Ramadhan Karta Hadimadja (16 Maret 1927 – 16 Maret 2006) adalah seorang penulis biografi Indonesia. Ia meninggal setelah menderita kanker prostat selama ±3 bulan.

Ramadhan Karta Hadimadja
LahirRaden Ramadhan Karta Hadimadja
(1927-03-16)16 Maret 1927
Bandung, Jawa Barat
Meninggal16 Maret 2006(2006-03-16) (umur 79)
Cape Town, Afrika Selatan
PekerjaanSastrawan, Sastrawan Sunda, Budayawan, Wartawan
KebangsaanIndonesia
KewarganegaraanIndonesia
GenreNovel, Cerpen, Puisi, Biografi
TemaSastra Indonesia, Biografi
Penghargaan
  • Hadiah Sastra Southeast Asia Write Award (1993).
  • Anggota kehormatan Perhimpunan Sejarahwan Indonesia (2001).
  • Anggota Akademi Jakarta.
Pasangan
  • Pruistin Atmadjasaputra
  • Salfrida Nasution
Anak
KerabatAoh K. Hadimadja
Shahnaz Haque (menantu)

Kang Atun, panggilan akrab Ramadhan, adalah anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Ayahnya, Raden Edjeh Kartahadimadja, adalah seorang Patih Kabupaten Bandung pada masa kekuasaan Hindia Belanda. Ia dilahirkan dari perkawinan ayahnya dengan Saidah. Aoh K. Hadimadja (1911 - 1972) yang juga dikenal sebagai penyair dan novelis itu, adalah kakak kandung seayah Ramadhan yang lahir dari rahim istri pertama ayahnya yakni Raden Djuwariah binti Martalogawa. Ketika usia Ramadan masih belum genap tiga bulan, ayahnya terpikat perempuan lain dan menceraikan Saidah yang langsung dikembalikan ke kampung. Pengalaman tersebut membuat ia dekat dengan sosok ibu dan menghayati derita kaum perempuan.

Pendidikan dan pekerjaan

sunting

Ramadan pernah bekerja selama 13 tahun sebagai wartawan Antara. Lalu, dia minta berhenti karena tak tahan melihat merajalelanya korupsi waktu itu. Dia tercatat sebagai mahasiswa ITB dan Akademi Dinas Luar Negeri (sekarang Sekdilu) di Jakarta, kedua-duanya tidak tamat. Dia juga pernah bertugas sebagai Redaktur Majalah Kisah, Redaktur Mingguan Siasat dan Redaktur Mingguan Siasat Baru.

Semasa hidupnya Ramadan terkenal sebagai penulis yang kreatif dan produktif. Ia banyak menulis puisi, cerpen, novel, biografi, dan menerjemahkan serta menyunting.

Kumpulan puisinya yang diterbitkan dengan judul "Priangan Si Djelita" (1956), ditulis saat Ramadan kembali ke Indonesia dari perjalanan di Eropa pada 1954. Kala itu, ia menyaksikan tanah kelahirannya, Jawa Barat, sedang bergejolak akibat berbagai peristiwa separatis. Kekacauan sosial politik itu mengilhaminya menulis puisi-puisi tersebut.

Sastrawan Sapardi Djoko Damono, menilai buku tersebut sebagai puncak prestasi Ramadan di dunia sastra Indonesia. Menurut Sapardi, buku itu adalah salah satu buku kumpulan puisi terbaik yang pernah diterbitkan di Indonesia. "Dia adalah segelintir, kalau tidak satu-satunya, sastrawan yang membuat puisi dalam format tembang kinanti," papar Sapardi.

Pada tahun-tahun terakhir hidupnya Ramadan tinggal di Capetown mengikuti istrinya, Salfrida Nasution, yang bertugas sebagai Konsul Jenderal Republik Indonesia di kota itu. Sebelumnya ia pernah tinggal di Los Angeles, Paris, Jenewa, dan Bonn, menyertai istrinya yang terdahulu, Pruistin Atmadjasaputra, juga seorang diplomat, yang dikenal dengan panggilan "Tines". Tines, yang dinikahinya pada 1958, mendahuluinya pada 10 April 1990 di Bonn, Jerman. Setelah ditinggal istrinya, pada tahun 1993 Ramadan menikah kembali dengan Salfrida, seorang sahabat istrinya yang pernah menyumbangkan darahnya ketika Tines sakit.

Korban fitnah

sunting

Pada tahun 1965 Ramadan sempat ditahan selama 16 hari di Kamp Kebon Waru, Bandung, bersama-sama dengan Dajat Hardjakusumah, ayah kelompok pemusik Bimbo yang saat itu menjabat pimpinan Kantor Antara Cabang Bandung.

