Sriwijaya Air
Sriwijaya Air adalah sebuah maskapai penerbangan di Indonesia. Sriwijaya Air didirikan oleh keluarga Lie (Hendry Lie dan Chandra Lie) dengan Johannes Bundjamin dan Andy Halim. Dengan air operator certificate atau AOC Sriwijaya Air diterbitkan pada 28 Oktober 2003 [3], saat ini Sriwijaya Air adalah Maskapai Penerbangan terbesar ketiga di Indonesia,dan sejak tahun 2007 hingga saat ini tercatat sebagai salah satu Maskapai Penerbangan Nasional yang memiliki standar keamanan kategori 1 di Indonesia.[4]
| |||||||
Didirikan | 2003 | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Mulai beroperasi | 10 November 2003 | ||||||
Pusat operasi | |||||||
Anak perusahaan | NAM Air | ||||||
Armada | 6[1] | ||||||
Tujuan | 11[2] | ||||||
Kantor pusat | Tangerang, Indonesia | ||||||
Tokoh utama | Anthony Raimond Tampubolon (Direktur Utama) | ||||||
Situs web | www |
Bersamaan dengan sebagian besar maskapai penerbangan Indonesia lainnya, Sriwijaya Air (termasuk anak perusahaan Sriwijaya Air, NAM Air) berada dalam daftar maskapai penerbangan yang dilarang di Uni Eropa karena alasan keamanan pada Desember 2014.
Pada tanggal 8 November 2019, kerja sama operasional di antara maskapai Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air dihentikan ditandai dengan mulai beroperasinya kembali peralatan ground service milik Sriwijaya Air yang semula disimpan saat Kerja Sama Operasional (KSO) sedang berlangsung. Hal ini dikarenakan pihak Garuda Grup yang secara sepihak menghentikan penyediaan layanan kepada penumpang Sriwijaya Air karena Sriwijaya Grup tidak membayar tunai kepada Garuda Indonesia Grup untuk penyediaan fasilitas layanan tersebut.
Sejarah
suntingPT. Sriwijaya Air lahir sebagai perusahaan swasta murni yang didirikan oleh Chandra Lie, Hendry Lie, Johannes Bunjamin, dan Andy Halim. Beberapa tenaga ahli yang turut menjadi pionir berdirinya Sriwijaya Air di antaranya adalah Supardi, Capt. Kusnadi, Capt. Adil W., Capt. Harwick L., Gabriella, dan Suwarsono. Peruntungan dari Sriwijaya Air boleh jadi merupakan berkah dari deregulasi industri penerbangan. Hal ini tidak terlepas dari UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, yang dimana dimungkinkan bagi siapa pun untuk bisa mendirikan maskapai penerbangan dengan hanya dua atau bahkan satu unit pesawat [3].
Sriwijaya Air didirikan dengan tujuan untuk menyatukan seluruh kawasan Nusantara seperti keinginan raja kerajaan Sriwijaya dahulu yang berasal dari kota Palembang. Salah satu wilayah yang dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya yakni Pulau Bangka yang dimana Chandra Lie berasal.[3]
Keinginan tersebut kemudian diwujudkan melalui pengembangan transportasi udara yang pada awalnya hanya berbekal satu unit Boeing 737-200. Pesawat itu melayani rute Jakarta menuju Pangkal Pinang, kampung halamannya, pulang-pergi [3] Kehadiran Sriwijaya Air langsung mendisrupsi perilaku bertransportasi warga Bangka untuk keluar masuk pulau. Hanya dalam enam bulan, kapal cepat Pangkal Pinang-Jakarta berhenti beroperasi karena tidak mampu bersaing, yang dimana tiket Sriwijaya Air dihargai sebesar Rp. 175.000 untuk penerbangan selama 1 jam 15 menit. Sementara tarif kapal cepat Rp 155.000-Rp 165.000 untuk 10 jam pelayaran
Pada tanggal 10 November 2003, selain rute Jakarta-Pangkalpinang, Sriwijaya Air juga memulai penerbangan perdananya pada rute Jakarta-Palembang PP, Jakarta-Jambi PP, dan Jakarta-Pontianak PP dalam rangka Hari Pahlawan
Menjelang akhir 2005, Sriwijaya Air telah mengoperasikan 14 unit pesawat Boeing 737-200. Chandra Lie pun juga mengumumkan akan mendatangkan 10 unit Boeing 737-300 dan B737-400. Sriwijaya Air pun akan terbang dengan pesawat yang setipe dengan Garuda Indonesia. Sriwijaya Air mulai menantang Garuda, meski Chandra Lie selalu merendah apabila ada yang mencoba menyandingkannya Sriwijaya Air dengan Garuda. Rencana untuk mendatangkan Boeing dengan tipe yang lebih baru itu juga sejalan dengan rencana Sriwijaya Air untuk ekspansi hingga regional. Sriwijaya Air berekspansi ke Penang dan Singapura, yang dulunya menjadi bagian dari wilayah imperium Sriwijaya.[3]
Tahun 2010, Sriwijaya Air telah mengoperasikan 27 unit pesawat dengan mengangkut 7,12 juta orang. Sriwijaya Air menguasai 11,8 persen pasar penerbangan domestik Indonesia di bawah Lion Air, Garuda Indonesia, dan Batavia Air. Dua tahun kemudian, Sriwijaya Air menyalip Batavia Air sehingga menempati posisi ketiga.
