Requiem aeternam deo
Requiem aeternam deo adalah idiom rekayasa yang diciptakan oleh Friedrich Nietzsche dari idiom bahasa Latin requiem aeternam. Idiom ini bermakna "semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi", sedangkan idiom asalnya bermakna "semoga engkau beristirahat dalam kedamaian abadi" dan diucapkan untuk menghormati orang yang meninggal dunia. Inilah salah satu ungkapan Nietzsche dalam sebuah aforisme ketika dia berseru “Tuhan sudah mati! Kita telah membunuhnya”.
The Màdman
suntingUngkapan Nietzsche tersebut dapat ditemukan dalam bukunya yang mulai ditulis di Genova (1882), yaitu Die Fröhliche Wissenschaft (Ilmu yang Gembira). Dengan gaya bahasa yang penuh metafora, dia memaklumkan bahwa Tuhan sudah dibunuh dan sudah dikuburkan secara beramai-ramai.[1] Rumusan yang dapat ditemukan dalam aforisme yang berjudul Der tolle Mensch atau The Màdman (Orang Gila) dan masih akan diulang berkali-kali dalam karya Nietzsche sesudahnya. Kegilaannya dapat ditemui dari seluruh aforismenya yang berjudul Orang Gila berikut.[2]
Tidakkah kau dengar orang gila yang menyalakan pelita di pagi yang cerah. Dia berlari-lari menuju alun-alun kota dan tak henti-hentinya berteriak "Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!". Ketika orang banyak yang tidak percaya kepada Tuhan datang mengerumuninya, orang gila itu mengundang banyak gelak tawa. "Apakah dia ini orang yang hilang?" tanya seseorang. "Apakah dia tersesat seperti anak kecil? Apakah dia baru saja mengadakan pelayaran? Apakah dia seorang perantau?" Demikianlah, mereka saling bertanya sinis dan tertawa.[3]
Orang gila itu lalu melompat dan menyusup ke tengah-tengah kerumunan dan menatap mereka dengan pandangan yang tajam. "Mana Tuhan?", serunya. "Aku hendak berkata kepada kalian. Kita telah membunuh Tuhan – kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Bagaimana mungkin kita telah melakukan perbuatan semacam ini? Bagaimana mungkin kita telah meminum habis lautan? Siapakah yang memberikan penghapus kepada kita untuk melenyapkan seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan jikalau kita melepaskan bumi ini dari mataharinya? Lalu ke mana bumi ini akan bergerak? Ke mana kita bergerak? Menjauhi seluruh matahari? Tidakkah kita jatuh terus-menerus? Ke belakang, ke samping, ke depan, ke semua arah? Masih adakah atas dan bawah? Tidakkah kita berkeliaran melewati ketiadaan yang tak terbatas? Tidakkah kita merasa menghirup ruangan yang kosong? Bukankah hari sudah menjadi semakin dingin? Tidakkah malam terus-menerus semakin meliputi kita? Bukankah pada siang hari lentera pun kita nyalakan? Tidakkah kita mendengar kebisingan para penggali liang kubur yang sedang memakamkan Tuhan? Tidakkah kita mencium bau busuk Tuhan? Ya, para Tuhan juga membusuk! Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kita telah membunuhnya!"[3]
"Bagaimanakah kita – pembunuh para pembunuh – merasa terhibur? Dia yang Mahakudus dan Mahakuasa yang dimiliki dunia kini telah mati kehabisan darah karena pisau-pisau kita – siapakah yang hendak menghapuskan darah ini dari kita? Dengan air apakah kita dapat membersihkan diri kita? Perayaan tobat apa, pertunjukan kudus apa, yang harus kita adakan? Bukankah tindakan ini terlalu dahsyat bagi kita? Tidakkah kita harus menjadikan diri kita sendiri sebagai Tuhan supaya tindakan itu kelihatan bernilai? Belum pernah ada perbuatan yang lebih besar, dan siapa saja yang lahir setelah kita – demi tindakan ini – akan termasuk ke dalam sejarah yang lebih besar daripada seluruh sejarah sampai sekarang ini![3]
Sampai di sini, orang gila itu lalu diam dan kembali memandang para pendengarnya; dan mereka pun diam dan dengan kegeran-heranan memelototinya. Akhirnya, orang gila membuang pelitanya ke tanah dan pelita itu hancur, kemudian padam. "Aku datang terlalu awal", katanya kemudian. "Waktuku belum tiba. Peristiwa yang dahsyat ini masih terus berjalan, masih terus berkeliaran dan belum sampai kepada telinga orang-orang. Kilat dan guntur memerlukan waktu, cahaya bintang-bintang memerlukan waktu; tindakan, meskipun sudah dilakukan, masih memerlukan waktu untuk dapat dilihat dan didengar. Tindakan ini masih lebih jauh dari mereka daripada bintang-bintang yang paling jauh – tetapi mereka sudah melakukannya untuk diri mereka sendiri".[3]
