Teori Hockett-Ascher


Teori Hockett-Ascher mengacu pada teori linguistik yang dikembangkan oleh Charles F. Hockett dan Robert Ascher pada pertengahan abad ke-20[1]. Teori ini berusaha untuk mengidentifikasi karakteristik dasar dari bahasa dan prinsip-prinsip mendasar yang mengatur struktur dari semua bahasa manusia. Teori ini lahir berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh ahli lain dalam bidang arkeologi, fosil, data geologis, serta data mengenai manusia dan kera yang kemudian disusun kembali sebagai usaha untuk menjelaskan proses terjadinya bahasa pada manusia.

Awal mula sunting

Pada prinsipnya, para ahli menerima bahwa mahluk yang disebut proto hominoid sudah memiliki semacam bahasa sebagai alat komunikasi. Sistem komunikasinya itu disebut call atau panggilan.

Proto hominoid itu tidak mampu berbicara. Mereka menggunakan sistem komunikasi atau call yang sederhana, yang hanya terdiri dari enam tanda distingtif atau pembeda. Keenam sistem call atau panggilan itu adalah sebagai berikut.[2]

  • call untuk menandakan adanya makanan;
  • call untuk menyatakan adanya bahaya;
  • call untuk menyatakan persahabatan atau keinginan untuk bersahabat;
  • call untuk perhatian seksual;
  • call yang tidak mempunyai arti dan hanya menunjuk di mana gibbon atau jenis proto hominoid itu berada; call ini berfungsi untuk menjaga agar anggota kelompok tidak terpisah terlalu jauh ketika mereka bergerak di antara pohon-pohonan, dan
  • call untuk menyatakan kebutuhan akan perlindungan keibuan.

Call inilah yang merupakan cikal-bakal bahasa manusia. Prosesnya adalah sesuai dengan proses evolusi proto hominoid itu sampai menjadi manusia seperti sekarang ini.

Mahluk proto hominoid yang dulunya hidup di pohon mulai turun ke tanah dan membentuk kelompok-kelompok. Dalam kehidupannya ini, mereka mulai berkurang menggunakan mulutnya untuk memegang makanan karena mereka tidak perlu lagi bergelayutan dengan kedua tangannya di atas pohon. Akibat dari ini tentu saja mulutnya mulai menganggur. Melalui hal ini, mahluk tersebut kemudian memanfaatkan mulutnya untuk mengeluarkan bunyi-bunyi yang lebih bervariasi. Call yang dulunya hanya bersifat tertutup (closed system) diarahkan kepada sistem yang bersifat lebih terbuka yang menjadi ciri dari bahasa manusia.

Call yang bersifat tertutup maksudnya adalah hanya dipakai untuk menyatakan satu panggilan saja. Secara prinsip, proto hominoid tidak mampu mengeluarkan tanda yang memiliki ciri-ciri gabungan dari dua jenis call atau lebih. Misalnya, jika ia berjumpa dengan makanan dan menghadapi bahaya pada waktu yang bersamaan, maka ia hanya menggunakan salah satu call, bukan menggabungkan kedua-duanya, atau bagian dari keduanya.

Sementara itu, call terbuka maksudnya adalah kita (manusia) dapat dengan bebas mengucapkan apa yang belum pernah kita ucapkan atau dengar sebelumnya, sementara maknanya dapat juga dipahami dengan mudah. Oleh karena itu, sistem call dan bahasa manusia memiliki perbedaan minimal dalam dua hal, yaitu sebagai berikut.

  1. Sistem call tidak mengandung ciri pemindahan, bahasa justru memiliki ciri ini. Ciri pemindahan mengandung pengertian bahwa manusia dapat berbicara dengan bebas mengenai suatu hal yang jauh letaknya dari pandangan, sesuatu yang berada pada masa lampau, serta masa yang akan datang. Proto hominoid tidak dapat melakukan itu.
  2. Ujaran dari suatu bahasa terdiri dari susunan unit-unit tanda yang disebut fonem yang tidak mengandung makna, tetapi berfungsi untuk memisahkan ujaran-ujaran yang bermakna. Jadi, bahasa memiliki dua struktur, yaitu struktur yang tidak mengandung makna dan struktur yang mengandung makna. Sebuah sistem call tidak memiliki perbedaan antara dua call yang bersifat global.
  3. Konvensi yang terperinci dari sebuah bahasa dialihkan secara tradisional, walaupun kapasitas menekuni bahasa dan rangsangan untuk berbahasa bersifat genetis. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa call proto hominoid dapat diteruskan dari generasi ke generasi secara genetis.

Fitur bahasa menurut Teori Hockett-Ascher sunting

Menurut teori Hockett-Asher, terdapat 13 fitur atau ciri khas yang merupakan ciri universal dari semua bahasa manusia, yaitu sebagai berikut.[3]

  1. Arbitrariness: Bahasa menggunakan simbol atau kata-kata yang secara arbitrari mewakili objek, tindakan, atau konsep tertentu.
  2. Discreteness: Bahasa terdiri dari unit-unit diskrit atau terpisah, seperti kata-kata dan fonem.
  3. Duality of patterning: Bahasa memiliki dua tingkat struktur yaitu tingkat bunyi dan tingkat makna.
  4. Productivity: Bahasa memiliki kemampuan untuk menghasilkan kalimat-kalimat baru yang belum pernah didengar sebelumnya.
  5. Displacement: Bahasa memungkinkan manusia untuk berbicara tentang hal-hal yang tidak hadir di depan mereka, baik hal yang terjadi di masa lalu, masa depan, atau yang hanya ada dalam pikiran.
  6. Cultural transmission: Bahasa dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan dan diwariskan dari generasi ke generasi.
  7. Learnability: Bahasa dapat dipelajari oleh siapa saja, tanpa memandang latar belakang atau kemampuan intelektual mereka.
  8. Specialization: Bahasa digunakan secara spesifik untuk mengungkapkan informasi tentang dunia fisik, hubungan sosial, atau perasaan dan pikiran.
  9. Semanticity: Bahasa memiliki hubungan yang konsisten antara simbol yang digunakan dan makna yang dikomunikasikan.
  10. Prevarication: Bahasa memungkinkan penggunaannya untuk berbohong atau menyesatkan.
  11. Reflexivity: Bahasa memungkinkan manusia untuk berbicara tentang bahasa itu sendiri.
  12. Non-directionality: Bahasa tidak hanya digunakan dalam satu arah atau oleh satu orang, tetapi dapat digunakan oleh semua orang secara bebas.
  13. Open-endedness: Bahasa tidak memiliki batas atau keterbatasan yang pasti, sehingga selalu berkembang dan berubah seiring waktu.

Ke-13 fitur atau ciri khas ini diyakini sebagai fitur universal dari bahasa manusia dan merupakan dasar bagi pembelajaran dan penggunaan bahasa dalam masyarakat manusia.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Hockett, Charles F.; Ascher, Robert (1954). "The Human Revolution". Current Anthropology. 5 (3). 
  2. ^ Keraf, Gorys (1984). Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia. hlm. 19–21. 
  3. ^ Hockett, Charles F. (1963). "The Origin of Speech". Scientific American: 203.