Spesiasi atau penspesiesan merupakan sebuah proses evolusi munculnya spesies baru. Terdapat empat jenis spesiasi alami, tergantung pada sejauh mana populasi yang berspesiasi terisolasi secara geografis dari satu populasi ke yang lainnya. Empat jenis spesiasi alami tersebut adalah: spesiasi alopatrik, spesiasi peripatrik, spesiasi parapatrik, dan spesiasi simpatrik. Spesiasi juga dapat dilakukan secara buatan, melalui domestikasi ataupun eksperimen laboratorium.

Pengemuka teori sunting

 
Alfred Russel Wallace pada tahun 1895

Alfred Russel Wallace sunting

Alfred Russel Wallace mulai menyusun teori spesiasi ketika mengadakan penjelajahan di alam Indonesia. Ia merumuskan teorinya pada tahun 1858 berdasarkan teori seleksi alam yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Teori spesiasi yang dibuat oleh Alfred Russel Wallace dikirimkannya kepada Charles Darwin untuk dikomentari.[1]

Cakupan ilmu sunting

Spesiasi merupakan bagian dari makroevolusi karena evolusi terjadi dalam skala yang lebih tinggi dibandingkan spesies. Dalam makroevolsui, kedudukan spesiasi sama dengan kepunahan.[2] Spesiasi menjadi bagian dari makroevolusi karena adanya kenyataan mengenai luasnya kisaran geografi. Kondisi demikian membuat spesies menjadi memiliki kemungkinan untuk terisolasi dalam suatu kawasan dan meningkatkan terjadinya spesiasi.[2] Seluruh spesies dalam makroevolusi memberikan pengaruh bagi laju spesiasi.[2]

Faktor pendukung sunting

Iklim sunting

Laju spesiasi yang tinggi kemungkinan terjadi pada wilayah beriklim tropis. Penyebabnya adalah kondisi temperatur yang tinggi mampu mempercepat laju mutasi dengan kecepatan yang tinggi. Kondisi terbentuknya banyak spesies endemik di iklim tropis misalnya di kawasan Wallacea.[3]

Batas-batas ekologi sunting

Batas-batas ekologi memberikan peluang yang lebih tinggi untuk menyebabkan terjadinya spesiasi. Kemungkinan spesiasi akibat adanya batas-batas ekologis lebih tinggi dibandingkan dengan isolasi fisik. Pada ekosistem darat dan ekosistem laut terjadi proses spesiasi yang prosesnya mirip namun memiliki tingkat peluang yang berbeda. Peluang terjadinya spesiasi pada kondisi isolasi geografi lebih memungkinkan pada spesies di daratan dibandingkan dengan spesies di lautan.[4]

Imigrasi sunting

Imigrasi menimbulkan spesiasi lokal yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses evolusi. Jumlah spesies akan bertambah lebih cepat ketika mengadakan imigrasi ke pulau-pulau baru berukuran besar. Pulau-pulau ini biasanya terbentuk setelah terjadi aktivitas vulkanik. Garis pantai yang lebih panjang dan area yang lebih luas pada pulau besar membuat laju peningkatan jumlah spesies menjadi lebih tinggi. Populasi-populasi spesies yang lebih banya jumlahnya juga sesuai dengan pulau yang berukuran besar. Dukungan ini membuat tingkat kepunahan menjadi lebih rendah. Imigrasi ke pulau besar juga menghasilkan faktor lain seperti keanekaragaman habitat dan jarak pulau dari massa daratan yang berpengaruh terhadap jumlah spesies yang menghuninya.[5]

Dampak sunting

Diversitas spesies sunting

Spesiasi bersama dengan proses kepunahan telah menimbulkan diversitas spesies di Bumi. Prosesnya berlangsung sangat lama dan diperkirakan telah berlangsung selama 3,8 milyar tahun sejak dimulainya sejarah makhluk hidup. Proses kepunahan massal sendiri pernah terjadi sebanyak lima kali di Bumi melalui catatan sejarah.[6] Menurut teori biogeografi pulau, keseimbangan antara laju spesiasi dan laju pengelompokan spesies terhadap laju kepunahan telah membuat kekayaan spesies tetap terpelihara.[7]

Contoh nyata sunting

Monumen Nasional Kelautan Papahānaumokuākea sunting

 
Kawasan Monumen Nasional Kelautan Papahānaumokuākea ditandai dengan garis putus-putus.