Masih diceritakan kembali bahwa pada hari yang sama orang gila itu nekat masuk ke dalam berbagai gereja dan di sana menyanyikan lagu requiem aeternam deo (istirahat kekal bagi Tuhan). Setelah keluar dan diminta pertanggungjawaban, dia hanya selalu menangkis dan berkata, "Apalagi gereja-gereja ini kalau bukan makam-makam san nisan-nisan bagi Tuhan?"[3]
Inilah kisah panjang Nietzsche yang harus memaklumkan kematian Tuhan kepada khalayak orang-orang yang masih menggenggam keyakinan mereka akan Tuhan.[4] Tepatlah jika Nietzsche memberi judul aforisme ini dengan Orang Gila. Kegilaan ini tidak hanya terasa dari kontras antara sikapnya dengan khalayak. Kegilaan itu juga tampak dalam kontras antara sikap barunya yang membunuh Tuhan dengan sikap lamanya sebagai sang calon pendeta yang sangat religius. Orang yang membunuh Tuhan ini adalah orang yang masa remajanya pernah berlutut penuh khidmat di depan altar untuk menerima sakramen-sakramen dari gereja. Salah satu perilaku saleh Nietzsche dilukiskan oleh salah seorang sahabatnya sebagai berikut.[5]
Ketika para calon penerima sakramen penguatan menuju altar dengan berjalan dua-dua, dan berlutut di depan altar, Nietzsche juga berlutut. Sebagai sahabat karibnya, aku berlutut bersama-sama dengannya. Aku ingat betul suasana kekudusan dan rasa lepas bebas dari dunia yang meliputi kami sebelum dan sesudah penerimaan sakramen penguatan. Kami seolah sudah benar-benar disiapkan di sana dan kemudian mati agar dapat bersatu dengan Kristus. Semua pikiran, perasaaan, dan kegiatan kami terasa lebih bersinar-sinar daripada keceriaan duniawi. Ini semua tentu saja sebuah luapan artifisial yang tidak bisa bertahan sangat lama.[3]
Dengan mengidentifikasikan diri sebagai seseorang yang gila, Nietzsche ingin menunjukkan situasi zaman yang sudah kehilangan kemapanan, biasa, dan kewajaran, termasuk yang pernah dialaminya sendiri.[6] Semua makna dan nilai yang mencirikan “kewarasan” kini seluruhnya sudah roboh. Bagi orang-orang yang belum memahami situasi ini, pembawa berita tentang keruntuhan seluruh nilai tidak lebih dari “orang gila”, anak kecil yang tersesat, orang yang ketakutan, atau orang yang mabuk karena baru saja mengadakan pelayaran.[7]
Dengan berseru “Tuhan sudah mati”, Nietzsche pertama-tama tidak bermaksud ingin membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Tuhan tidak ada bagi Nietzsche merupakan “kebenaran” yang tidak perlu dipersoalkan lagi.[8] Seruan ini lebih menunjuk kepada Tuhan yang dulu pernah dibiarkan hidup, kini secara beramai-ramai sudah mulai dikuburkan banyak orang, bahkan kini sudah mulai membusuk. Tuhan dulu pernah hidup bisa dimakluminya. Orang-orang sebelum Nietzsche masih membiarkan Tuhan hidup karena mereka memang belum cukup kuat untuk membunuhnya. Pembuktian mengenai “pembuktian”, “Tuhan itu ada” atau “Tuhan itu tidak ada”, bukanlah cara berbicara Nietzsche. Ini adalah cara berbicara para metafisikawan yang hanya bersandar kepada prinsip-prinsip logika saja, sedangkan Nietzsche dalam prinsip nihilismenya juga menolak keabsahan logika itu. Dengan kata lain, dia menolak baik isi maupun cara berbicara kaum metafisikawan.[2]
Dengan matinya Tuhan, kini orang seolah der leere raum (merasa menghirup udara kosong) dan seluruh cakrawala dihapuskan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran Tuhan dalam perjalanan sejarah sebelum Nietzsche. Sejak zaman Yunani sampai Renaisans, manusia dibayang-bayangi oleh jaminan absolut (Tuhan) untuk memberikan makna dan nilai bagi dunia dan hidupnya. Orang mengira bahwa jaminan absolut itu memang benar-benar ada. Pudarnya Tuhan selalu diikuti reformasi supaya Tuhan tetap hidup. Menurut Nietzsche, para tokoh reformasi ini meliputi Pythagoras, Plato, Empedokles, dan Martin Luther. Namun, semua reformasi yang mereka lakukan semua gagal. Proses kematian Tuhan tidak dapat dielakkan. Dikarenakan jaminan absolut sudah kehabisan darah, nilai-nilai yang diturunkan darinya pun runtuh. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya proses nihilisme.[5]
