Suku Tobati

suku bangsa di Indonesia

Suku Tobati (atau disebut juga Tobati-Enggros; dikenal juga sebagai Youtefa Tobati) adalah kelompok etnis yang mendiami Kota Jayapura, Indonesia.[2] Suku Tobati mendiami pesisir Teluk Youtefa seluas 1.675 ha yang termasuk di wilayah distrik Jayapura Selatan dan membangun pemukiman diatas laut.[3] Hingga kini, permukiman suku Tobati di sekitaran Teluk Youtefa umumnya dibangun di atas permukaan laut yang persis dibangun dekat ke darat.

Tobati
Tobati-Enggros
Youtefa Tobati
Jumlah populasi
100[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Papua (Kota Jayapura)
Bahasa
Tobati, Melayu Papua, dan Indonesia
Agama
Kristen, Islam[1]
Kelompok etnik terkait
Enggros • Nafri • Sentani

Etimologi sunting

Kata Tobati memiliki asal kata yang sama dengan Tabi yang berarti "matahari terbit". Kampung ini dipercaya didirikan oleh 'saudara matahari' sehingga bernama Tabati yang kemudian hari disebut Tobati.[4] Menurut sumber lain, nama Tobati berasal dari to artinya perintah Sultan dan bati yang artinya batas, artinya batas kekuasan Sultan Tidore sampai di Pulau Tobati ini.[5]

Sejarah sunting

Suku Tobati adalah penduduk asli Kota Jayapura yang menjadi penghuni pertama di kawasan itu. Suku ini dikenal juga sebagai suku Tobati-Enggros. Tetapi, terkadang Enggros juga dianggap sebagai suku tersendiri, tetapi masih memiliki hubungan dekat dengan Tobati.[6] Selain dari suku Tobati, di Kota Jayapura juga terdapat suku asli lainnya, yakni suku Kayu Pulau, Kayu Batu, Nafri, Skouw, dan Sentani.[7] Sedangkan menurut sumber lain, nama Tanjung Hamadi berasal dari seorang keturunan Sultan Jailolo bernama Ahmadi yang melarikan diri dari perang di Maluku sampai wilayah Jayapura dan kawin dengan perempuan setempat, sehingga namanya yang kemudian lambat laun disebut menjadi Hamadi dijadikan fam oleh keturunannya.[5]

Tidak jauh dari pusat kota Jayapura, sekitar 20 menit menuju distrik Abepura, terdapat sebuah teluk yang bernama Teluk Youtefa. Ditempat inilah terdapat dua kampung tradisional suku Tobati, yakni kampung Tobati dan kampung Enggros yang telah lama menghuni daerah tersebut.[6]

Adat istiadat sunting

Sistem kepemimpinan sunting

Suku Tobati seperti suku-suku lain di Teluk Youtefa memiliki sistem kepemimpinan politik tradisional yang dipimpin oleh seorang ondoafi (pemimpin atau kepala kampung), sebuah jabatan yang diwarisi secara turun-menurun. Pada masa penginjil Bilt mulai melayani di wilayah tersebut, rakyat dipimpin oleh kepala suku yang bernama Jantewai. Karena Jantewai meninggal anaknya yang bernama Hamadi diangkat menjadi ondoafi. Hingga saat ini suku (marga) Hamadi masih menjabat ondoafi suku Tobati. Yang membawahi beberapa kepala marga/suku lain seperti Itaar, Afaar, Hanasbey, Mano, Ireeuw, Hasor, Merauje, Merahabia, Caay, Hanoeby, dan Dawir.[4]

Pernikahan sunting

Dalam melakukan prosesi pernikahan, masyarakat suku Tobati harus melakukan 7 prosesi adat hingga sah menjadi keluarga. Prosesi pertama diawali dari pihak laki-laki yakni prosesi meminang. Keluarga mempelai laki-laki akan pergi ke rumah pihak perempuan dengan tujuan untuk meminta restu meminang anak perempuan dari pihak pengantin perempuan. Setelah itu, pada prosesi kedua, pihak perempuan akan membalas kunjungan pihak laki-laki dengan mengantar makanan ke rumah pihak laki-laki. Prosesi ketiga adalah, pihak laki-laki akan mengumpulkan sejumlah maskawin sesuai kesepakatan.[8] Prosesi keempat masih dari pihak laki-laki akan mengantar maskawin tersebut langsung ke pihak perempuan. Kemudian prosesi kelima, kedua belah pihak telah siap untuk melangsungkan pemberkatan pernikahan kudus di gereja dan sekaligus pencatatan sipil oleh pemerintah.[8] Setelah itu, prosesi keenam ialah pihak perempuan akan diantar ke rumah pihak laki-laki. Dan prosesi ketujuh ialah mengantar berbagai alat dapur dari pihak perempuan ke rumah pihak laki-laki. Semua prosesi telah selai dan akan diakhiri dengan penandatanganan berita acara penerimaan maskawin dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan dan diakhiri dengan jamuan kasih atau makan bersama.[8]

