Thailand Utara
Thailand Utara adalah salah satu wilayah di Thailand. Wilayah Thailand Utara awalnya dikuasai oleh Kerajaan Hariphunchai lalu kemudian digantikan oleh Kerajaan Lanna (abad ke-13 hingga ke-16 M). Kemudian pada abad ke-16, wilayah Thailand Utara dikuasai oleh Dinasti Toungoo tetapi terus dipersengketakan oleh Kerajaan Ayutthaya hingga hingga ke-18 M. Sejak akhir abad ke-18 M, wilayah Thailand Utara kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Kerajaan Siam (sekarang Thailand).
Perekonomian di Thailand Utara didominasi oleh pertanian dan manufaktur hingga dasawarsa 1970-an. Wilayah Thailand Utara mulai mengalami pertumbuhan ekonomi setelah Provinsi Lamphun menjadi pusat industri manufaktur. Sejak tahun 2000-an, industri manufaktur dan sektor keuangan menjadi sektor perekonomian utama di Thailand Utara. Pemerintah Thailand juga telah menerapkan kebijakan pengurangan pajak pariwisata untuk meningkatkan perkembangan pariwisata pada semua provinsi di wilayah Thailand Utara, kecuali di Provinsi Chiang Mai.[1]
Sejarah
suntingPada abad ke-13 Masehi, wilayah Thailand Utara mulai menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Lanna. Penguasaan Kerajaan Lanna atas wilayah Thailand diketahui melalui Prasasti-Prasasti Batu Thailand Utara. Bahasa yang digunakan untuk menulis prasasti-prasasti tersebut ialah bahasa Mon dengan beberapa bagian ditulis dalam bahasa Pali. Semua prasasti ditemukan di wilayah Kota Lamphun dan wilayah selatan Provinsi Chiang Mai.[2]
Kerajaan Lanna didirikan setelah penaklukan Kerajaan Hariphunchai yang beribu kota di Lamphun. Kerajaan Haripunchai merupakan kerajaan suku Mon yang ibu kota kerajaannya terletak di Lamphun. Kekuasaan Kerajaan Haripunchai berakhir setelah wilayahnya ditaklukkan oleh pendiri Kerajaan Lanna yang berasal dari suku Thai, yaitu Raja Mangrai. Pada tahun 1296, Raja Mangrai mendirikan ibu kota baru bernama Chiang Mai.[3]
Pada tahun 1551, Raja Bayinnaung dari Dinasti Toungoo menaklukkan ibu kota Kerajaan Lanna yaitu Kota Chiang Mai. Pada tahun tersebut, sedang terjadi sengketa suksesi di Kerajaan Lanna yang menimbulkan perang saudara berkepanjangan. Akhirnya. Raja Bayinnaung berhasil menaklukkan seluruh wilayah Kerajaan Lanna di Thailand Utara pada tahun 1558. Penaklukan Kerajaan Lanna mengawali kekuasaan Dinasti Toungoo di Thailand Utara. Kekuasaan Dinasti Toungoo ini berlanjut hingga dua abad setelah penaklukan Kerajaan Lanna. Namun selama masa tersebut, bekas wilayah Kerajaan Lanna tetap dipersengketakan antara Dinasti Toungoo dan Kerajaan Ayutthaya.[4]
Pada tahun 1767, Kerajaan Ayutthaya mengalami keruntuhan, tetapi bekas wilayah Kerajaan Lanna di Thailand Utara tetap dipersengketakan. Penguasaan yang bertahan baru tercapai pada tahun 1792 ketika Dinasti Chakri dari Kerajaan Siam menguasai Chiang Mai.[5]
Ekonomi
suntingEkonomi di wilayah Thailand Utara hingga dasawarsa 1970-an, didominasi oleh perusahaan skala kecil yang mengadakan kegiatan pertanian dan manufaktur. Pada dasawarsa 1980-an, wilayah Thailand Utara mulai mengalami pertumbuhan ekonomi setelah ditetapkannya Koridor Ekonomi Utara melalui kebijakan Pemerintah Thailand. Provinsi Lamphun berubah menjadi salah satu pusat manufaktur utama di Thailand Utara. Perannya sebagai pusat manufaktur juga menciptakan lapangan kerja baru di sektor perdagangan dan jasa di provinsi sekitarnya dalam wilayah Thailand Utara. Negara tetangga Thailand terutama Myanmar, telah menjadi salah satu penyedia tenaga kerja dengan upah yang rendah di wilayah Thailand Utara. Pertumbuhan ekonomi di Thailand Utara semakin meningkat dengan adanya investasi asing langsung dari Jepang. Sejak tahun 2000-an, perekonomian di Thailand Utara sangat mengandalkan industri manufaktur dan sektor keuangan.[6]
Pariwisata
suntingPemerintah Thailand telah menerapkan kebijakan pengurangan pajak pariwisata untuk meningkatkan perkembangan pariwisata pada semua provinsi di wilayah Thailand Utara. Pengecualian pengurangan pajak pariwisata di Thailand Utara hanya berlaku di Provinsi Chiang Mai. Tujuan pengecualian ini untuk mempromosikan perjalanan ke provinsi-provinsi di Thailand Utara yang sepi pengunjung.[1]
Referensi
suntingCatatan kaki
sunting- ^ a b OECD 2019, hlm. 48.
- ^ Buchmann, Marek (2011). Northern Thai Stone Inscriptions (14th –17th Centuries): Glossary (PDF) (dalam bahasa Inggris). Wiesbaden: Harrassowitz Verlag. hlm. ix. ISBN 978-344706536-8. ISSN 0567-4980.
- ^ Buribhand, L. B., dan Griswold, A. B. (September 2015). The Royal Monasteries and Their Significance (PDF) (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-5). Bangkok: The Fine Arts Department. hlm. 14. ISBN 978-616-283-210-9.
- ^ Cotterell 2014, hlm. 138-139.
- ^ Cotterell 2014, hlm. 139.
- ^ OECD 2019, hlm. 47.
Daftar pustaka
sunting- Cotterell, Arthur (2014). A History of Southeast Asia (PDF). Singapura: Marshall Cavendish Editions. ISBN 978-981-4361-02-6.
- Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) (2019). Multi-dimensional Review of Thailand Volume 3: From Analysis to Action (PDF). Paris: OECD Publishing. doi:10.1787/7ef9363b-en. ISBN 978-92-64-44752-3. ISSN 2308-734X.