Rumpun Timor

kelompok etnik di Indonesia ‎

Rumpun Timor (disebut juga sebagai bangsa Timor atau suku-suku Timor) adalah rumpun suku yang mendiami seluruh wilayah Pulau timor dan pulau-pulau kecil disekitarnya.[3] Wilayah yang dihuni oleh rumpun Timor ini juga dikenal dengan sebutan "Nusa Cendana" yang wilayahnya memiliki padang sabana yang luas, bukit-bukit, dan hutan primer maupun hutan sekunder dengan iklim gersang.[4][5]

Rumpun Timor
Pendeta dan prajurit tradisional Atoni.
Jumlah populasi
~3.000.000[1][2] (2020)
Daerah dengan populasi signifikan
Pulau Timor dan pulau-pulau kecil disekitarnya
Bahasa
Indonesia, Portugis, Kreol Melayu (Melayu Kupang dan Melayu Dili), dan bahasa-bahasa Timor lainnya
Agama
Mayoritas Kekristenan, minoritas Islam dan kepercayaan asli
Kelompok etnik terkait
Pribumi Indonesia lainnya

Budaya

Pada zaman dahulu, masyarakat rumpun Timor mendirikan bangunan pada tempat yang sulit dijangkau orang dari luar, hal ini bertujuan sebagai perlindungan diri bagi masyarakat Timor dalam mengantisipasi datangnya serangan tanpa diduga dari para musuh. Adapun wilayah yang dipilih yaitu pada daerah tinggi seperti di atas gunung karang yang sekelilingnya memiliki semak berduri atau dinding dari batu. Rumah adat masyarakat Timor ini dirancang menyerupai sarang lebah dan bentuk atap nyaris hingga menyentuh tanah. Di dalam rumah tersebut sebagai tempat untuk ruang makan, ruang tidur, ruang ritual, dan ruang tamu. Terdapat juga dapur dan tempat penyimpanan hasil panen. Tak hanya itu, rumah juga menjadi papan dalam melakukan upacara agama yang murni sesuai dengan ikatan klan/marga mereka.[4]

Rumah adat

Rumah adat masyarakat rumpun Timor memiliki desain yang berbeda-beda di setiap sukunya. Namun, bentuk atap seperti sarang lebah dengan atap yang hampir menyentuh dengan tanah merupakan hal yang lumrah ditemui oleh rumah adat di Pulau Timor. Rumah adat tersebut umumnya ditinggali oleh satu keluarga. Rumah adat tersebut juga memiliki nama dan sebutan yang berbeda di setiap sukunya, oleh suku Atoni rumah adatnya disebut Ume Le'u dan oleh suku Tetun disebut sebagai Uma atau Uma Tetun.[6]

Tarian adat

Tarian adat masyarakat Timor memiliki keanekaragaman, hal ini dikarenakan beragamnya kebudayaan pada setiap suku di wilayah tersebut.[4]

Kain tenun

 
Seorang wanita penenun dari Timor, 1930–1936.

Masyarakat Timor juga dikenal dengan kerajinan kain tenun yang pembuatannya telah berlangsung berabad-abad yang lalu dengan memanfaatkan bahan alam sebagai pewarnanya.[4] Pada zaman dahulu, kain tenun digunakan sebagai maskawin oleh masyarakat Timor. Saat ini, kain tenun kemudian juga dikembangkan menjadi pakaian biasa yang bisa dipakai oleh siapa saja, juga dikembangkan sebagai pajangan atau hiasan rumah.[7]

Sistem sosial

Masyarakat rumpun Timor menganut hubungan keturunan melalui garis kerabat dari ayah atau patrilineal bagi beberapa klan tertentu. Dalam satu desa pada umumnya terdiri dari beberapa klan, meskipun dalam satu klan terdiri dari klan-klan dari desa yang lainnya. Tak hanya itu, beberapa wilayah masyarakat Timor juga menganut sistem matrilineal yaitu garis keturunan dari ibu. Adapun masyarakat Timor yang menganut matrilineal terdapat pada masyarakat suku Tetun di daerah Wehali, Indonesia dan Suai, Timor Leste yang juga mencakup wilayah selatan disekitarnya.[4]

Jika keluarga menganut garis keturunan sesuai sistem patrilineal, maka anak akan memiliki suatu hak dan kewajiban dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai ketentuan dari klan tersebut. Seperti halnya dalam suatu klan dalam masyarakat Timor pada umumnya memiliki benda pusaka warisan yang mereka yakini suci dan terhubung oleh asal muasal dari suatu klan tersebut. Maka kewajiban suatu klan tersebut melakukan rangkaian upacara penyucian yang terkait benda pusaka warisan tersebut.[4]

