Duryodana

Kurawa tertua dalam epos Mahabharata
(Dialihkan dari Suyudhana)

Duryodana (Dewanagari: दुर्योधन; ,IASTDuryodhana, दुर्योधन) atau Suyodana (Dewanagari: सुयोधन; ,IASTSuyodhana, सुयोधन) adalah tokoh antagonis yang utama dalam wiracarita Mahabharata. Dalam kisah, ia merupakan putra sulung Dretarastra dan Gandari, pasangan keluarga bangsawan Kerajaan Kuru, suatu kerajaan kuno di India Utara yang beribukota di Hastinapura. Duryodana merupakan yang pertama di antara seratus Korawa, yaitu anak-anak Dretarastra. Duryodana menikah dengan putri Prabu Citranggada dari Kalinga dan mempunyai dua anak, masing-masing bernama Laksmanakumara (Lesmana Mandrakumara) dan Laksmana (Lesmanawati). Meskipun nama istri Duryodana tidak disebutkan secara khusus dalam naskah Mahabharata berbahasa Sanskerta, tetapi ia disebut Banumati dalam cerita rakyat India, atau Banowati dalam lakon pewayangan Jawa.[1]

Duryodana
दुर्योधन
Tokoh Duryodana yang diperankan dalam Yakshagana, sebuah drama populer dari Karnataka, India.
Tokoh Duryodana yang diperankan dalam Yakshagana, sebuah drama populer dari Karnataka, India.
Tokoh Mahabharata
NamaDuryodana
Ejaan Dewanagariदुर्योधन
Ejaan IASTDuryodhana
Nama lain
  • Suyodana
  • Kurunata
  • Kurupati
  • Gandarisuta
  • Dretarastraputra
Kitab referensiMahabharata
AsalHastinapura, Kerajaan Kuru
KediamanHastinapura
Kastakesatria
DinastiKuru
Senjatagada
AyahDretarastra
IbuGandari
IstriBanowati
AnakLaksmanakumara dan Laksmana

Menurut kepercayaan Hindu, Duryodana merupakan penjelmaan dari Iblis Kali. Ia diceritakan bersikap layaknya seorang kesatria, tetapi mudah terpengaruh hasutan Sangkuni, yaitu pamannya yang licik dan suka memprovokasi pihak Korawa dengan pihak Pandawa (anak-anak Pandu), sepupu para Korawa. Selain itu, Duryodana terbiasa dimanjakan oleh kedua orangtuanya. Dengan belajar ilmu bela diri dari gurunya, yaitu Krepa, Drona, dan Baladewa, Duryodana menjadi sangat kuat dengan senjata gada, dan setara dengan Bima, seorang Pandawa yang hebat dalam kekuatan fisik. Perseteruannya dengan para Pandawa berujung kepada perang besar di Kurukshetra, yang juga dikenal sebagai Bharatayuddha. Dalam perang, bendera keagungannya berlambang ular kobra. Ia dikalahkan oleh Bima pada pertempuran hari kedelapan belas karena pahanya dipukul dengan gada.

Arti nama

sunting

Secara harfiah, nama Duryodhana dalam bahasa Sanskerta memiliki arti "sulit ditaklukkan" atau dapat pula berarti "prajurit tidak terkalahkan". Dalam bahasa Sanskerta, kata yang berawalan 'dur' maknanya adalah "sulit, susah, sukar". Ia disebut pula Kurunata (कुरुनाथ Kurunātha) atau Kurupati (कुरुपति), yang secara harfiah berarti "pemimpin [kaum] Kuru", serta Gandarisuta (गन्दरीसुत Gandharīsuta) yang berarti "anak Gandari".

Kelahiran

sunting

Kisah kelahiran Duryodana dan para saudaranya tercatat dalam kitab Mahabharata pertama, yaitu Adiparwa, pada bab Sambhawaparwa. Dalam kitab diceritakan bahwa ia merupakan putra sulung Dretarastra (pengeran Dinasti Kuru) dan Gandari (putri kerajaan Gandhara). Mereka tinggal di keraton Hastinapura bersama adik Dretarastra yang bernama Pandu dan dua istrinya yang bernama Kunti dan Madri. Karena suatu kutukan yang diucapkan Resi Kindama, maka Pandu bersuluk ke tengah hutan bersama dua istrinya. Takhta kerajaan pun dititipkan kepada kakaknya, Dretarastra.