Arsitektur sunting

Gaya arsitektur suku Tobati mirip dengan gaya arsitektur dari suku di pesisir utara Papua lainnya. Misalnya pada bentuk bangunan, dimana pada posisi atap bangunan umumnya berbentuk limas atau kerucut, demikian juga halnya dengan bangunan-bangunan lama suku Tobati berbentuk limas.

Sway sunting

Tempat hunian sehari-hari suku Tobati disebut dengan rumah Sway. Rumah Sway hampir sama dengan rumah adat Kariwari, yang membedakan adalah pada pembagian atau fungsi dari ruangan-ruangannya. Hal ini dilakukan sebagai pengembangan dari bentuk bangunan rumah adat sehingga rumah adat dan rumah tempat tinggal bisa dibedakan namun masih menjadi bangunan khas suku Tobati. Untuk pembagian setiap ruangan di rumah Sway terdiri dari ruang tamu, ruang tidur dan ruang makan.[3]

Tata letak bangunan rumah Sway dibuat di pinggir atau di tepi jalan utama perkampungan dan orientasi bangunan terarah ke jalan utama, sehingga rumah-rumah penduduk akan saling berhadap-hadapan. Lebih detailnya tata letak ruang dalam bangunan rumah Sway terdiri dari bilik/kamar tidur, ruang tamu, ruang dapur (lebih tepatnya disebut ruang kerja kaum perempuan) dan ada teras belakang.[3]

Sementara untuk bagian dalam rumah, ruangan akan dibagi berdasarkan gender. Tempat kaum laki-laki posisinya ada di sebelah laut dan tempat kaum perempuan posisinya ada condong ke arah daratan.[3]

Kariwari sunting

 
Kariwari di TMII

Rumah adat suku Tobati disebut Kariwari atau rumah mau. Rumah adat dengan tinggi 20-30 meter ini dikhususkan bagi laki-laki berusia 12 tahun keatas, sekaligus juga difungsikan sebagai tempat upacara adat, serta tempat untuk mendidik anak laki-laki dalam mencari nafkah dan juga cara bertahan hidup.[9] Seperti cara memahat, membuat senjata, cara membuat perahu, dan cara berperang.

Bentuk dari bangunan ini sendiri berbentuk segi empat atau juga segi delapan menyerupai limas dengan pembagiannya terdiri dari 3 lantai utama yakni bagian kaki (lantai 1), bagian badan (lantai 2), dan bagian kepala (lantai 3). Lantai 1 digunakan sebagai tempat untuk mendidik anak laki-laki. Lantai 2 difungsikan sebagai ruang kepala suku dan ruang pertemuan dan tempat istirahat laki-laki. Sedangkan lantai 3 digunakan untuk tempat berdoa.[9]

Bentuk bangunan segi delapan ini dibuat supaya bangunan dapat menahan jika terjadi hembusan angin yang kuat. Sedangkan untuk bentuk atap yang kerucut, dalam adat Tobati agar mereka bisa lebih dekat dengan leluhur mereka.[9] Bagian lantai terbuat dari lapisan kulit kayu, kemudian dinding bangunan dibuat dari cacahan pohon bambu, dan untuk atap dibentuk dari daun sagu.[9]


Keramba sunting

 
Orang Tobati memancing dari perahu, 1903

Lokasi permukiman penduduk suku Tobati tepat dikawasan perairan atau laut. Maka, mencari ikan adalah salah satu aktivitas utama khususnya kaum laki-laki. Membuat Keramba (kandang ikan terapung) termasuk hal yang wajib bagi mereka. Ciri khas Keramba suku Tobati terbuat dari batangan bambu.[3] Keramba biasanya diletakkan dibawah rumah dengan jaring-jaring yang mengelilingi setiap tiang-tiang rumah.