Dalam menganut sistem patrilineal, seorang istri memiliki hak atas pengakuan dari klan suami, walaupun ia masih memiliki beberapa hak dan kewajiban tertentu atas klannya. Jika seorang istri memiliki hubungan terputus dengan klan asal, maka dalam hal tersebut jika suaminya telah meninggal, maka ia diharuskan melakukan pernikahan secara levirat. Jika seseorang mendapatkan klan yang menganut matrilineal atau garis keturunan menganut klan ibunya seperti secara adopsi sebagian besar klan asal yang menganut garis keturunan dari ayah akan menganggap lebih rendah klan garis keturunan secara matrilineal daripada para saudaranya yang menganut klan garis keturunan dari ayah, ia disebut feto (wanita), adapun saudara lainnya dijuluki mone (laki-laki).[4] Dalam perayaan pesta pernikahan, klan yang memiliki ikatan dengan klan yang menyelenggarakan pesta tersebut akan menjadi seseorang tamu kehormatan. Namun undangan yang tidak memiliki ikatan antara penyelenggara pesta akan menjadi tamu biasa atau sebagai orang luar.[4]

Pembagian

Dalam rumpun Timor ini terdapat suku-suku yang umumnya serumpun dalam adat dan budayanya. Berikut ini adalah suku yang termasuk kedalam rumpun Timor.[4]

Setiap suku tersebut memiliki ciri bahasa yang khas dan beberapa bahkan berbeda jauh.[4]

Perekonomian

Beternak merupakan usaha yang telah dilakukan oleh masyarakat Timor sejak zaman dahulu, adanya padang sabana yang luas dan tanah datar membuat masyarakat Timor melepaskan hewan ternaknya di padang rumput tersebut dan ternak tidak dikandangkan. Adapun metode dalam mengenali ternak pada masing-masing orang yaitu memberlakukan tanda pada masing-masing hewan ternak dengan cara melubangi telinga hewan ternak tersebut. Setiap pemilik hewan ternak memiliki metode dalam memanggil hewan ternak mereka, yaitu dengan cara mengalunkan lagu atau nada dengan seruling yang terbuat dari daun nipah. Pemanggilan hewan ternak tersebut dilakukan jika pemiliki memerlukan seperti untuk dijual, sebagai upacara adat, dan lain sebagainya.[4]

Kepercayaan

Masyarakat rumpun Timor memiliki kepercayaan dan sistem religi yang berbeda-beda pada setiap sukunya. Kepercayaan asli dari masyarakat Timor berinti pada keyakinan terhadap dewa langit yang disebut sebagai Uis Neno (dalam kepercayaan masyarakat Atoni). Dewa ini dipercaya masyarakat Atoni sebagai dewa yang telah menciptakan alam dan pendidikan kehidupan di dunia. Adapun upacara permohonan terhadap Uis Neno yaitu memohon turunnya hujan, memohon munculnya matahari, memohon keturunan, kesehatan, dan kesejahteraan.[8] Selain itu juga terdapat kepercayaan terhadap dewi bumi yang disebut sebagai Uis Afu.[8] Uis Afu merupakan pendamping Uis Neno. Adapun upacara permohonan terhadap Uis Afu yaitu memohon akan kesuburan tanah. Masyarakat Timor juga mempercayai adanya makhluk halus yang menempati suatu tempat tertentu, seperti hutan, mata air, sungai, dan pohon-pohon tertentu. Masyarakat rumpun Timor juga melakukan upacara adat ketika saat-saat tertentu, khususnya ketika ingin menggarap tanah. Saat ini, Kekristenan (Protestan pada suku Atoni dan Katolik pada suku Tetun) telah menjadi agama terbesar yang dianut oleh masyarakat Timor. Kekristenan berkembang pada sebagian besar masyarakat Timor bersama dengan kepercayaan asli yang telah ada sebelumnya, khususnya di pedalaman. Hal ini karena menurut mereka para pendeta maupun guru agama dianggap tidak dapat memberikan pertolongan secara langsung dalam kegiatan keseharian serta dalam menolak malapetaka yang dikarenakan oleh makhluk gaib maupun sihir.[4]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ "Indikator Strategis Nusa Tenggara Timur". BPS. Diakses tanggal 2019-12-18. 
  2. ^ "Nationality, Citizenship, and Religion". Government of Timor-Leste. 25 Oktober 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 November 2019. Diakses tanggal 29 Januari 2020. 
  3. ^ Kristi, Navita (2012). Fakta Menakjubkan Tentang Indonesia; Wisata Sejarah, Budaya, dan Alam di 33 Provinsi: Bagian 3. Cikal Aksara. ISBN 602-8526-67-3. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l "[PDF] BAHAN AJAR BUDAYA NUSANTARA II PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN SPESIALISASI KEBENDAHARAAN NEGARA WORO ARYANDINI DKK SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TAHUN 2011 - Free Download PDF". caridokumen.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-03. 
  5. ^ Suparlan, Parsudi. 2002. "Kebudayaan Timor" dalam Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: PT. Jembatan.
  6. ^ https://repository.unikom.ac.id/30818/1/Arsitektur%20NTT.PDF
  7. ^ Kayam, Umar. 1981. Seni Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.
  8. ^ a b Koentjaraningrat (2004). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. ISBN 979-428-510-2.