Suku Tagbanwa atau Tagbanua adalah salah satu kelompok etnis tertua di Filipina yang banyak berada di bagian tengah dan utara Palawan. Penelitian telah menunjukkan bahwa suku Tagbanwa mungkin keturunan Orang Tabon. Sehingga, mereka merupakan salah satu penduduk asli Filipina.[1] Secara fisik, mereka berkulit coklat, ramping, berdiri tegak, dan berambut lurus.[2]

Tagbanwa
Daerah dengan populasi signifikan
Filipina Filipina: Palawan
Bahasa
Bahasa Tagbanwa Agborlan, Tagbanwa Calamian, Tagbanwa Tengah, Cuyonon, Tagalog
Agama
Katolik Roma, paganisme
Kelompok etnik terkait
Orang Filipina lain, Orang Austronesia lain

Ada dua klasifikasi besar berdasarkan lokasi geografis tempat mereka berada. Tagbanwa Tengah adalah suku Tagbanwa di bagian barat dan pesisir timur dari pusat kota Palawan. Mereka terkonsentrasi di munisipalitas Aborlan, Quezon, dan Puerto Princesa. Tagbanwa Calamian berada di sisi lain, yaitu di Pantai Baras, Pulau Busuanga, Pulau Coron, dan beberapa bagian El Nido.[3] Kedua subkelompok Tagbanwa ini berbicara dengan bahasa yang berbeda dan tidak benar-benar memiliki kebiasaan yang sama.[1][4]

Tagbanwa hidup di desa-desa yang padat dengan populasi 45 hingga 500 orang.[5] Pada tahun 1987, ada 129.691 orang Tagbanwa tinggal di Palawan.[4] Saat ini, populasi suku Tagbanwa diestimasikan lebih dari 10.000[1] dan 1.800 di antaranya berada di Kepulauan Calamian.

Sejarah sunting

Menurut sejarah rakyat, suku Tagbanwa awalnya memiliki hubungan dengan Brunei karena sultan pertama Brunyu berasal dari tempat yang disebut Burnay.

Sejarah rormal suku Tagbanwa dimulai pada tahun 1521 ketika kapal Magellan merapat di Palawan untuk mencari perbekalan. Antonio Pigafetta, penulis kronik Magellan, mencatat bahwa suku Tagbanwa mempraktikkan ritual penyatuan darah, budi daya pertanian, perburuan dengan sumpit dan panah kayu, menyimpan dan memakai cincin dan rantai kuningan, menggunakan lonceng, pisau, dan kawat tembaga untuk mengikat kait ikan, mengadu ayam, dan menyuling minuman beralkohol dari beras.

Hingga akhir abad ke-17, Palawan selatan berada di bawah yurisdiksi Sultan Brunei, yang berujung pada gesekan antara Spanyol dan Sultan. Dalam kurun waktu itu dan selama hampir tiga ratus tahun, orang-orang Spanyol berperang dengan orang-orang Muslim dari Sulu, Mindanao, Palawan, dan Kalimantan utara.

Pada abad ke-19, suku Tagbanwa masih percaya pada dewa-dewa asli mereka. Setiap tahun, hari raya dirayakan setelah panen untuk menghormati dewa-dewa mereka.

Ketika rezim Spanyol berakhir dan Amerika menduduki Filipina, beberapa perubahan datang ke Pulau Palawan dan suku Tagbanwa. Pada tahun 1904, Iwahig menjadi tempat koloni, yang mengambil alih tempat suku Tagbanwa saat tempat itu diperluas. Pada tahun 1910, Amerika memberikan penampungan untuk suku Tagbanwa. Pada tahun-tahun berikutnya, migrasi internal dari Kepulauan Visaya dan dari Luzon, dominasi agama Kristen, dan penyerapan arus ekonomi dan politik oleh pulau memarginalkan orang-orang Tagbanwa.

Domain leluhur sunting

Pada tahun 1998, suku Tagbanwa dari Pulau Coron diberikan Sertifikat Hak Domain Leluhur ("Certificate of Ancestral Domain Title" atau CADT) atas lebih dari 22.000 hektare tanah dan laut. CADT adalah hak atas tanah dan laut yang menjadi bagian dari kelangsungan masyarakat selama berabad-abad. Sertifikat ini memberikan hak bagi suku Tagbanwa untuk mengelola wilayah itu dan melestarikan kekayaan sumber daya laut dan tanah.[6]

Domain Leluhur Pulau Coron orang Tagbanwa meliputi dua desa, yaitu Banuang Daan dan Cabugao, serta di sekitar Pulau Delian. Domain leluhur itu saat ini dikuasai oleh Kepala Suku YM Rodolfo Aguilar I dan dibantu oleh Dewan Tetua.

Budaya sunting

Bahasa sunting

Orang Tagbanwa memiliki bahasa ibu mereka sendiri (bahasa Tagbanwa Aborla, Tagbanwa Calamian, dan Tagbanwa Tengah), tetapi, mereka juga mahir berbicara bahasa Palawano dan dialek-dialek seperti Tandulanon, Silanganon, dan Baras di wilayah masing-masing, dan sejumlah besar dari mereka dapat memahami bahasa Tagalog, Batak, Cuyonon, dan Calawian.[4]

Kepercayaan sunting

Hubungan antara orang Tagbanwa dengan dunia roh adalah dasar untuk ritual, perayaan, dan tari-tarian. Banyak pesta seremonial dalam kehidupan Tagbanwa didasarkan pada keyakinan dalam interaksi alami antara dunia yang hidup dan yang telah meninggal. Upacara-upacara dan ritual-ritual berlangsung di semua tingkatan, mulai dari ritual yang dilakukan dalam keluarga hingga yang dipimpin oleh pemimpin komunitas atas nama rakyatnya. Ritual-ritual memberikan persembahan berupa nasi, ayam, dan sirih.[7]

