3] Pertama kali nama Raja Kecil tercatat oleh VOC adalah ketika pihak Minangkabau menyurati mereka bahwa seorang anak Mahmud Syah datang sebagai perwakilan Pagaruyung demi menuntut balas darah ayahnya.[4] Karena dibesarkan dan diutus oleh Pagaruyung, Belanda menganggap kehadiran Raja Kecil sebagai bagian dari alam Minangkabau.[1] Namun, pada beberapa masa, perwakilan Minangkabau oleh Raja Kecil tergantikan oleh "Sultan Maharaja", sehingga ia tidak lagi mengafiliasikan diri ke sana.[4] Kebanyakan kisah Raja Kecil dari sudut pandang Barat (Belanda dan Inggris) dirangkum oleh Elisa Netscher dalam tulisannya De Nederlands in Johor en Siak 1602 tot 1865.[5] Sumber lain yang mengisahkan terbentuknya Kesultanan Siak adalah Syair Raja Siak.

Kelahiran dan Kehidupan Awal

Kisah Raja Kecil diawali dengan meninggalnya Sultan Mahmud Syah. Baik Tuhfat maupun Hikayat Siak sama-sama menceritakan[6] bahwa Mahmud Syah membunuh istri Megat Sri Rama, sehingga membangkitkan amarah Megat Sri Rama. Kesempatan itu diambil oleh Datuk Bendahara, Temenggung dan Indera Bungsu, yang bermufakat untuk melancarkan balas dendam Megat Sri Rama sekaligus menggantikan sang sultan. Datuk Bendahara kemudian menghasut sultan untuk membunuh hulubalangnya yang setia bernama Seri Bija Wangsa dengan tuduhan berkhianat. Namun, dalam Hikayat Siak, Datuk Bendahara menghukum mati Seri Bija Wangsa tanpa sepengetahuan sultan. Pada hari Jumat, Mahmud Syah dibopong (dijulang) pergi ke masjid, dan Megat Seri Rama menusuk sang sultan sehingga meninggal (mangkat). Dari peristiwa inilah ia digelari Marhum Mangkat Dijulang.[6][7]

Dalam Hikayat Siak, Raja Kecil adalah anak dari Sultan Mahmud Syah II (dalam naskah disebut Sultan Abdul Jalil Syah) dan Encik Apong yang "berhubungan" pada malam jumat sebelum sang sultan meninggal dunia. "Hubungan" yang dimaksud adalah saat sang sultan berahi air maninya terpancar, dan sultan menyuruh Encik Apong menelannya.[6] Dalam Tuhfat, setelah menceritakan "di dalam sejarah sebelah Siak" tersebut, Raja Ali Haji juga menceritakan "setengah kaul sejarah lain" bahwa setelah Mahmud Syah "takkala mangkat baginda itu zakarnya berdiri", dan pembesar Johor menyuruh Encik Apong bersetubuh dengannya sehingga "rebah zakar baginda itu". Setelah itu, Encik Apong dilarikan oleh seseorang bernama Panglima Bebas ke Pagaruyung.[7]

Tuhfat tidak menambahkan lagi nasib Encik Epong setelah itu, lain halnya dengan Hikayat Siak. Saat masih hamil, Encik Apong diinterogasi oleh Bendahara lalu mengaku bahwa janin tersebut adalah anak Mahmud Syah. Ia berjanji kepada Bendahara tidak akan melihat wajah anaknya itu begitu ia melahirkan.[6] Setelah melahirkan, Encik Apong menyerahkan bayinya kepada ayahnya, Laksamana, untuk dibawa pergi dari Johor. Laksamana membawanya ke Raja Negara di Selat Singapura. Oleh Raja Negara, bayi tersebut dibawa ke Muar untuk diasuh oleh Temenggung Muar, dan dibesarkan di sana.[6] Dengan tidak adanya anak Mahmud Syah (yang tampak), orang Johor mengangkat Tengku Bendahara sebagai sultan Johor dengan nama Sultan Abdul Jalil.[7]

