Terapi kombinasi artemisinin
Terapi kombinasi artemisinin adalah terapi kombinasi antimalaria yang menggunakan campuran artemisinin dengan obat antimalaria lainnya. Organisasi Kesehatan Dunia menganjurkan terapi kombinasi artemisinin sebagai terapi lini pertama bagi kasus Plasmodium resistensi klorokuin. Kemampuan pengobatan malaria menggunakan terapi kombinasi artemisinin sangat cepat. Namun, sejak tahun 2001 dilaporkan bahwa sensitivitas artemisinin terhadap Plasmodium falciparum mulai menurun.
Sejarah
suntingSetelah arteminisinin diketahui bekerja dengan sensitivitas yang rendah, Organisasi Kesehatan Dunia menganjurkan penggunaannya dalam bentuk kombinasi. Penggunaannya dalam bentuk terapi yang kemudian disebut sebagai terapi kombinasi artemisinin. Pada kasus Plasmodium resistensi klorokuin, Organisasi Kesehatan Dunia menganjurkan terapi kombinasi artemisinin sebagai terapi lini pertama.[1]
Kombinasi
suntingTerapi kombinasi artemisinin mengkombinasikan artemisinin dengan beberapa jenis obat antimalaria lainnya. Dua diantaranya adalah primetamin dan piperakuin.[2] Jenis obat antimalaria lain yang dikombinasikan dengan artemisinin adalah amodiakuin dan meflokuin. Sementara tipe artemisinin yang dikombinasikan adalah dihidroartemisin, artesunat, atau artemeter.[3]
Kegunaan
suntingTerapi kombinasi artemisinin merupakan pengobatan yang sangat cepat untuk malaria.[4] Kemampuan derivat artemisinin pada terapi kombinasi artemisinin lebih cepat sepuluh kali lipat dibandingkan dengan obat antimalaria yang lainnya.[5]
Penurunan sensitivitas
suntingTerapi kombinasi artemisinin dilaporkan mengalami penurunan sensitivtas terhadap Plasmodium falciparum. Sepanjang tahun 2001, diadakan pengamatan di Kamboja terhadap pasien yang terinfeksi. Pada awal tahun, tingkat kesembuhan di Pailin sebesar 90,1% dengan masa kesembuhan selama 28 hari. Kemudian, masa kesembuhan berubah menjadi 42 hari dan tingkat kesembuhan menurun menjadi 79,3%. Sementara dua situs lainnya di Kamboja tidak mengalami penurunan sama sekali.[6]
Referensi
sunting- ^ Yusuf, H., Maryatun, dan Satria, D. (2015). Pengembangan Terapi Kombinasi Antimalaria Baru Eurikumanon dan Artesunat Secara in vivo pada Mencit (Mus musculus) Terinfeksi Plasmodium berghei. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala. hlm. 8.
- ^ Soleha, Maratu (2019). "Review Bioprospecting Artemisinin dari Tanaman Artemisia annua" (PDF). Prosiding POKJANAS TOI Ke 57: 89.
- ^ Tim Riskesdas 2018 (2019). Laporan Provinsi Bali Riskesdas 2018 (PDF). Jakarta: Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. hlm. 54. ISBN 978-602-373-134-3.
- ^ Wadana, C. P., dkk. (2016). "Profil Terapi Artemisinin Combination Therapy (ACT) pada Malaria Anak di RSUD. Scholoo Keyen, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Studi Retrospektif" (PDF). Sari Pediatri. 17 (5): 324.
- ^ Kinansi, R. R., Mayasari, R., dan Pratamawati, D. A. (2017). "Pengobatan Malaria Kombinasi Artemisinin (ACT) di Provinsi Papua Barat Tahun 2013" (PDF). Balaba. Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang. 13 (1): 44.
- ^ Julianto, Tatang Shabur (2017). Wahana, Rahmat, ed. Senyawa Antimalaria: Pengembangan secara Sintesis dan Isolasi Bahan Alam (PDF). Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. hlm. 63. ISBN 978-602-450-125-9.