Sistem merit

mempekerjakan pegawai negeri sipil berdasarkan kemampuan

Sistem Merit atau Merit System adalah istilah yang digunakan dalam pengelolaan Aparatur Sipil Negara (ASN). Sistem merit juga banyak digunakan di sektor swasta. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014[1] tentang ASN, Sistem Merit merupakan kebijakan dan pengelolaan ASN yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, serta kinerja secara adil dan objektif, tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, usia, atau kondisi disabilitas. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023[2] mendefinisikan Sistem Merit sebagai penyelenggaraan manajemen ASN yang mengikuti prinsip-prinsip meritokrasi.

Sejarah

sunting

Menurut sejarah, sistem merit mulai dilakukan di zaman Dinasti Qin dan Han di Tiongkok. Dinasti ini mengenalkan sistem merit melalui sistem pendidikan dan pelatihan, diikuti dengan ujian dan seleksi bagi calon-calon pejabat pemerintahan. Dalam upaya melaksanakan kekuasaan kerajaan yang wilayahnya begitu luas, besar, dan menyebar, pemerintahan Dinasti Qin dan Han menghadapi ruwetnya jaringan jabatan yang kompleks.

Konsep sistem merit yang berasal dari Tiongkok kemudian menyebar ke British India pada abad ke-17, dan akhirnya diterapkan di Eropa serta Amerika. Di Indonesia, sejak awal kemerdekaan hingga kini, sistem merit sudah diterapkan dalam manajemen pemerintahan, meskipun pelaksanaannya sering tidak sesuai dengan harapan. Secara disiplin ilmu, sistem merit adalah metode manajemen kepegawaian yang mengutamakan kompetensi sebagai dasar pengangkatan, penempatan, promosi, dan pensiun, sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Kompetensi ini mencakup keahlian dan profesionalisme yang harus sesuai dengan kebutuhan jabatan, sehingga menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan.[3]

Kelebihan dan Kekurangan

sunting

Salah satu keunggulan dari meritokrasi adalah kemampuannya untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, serta memastikan bahwa individu yang paling berkompeten menduduki posisi yang sesuai. Hal ini berpotensi meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kepuasan masyarakat. Di samping itu, meritokrasi juga dapat memperkuat rasa keadilan dan kesetaraan, karena keputusan didasarkan pada kualifikasi dan pencapaian, bukan pada status sosial atau latar belakang etnis.

Namun, meritokrasi juga memiliki kelemahan. Salah satunya adalah potensi munculnya ketidaksetaraan sosial, di mana individu dengan kualifikasi dan prestasi lebih tinggi akan lebih mudah memperoleh posisi yang lebih baik. Selain itu, meritokrasi bisa menciptakan tekanan dan stres yang besar, karena setiap individu harus terus meningkatkan kualifikasi dan prestasi mereka agar dapat mempertahankan posisinya.[4]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting