Upacara komendasi
Upacara komendasi (bahasa Latin: commendatio) atau upacara berserah diri adalah upacara yang diciptakan pada Awal Abad Pertengahan untuk meresmikan ikatan yang mempersatukan seorang junjungan dengan anggota laskarnya, yang disebut vasal. Upacara commendatio pertama kali tercatat diselenggarakan pada abad ke-7 di Prancis, tetapi hubungan pervasalan sudah ada sebelumnya, bahkan mendahului penciptaan ketentuan-ketentuan batas golongan nigrat pada Abad Pertengahan. "Anak buah" sang junjungan dapat saja terlahir sebagai hamba sahaya, tetapi commendatio menjadikannya orang merdeka.
Upacara komendasi dilaksanakan bilamana dua orang hendak menjalin suatu hubungan feodal. Tujuan upacara ini adalah membaiat seseorang menjadi kawula seorang junjungan. Upacara komendasi terdiri atas dua unsur, yakni sembah bakti dan sumpah setia. Di beberapa negara, misalnya di Kerajaan Sisilia, upacara komendasi disebut investitura (penyerahan tanda jabatan).
Etimologi
suntingKata "vasal" terbentuk dari akar kata *upo dalam bahasa Proto-India-Eropa, artinya "bawah". Akar kata ini berkembang menjadi kata *wasso- dalam bahasa Proto-Kelt, yang bermakna "anak muda" atau "anak magang" (kesatria magang) tetapi secara harfiah berarti "orang di bawah", selanjutnya menjadi kata gwas (teruna, bujang) dalam bahasa Wales, goaz (bujang, kawula, anak buah) dalam bahasa Breton, dan foss (bujang) dalam bahasa Irlandia. Kata *wasso- dari bahasa Kelt diserap ke dalam bahasa Latin Abad Pertengahan menjadi vassallus (bujang, jongos, abdi), cikal bakal kata vassal di dalam bahasa Prancis Lama, yang berarti "kawula", "bawahan", atau "bujang". Istilah Prancis ini kemudian diserap mentah-mentah ke dalam kosakata bahasa Inggris, baik bentuk penulisannya maupun maknanya.
Sembah bakti
suntingCalon vasal maju menghadap tanpa bertutup kepala dan tanpa membawa senjata, tanda berserah diri kepada kehendak junjungan, lalu berlutut di hadapan calon majikannya. Calon vasal selanjutnya menangkupkan kedua belah telapak tangannya, tanda takluk sempurna, sikap khas umat Kristen pada saat berdoa, lalu mengulurkan kedua belah tangan terkatup itu ke hadapan calon majikan.
Calon majikan sebaliknya menyambut uluran tangan calon vasal dengan merapatkan kedua telapak tangannya pada kedua punggung tangan calon vasal, tanda bahwa ia adalah pihak yang lebih tinggi derajatnya. Tindakan simbolis ini disebut immixtio manuum (bercampur tangan) dalam bahasa Latin, Handgang (berserah diri ke dalam tangan) dalam bahasa Jerman, dan håndgang dalam bahasa Norwegia.[1] Calon vasal selanjutnya mengutarakan ijab menjadi "anak buah", dan disahuti kabul dari calon majikan. Dengan demikian upacara sembah bakti menjadi sempurna.
Dengan demikian si vassus memasuki suatu lingkungan baru, lingkungan pengayoman dan silih asuh. Dengan bersentuhan tangan, sang panglima laskar membuat sesuatu berpindah dari raganya sendiri ke dalam raga si vasal, yakni semacam cairan suci, hail. Lantaran dijadikan semacam pemali, si vasal jatuh ke dalam daya perbawa, yang aslinya pagan, dari si junjungan, yakni mundeburdium atau mainbour-nya, daya sejati, yang bersifat posesif sekaligus protektif.[2]
Sikap tubuh umat Kristen Barat saat berdoa yang dianggap lazim sekarang ini, yakni berlutut dengan kedua belah tangan tertangkup, berasal dari upacara komendasi. Sebelum itu, umat Kristen Eropa berdoa dengan sikap tubuh orans, istilah Latin untuk sikap "berdoa" yang dipakai orang pada Abad Kuno, yakni berdiri sambil mengangkat kedua belah tangan, sikap yang masih dipakai di dalam berbagai ritual Kristen sekarang ini.
Sikap tubuh bersembah bakti terlestarikan (kendati tanpa signifikansi feodal) di dalam upacara pemberian gelar di Universitas Cambridge.
Pujangga Eginhardus mencatat jalannya upacara komendasi meriah yang diselenggarakan Tassilo, Adipati Bayern, bagi Raja Pipin Muda, pada tahun 757. Dalam upacara tersebut, Adipati Bayern "mengajukan diri menjadi vasal di antara kedua belah tangan" (in vasatico se commendans per manus). Ia mengikrarkan sumpah—kata yang dipakai adalah "sacramenta"—seraya menumpangkan kedua belah tangannya di atas relikui orang-orang kudus, yang tampaknya khusus didatangkan ke Compiègne demi pelaksanaan upacara meriah itu, dan berjanji akan setia kepada raja maupun putra-putranya. Relikui-relikui yang disentuhnya adalah relikui Santo Denisius, relikui Santo Rustikus, relikui Santo Eleuterius, relikui Santo Martinus, dan relikui Santo Germanus, nama-nama besar yang membuat hati berdebar. Orang-orang ningrat sedari lahir yang hadir mendampinginya turut bersumpah setia "...demikian pula banyak orang lain", tambah Eginhardus.[3]
Sumpah setia
suntingVasal kemudian meletakkan kedua belah telapak tangannya di atas Alkitab atau relikui orang kudus, lalu bersumpah tidak akan mencelakai junjungannya dengan cara apa pun, dan senantiasa setia berbakti.
Salah satu contoh kalimat sumpah setia (bahasa Jerman: Lehneid, bahasa Belanda: leenpligt) adalah sebagai berikut:
Saya berikrar demi iman saya, bahwa kelak saya akan setia kepada junjungan, tidak akan sekali-kali mencelakakan beliau, dan akan sepenuhnya mengutamakan sembah bakti saya kepada beliau melebihi semua orang lain dengan tulus ikhlas dan tanpa tipu daya.
Signifikansi komendasi
suntingBegitu seorang vasal mengikrarkan sumpah setia, terjalinlah hubungan feodal yang mempersatukan vasal tersebut dengan junjungannya.[4]
Lihat pula
suntingRujukan
sunting- ^ Duggan, Anne (2000). Nobles and Nobility in Medieval Europe: Concepts, Origins, Transformations, Boydell, Woodbridge, hlm. 211. ISBN 0-85115-769-6.
- ^ Rouche 1987 hlm. 429
- ^ Eginhard, Annals 757
- ^ Chisholm, Hugh, ed. (1911). "Commendation". Encyclopædia Britannica. 6 (edisi ke-11). Cambridge University Press. hlm. 765.
- Rouche, Michel, "Private life conquers state and society," dalam A History of Private Life jld. I, Paul Veyne, penyunting, Harvard University Press 1987 ISBN 0-674-39974-9