Menurut Adiparwa, Gandari hamil dalam jangka panjang yang tidak wajar, melebihi 9 bulan. Sementara itu, Pandu dan Kunti telah dikaruniai seorang putra yang diberi nama Yudistira. Setelah mendengar kabar tersebut, Gandari merasa iri dan frustasi sehingga ia memukul-mukul kandungannya. Akhirnya, Gandari melahirkan gumpalan daging berwarna keabu-abuan. Kemudian Gandari memohon bantuan Byasa, seorang pertapa sakti yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Dinasti Kuru, yang kemudian memberi berkah seratus orang anak kepadanya. Byasa memotong gumpalan daging tersebut menjadi seratus bagian, dan memasukkannya ke dalam pot. Kemudian pot-pot tersebut ditanam di dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun, pot tersebut digali kembali. Yang pertama kali dikeluarkan dari pot tersebut adalah Duryodana, diiringi oleh Dursasana, dan adik-adiknya yang lain.[2]

Dalam kitab Adiparwa, dikisahkan bahwa tanda-tanda yang buruk mengiringi kemunculan Duryodana dari dalam pot. Para brahmana di keraton merasakan adanya tanda-tanda akan bencana yang buruk. Widura, menteri kerajaan yang merupakan adik Dretarastra mengatakan bahwa tanda-tanda seperti itu merupakan peringatan bahwa putra tersebut akan mendatangkan kekerasan yang dapat mengakhiri garis Dinasti Kuru. Widura dan sesepuh keraton bernama Bisma menyarankan agar putra tersebut dibuang, tetapi Dretarastra tidak mampu melakukannya karena cinta dan luapan perasaan akan kelahiran putra pertamanya itu.[2]

Masa muda

sunting
 
Ilustrasi pendidikan para pangeran Kuru di bawah bimbingan Drona. Ilustrasi karya Nandalal Bose untuk buku Myths of the Hindus & Buddhists (1914).

Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Duryodana sangat kuat. Ia dihormati oleh adik-adiknya, khususnya Dursasana. Setelah Pandu wafat di tengah hutan, Madri melakukan ritual Sati. Kemudian Bisma menjemput Kunti dan kelima putra Pandu (Pandawa) untuk tinggal lagi di keraton Hastinapura. Kedatangan para putra Pandu menimbulkan perasaan waswas pada Duryodana, sebab Yudistira (Pandawa tertua) adalah yang sulung di antara para pangeran di sana, sehingga peluang sebagai pewaris takhta akan jatuh kepadanya. Sangkuni, paman Duryodana dari pihak ibunya, kerap memberikan saran yang jahat, dan mendiskusikan rencana menyingkirkan para Pandawa, tetapi sering kali gagal.[3]

Saat para Korawa dan Pandawa unjuk kebolehan saat menginjak dewasa, munculah sesosok ksatria gagah perkasa yang mengaku bernama Karna. Ia menantang Arjuna yang disebut sebagai ksatria terbaik oleh Drona. Namun Krepa mengatakan bahwa Karna harus mengetahui kastanya, agar tidak sembarangan menantang seseorang yang tidak setara.[4] Setelah menyaksikan perlakuan tersebut, Duryodana membela Karna, kemudian mengangkatnya menjadi raja di Kerajaan Anga. Semenjak saat itu, Duryodana bersahabat dengan Karna. Baik Karna maupun Duryodana tidak mengetahui, bahwa Karna sebenarnya merupakan putra Kunti. Karna juga merupakan harapan Duryodana agar mampu meraih kemenangan saat Bharatayuddha berlangsung, karena Duryodana percaya bahwa Karna adalah lawan yang sebanding dengan Arjuna.