Pada Oktober 2010, Sriwijaya Air menandatangani kontrak pengadaan 20 unit Boeing 737-800 NG, yang juga digunakan Garuda Indonesia. Selang beberapa minggu, maskapai ini sempat menandatangani kontrak pengadaan 20 unit Embraer 175 dan Embraer 195 pada Paris Airshow 2011. Menurut kata Direktur Utama Sriwijaya Air, Chandra Lie pada hari Jumat (12/11/2010) lewat Harian Kompas, adanya penambahan 20 unit pesawat baru pada Sriwijaya Air ini juga merupakan jawaban atas tawaran menarik yang dilontarkan Direktorat Angkutan Udara Kementerian Perhubungan untuk ambil bagian dalam penyediaan 4.000 kursi ke Australia pada tahun 2011.[3]
Namun kemudian pesanan ini dibatalkan dikarenakan alasan operasional, dan kemudian digantikan oleh Boeing 737-500W. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa Sriwijaya Air akan memesan Embraer kembali,yang akan dialokasikan ke anak perusahaannya, yaitu NAM Air.
Pada Agustus 2007, Sriwijaya Air mendapatkan penghargaan keselamatan penerbangan dari Boeing, yaitu Boeing International Award for Safety and Maintenance of Aircraft, diberikan setelah inspeksi dilakukan selama beberapa bulan oleh tim dari Boeing Company.[1] Diarsipkan 2017-05-05 di Wayback Machine.
Pada 1 Agustus 2011, Sriwijaya Air meluncurkan buku panduan berbahasa braille dan program khusus untuk penanganan terhadap para Tuna Netra yang terbang dengan maskapai tersebut. Para awak kabin telah dilatih secara khusus untuk menangani penumpang yang memiliki kelemahan tersebut,di antaranya dengan cara pendekatan personal dan dengan sentuhan fisik.[5]
Meski bersaing, Sriwijaya Air kemudian memercayakan pemeliharaan dan perbaikan pesawatnya di Garuda Maintenance Facilities atau GMF AeroAsia. Sebelumnya, Sriwijaya Air merawat semua pesawat jenis Boeing 737 di Singapore International Airlines Engineering Company (SIAEC) dan Malaysia Airlines (MAS). Tahun 2011, giliran Sriwijaya Air ekspansi ke Indonesia timur yang ditandai dengan pembukaan penerbangan rute Makassar-Sorong-Manokwari, Senin (4/7/2011).
Awal tahun 2012, Sriwijaya Air telah terbang ke Manokwari dan Sorong di Papua. Kemudian, terbang menuju Ambon, Kupang, Ternate, dan Manado. Pertengahan 2012, seiring kehadiran Boeing 737-800 NG, Sriwijaya Air juga terbang menuju Biak dan Jayapura. Sebelum kehadiran B737-800 NG, pada Senin (9/4/2012) malam, Sriwijaya Air juga menerima Boeing 737-500 yang pertama. Meski demikian, sebagian dari B737-500 Sriwijaya Air kemudian dialihkan kepada NAM Air, anak perusahaan Sriwijaya Air.