Nihilisme
suntingNihilisme sebagai runtuhnya nilai-nilai merupakan keadaan yang normal dan memang harus terjadi. Nihilisme adalah hasil yang tidak terelakkan dari seluruh gerak sejarah sebelumnya yang diresapi gagasan-gagasan ketuhanan. Dalam gerak sejarah ini, roh manusia semakin kuat. Bersamaan dengan itu, Tuhan yang pernah diakui sebagi tujuan dan dasar bagi dunia dan hidup manusia semakin pudar. Sia-sialah setiap usaha untuk menghidupkannya kembali. Usaha-usaha itu justru menimbulkan berbagai konflik dan situasi yang menyulitkan, hingga akhirnya mempercepat proses nihilisme. Situasi ini dilukiskan Nietzsche sebagai bumi yang kehilangan matahari: bumi kehilangan orientasi, tidak tahu lagi yang harus dikelilingi, serta tidak ada lagi atas dan bawah. Dikarenakan keadaan ini berada di luar kekuasaan manusia perorangan, dapat dikatakan bahwa nihilisme lebih merupakan semangat zaman daripada sebuah doktrin atau sikap para filsuf secara individual.[9]
Sepintas, gagasan Nietzsche mengenai pudarnya Tuhan ini mirip dengan pemikiran Auguste Comte (1798–1857). Tokoh positivistik asal Prancis ini membagi perkembangan sejarah menjadi tiga tingkatan atau zaman, yaitu teologi atau mitologi, metafisika, dan positivistik. Dalam teologi atau mitologi, seseorang masih percaya kepada kekuatan adikodrati (Tuhan) sebagai penyebab segala peristiwa fenomenal yang dihadapi. Pada tahap kedua, peran Tuhan diganti dengan metafisika yang bersifat abstrak; misalnya substansi dan kodrat. Pada tahap positivistik, seseorang meninggalkan kekuatan-kekuatan adikodrati maupun konsep-konsep metafisik, kemudian membatasi diri hanya kepada fakta yang disuguhkan dan dihadapinya. Namun, Nietzsche masih menolak gagasan Comte yang seolah-olah berhasil memudarkan Tuhan. “Comte ingin mengantar orang-orang Prancis ke Roma melalui jalan ilmu pengetahuan!” Dengan kata lain, Comte secara tidak sadar telah menciptakan agama baru bagi dirinya dan bangsanya dengan jalan memutlakkan ilmu pengetahuan.[3]
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa dalam arti sempit, matinya Tuhan menunjuk kepada runtuhnya jaminan absolut, yaitu Tuhan yang merupakan sumber pemaknaan dunia dan hidup manusia. Nietzsche menyebut situasi ini sebagai nihilisme. Namun, lebih dari itu, dia sebenarnya mengartikan kata “Tuhan” lebih luas daripada pengertian sebagaimana dipahami orang-orang yang termasuk zaman teologisnya Comte. Bagi Nietzsche, “Tuhan” hanyalah suatu model untuk menunjuksetiap bentuk jaminan kepastian untuk hidup dan manusia. Oleh karena itu, sekalipun seseorang sudah membunuh Tuhan, dia belum tentu tidak menghidupkan tuhan-tuhan lainnya.[3]
Lihat pula
suntingRujukan
sunting- ^ Vahanian, Gabriel (2009). The Death of God: The Culture of Our Post-Christian Era. Oregon: Wipf and Stock Publishers. hlm. 20. ISBN 978-160-6089-84-2.
- ^ a b Jackson, Roy. Friedrich Nietzsche. Yogyakarta: Narasi. hlm. 98–112. ISBN 978-979-1684-41-5.
- ^ a b c d e f g h Sunardi, St. (2006). Nietzsche. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara. hlm. 35–42. ISBN 978-979-8451-60-7.
- ^ Sunardi, St. (2012). Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-Esai Seni dan Estetika. Yogyakarta: Jalasutra. hlm. 121–126. ISBN 978-602-8252-73-7.
- ^ a b Levine, Peter (2013). Nietzsche: Potret Besar Sang Filsuf. Yogyakarta: Ircisod. hlm. 236–241. ISBN 978-602-1912-68-3.
- ^ Letche, John (2001). 50 Filsuf Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 12–20. ISBN 978-979-6727-49-0.
- ^ Mencken, H.L. (2013). The Philosophy of Friedrich Nietzsche. New York: Start Publishing LLC. hlm. 44. ISBN 978-162-7930-90-1.
- ^ Darwin (2015). Filsafat dan Cinta yang Menggebu. Yogyakarta: The Phinisi Press. hlm. 86–94. ISBN 978-602-7250-62-8.
- ^ Megill, Allan (1987). Prophets of Extremity: Nietzsche, Heidegger, Foucault, and Derrida. California: University of California Press. hlm. 28–30. ISBN 978-052-0060-28-9.