Istri dan keturunan

sunting

Dalam kitab-kitab Mahabharata, nama istri Duryodana tidak pernah disebutkan secara spesifik, tetapi banyak sumber yang menyebutkan bahwa Duryodana hanya memiliki seorang istri saja, yang kemudian diberi nama "Bhanumati" dalam kisah sisipan, atau disebut "Banowati" dalam kisah pewayangan Jawa.[5] Dalam kitab Striparwa (buku ke-11 Mahabharata), ada sebuah kalimat yang dinarasikan oleh Gandari tentang istri Duryodana dan ibu Laksmanakumara, tetapi namanya tidak disebutkan. Dalam kitab Santiparwa (buku ke-12 Mahabharata), Resi Narada menceritakan pernikahan Duryodana dengan putri Raja Citranggada dari Kalinga, tanpa menyebut nama sang putri.

Menurut suatu cerita dalam Mahabharata, Duryodana menculik putri Raja Citranggada — yang dideskripsikan sebagai gadis berkulit putih bersih — dari suatu sayembara dengan dibantu oleh sahabatnya yang bernama Karna, setelah sang putri menolak dirinya. Dikisahkan bahwa perasaan Duryodana kepadanya begitu dalam. Saat tiba di Hastinapura, Duryodana mengajukan pembenaran atas tindakannya, dengan cara mengungkit kembali tindakan yang pernah dilakukan oleh kakeknya, Bisma saat menculik tiga putri dari kerajaan Kasi demi dipersembahkan kepada adik tirinya (Wicitrawirya).[6]

Menurut kitab Mahabharata, Purana, serta Kakawin Bharatayuddha, Laksmanakumara (laki-laki) dan Laksmana (perempuan) merupakan anak-anak Duryodana dan Banowati.[7][8] Sangat sedikit cerita yang melibatkan mereka dalam Mahabharata. Kisah tentang Laksmanakumara terutama terdapat dalam episode gugurnya Abimanyu, sedangkan Laksmana dikisahkan menikah dengan Samba, putra Kresna.

Perebutan kerajaan

sunting
 
Ilustrasi Dursasana menarik pakaian Dropadi, karya Warwick Goble, dari buku Indian Myth and Legend, 1913.

Dalam kitab kedua Mahabharata, yaitu Sabhaparwa diceritakan bahwa Duryodana datang berkunjung ke Istana Indraprastha, keraton yang didirikan oleh para Pandawa dengan bantuan Kresna dan Mayasura. Ia terkagum-kagum dengan kemegahan istana tersebut. Saat memasuki sebuah ruangan, ia mengira sebuah kolam sebagai lantai, sehingga akhirnya tercebur. Kejadian tersebut disaksikan oleh para Pandawa sehingga mereka tertawa terpingkal-pingkal, kecuali Yudistira. Duryodana pun merasa terhina akan tanggapan para Pandawa.

Setelah pulang dari Indraprastha, Duryodana sibuk memikirkan cara merebut harta Yudistira. Sangkuni, paman Duryodana dari Gandhara menawarkan ide untuk mengajak Yudistira main dadu dengan taruhan harta dan kerajaan. Niat tersebut disetujui oleh Duryodana, demikian pula Dretarastra yang terbujuk oleh Sangkuni. Pada hari yang dijanjikan, Yudistira bermain dadu dengan Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni. Di awal permainan, Sangkuni membiarkan Yudistira menikmati kemenangan, tetapi pada pertengahan permainan, kemenangan terus dimenangkan oleh Sangkuni berkat kesaktiannya dalam mengatur angka dadu. Setelah Yudistira kehilangan harta dan kerajaannya dalam perjudian, ia pun mempertaruhkan kebebasan adik-adiknya, termasuk istrinya. Namun tak satu pun yang dimenangkan oleh Yudistira, sehingga Pandawa dan Dropadi pun menjadi budak Duryodana. Para Pandawa pun diminta untuk melepaskan pakaian dan perhiasan mereka.

Setelah Yudistira kalah, Duryodana segera menyuruh agar Dropadi datang ke arena permainan, sebagai budak yang telah diperoleh melalui taruhan. Pada waktu itu Dropadi sedang berada di keputren Hastinapura. Ia berulang kali menolak untuk dijemput oleh pesuruh, sehingga Duryodana mengutus Dursasana, adiknya sendiri untuk menjemput Dropadi. Dropadi tetap menolak untuk hadir di arena permainan, sehingga Dursasana menyeretnya secara paksa. Di arena permainan, Duryodana meminta Dropadi untuk menanggalkan pakaiannya, tetapi ia menolak, sehingga Dursasana mencoba menelanjanginya. Namun berkat pertolongan gaib dari Kresna, kain yang dikenakan Dropadi tidak habis meski terus-menerus ditarik dan diulur-ulur. Setelah Dursasana kelelahan, akhirnya Bima bersumpah bahwa ia akan merobek dada Dursasana, serta membinasakan para Korawa.