Suku Tagabanwa memiliki empat dewa utama. Pertama, tuhan langit, disebut Mangindusa atau Nagabacaban, yang duduk di langit dan menjuntaikan kakinya ke bawah, di atas bumi. Kedua, dewa laut bernama Polo dan dianggap sebagai dewa yang baik. Bantuannya dibutuhkan saat sakit. Yang ketiga adalah dewa bumi bernama Sedumunadoc yang membantu memberikan panen yang baik. Keempat dan terakhir, Tabiacoud, yang hidup di dalam perut bumi.[7]

Untuk dewa-dewa tersebut di atas, suku Tagbanwa merayakan pesta besar setiap tahun, tepat setelah panen. Dalam pesta itu ada banyak nyanyian, tarian, pendekatan pasangan, dan penyatuan darah. Babaylan (dukun) memanggil orang-orang untuk berkumpul di tepi pantai, membawa persembahan makanan dari semua jenis. Babaylan mengambil ayam yang dibawa untuk upacara dan menggantung mereka terbalik di cabang-cabang pohon, membunuh mereka dengan cara memukul dengan tongkat. Mereka hanya diperbolehkan memukul sekali pada setiap hewan dan hewan yang masih hidup akan dibebaskan, tidak pernah akan disakiti lagi, karena Polo, dewa laut, telah memberikan mereka perlindungan. Unggas yang mati dibumbui, dimasak, dan dimakan. Setelah makan, mereka menari dan minum hasil fermentasi beras. Saat tengah malam, ketika Buntala, suatu tubuh surgawi, melewati puncaknya, babaylan memasuki laut hingga tubuhnya terendam sepinggang, menari dan mendorong rakit yang terbuat dari bambu, yang di atasnya terdapat persembahan. Jika persembahan itu kembali ke pantai terdorong ombak dan angin, itu berarti dewa laut menolak persembahan tersebut. Tapi jika rakit menghilang, orang-orang bersukacita. Persembahan mereka diterima dan tahun itu akan menjadi tahun yang bahagia.[7]

Dewa-dewa lain menghuni hutan dan lingkungan sekitar dan orang Tagbanwa mempercayai keberadaan mereka yang membutuhkan ritual untuk menenangkan mereka atau mendapatkan nikmat mereka. Babaylan melakukan ritual kehidupan, dari lahir hingga meninggal. Hal ini diyakini bahwa ada dewa yang mendampingi jiwa orang yang meninggal ke tujuan akhir. Para pemburu memohon bantuan dari roh-roh kerabat yang telah meninggal meminta izin agar anjing-anjing mereka dapat menemukan babi hutan. Sebuah mutya (jimat) biasanya digunakan untuk membantu pemiliknya berhasil dalam berburu.

Namun, orang -orang Tagbanwas dari Utara yang mendiami Pulau Coron sekarang dominan Kristen karena upaya-upaya kristenisasi dari misionaris asing pada akhir tahun 1960-an dan 1970-an.[7]

Struktur keluarga sunting

 
Gubuk khas Tagbanwa

Satuan sosial dari orang Tagbanwa adalah keluarga inti, yang terdiri atas suami, istri, dan anak-anak mereka. Mereka monogami.[4][5] Mereka tinggal di rumah-rumah yang terbuat dari bambu dan kayu sebagai pondasi, daun anahaw sebagai atap dan dinding, dan bilah bambu sebagai lantai.

Kegiatan ekonomi sunting

Mereka menanam padi yang ditumpangsarikan dengan ubi jalar, jagung, dan singkong. Yang tinggal di daerah pesisir hidup dari menangkap ikan dan menukarnya dengan produk-produk pertanian untuk konsumsi. Mereka juga mengumpulkan hasil hutan, seperti karet, rotan, dan madu untuk dijual.

Sumber penghasilan yang paling besar potensinya bagi orang Tagbanwa adalah kerajinan tangan, khususnya dari kayu, seperti membuat tikar dan anyaman.[5][8]

Referensi sunting

  1. ^ a b c Graceffo, Antonio. "Tagbanua Tribe: How Do We Preserve Tribal Cultures and Alleviate Poverty in the Fourth World?". PinoyCentric.com (dalam bahasa bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 21-01-2009. Diakses tanggal 08-11-2016. 
  2. ^ "Ethnic Minorities in the South". Camperspoint Philippines (dalam bahasa bahasa Inggris). 09-07-2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-08-29. Diakses tanggal 08-11-2016. 
  3. ^ "Palawan Culture". Palawan Tourism Council (dalam bahasa bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 29-01-2009. 
  4. ^ a b c d National Commission on Indigenous People[pranala nonaktif permanen].
  5. ^ a b c "Palawan Islands". Indigenous People (dalam bahasa bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 24-04-2008. Diakses tanggal 08-11-2016. 
  6. ^ Rimban, Luz (25-06-1998). "Tagbanua Win First Ever Ancestral Waters Claim". Philippine Center for Investigative Journalism (dalam bahasa bahasa Inggris). Coron Island, Palawan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 03-03-2016. Diakses tanggal 08-11-2016. 
  7. ^ a b c d Velasquez, Mark Joel. "Tagabanua" (dalam bahasa bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-17. Diakses tanggal 08-11-2016. 
  8. ^ Arellano, Roberto C. "Palawan Province, Region 4, Luzon Islands Philippines". Diarsipkan dari versi asli tanggal 24-10-2012. Diakses tanggal 08-11-2016. 

Pranala luar sunting