Sistem komplemen

Nama Pada Sistem Kekebalan Tubuh Manusia

Sistem komplemen adalah protein dalam serum darah yang bereaksi berjenjang sebagai enzim untuk membantu sistem kekebalan seluler[1] dan sistem kekebalan humoral[2] untuk melindungi tubuh dari infeksi. Protein komplemen tidak secara khusus bereaksi terhadap antigen tertentu, dan segera teraktivasi pada proses infeksi awal dari patogen. Oleh karena itu sistem komplemen dianggap merupakan bagian dari sistem imun bawaan. Walaupun demikian, beberapa antibodi dapat memicu beberapa protein komplemen, sehingga aktivasi sistem komplemen juga merupakan bagian dari sistem kekebalan humoral.

Protein komplemen di dalam serum darah merupakan prekursor enzim yang disebut zimogen. Zimogen pertama kali ditemukan pada saluran pencernaan, sebuah protease yang disebut pepsinogen dan bersifat proteolitik. Pepsinogen dapat teriris sendiri menjadi pepsin saat terstimulasi derajat keasaman pada lambung.[3]

Protein hasil irisan zimogen[4] berguna bagi:[1]

melalui jalur yang disebut:[5]

Sejarah sunting

Di akhir abad ke 19, serum darah telah diketahui mengandung suatu faktor atau cara yang dapat digunakan untuk membunuh bakteri. Pada tahun 1896, Jules Bordet, ilmuwan muda Belgia dari Pasteur Institute, Paris, mendemonstrasikan bahwa prinsip ini bisa dianalisis menggunakan dua komponen: komponen panas-tetap dan komponen panas-labil. Panas-labil menunjukkan bahwa komponen akan kehilangan kemampuannya jika serum dipanaskan. Komponen panas-tetap ada untuk memberikan kekebalan melawan mikroorganisme spesifik, sedangkan komponen panas-labil bertanggung jawab terhadap aktivitas mikrobial non-spesifik yang dimiliki serum. Komponen panas-labil ini adalah yang disebut “komplemen”.

Istilah “komplemen” diperkenalkan oleh Paul Ehrlich pada akhir tahun 1980an, sebagai bagian dari teorinya mengenai sistem kekebalan. Menurut teorinya, sistem kekebalan terdiri dari berbagai sel yang memiliki reseptor spesifik pada permukaannya untuk mengenali antigen. Pasca imunisasi dengan antigen, lebih banyak reseptor terbentuk, lalu reseptor itu mengalir dari sel ke aliran sirkulasi darah. Reseptor ini, yang saat ini kita kenal dengan nama “antibodi”, disebut oleh Ehrlich sebagai “amboceptor” untuk menekankan fungsi ganda reseptor dalam melakukan pengikatan. Reseptor tesebut mampu mengenali dan mengikat antigen spesifik, namun mereka juga mampu mengenali dan mengikat komponen antimikrobial panas-labil dari serum. Ehrlich lalu menamakan komponen panas-labil ini “komplemen” karena ini adalah sesuatu dalam darah yang menjadi komplemen sel pada sistem kekebalan.

Ehrlich percaya bahwa setiap amboceptor antigen spesifik memiliki komplemen yang spesifik, di mana Bordet percaya bahwa sebenarnya hanya ada satu tipe komplemen. Di awal abad ke 20, kontroversi ini terselesaikan ketika ditemukan bahwa komplemen bisa beraksi berpasangan dengan antibodi spesifik atau secara sendirian secara non-spesifik.

Fungsi komplemen sunting

Di bawah ini adalah fungsi dara dari komplemen:

  1. Mencerna sel, bakteri, dan virus
  2. Opsonisasi, yaitu memicu fagositosis antigen partikulat
  3. Mengikat reseptor komplemen spesifik pada sel-sel imun, inflamasi, dan beberapa molekul imunoregulator
  4. Pembersihan imun, yaitu membuang sisa-sisa bahan imunitas (kompleks imun) dan mengirimnya ke di limpa dan hati untuk dihancurkan.

Lain-lain sunting

Protein dan glikoprotein yang merupakan penyusun dari sistem komplemen disintesis di hepatosit hati. Namun, sejumlah besar sistem penyusun sistem komplemen juga diproduksi di jaringan makrofag, monosit dalam darah, dan sel epitel dari saluran kelamin dan pencernaan.

Sistem komplemen memiliki kemungkinan untuk memberi kerusakan parah kepada jaringan milik sendiri, yang berarti bahwa aktivasi sistem komplemen harus dilakukan dengan tepat. Sistem komplemen diatur oleh protein kontrol komplemen, yang terdapat di dalam plasma darah dalam konsentrasi yang lebih besar daripada protein komplemen itu sendiri. Beberapa protein kontrol komplemen berada di membran sel untuk mencegah penyerangan oleh sistem komplemen.

Dipercaya bahwa sistem komplemen memiliki peran dalam mengakibtkan berbagai penyakit seperti sindrom Barraquer-Simmons, lupus erythematosus, glomerulonephritis, berbagai arthritis, penyakit jantung autoimun, multiple sklerosis, penyakit bowel inflamatori, dan luka ischemia-reperfusion. Sistem komplemen juga dapat berimplikasi pada penyakit sistem saraf seperti Alzheimer dan kondisi degeneratif saraf lainnya.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa virus HIV dapat memanipulasi sistem komplemen untuk mengakibatkan kerusakan lebih lanjut.

Referensi sunting

  1. ^ a b (Inggris) "Complement System". Merck Manuals Online Medical Library. Diakses tanggal 2010-03-31. 
  2. ^ (Inggris) "Complement Functions". University of Arizona. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-03-29. Diakses tanggal 2010-04-03. 
  3. ^ (Inggris) "The complement system and innate immunity". Charles A. Janeway, et al. Diakses tanggal 2010-03-31. 
  4. ^ (Inggris) "Functional protein classes in the complement system". Charles A. Janeway, et al. Diakses tanggal 2010-03-31. 
  5. ^ (Inggris) "Figure 2.8 Overview of the main components and effector actions of complement". Charles A. Janeway, et al. Diakses tanggal 2010-03-31. 
  6. ^ (Inggris) "IMMUNOLOGY - CHAPTER TWO COMPLEMENT". University of South Carolina School of Medicine; Gene Mayer. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-09-29. Diakses tanggal 2010-04-03. 

Pranala luar sunting

Bacaan lebih lanjut sunting

  • Abbas AK, Lichtman AH (2003). Cellular and Molecular Immunology (5th ed.), 563p. Philadelphia: Saunders.
  • Peakman M, Vergani D (1997). Basic and Clinical Immunology. New York: Churchill Livingstone.
  • Paul WE (ed.) (1999). Fundamental Immunology (4th ed.), 1589p. Philadelphia: Lippincott-Raven.
  • Roitt I, Brostoff J, Male D (2001). Immunology (6th ed.), 480p. St. Louis: Mosby.
  • Anderson DM (2003) Dorland's Illustrated Medical Dictionary (30th ed.), Philadelphia: W.B. Saunders.
  • Parham P (2005). The Immune System. New York: Garland.
  • Murphy K, Travers P, Walport M, with contributions by Ehrenstein M et al. (2008). Janeway's Immunobiology (7th ed.), New York: Garland Science.
  • DeFranco AL, Locksley RM, Robertson M (2007). Immunity: The Immune Response in Infectious and Inflammatory Disease. London; Sunderland, MA: New Science Press; Sinauer Associates.