Pada 16 Juni 2015 di Paris Air Show 2015, Sriwijaya Air mengumumkan pemesanan pasti 2 unit 737-900ER dengan 20 unit 737 MAX 8 sebagai opsi yang akan diambil pada masa depan. Pesanan ini merupakan pertama kalinya Sriwijaya Air memesan pesawat yang benar-benar baru dan langsung dari pabriknya. Kedua 737-900ER milik Sriwijaya Air telah tiba bersamaan pada 23 Agustus 2015.[6]
Pada Agustus 2015, Sriwijaya Air kembali mendapatkan sertifikasi keselamatan penerbangan, yaitu Basic Aviation Risk Standard (BARS) yang dilakukan oleh Flight Safety Foundation, berbasis di Amerika Serikat.[7]
Tahun 2016, Sriwijaya Air makin tak terbendung. Chandra Lie menargetkan tahun itu sebagai tahun pertumbuhan. Armada Sriwijaya Air telah diperkuat dengan 47 unit pesawat serta sempat membagikan bonus kepada karyawan atas pencapaian targert pertumbuhan. Dan hingga tahun 2016, Sriwijaya Air Group memiliki 46 kota tujuan domestik dan tujuh rute penerbangan regional. Untuk dapat memenuhi ambisi mendatangkan 15 unit pesawat per tahun, Sriwijaya Air sempat menargetkan penawaran umum perdana saham atau IPO pada Maret 2017. Rencana IPO itu tidak terdengar kabarnya. Padahal, waktu itu, Chandra Lie sangat optimismis terlebih dengan necara keuangan Sriwijaya Air yang tidak lagi merah. Tidak ada cukup informasi untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di Sriwijaya Air. Maskapai itu juga bukan perusahaan publik sehingga kinerja manajemen dan keuangannya tidak mudah didapat, apalagi dibedah.[3]
Pada November 2018, tiba-tiba Garuda Indonesia Group, melalui anak perusahaannya, yakni PT Citilink Indonesia, mengambil alih pengelolaan operasional Sriwijaya Air dan NAM Air. Namun, ternyata, kerja sama itu tidak otomatis dapat membalikkan lagi kinerja Sriwijaya Air. Akibat tidak mampu membayar utang Rp 810 miliar kepada GMF AeroAsia, Sriwijaya Air Group tidak lagi mendapat jasa perawatan armada dari GMF sejak 25 September 2019.
Semenjak itu, di tahun 2019 armada Sriwijaya Air yang beroperasi berkurang dari 24 pesawat jadi sembilan pesawat. Rute penerbangan otomatis berkurang, tapi Sriwijaya Air berniat mengembalikan layanan maskapai itu demi meraih kembali pelanggannya sesuai dengan pernyataan ”pilot” baru Sriwijaya Air, Jefferson Jauwena pada bulan Januari 2020.[3]
Daftar perusahaan di Grup Sriwijaya Air
suntingDalam perkembangannya, Sriwijaya Air juga mendirikan beberapa anak perusahaan yang hampir keseluruhannya menggunakan istilah NAM sebagai akronim kecuali untuk NAM Air, sebagai bentuk penghargaan kepada Ayahanda dari Bpk. Chandra Lie, yaitu Bpk. Lo Kui Nam. Berikut di antaranya:
- NAM Air – Maskapai Pengumpan Sriwijaya Air yang didirikan pada 26 September 2013, kemudian terbang untuk pertama kalinya 11 Desember 2013.
- National Aviation Management – Sekolah Penerbangan yang berbasis di Pangkal Pinang, lebih dikenal sebagai NAM Flying School.
- National Aircrew Management – Sekolah Awak Kabin Group Sriwijaya Air yang berbasis di Jakarta. Dikenal juga sebagai NAM Training Center.
- National Aircraft Maintenance – Berperan dalam perawatan kecil Pesawat Terbang Group Sriwijaya Air. Perawatan utama dilakukan di GMF AeroAsia di Jakarta atau AiRod Sdn Bhd di Kuala Lumpur, Malaysia.
- Negeri Aksara Mandiri – Berperan dalam produksi Inflight Magazine "SRIWIJAYA" yang digunakan Sriwijaya Air dan NAM Air.
Tujuan penerbangan
suntingArmada
suntingSeluruh armada Sriwijaya Air memiliki nama tersendiri yang terletak di bagian depan pesawat (nosename) dengan filosofi yang berbeda. Nama ini diambil dari nama tempat, burung, tanaman, ataupun petikan kata dari ayat di kitab suci. Sebagai contoh adalah "Rajawali", "Gaharu", "Kebersamaan", "Hawila", dan "Serumpun Sebalay".