Ikan bobara dan samandar, dua jenis ikan yang paling banyak dibudidayakan oleh suku Tobati. Selain untuk menangkap ikan, Keramba juga digunakan untuk menampung berbagai ikan yang masih kecil untuk memancing masuknya ikan-ikan besar kedalam jaring-jaring yang telah dipasang di sekeliling bawah rumah.[3]

Agama sunting

Sebelum masuknya ajaran Kekristenan dan Islam ke Jayapura, suku Tobati masih menganut animisme atau kepercayaan kepada leluhur. Salah satu bukti terlihat pada bangunan rumah Kariwari. Bentuk atap yang mengerucut atau berbentuk limas, dimaknai oleh suku Tobati sebagai bentuk penghormatan mereka kepada leluhur dan untuk mendekatkan mereka kepada tuhan.[3] Masyarakat Tobati saat itu juga telah menjalin hubungan komunikasi dengan Kesultanan Tidore yang kemudian menyebarkan agama Islam melalui Muhammad Asghar, seorang ulama dari Baghdad yang diutus oleh Kesultanan Ottoman.[10] Karena hal inilah, di kawasan Jayapura Selatan terdapat banyak peninggalan sejarah Islam, berupa masjid, yang beberapa diantaranya dijadikan sebagai museum.[10]

Sejak masuknya para misionaris Eropa, khususnya Belanda pada tahun 1910, Kekristenan lebih banyak memengaruhi kepercayaan suku Tobati dibanding pengaruh Kesultanan Tidore. Injil telah disebarkan di Papua termasuk kawasan kampung Tobati dan Enggros dan ajaran agama Kristen kemudian diterima oleh masyarakat sekitar. Hingga akhirnya bisa dikatakan bahwa pada saat ini umumnya masyarakat suku Tobati menganut Kekristenan.[1] Sejak kedatangan Belanda, rumah mau suku Tobati dianggap berhala dan tidak sesuai dengan ajaran Kristen sehingga rumah mau dihancurkan, tetapi yang terlihat saat ini adalah sisa-sisa tiang-tiang yang tertinggal.[10]

Sistem transportasi sunting

Suku Tobati merupakan masyarakat yang mendiami kawasan perairan, maka dari itu transportasi utama masyarakatnya ialah perahu. Penduduk setempat menyebutnya wah yang artinya "perahu". Penduduk di kampung Tobati dan kampung Enggros menjadikan wah sebagai alat transportasi umum dan juga sebagai transportasi untuk menangkap ikan. Sebelumnya, untuk menjalankan wah harus menggunakan dayung,[11] namun dalam perkembangannya, mesin otomatis telah digunakan untuk memudahkan perjalanan menggunakan wah. Jika sebelumnya waktu perjalanan ke suatu tempat mencapai 30 menit, maka saat ini dengan menggunakan mesin perjalanan hanya menghabiskan waktu sekitar 4 menit.[11]

Galeri sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c "Yotafa, Tobati People in Indonesia". www.joshuaproject.net. Diakses tanggal 3 April 2019. 
  2. ^ "Sekilas Papua". www.papua.go.id. Diakses tanggal 2 April 2019. 
  3. ^ a b c d e f g "Arsitektur Tradisional Suku Tobati". www.sastrapapua.com. Diakses tanggal 4 April 2019. 
  4. ^ a b Marthen, Fadly (2012) (dalam bahasa id). Melihat Klaim dan Sengketa Tanah pada Orang Kayu Batu dan Kayu Pulo di Kota Jayapura (Tesis). Universitas Indonesia. https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20317794-T31943--Melihat%20%20klaim.pdf. Diakses pada 2023-06-24. 
  5. ^ a b Wanggai, Tony V. M. (2008) (dalam bahasa id). Rekonstruksi Sejarah Islam di Tanah Papua (Tesis). UIN Syarif Hidayatullah. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7292/1/Toni%20Victor%20M.%20Wanggai_Rekonstruksi%20Sejarah%20Umat%20Islam%20di%20Tanah%20Papua.pdf. Diakses pada 2022-01-30. 
  6. ^ a b "Menelusuri Asal Usul Penduduk Jayapura di Kampung Enggros dan Pulau Debi". www.indonesiakaya.com. Diakses tanggal 4 April 2019. 
  7. ^ "Suku Bangsa (Etnis) dan Bahasa di Kota Jayapura". www.papua.go.id. Diakses tanggal 4 April 2019. 
  8. ^ a b c "Nilai-nilai Kearifan Lokal Suku Besar Enggros, Tobati, Terus Dijaga dan Dilestarikan". www.youtefapost.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-03. Diakses tanggal 4 April 2019. 
  9. ^ a b c d "Rumah Adat Papua Kariwari". www.romadecade.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-31. Diakses tanggal 4 April 2019. 
  10. ^ a b c "Eksotisme Jayapura Dengan Pemandangan Laut Memikat". www.pesona.travel.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-04. Diakses tanggal 4 April 2019. 
  11. ^ a b "Wah, Transportasi Tradisional Warga Tobati dan Enggros". www.kabarpapua.co. Diakses tanggal 4 April 2019.