Semua orang Johor tidak mengetahui identitas anak itu hingga ia berusia tujuh tahun, ketika sering bermain di makam Mahmud Syah dan memakan rumput makamnya di sana. Sementara anak-anak kecil lainnya muntah darah setelah memakan rumput tersebut, anak itu baik-baik saja. Hal itu mengundang perhatian orang Johor, termasuk Yang Dipertuan Muda, adik dari Abdul Jalil yang menguasai Johor setelah kematian Mahmud Syah. Mengetahui hal itu, Laksamana dan Raja Negara mengungsikan anak kecil itu, melalui Nakhoda Malim. Oleh Nakhoda Malim, anak tersebut dibawa ke Jambi dan dinamai Tuan Bujang. Setelah ke Jambi, mereka pergi ke Pagaruyung.[6]

Tuan Bujang diasuh oleh Putri Jamilan dari keluarga Kerajaan Pagaruyung, yang diasuhnya bagai anak sendiri karena kasihan ayahnya telah tiada.[1] Saat remaja, ia merantau ke Batanghari[4] lalu terus ke Palembang yang kerajaannya sedang berkonflik antara Sultan Anum dan Sultan Lema Abang.[6] Saat kelananya, ia menikah dengan seorang putri Dipati Batu Kucing; dalam catatan Netscher, ia bernama Ence Kecil atau Jenamal.[8] Dari pernikahan ini mereka memperoleh putra bernama Raja Alam.[6] Begitu lama kelananya, sehingga saat pulang ia ditanya Putri Jamilan "mengapa engkau lama di laut?", maka jawab Tuan Bujang "untuk menengok cupak gantang orang." Putri Jamilan yang menyemangati Tuan Bujang untuk merantau, kali ini ke Johor, untuk menuntut balas darah ayahnya. Kerajaan Pagaruyung menggelarinya Raja Kecil, menganugerahkan berbagai benda pusaka, serta surat dengan cap mohor Pagaruyung yang mengimbau perantauan Minangkabau mendukungnya saat diminta atau memberikan uang 20 real, dengan ancaman kutukan bisa kawi.[1]

Merebut Takhta Johor

Saat tiba di Bukit Batu atau Sabah Aur, Raja Kecil dihadang oleh syahbandar Johor di sana dan didenda 20 real, sehingga ia bersumpah akan membalas hinaan ini dengan menghisap darah syahbandar itu apabila telah berkuasa.[4][6][8] Kemudian ia berangkat ke Bengkalis dan bertemu pimpinan Minangkabau di sana serta menunjukkan surat dari Pagaruyung. Dengan demikian, dukungan dari pihak Minangkabau telah berada di tangan Raja Kecil. Selain itu, ia mencari dukungan pula ke Batubara, Tanah Putih dan Kubu, lalu kembali ke Bengkalis dan bersiap-siap menduduki Johor. Selain karena dukungan Minangkabau, wilayah-wilayah tersebut dan sekitarnya telah menderita karena kuasa Johor yang senantiasa diperlakukan keras dan bagai budak.[4]

Penyerangan Johor terjadi sekitar akhir Februari dan awal Maret tahun 1718. Menurut Hikayat Siak, selain kekuatan orang Minangkabau, Raja Kecil juga didukung oleh Orang Laut, penduduk Selat Melaka, beberapa orang Bugis, serta beberapa petinggi kerajaan Johor yang membelot kepadanya. Keadaan ini ditambah dengan kondisi pertahanan Johor yang tidak banyak melawan.[9] Hikayat Siak mencatat bahwa meriam Johor tidak dapat menembak, melainkan keluar air; kisah sabotase meriam ini menjadi 'bahan' kharisma Raja Kecil sebagai anak Mahmud Syah Mangkat Dijulang.[2][9] Setelah berlabuh di Johor, Raja Kecil meyakinkan sebagian orang Johor; dalam Hikayat Siak ia mencelupkan mangkuk rotan ke air laut, berdoa sekiranya ia anak Mahmud Syah maka air itu tawar rasanya, dan ketika mereka mencobanya air itu memang tawar. Sebagian besar yang yakin itu adalah dari kalangan Orang Laut.[1][6] Menurut catatan Joao Tavares, seorang kapten Portugis, Raja Kecil juga didukung oleh penduduk Singapura dan beberapa orang Bugis, serta dengan yakinnya mengajak Portugis untuk bergabung;[4] dalam Hikayat Siak, pimpinan Bugis ini adalah Daeng Parani dan Daeng Celak.[4][6]