Armada terhitung Januari 2024, antara lain:
Jenis Pesawat | Beroperasi | Dalam Pesanan | Konfigurasi Kursi | Catatan | ||
---|---|---|---|---|---|---|
C | Y | Total | ||||
Boeing 737-500 | 1 | — | 8 | 112 | 120 | - |
Boeing 737-800 | 3 | — | — | 189 | 189 | - |
Total | 4 |
Mantan armada
suntingPesawat | Total | Keterangan | Konfigurasi Kursi |
---|---|---|---|
Boeing 737-200 | 16 | Dipensiunkan secara keseluruhan pada 23 Agustus 2013. | 126 Kursi Ekonomi |
Boeing 737-300 | 13 | Dipensiunkan mulai 2014 secara bertahap bersamaan dengan 737-400 dan digantikan oleh 737-800. | 148 Kursi Ekonomi |
Boeing 737-400 | 7 | Keseluruhan 737-400 milik Sriwijaya Air telah dipensiunkan mulai Januari 2016. | 168 Kursi Ekonomi |
Boeing 737-500 | 10 | 9 Pesawat dialihkan ke NAM Air mulai Juni 2015. | 8 Kursi Bisnis dan 112 Kursi Ekonomi |
Boeing 737-800 | 22 | PK-CLR dikembalikan ke lessor pada tahun 2013. | 8 Kursi Bisnis dan 168 Kursi Ekonomi |
Boeing 737-900ER | 2 | PK-CMO dan PK-CMP dikembalikan ke lessor. | 220 Kursi Ekonomi |
Insiden dan kecelakaan
sunting- 27 Agustus 2008 – Sriwijaya Air Penerbangan 062 tergelincir di Bandar Udara Sultan Thaha Syaifuddin saat sedang mendarat. Kejadian ini disebabkan kerusakan yang terjadi pada sistem rem. Tidak ada korban jiwa
- 27 Januari 2010 – Sriwijaya Air dengan rute Jakarta – Padang tergelincir saat mendarat di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta.
- 20 Desember 2011 – Sriwijaya Air SJ 230 PK-CKM rute Jakarta – Yogyakarta tergelincir di Bandara Adisutjipto.[8] Tidak ada korban jiwa
- 13 Oktober 2012 – Sriwijaya Air Penerbangan SJ 0021 Medan – Padang salah mendarat di Bandar Udara Tabing. Tidak ada korban jiwa
- 27 Maret 2013 – Sriwijaya Air penerbangan Medan ke Padang tergelincir ketika baru saja mendarat di Bandara Internasional Minangkabau. Tidak ada korban jiwa.[9]
- 9 Januari 2021 – Sriwijaya Air Penerbangan 182 PK-CLC rute Jakarta – Pontianak yang mengangkut 62 orang (termasuk awak kabin) jatuh di antara Pulau Laki dan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu sesaat setelah lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno Hatta.[10]
Galeri
sunting-
Salah satu Boeing 737-200 milik Sriwijaya Air.
-
Pesawat Boeing 737-500WL milik Sriwijaya Air di Bandara Juanda, Surabaya.
Referensi
sunting- ^ planespotters.net diakses pada 9 Januari 2021
- ^ sriwijayaair.co.id – Route map diakses pada 9 Januari 2021
- ^ a b c d e f g h Damardono, Haryo (2021-01-10). "Pasang Surut Sriwijaya Air, Penerus Imperium Sriwijaya". Kompas.id. Diakses tanggal 2022-09-07.
- ^ "Piagam dan Penghargaan Sriwijaya Air". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-05. Diakses tanggal 2014-10-23.
- ^ "Sejarah dan Arti Logo dan Livery Sriwijaya Air". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-05. Diakses tanggal 2014-10-23.
- ^ https://www.sriwijayaair.co.id/news/?action=nodeDetail&id=97[pranala nonaktif permanen]
- ^ https://www.facebook.com/notes/sriwijaya-air/sriwijaya-air-peroleh-sertifikasi-bars/1103611139649326
- ^ Artikel:"Bandara Adisutjipto Masih Ditutup" di Kompas.com
- ^ Artikel:"Pesawat Sriwijaya Tergelincir di Bandara Internasional Minangkabau" di Detik.com
- ^ "Pesawat Sriwijaya Air yang Hilang Kontak SJY 182". detikcom. detik.com. Diakses tanggal 9 Januari 2021.
Pranala luar
sunting- (Indonesia) Situs web resmi