Tak lama setelah Dropadi dihina, pertanda alam yang buruk muncul di Hastinapura. Menyadari bahwa masa depan keluarganya terancam, Dretarastra pun mengembalikan semua yang telah dipertaruhkan Yudistira, termasuk kebebasannya. Namun, hal itu menyebabkan kekecewaan besar bagi Duryodana. Akhirnya diadakanlah permainan dengan taruhan bahwa yang kalah harus hidup di tengah hutan selama 12 tahun. Setelah itu, yang kalah menjalani hidup dalam masa penyamaran selama setahun. Apabila penyamaran pada tahun itu terbongkar, maka yang kalah harus menjalani hidup lagi di tengah hutan. Sebagaimana permainan sebelumnya, Yudistira pun kalah. Akhirnya para Pandawa beserta istri mereka menjalani apa yang telah dipertaruhkan. Kehidupan para Pandawa dan Dropadi di tengah hutan tercatat dalam kitab Wanaparwa, sedangkan kehidupan mereka dalam masa penyamaran tercatat dalam kitab Wirataparwa.

Persiapan perang

sunting
 
Lukisan dari Himachal Pradesh (sekitar abad ke-18) menggambarkan pertemuan antara Kresna, Arjuna, dan Duryodana sebelum perang Kurukshetra dimulai.

Dalam bagian awal kitab Udyogaparwa, pada saat pertemuan para kesatria di pernikahan Abimanyu dan Utari, Satyaki dari kaum Yadawa menyarankan agar Pandawa membentuk suatu persekutuan dengan para raja di tanah India, sehingga kekuatan tersebut dapat dipakai untuk menekan Duryodana agar mau menyerahkan kerajaan Kuru kepada Pandawa. Raja Drupada dari Panchala menyarankan agar Pandawa segera mengirimkan utusan dan membuat persekutuan. Duryodana mengetahui niat para Pandawa; ia pun segera membentuk persekutuan seperti yang dilakukan oleh Pandawa.

Di Dwaraka, Kresna didatangi oleh pihak Korawa dan Pandawa dalam waktu bersamaan. Ia menerangkan bahwa salah satu dari mereka dapat meminta bantuan kepadanya sebagai penasihat—dengan catatan bahwa ia tak akan memegang senjata selama pertempuran—sedangkan yang satunya lagi dapat meminta keberpihakan prajurit keluarga Kresna yang disebut Narayanisena. Pandawa yang diwakili Arjuna meminta bantuan Kresna sebagai penasihat, sementara Korawa yang diwakili Duryodana meminta agar laskar Narayanisena mendukungnya saat bertempur. Di Kurukshetra, hanya Narayanisena pimpinan Kertawarma yang mendukung Korawa, sementara Satyaki bertempur demi Pandawa. Sedangkan para panglima Narayanisena lainnya ditahan oleh Baladewa dan Kresna agar tidak terlibat dalam pertempuran.[9][10][11][12]

Setelah para raja di tanah India terbagi menjadi dua kubu, Yudistira dan Pandawa lainnya kembali ke Hastinapura dan meminta kembali kerajaan mereka sesuai dengan perjanjian yang sah. Namun Duryodana bersikap sombong dan menolak permohonan Yudistira. Yudistira kemudian meminta agar Pandawa diberikan lima desa saja, karena sudah merupakan kewajiban Pandawa untuk turut serta dalam pemerintahan sebagai pangeran Kerajaan Kuru. Duryodana pun bersikeras bahwa ia tidak akan mau memberikan tanah kepada Pandawa bahkan seluas ujung jarum pun. Duryodana menantang Pandawa untuk melakukan peperangan.

 
Lukisan "Krishna sebagai Duta" karya Raja Ravi Varma (1906). Dalam lukisan digambarkan Duryodana (tengah) menentang usulan damai Kresna. Satyaki berusaha melawan tetapi dicegah oleh Kresna.

Sebelum pertempuran dimulai, Kresna datang ke hadapan Duryodana dan sesepuh Kerajaan Kuru seperti Dretarastra, Widura, Bisma, dan Drona. Ia datang untuk menyampaikan misi perdamaian. Namun usul Kresna ditolak juga oleh Duryodana. Dalam kesempatan tersebut, ia memiliki niat jahat untuk menculik Kresna. Namun Kresna mengetahui niat jahat Duryodana sehingga ia menunjukkan kesaktiannya sebagai seorang awatara Wisnu. Dengan gagalnya usaha Kresna untuk mencapai perdamaian, maka peperangan tak dapat dimungkiri lagi.

Perang Kurukshetra

sunting

Kitab Mahabharata dari parwa ke-6 sampai 10 (Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa) menceritakan jalannya pertempuran besar yang merupakan konflik sentral wiracarita tersebut. Menurut legenda, pertempuran terjadi di Kurukshetra, suatu lapangan di bagian utara Kerajaan Kuru, yang di masa kini merupakan wilayah Haryana, India Utara. Dalam konflik tersebut, Duryodana didampingi kesatria-kesatria kuat, yaitu Bisma (sesepuh Dinasti Kuru), Krepa (guru keraton), Drona (guru keraton), Karna (Raja Angga), Aswatama (putra Drona), Salya (Raja Madra), Bahlika (penguasa Bahlika), Jayadrata (Raja Sindhu), Bagadata (Raja Pragjyotisha), dan lain-lain. Dengan berpihaknya Bisma dan Karna, ia menaruh harapan yang tinggi, karena ia menganggap mereka adalah kesatria yang unggul dan setara, atau bahkan melebihi Arjuna. Karna yang bersumpah setia akan selalu memihak Duryodana, berusaha memberikan yang terbaik bagi Duryodana. Namun satu-persatu kesatria besar yang memihak Duryodana akhirnya gugur di medan perang, termasuk kesatria yang sangat diharapkan Duryodana, yaitu Bisma dan Karna. Begitu pula saudara-saudaranya, meliputi Dursasana, Wikarna, Wiwingsati, dan Citraksa.

Anugerah Gandari

sunting

Suatu interpolasi kisah tradisional—tidak terdapat dalam naskah Mahabharata gubahan Byasa yang berbahasa Sanskerta—mengandung cerita bahwa Gandari pernah membuka penutup matanya untuk melihat Duryodana.[13] Diceritakan bahwa pada awalnya ia merasa cemas akan nasib Duryodana setelah para Korawa gugur di pertempuran. Agar putranya tersebut mencapai kemenangan, ia memberikan sebuah kekuatan ajaib yang berasal dari kedua matanya yang ia tutup. Kekuatan tersebut dapat membuat tubuh Duryodana kebal terhadap berbagai macam serangan. Sebelum memberikan anugerahnya, ia menyuruh Duryodana agar mandi terlebih dahulu, kemudian memasuki tenda dalam keadaan telanjang.

Dalam perjalanan ke tempat ibunya, Duryodana berpapasan dengan Kresna yang baru saja datang mengunjungi Gandari. Kresna mencela dan mengejek Duryodana yang hendak menghadap ibunya sendiri dalam keadaan telanjang. Karena malu, Duryodana menutupi bagian bawah perutnya, termasuk bagian paha. Saat Duryodana memasuki tenda, Gandari pun membuka penutup matanya. Saat matanya terbuka, kekuatan ajaib dilimpahkan ke tubuh Duryodana. Namun Gandari melihat bahwa Duryodana menutupi bagian bawah perutnya. Ia pun berkata bahwa bagian tersebut tidak akan kebal dari serangan musuh, karena bagian tersebut ditutupi saat Gandari melimpahkan anugerahnya.[14] Meskipun bagian cerita ini tidak terkandung dalam naskah Mahabharata gubahan Byasa, tetapi cukup populer dalam adaptasi Mahabharata masa kini, contohnya dalam seri Mahabharata B.R. Chopra.[15]

Pertempuran terakhir

sunting
 
Lukisan Bima melayangkan gadanya dengan beringas ke arah Duryodana.
Lukisan karya Evelyn Paul, 1911.