Monumen Nasional Kelautan Papahānaumokuākea menjadi contoh dari berlangsungnya proses evolusioner dan biogeografis secara terus-menerus. Perbedaan dan keragaman jenis habitat maupun kumpulan spesies disebabkan oleh ukuran kepulauan, isolasi biogeografinya serta jarak antar pulau dan atol. Ekosistem di Monumen Nasional Kelautan Papahānaumokuākea membentuk spesiasi dari spesies leluhur tunggal. Endemisme laut dan terestrial yang sangat tinggi ditemukan pada sekumpulan spesies. Seperempat dari hampir 7.000 spesies laut di Monumen Nasional Kelautan Papahānaumokuākea telah ditetapkan sebagai spesies endemik. Seperlima spesies ikan di Monumen Nasional Kelautan Papahānaumokuākea juga merupakan endemik yang tidak ditemukan di kepulauan lainnya. Selain itu, tingkat endemisme spesies karang di Monumen Nasional Kelautan Papahānaumokuākea mencapai lebih dari 40%. Pencatatan spesies dalam suatu habitat masih bertambah untuk dipelajari lebih rinci. Kondisi terisolasi juga membuat Monumen Nasional Kelautan Papahānaumokuākea mengalami spesiasi di ekosistem terumbu karang. Pada puncak pemangsa terdapat hiu yang telah kehilangan fungsinya dari sebagian besar lingkungan pulau yang lain karena aktivitas manusia.[8]

Indonesia sunting

 
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan pulau-pulau yang jaraknya berjauhan.

Proses spesiasi cenderung terjadi di Indonesia karena keadaan geografi yang berbentuk kepulauan.[9] Faktor pendukung spesiasi di Indonesia ialah jarak pulau-pulaunya yang berjauhan.[10] Spesiasi umumnya terjadi pada biota laut di beberapa lokasi laut Indonesia. Ciri-cirinya ialah adanya spesies endemik pada biota laut di Indonesia.[11]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ Goss, Andrew (2014). The Floracrats: State-sponsored science and the failure of the enlightenment in Indonesia [Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru]. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 1. ISBN 978-602-940-232-2. 
  2. ^ a b c Sumitro, S. B., Ambariyanto dan Toha, A. H. A. (2020). Epigenetika (PDF). Malang: UB Press. hlm. 74. 
  3. ^ Sumarto, dkk. 2012, hlm. 94.
  4. ^ Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (Agustus 2019). Sains untuk Biodiversitas Indonesia (PDF). Jakarta Pusat: Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. hlm. 48. ISBN 978-602-61626-5-6. 
  5. ^ Sumarto, dkk. 2012, hlm. 31.
  6. ^ Sumarto, dkk. 2012, hlm. 3.
  7. ^ Radiansyah, A. D., dkk. (2015). Strategi Nasional dan Arahan Rencana Aksi Pengelolaan Jenis Asing Invasif di Indonesia (PDF). Jakarta: Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. hlm. 10. ISBN 978-602-72942-2-6. 
  8. ^ Douvere, Fanny (2018). Perdanahardja, Glaudy, ed. World Heritage Marine Sites, Managing effectively the world’s most iconic Marine Protected Areas, Best Practice Guide [Situs Perairan Warisan Dunia: Mengelola secara efektif Kawasan Konservasi Perairan yang paling ikonis di dunia, panduan praktik terbaik]. Diterjemahkan oleh Nugrahane, Ian. Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. hlm. 34. ISBN 978-92-3-000065-3. 
  9. ^ Atmoko, T., dkk. (Agustus 2021). Praktik Terbaik Pengelolaan Habitat Satwa Terancam Punah dalam Skala Bentang Alam: Sebuah Pembelajaran dari Kawasan Ekosistem Esensial Wehea-Kelay. Bogor: PT Penerbit IPB Press. hlm. 1. 
  10. ^ Sumarto, dkk. 2012, hlm. 70.
  11. ^ Dermawan, A., dkk. (2015). Dermawan, A., Wiadnyana, N. N., dan Suharsono, ed. Profil Keankaragaman Hayati Perairan Seri 1: Biota Perairan Dilindungi dan Terancam Punah (PDF). Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan. hlm. 16. ISBN 978-602-7913-45-5. 

Daftar pustaka sunting

  • Sumarto, S., dkk. (2012). Sumarto, Saroyo, ed. Biologi Konservasi (PDF). Bandung: CV. Patra Media Grafindo. ISBN 978-602-17976-1-7. 

Bacaan lebih lanjut sunting

Pranala luar sunting