Keduanya ditahan karena dilaporkan bertemu A. Karim DP dan Satyagraha, Ketua dan Sekretaris Jenderal PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat yang masa itu dianggap berideologi kiri dan mendukung G-30-S. Oleh karena itu, mereka juga dianggap pendukung G-30-S. Belakangan ia baru tahu bahwa mereka difitnah kelompok lain dapat menguasai kantor Antara cabang Bandung. Sesudah enam belas hari dalam tahanan, keduanya dibebaskan dan pimpinan pusat Antara memindahkannya ke Jakarta. Ramadan langsung pindah ke Jakarta.

sunting

Pada 1982, ketika tinggal di Jenewa, Ramadan dihubungi oleh Kepala Mass Media Sekretariat Negara di Jakarta, Gufran Dwipayana yang mengajaknya untuk menulis biografi Soeharto yang masih menjabat sebagai presiden R.I. waktu itu. Ramadan mula-mula menolak, karena sebagai orang Jawa Barat merasa tak menguasai budaya Jawa, daerah asal Soeharto. Namun Soeharto sudah menjatuhkan pilihan pada Ramadan.

Nama Ramadan dipilih lantaran bukunya, Kuantar ke Gerbang, biografi kisah cinta Inggit Garnasih dengan Presiden Soekarno sangat berkesan bagi Dwipayana, orang dekat Soeharto, yang dipercayai menentukan calon penulis biografi Soeharto.

Selama penulisan biografi Soeharto hanya dua kali Kartahadimadja bertemu dengan orang terkuat pada masa Orde Baru. Pertanyaan di luar pertemuan itu diajukan Kartahadimadja dengan cara merekamnya. Lalu rekaman itu dititipkannya lewat Dwipayana, yang setiap Jumat bertemu Soeharto. Berdasarkan rekaman jawaban itulah Ramadan lebih banyak bekerja.

Penulisan biografi Soeharto membuat Ramadan merasa tertekan, tak sama dengan ketika dia menulis buku biografi tokoh lain. Dia merasa berat melakukannya karena takut salah tulis atau malah ditangkap.

Ramadan biasanya mengajak seorang atau lebih penulis lain untuk menulis biografi. Selain meringankan tugas, sekiranya dia berhalangan, sakit, atau meninggal dunia, penulisan buku itu tidak terhenti.

Tidak selamanya perjalanan Ramadan dalam menulis berjalan mulus. Rencana menulis biografi Ibnu Soetowo, mantan Direktur Utama Pertamina, dan Wiweko, tokoh penerbangan nasional, gagal lantaran perselisihan antara narasumber dengan rekan Kartahadimadja yang membantunya menulis. Penulisan biografi Yulia Sukamdani juga batal karena permintaan suaminya.

Setelah Tines berpulang, Ramadan kembali ke Indonesia bersama kedua anaknya. Ia ingin menagih honor kepada Soeharto, tetapi Dwipayana sudah meninggal dunia. Sekretaris Militer Presiden Syaukat Banjaransari menyarankannya agar menulis surat langsung kepada Presiden. Beberapa hari kemudian datang telepon dari Kolonel Wiranto, ajudan Presiden Soeharto. Ia diminta datang ke Jl. Cendana. Bersama Gumilang ia datang, masuk ke halaman, langsung diberi mobil Honda Accord warna merah. Mobil baru dengan jok terbungkus plastik. Namun Soeharto tidak menemuinya. Mereka hanya bertemu di depan garasi dan terbatas dengan Wiranto.

Akhir hayat

sunting

Pada hari-hari terakhirnya, Ramadan kembali menekuni kegemarannya pada masa lalu, melukis. Salah satu tema lukisan kesayangannya adalah rangkaian pegunungan di belakang rumahnya di Cape Town.

Ia meninggal dunia tepat pada peringatan hari kelahirannya yang ke-79 tahun. Ia meninggalkan istrinya, Salfrida, dua orang putra dari Tines, Gilang Ramadhan dan Gumilang, dan lima orang cucu.

Ramadan pernah mendapatkan sejumlah penghargaan, antara lain "Hadiah Sastra ASEAN" (Southeast Asia Write Award) pada 1993. Pada tahun 2001 ia diangkat menjadi anggota kehormatan Perhimpunan Sejarahwan Indonesia. Selain itu Ramadan juga merupakan salah seorang anggota Akademi Jakarta.