Pada kitab kesepuluh, yaitu Salyaparwa, hanya segelintir perwira di pihak Korawa yang masih bertahan hidup, di antaranya: Kertawarma, Krepa, Aswatama, Uluka, Sangkuni, dan Salya. Pada pertempuran di hari kedelapan belas, ia mengangkat Salya sebagai senapati pihak Korawa, tetapi pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Menjelang akhir peperangan tersebut, Duryodana melarikan diri ke sebuah telaga untuk memulihkan tenaga. Ia disusul oleh para Pandawa dan kesatria Pancala yang mengira bahwa Duryodana mencoba kabur. Saat mereka tiba di tepi telaga dan menemukan Duryodana, Yudistira menantangnya untuk menghadapi Pandawa.

Duryodana menyatakan bahwa ia tidak ingin melanjutkan perang, serta berencana untuk memberikan kerajaannya kepada Yudistira. Namun Yudistira tidak mau ada anggapan bahwa kerajaan tersebut adalah pemberian Duryodana. Sebaliknya ia mengajukan tawaran, bahwa Duryodana harus bertarung dengan salah satu Pandawa; jika Pandawa itu dikalahkan, maka Yudistira akan mengakui kekalahannya. Duryodana memilih bertarung dengan senjata gada melawan Bima. Kedua-duanya memiliki kemampuan yang setara dalam memainkan senjata gada karena mereka berdua menuntut ilmu kepada guru yang sama, yaitu Baladewa. Pertarungan mereka terjadi dengan sengit karena keduanya sama-sama kuat dan sama-sama ahli bergulat dan bertarung dengan senjata gada. Setelah beberapa lama, Duryodana mulai berusaha untuk membunuh Bima.

Pada waktu itu, Kresna mengingatkan Bima akan sumpahnya bahwa ia akan mematahkan paha Duryodana karena perbuatannya yang melecehkan Dropadi. Atas petunjuk Kresna tersebut, Bima mengingat sumpahnya kembali dan langsung mengarahkan gadanya ke paha Duryodana. Setelah pahanya dipukul dengan keras, Duryodana tersungkur dan roboh. Ia mulai mengerang kesakitan, sebab bagian tubuhnya yang tidak kebal telah dipukul oleh Bima. Saat Bima ingin mengakhiri riwayat Duryodana, Baladewa datang untuk mencegahnya dan mengancam bahwa ia akan membunuh Bima. Baladewa juga memarahi Bima yang telah memukul paha Duryodana, karena sangat dilarang untuk memukul bagian itu dalam pertempuran dengan senjata gada.

Kresna kemudian menyadarkan Baladewa bahwa sudah menjadi kewajiban bagi Bima untuk menunaikan sumpahnya, yaitu mematahkan paha Duryodana. Kresna juga membeberkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh Duryodana. Duryodana lebih banyak melanggar aturan-aturan perang daripada Bima, contohnya yaitu pengeroyokan oleh perwira Korawa untuk membunuh Abimanyu. Duryodana juga telah melakukan berbagai perbuatan curang agar kota Indraprastha jatuh ke tangannya.

Kematian

sunting
 
Tersungkurnya Duryodana setelah duel melawan Bima, dalam ilustrasi untuk kitab Mahabharata berbahasa Persia, dari Muradabad (1761).

Duryodana gugur perlahan-lahan setelah duel melawan Bima pada hari kedelapan belas. Dalam kitab Sauptikaparwa, hanya tiga kesatria yang bertahan hidup dan masih berada di pihaknya, yaitu Aswatama, Krepa, dan Kertawarma. Dalam keadaan sekarat, Duryodana sempat mengangkat Aswatama sebagai pemimpin sisa-sisa prajurit Korawa, dan berpesan agar Aswatama membalaskan dendamnya untuk membinasakan para Pandawa. Aswatama pun menyusup ke perkemahan para Pandawa pada malam hari, tetapi Pandawa sedang tidak berada di sana. Sebaliknya, ia membunuh Drestadyumna, Srikandi, Pancakumara, Utamoja, Yudamanyu, dan sisa laskar Pandawa. Ia kemudian kembali ke tempat Duryodana dan menceritakan pembalasan dendam yang telah dilakukannya. Tak lama kemudian, Duryodana gugur. Setelah Duryodana gugur, Sanjaya kehilangan mata batinnya sehingga ia tidak mampu lagi menceritakan kejadian di Kurukshetra kepada Dretarastra.

