Undang-Undang Melaka

Undang-Undang Melaka (Jawi: اوندڠ٢ ملاک ), juga dikenal sebagai Hukum Kanun Melaka, Undang-Undang Darat Melaka, dan Risalah Hukum Kanun,[1] adalah norma hukum di Kesultanan Melaka (1400–1511). Undang-undang ini berisi ketentuan-ketentuan penting yang menegaskan kembali keutamaan hukum adat Melayu, seraya pada saat yang sama mengakomodasi dan mengasimilasi prinsip-prinsip Islam. Norma hukum ini diyakini awalnya disusun pada masa pemerintahan Muhammad Syah (1424–1444), sebelum terus diperluas dan disempurnakan oleh para sultan yang berikutnya.[2] Sistem peradilan Melaka sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang Melaka merupakan intisari hukum pertama, yang disusun di dunia Melayu. Ia menjadi sumber hukum bagi kesultanan-kesultanan regional utama lainnya seperti Johor, Perak, Brunei, Pattani, dan Aceh,[3] dan telah dianggap sebagai intisari hukum Melayu yang paling penting.[4]

Sebuah salinan Undang-Undang Melaka dipajang di Museum Kerajaan, Kuala Lumpur.

Sejarah sunting

Menurut Sulalatus Salatin, bentuk sistem peradilan paling awal sudah ada sejak masa-masa awal Melaka. Para penguasa Melaka awal mempermaklumkan tradisi-tradisi istana dan menegakkan aturan adat dan agama yang ada untuk menjaga ketertiban sosial. Semua aturan, larangan, dan adat istiadat yang telah dikodifikasikan sebagai hukum, pada gilirannya dihimpun melalui tradisi lisan dan dihafal oleh para menteri senior kesultanan.[5] Selama masa pemerintahan Muhammad Shah, hukum dikeluarkan dan dicatat bersama dengan ketentuan-ketentuan untuk hukuman setiap pelanggaran.[2] Di antara aturan-aturan penting yang disebutkan dalam Sulalatus Salatin adalah larangan mengenakan pakaian warna kuning dan gelang kaki emas.[5] Di bawah perintah sultan kelima, Mudzaffar Syah (1445–1459), intisari hukum Muhammad Syah semakin disempurnakan dengan dimasukkannya undang-undang dan peraturan-peraturan baru. Norma hukum ini kemudian terus diperluas dan disempurnakan sampai masa pemerintahan sultan terakhir, Mahmud Syah (1488–1511).[6]

Sebagai bagian dari warisan penting Melaka, yang sepanjang keberadaannya memiliki pengaruh kuat terhadap Asia Tenggara Maritim, norma hukum Melaka disalin dan menyebar ke kesultanan-kesultanan lain seperti Johor, Perak, Aceh, Brunei, dan Pattani. Ia dijadikan referensi dalam mengembangkan yurisprudensi lokal, dengan revisi dan penambahan selanjutnya dibuat untuk isinya, agar sesuai dengan penggunaan dalam kesultanan tertentu.[7] Norma hukum ini telah berkontribusi pada keberadaan beragam salinan hibrida dari manuskrip ini dalam berbagai struktur dan konten. Singkatnya, ada 50 manuskrip Undang-Undang Melaka yang masih bertahan dan diketahui, yang dapat dikategorikan menjadi fundamental, Aceh, Pattani, panjang, Islam dan Johor, dan versi terpecah-pecah atau pendek.[2]

Isi sunting

Menurut bagian dari isi kitab Undang-Undang yang telah diterbitkan, kitab ini mengandung enam bagian yang saling berkaitan dengan urusan kelautan, pernikahan, dan hukum perdagangan. Enam bagian itu antara lainnya adalah:[8]

Oleh sebab revisi dan tambahan-tambahan yang berlanjut sejak era Malaka, yang semula ada 19 bab di dalam teks kemudian diperluas hingga 22 dan terakhir adalah 44 bab yang hingga kini diketahui.[9]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Abd. Jalil Borham 2002, hlm. 84
  2. ^ a b c Liaw 2007, hlm. 86
  3. ^ Fauzia 2013, hlm. 81
  4. ^ Ooi 2004, hlm. 1361
  5. ^ a b Abd. Jalil Borham 2002, hlm. 86
  6. ^ Abd. Jalil Borham 2002, hlm. 87–88
  7. ^ Abd. Jalil Borham 2002, hlm. 94
  8. ^ Liaw 2007, hlm. 86.
  9. ^ Abd. Jalil Borham 2002, hlm. 88.

Bibliografi sunting