Setelah Raja Kecil memasuki Johor, Yang Dipertuan Muda Johor membunuh istri dan anaknya lalu mengamuk di dalam kota; dalam Tuhfat al-Nafis ia membunuh mereka karena takut dijadikan budak dan gundik oleh musuhnya.[2][6] Raja Kecil kemudian mengikat persekutuan dengan Abdul Jalil dengan cara meletakkannya kembali sebagai Tengku Bendahara dan menikahi putrinya, Tengku Tengah. Namun, Raja Kecil membatalkan pertunangan dengannya karena tertarik dengan adiknya, Tengku Kamariah. Raja Kecil ditabalkan sebagai Yang Dipertuan Besar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah.[4][6] Selam di Johor ia mendengar kabar bahwa Encik Apong meninggal, lalu ia menziarahi kuburnya.[6]

Walau telah berusaha menjaga aliansi, Raja Kecil tidak dapat mempertahankannya lebih lanjut. Pembatalan tunangan dengan Tengku Tengah merupakan salah satu titik balik hubungan aliansi tersebut.[4] Belum lagi, Daeng Parani menuntut janji kepada Raja Kecil agar dijadikan Raja Muda tetapi akhirnya ditolak, dengan alasan mereka datang takkala rombongan Raja Kecil telah selesai menyerang Johor.[6] Tengku Tengah kemudian menikah dengan Daeng Parani dan dijanjikan jabatan tinggi apabila mereka dapat menyingkirkan Raja Kecil dan mengangkat Raja Sulaiman, saudara Tengku Tengah, sebagai Yang Dipertuan Johor. Mereka menculik Tengku Kamariah dan lari ke Pahang. Dengan demikian, Raja Kecil kehilangan kekuatan dari bangsawan Melayu dan Bugis.[4] Raja Kecil dan pendukungnya undur diri, mula-mula ke kepulauan Riau, kemudian pada bulan Januari 1719 ke Pulau Guntung.[4] Sementara dalam tahanan mereka, Tengku Kamariah melahirkan Tengku Buwang.[6]

Sementara di Pulau Guntung, ia berhubungan dengan VOC, yang dalam catatan mereka sebagai "Baginda Raja Kecil yang memerintah Pulau Guntung dan syahbandar Sri Sultan Pagaruyung".[4][9] Namun, VOC juga mendapat surat dari Pagaruyung bahwa "Sultan Gagar Alam" (dalam catatan VOC merupakan anak Putri Jamilan) telah menunjuk Sultan Maharaja untuk menggantikan Raja Kecil serta memanggilnya agar kembali ke Pagaruyung, serta menjamin jalur perdagangan emas di pesisir timur Sumatera. Alih-alih menurut, Raja Kecil menghimpun Orang Laut di Riau untuk mendukungnya kembali, serta memburu Sultan Maharaja dan empat Orang Kaya pengikutnya, yang akhirnya kalah dan lari ke pedalaman Sumatera. Raja Kecil memberi tahu VOC bahwa ia telah mengamankan jalur Petapahan dan akan kembali ke Johor melalui Pulau Guntung. Pasukan pendukung Raja Kecil kemudian menyerbu Riau,[4] tetapi melihat kekuatan Bugis, Raja Kecil mundur ke pedalaman Sumatera.[6] Dengan terbunuhnya Tengku Bendahara di pihak Siak—entah itu sebelum meninggalkan Johor atau saat berada di Riau—Raja Sulaiman yang telah menguasai Johor diangkat menjadi sultan dan mengikat aliansi bersama Bugis dengan memberikan mereka jabatan Raja Tua dan Raja Muda.[4][7][6]