Pandangan lain

sunting

Dalam pandangan para sarjana Hindu masa kini, Duryodana merupakan raja yang kuat dan cakap, serta memerintah dengan adil, tetapi bersikap licik dan jahat saat berusaha melawan saudaranya (Pandawa). Seperti Rahwana, Duryodana sangat kuat dan berjaya, dan ahli dalam ilmu agama, tetapi gagal untuk mempraktikkannya dalam kehidupan. Namun kebanyakan umat Hindu memandangnya sebagai orang jahat yang suka mencari masalah.

Duryodana juga merupakan salah satu tokoh yang sangat menghormati orangtuanya. Meskipun dianggap bersikap jahat, ia tetap menyayangi ibunya, yaitu Gandari. Setiap pagi sebelum berperang ia selalu mohon do'a restu, dan setiap kali ia berbuat demikian, ibunya selalu berkata bahwa kemenangan hanya berada di pihak yang benar. Meskipun jawaban tersebut mengecilkan hati Duryodana, ia tetap setia mengunjungi ibunya setiap pagi.

Di wilayah Kumaon di Uttranchal, beberapa kuil yang indah ditujukan untuk Duryodana dan ia dipuja sebagai dewa kecil. Suku Kumaon di pegunungan memihak Duryodana dalam Bharatayuddha. Ia dipuja sebagai pemimpin yang cakap dan dermawan.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Sharma, Arvind (2007). Essays on the Mahābhārata (dalam bahasa Inggris). Motilal Banarsidass Publishe. ISBN 978-81-208-2738-7. 
  2. ^ a b "The Mahabharata, Book 1: Adi Parva: Sambhava Parva: Section CXV". Sacred-texts.com. Diakses tanggal 2014-08-15. 
  3. ^ Rao, Shanta Rameshwar (1985). The Mahabharata (Illustrated). Orient Blackswan. hlm. 25–26. ISBN 9788125022800. 
  4. ^ McGrath, Kevin (2004). The Sanskrit Hero: Karna in Epic Mahābhārata. Brill Academic. ISBN 90-04-13729-7. Diakses tanggal 25 November 2013. 
  5. ^ Sharma, Arvind (2007). Essays on the Mahābhārata (dalam bahasa Inggris). Motilal Banarsidass Publishe. ISBN 978-81-208-2738-7. 
  6. ^ Anonymous. The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa (Complete) (dalam bahasa Inggris). Library of Alexandria. ISBN 978-1-4655-2637-3. 
  7. ^ Vanamali (2012). The Complete Life of Krishna: Based on the Earliest Oral Traditions and the Sacred Scriptures. Simon and Schuster. ISBN 9781594776908. Diakses tanggal 22 May 2012. 
  8. ^ "Indian Myth and Legend: Chapter XVIII. The Battle of Eighteen Days". Sacred-texts.com. 
  9. ^ "The Narayani Sena Dilemma - Follow Krishna or follow Conscience". media.radiosai.org. Diakses tanggal 2020-08-09. 
  10. ^ "Narayan or the narayani sena?". StoryMirror. 2020-01-03. Diakses tanggal 2020-08-09. 
  11. ^ Jyoti Bhusan Das Gupta (2007). Science, Technology, Imperialism, and War. Pearson Education India. hlm. 291–. ISBN 978-81-317-0851-4. 
  12. ^ Amit Palkar (1 February 2019). Moral Stories for All. Evincepub Publishing. hlm. 46–. ISBN 978-93-88277-92-1. [pranala nonaktif permanen]
  13. ^ "The Story of Gandhari". Archived from the original on 2020-11-17. Diakses tanggal 2020-11-17. 
  14. ^ Gandhari, Vyasa Online Encyclopedia, 17 November 2020 
  15. ^ Times Now Digital (12 Mei 2020), Why Gandhari removed her blindfold to see Duryodhana before his fight with Bhim on war's last day, Times Now News, diakses tanggal 17 November 2020