Karya-karya Ramadan

sunting

Biografi

sunting
  • Rauf Purnama : Pengalaman Mempersiapkan Pembangunan Industri (2016)
  • Kuantar ke Gerbang: kisah cinta kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (1981)
  • Gelombang hidupku: Dewi Dja dari Dardanella (1982)
  • Soeharto pikiran, ucapan, dan tindakan saya: otobiografi (1988)
  • A.E. Kawilarang - untuk Sang Merah Putih: pengalaman, 1942- 1961 (1988)
  • Bang Ali demi Jakarta (1966-1977): memoar (1992)
  • Hoegeng, polisi idaman dan kenyataan: sebuah autobiografi (ditulis bersama dengan Abrar Yusra) (1993)
  • Soemitro, mantan Pangkopkamtib: dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib (1994)
  • Gobel, pelopor industri elektronika Indonesia dengan falsafah usaha pohon pisang (1994)
  • Sjamaun Gaharu, cuplikan perjuangan di daerah modal: sebuah autobiografi (ditulis bersama dengan Hamid Jabbar, Sjamaun Gaharu) (1995)
  • D.I. Pandjaitan, pahlawan revolusi gugur dalam seragam kebesaran: biografi (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa) (1997)
  • Demi bangsa - liku-liku pengabdian Prof. Dr. Midian Sirait: dari guru SR Porsea sampai Guru Besar ITB (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa) (1999)
  • H. Priyatna Abdurrasyid - dari Cilampeni ke New York: mengikuti hati nurani (2001)
  • H. Djaelani Hidajat - dari tukang sortir pos sampai menteri: sebuah otobiografi (ditulis bersama dengan Tatang Sumarsono) (2002)
  • Pergulatan tanpa henti - Adnan Buyung Nasution (dibantu dituliskan oleh Ramadan K.H. dan Nina Pane) (2004)

Ramadhan K.H. telah menulis beberapa roman yakni Rojan Revolusi (1971) dan Kemelut hidup (1977).[butuh rujukan] Kemudian pada tahun 1978, ia menerbitkan Keluarga Permana.[1] Pada tahun 1990, ia menerbitkan Ladang Perminus.[butuh rujukan]

  • Priangan si Djelita: kumpulan sandjak (1956)
  • Am Rande des Reisfelds: zweisprachige Anthologie moderner indonesischer Lyrik / herausgegeben von Berthold Damshäuser und Ramadan K.H. aus dem indonesischen übersetzt von Berthold Damshäuser = Pinggir sawah: antologi dwibahasa puisi Indonesia modern / disunting bersama dengan Berthold Damshäuser, diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Berthold Damshäuser (1990)
  • Gebt mir Indonesien zurück! - Anthologie moderner indonesischer Lyrik / herausgegeben von Berthold Damshäuser und Ramadan K.H.; aus dem Indonesischen übersetzt von Berthold Damshäuser, mit einem Vorwort von Berthold Damshäuser (1994)
  • Jakarta & Berlin dalam cermin puisi: antologi dwibahasa dengan puisi mengenai Jakarta dan Berlin (2002)
  • Antologie Bilingue de la Poesie Indonesienne Contemporaine: antologi puisi dwibahasa Indonesia-Prancis (..)

Terjemahan

sunting
  • Yerma: drama tragis dalam tiga babak dan enam adegan oleh Federico García Lorca (1956)
  • Romansa Kaum Gitana oleh Federico García Lorca (1973)
  • Rumah Bernarda Alba oleh Federico García Lorca (1957)

Lain-lain

sunting
  • Bola Kerandjang - liputan Olimpiade Helsinki (1952) - bukunya yang pertama
  • Syair Himne Asian Games Jakarta (1963)
  • Menguak duniaku - kisah sejati kelainan seksual (ditulis bersama dengan R. Prie Prawirakusumah) (1988)
  • Amatan para ahli Jerman tentang Indonesia, disunting bersama dengan Berthold Damshäuser (1992)
  • Rantau dan renungan: budayawan Indonesia tentang pengalamannya di Prancis (1992)
  • Transmigrasi: harapan dan tantangan (1993)
  • Dari monopoli menuju kompetisi: 50 tahun telekomunikasi Indonesia sejarah dan kiat manajemen Telkom (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa, Abrar Yusra) (1994)
  • Mochtar Lubis bicara lurus: menjawab pertanyaan wartawan (1995)
  • Pers bertanya, Bang Ali menjawab (1995)
  • Rantau dan Renungan I: budayawan Indonesia tentang pengalamannya di Prancis (penyunting bersama dengan Jean Couteau, Henri Chambert-Loir) (1999)
  • Kita banyak berdusta - wawancara pers dan tulisan Laksamana Sukardi (penyunting bersama dengan Endo Senggono) (2000)
  • Peran historis Kosgoro (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa) (2000)

Pranala luar

sunting
  1. ^ Rani, S.A., dan Sugriati, E. (1999). 115 Ikhtisar Roman Sastra Indonesia. Bandung: CV. Pustaka Setia. hlm. 175. ISBN 979-730-120-6.