Yang Dipertuan Besar Siak

Raja Kecil pada tahun 1722 meneroka pedalaman Riau dan menemukan sebuah daerah bernama Buantan. Dari sana, di tepi Sungai Siak, ia mendirikan "negeri" baru, dengan dirinya sebagai pemimpin dengan nama Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah.[4][6] Dari Buantan, ia menghimpun kekuatan untuk menyerang Johor dan berhasil merebut istrinya kembali dari tangan musuh. Hikayat Siak menceritakan kisah ini sebagai upaya nekat yang heroik oleh Raja Kecil, di mana ia dapat menyelamatkan istri serta Tengku Buwang anaknya, manakala Tuhfat al-Nafis menceritakan bahwa Raja Kecil memohon Raja Sulaiman untuk mengembalikan istrinya dengan sumpah bahwa ia tidak akan menyerang Johor kembali.[7][6][8] Ia juga menyempatkan balas dendam terhadap syahbandar Johor yang mempermalukannya di Bukit Batu atau Sabah Aur, tetapi karena permohonan Orang Asli ia tidak dibunuh, melainkan jarinya dilukai sedikit dan darahnya dihisap oleh Raja Kecil demi menebus sumpahnya; hal ini sekaligus menandakan takluknya daerah tersebut.[6][8] Pada masa ini, Raja Alam bertemu dengan ayahnya dan menjadi petinggi istana.[6]

Tahun-tahun awal berdirinya Siak diwarnai dengan konflik antara Raja Kecil dengan Johor. Raja Kecil sering sering merongrong kekuasaan Johor dengan menyerang kepulauan Riau dan sekitarnya, sedangkan Johor berusaha menegakkan kedaulatannya di pesisir timur Sumatera (terutama Bengkalis dan sekitarnya) serta menghalang-halangi Raja Kecil. Hasil penyerangan ini seringkali tidak pasti, karena baik Hikayat Siak maupun Tuhfat al-Nafis saling mengklaim berbagai kemenangan pada pihak yang mereka dukung.[2][4] Raja Kecil awalnya juga beraliansi dengan VOC yang menyediakan meriam dan mesiu dengan bayaran uang real dan guliga, tetapi aliansi itu terhenti pada tahun 1727.[4] Peperangan paling disorot oleh Hikayat Siak dan Tuhfat al-Nafis adalah perang Kedah, di mana Daeng Parani tewas ditembak meriam Raja Kecil. Hasil perang tersebut juga tidak pasti: Hikayat Siak menyatakan kemenangan Raja Kecil yang beraliansi dengan raja Kedah kemudian kembali ke Siak, sementara Tuhfat al-Nafis menyatakan pasukan Bugis mengamuk setelah kematian Daeng Parani sehingga Raja Kecil mundur ke Siak.[2][7][6] Di tengah kemelut tersebut, Raja Kecil mempunyai seorang istri lagi yang melahirkan Tengku Sahak dan Tengku Putih, dan jumlah anak Raja Kecil adalah sembilan orang.[4][6] Raja Kecil menyerang Johor untuk terakhir kalinya pada tahun 1735.[4]

Selama di Buantan Raja Kecil menata pemerintahannya. Pendukung Raja Kecil dapat menetap dan berkembang di negerinya, tetapi hak kepemilikan tanah berada di tangan orang asli.[8] Ia juga mengangkat beberapa pendukungnya sebagai Orang Besar-besar; institusi ini nantinya berevolusi menjadi Datuk Empat Suku.[4] Kedua anaknya juga membantu ayahnya dalam menghadang Johor di Selat Melaka, terutama setelah ia tidak menyerang lagi. Raja Alam pada tahun 1737 membangun benteng di Riau dan menyerang sebuah kapal bugis serta merampas meriamnya. Meskipun pada akhirnya mundur, Raja Alam merongrong kekuasaan Johor dengan menduduki beberapa wilayah Johor dan mengganggu pelayaran mereka. Tengku Buwang merongrong wilayah Linggi dan sekitarnya, dan pada bulan Mei 1740 menyerang orang Bugis di Muar.[4]

Akhir Hayat

Kondisi jiwanya terguncang ketika Tengku Kamariah meninggal karena sakit yang telah lama diidapnya. Ia sering mengunjungi makam istrinya dan bahkan tidur di samping pusaranya. Kondisi tersebut semakin memburuk beberapa tahun menjelang akhir hayatnya. Ketika ditanya siapa yang akan menggantikan dirinya, Raja Kecil menjawab "barangsiapa yang hidup, itulah anak kita"[4][7][6] Orang-orang kaya besar dalam hal ini memilih Tengku Buwang, yang merupakan anak gahara (keturunan bangsawan Melayu), daripada Raja Alam yang merupakan anak keluarga lokal yang terpandang. Raja Alam dijadikan Yang Dipertuan Muda, yang berarti akan menggantikan Tengku Buwang sebagai penerusnya.[4][6] Sekalipun demikian, perseteruan Raja Alam dengan Tengku Buwang tidak selesai. Raja Alam menghimpun kekuatan di Batubara,[4][6] di mana banyak perantau Minangkabau menetap di sana.[10] Bahkan kota itu dapat menyaingi perdagangan Bengkalis.[4]

Di tengah konflik kedua anaknya tersebut, Raja Kecil meninggal kira-kira tahun 1746[5] dan dimakamkan di Buantan, dekat makam Tengku Kamariah. Makamnya saat ini menjadi salah satu cagar budaya Kabupaten Siak.[11]

Rujukan

  1. ^ a b c d e Andaya, Leonard Y. (2019). Selat Malaka: sejarah perdagangan dan etnisitas. Jakarta: Komunitas Bambu. ISBN 978-623-7357-04-9. 
  2. ^ a b c d e f Hashim, Muhammad Yusoff (1988). "Di Antara Fakta dan Mitos: Tradisi Pensejarahan di Dalam Hikayat Siak atau Sejarah Raja-Raja Melayu". Sejarah: Journal of the Department of History. 1 (1): 63–116. doi:10.22452/sejarah.vol1no1.3. ISSN 2756-8253. 
  3. ^ Coolhaas, W.P. (1964). "Generale Missiven der V.O.C.". Journal of Southeast Asian History. 2 (7). doi:10.1017/S0217781100003318. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y Barnard, Timothy P. (2003). Multiple Centres of Authority: Society and Environment in Siak and Eastern Sumatra, 1674-1827. London: Brill. ISBN 978-90-04-45435-4. 
  5. ^ a b Netscher, Elisa (2002). Belanda di Johor dan Siak 1602-1865. Diterjemahkan oleh Wan Ghalib. Pekanbaru: Pemerintah Daerah Kabupaten Siak dan Bina Pusaka. 
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa Hashim, Muhammad Yusof (1992). Hikayat Siak: Sejarah mengenai raja-raja Melayu Kerajaan Siak Sri Inderapura (dalam bahasa Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan, Malaysia. ISBN 978-983-62-2728-7. 
  7. ^ a b c d e f g Haji, Raja Ali (2002). Tuhfat Al-Nafis Sejarah Riau-Lingga dan Daerah Takluknya 1699-1864. Kuala Lumpur: Yayasan Khazanah Melayu. 
  8. ^ a b c d e Van Anrooij, H.A. Hijmans (2016). Het Rijk van Siak (PDF). Diterjemahkan oleh Wilaela; Zulkifli, Nur Aisyah; Alimin, Khaidir. Jakarta: CV Mulia Indah Kemala. ISBN 978-602-1096-93-2. 
  9. ^ a b c Andaya, Leonard Y. (1972). "Raja Kechil and the Minangkabau Conquest of Johor in 1718". Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. 45 (2 (222)): 51–75. ISSN 0126-7353. 
  10. ^ Dobbin, Christine (2008). Gejolak ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri : Minangkabau 1784-1847. Jakarta: Komunitas Bambu. ISBN 979-3731-26-5. 
  11. ^ Khairiah (2014). "Menelusuri Jejak Arkeologi di Siak" (PDF). Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya. 11 (1): 34–54. 

Bibliografi

  • Donald James Goudie, Phillip Lee Thomas, Tenas Effendy, (1989), Syair Perang Siak: a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile, MBRAS.
  • Christine E. Dobbin, (1983), Islamic revivalism in a changing peasant economy: central Sumatra, 1784-1847, Curzon Press, ISBN 0-7007-0155-9.
  • Journal of Southeast Asian studies, Volume 17, McGraw-Hill Far Eastern Publishers, 1986.
Didahului oleh:
-
Sultan Siak Sri Inderapura
1725 - 1746
Diteruskan oleh:
Tengku Buwang Asmara
Didahului oleh:
Abdul Jalil Syah IV
Sultan Johor
1725 - 1746
Diteruskan oleh:
Sulaiman Badru Alam Syah