Wijen

Tanaman yang dibudidayakan sebagai sumber minyak nabati

Wijen (Sesamum indicum L. syn. Sesamum orientalis L.) adalah semak semusim yang termasuk dalam famili Pedaliaceae. Tanaman ini dibudidayakan sebagai sumber minyak nabati, yang dikenal sebagai minyak wijen, yang diperoleh dari ekstraksi bijinya. Afrika tropik diduga merupakan daerah asalnya, yang lalu tersebar ke timur hingga ke India dan Tiongkok. Di Afrika Barat ditemukan pula kerabatnya, S. ratiatum Schumach. dan S. alabum Thom., yang di sana dimanfaatkan daunnya sebagai lalap. S. ratiatum juga mengandung minyak, tetapi mengandung rasa pahit karena tercampur dengan saponin yang juga beracun. Istilah lain yang digunakan untuk menyebut "wijen" yaitu bijan atau lenga.

Wijen
Tanaman wijen
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Kerajaan: Plantae
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Eudikotil
Klad: Asterid
Ordo: Lamiales
Famili: Pedaliaceae
Genus: Sesamum
Spesies:
S. indicum
Nama binomial
Sesamum indicum

Saat ini, wijen ditanam terutama di India, Tiongkok, Mesir, Turki, Sudan, serta Meksiko dan Venezuela.

Biologi dan Agronomi

sunting

Wijen tumbuh pada daerah tropis pada ketinggian 1200–1600 m di atas permukaan laut. Tanaman ini memerlukan temperatur udara yang cukup tinggi pada masa hidupnya yaitu berkisar 25-35˚C dan cukup tahan terhadap kondisi kering. Nilai pH tanah yang baik adalah berkisar 5,5-8,0. Tanaman ini tidak dapat ditumbuhkan pada tanah pasir atau asin. Tanaman ini juga tidak dapat tumbuh pada kondisi tergenang dan terkena hujan secara terus menerus. Tumbuhan ini sebaiknya ditanam pada ladang secara berbaris dengan jarak antar tumbuhan berkisar 30 cm. Wijen dapat dipanen bijinya setelah 120-150 hari ditumbuhkan.[1]

Akar tanaman ini bertipe akar tunggang dengan banyak akar cabang yang sering bersimbiosis dengan mikoriza VA (vesikular-arbuskular). Tanaman mendapat keuntungan dari simbiosis ini dalam memperoleh air dan hara dari tanah.

Penampilan morfologinya mudah dipengaruhi lingkungan. Tinggi bervariasi dari 60 hingga 120 cm, bahkan dapat mencapai 2-3m. Batangnya berkayu pada tanaman yang telah dewasa. Daun tunggal, berbentuk lidah memanjang. Bunga tumbuh dari ketiak daun, biasanya tiga namun hanya satu yang biasanya berkembang baik. Bunga sempurna, kelopak bunga berwarna putih, kuning, merah muda, atau biru violet, tergantung varietas. Dari bunga tumbuh 4-5 kepala sari. Bakal buah terbagi dua ruang, yang lalu terbagi lagi menjadi dua, membentuk polong. Biji terbentuk di dalam ruang-ruang tersebut. Apabila buah masak dan mengering, biji mudah terlepas ke luar, yang menyebabkan penurunan hasil. Melalui pemuliaan, sifat ini telah diperbaiki, sehingga buah tidak mudah pecah ketika mengering. Banyaknya polong per tanaman, sebagai faktor penentu hasil yang penting, berkisar dari 40 hingga 400 per tanaman. Bijinya berbentuk seperti buah apokat, kecil, berwarna putih, kuning, coklat, merah muda, atau hitam. Bobot 1000 biji 2-6g.

Di Indonesia, tanaman wijen tidak terlalu luas ditanam. Di daerah Gunungkidul, Yogyakarta, terdapat area penanaman wijen yang tidak terlalu luas. Daerah sentra pengembangan komoditas wijen umumnya berada pada daerah kering, meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Lampung. Budidaya wijen dapat menjadi alternatif yang menguntungkan bagi petani di lahan tadah hujan, baik pada lahan tegal maupun lahan sawah sesudah padi termasuk petani yang memiliki lahan sempit. Petani di Sukoharjo dan Rembang mengatasi kekeringan dengan menanam wijen di lahan sawah sesudah padi. Hasil yang diperoleh sangat menggembirakan karena mutu wijen lebih baik daripada saat musim hujan.[2]

Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat telah menghasilkan beberapa varietas unggul wijen dengan tingkat produktivitas tinggi. Petani lahan kering dapat menggunakan varietas Sumberrejo (Sbr) 1, Sbr 2, atau Sbr 3. Ketiga varietas tersebut mempunyai potensi produksi 1,3 ton/ha dengan umur panen 90 - 110 hari. Untuk lahan sawah sesudah padi, petani dapat menggunakan varietas Sbr 4. Varietas Sbr 4 sesuai digunakan pada MK-2 karena berumur genjah yaitu 75 - 85 hari, terutama untuk daerah tadah hujan yang menanam padi dengan sistem gogo rancah dan walik jerami dalam setahun. Keempat varietas tersebut merupakan jenis wijen putih yang digunakan dalam industri makanan ringan. Varietas Sbr 4 lebih disukai oleh industri makanan ringan karena bijinya kecil sehingga jumlah per kg nya banyak dan lebih lengket. Pada lahan sawah tadah hujan yang menanam padi satu kali dalam setahun juga dapat menggunakan varietas Wijen Nasional (Winas) 1, Winas 2, dan Winas 3. Ketiga varietas Winas tersebut merupakan varietas untuk lahan sawah dengan umur panen 98- 102 hari dan potensi produksi 1,8 - 2,2 ton/ha.[2]

Kandungan Gizi Biji

sunting

Biji wijen mengandung 50-53% minyak nabati, 20% protein, 7-8% serat kasar, 15% residu bebas nitrogen, dan 4,5-6,5% abu. Minyak biji wijen kaya akan asam lemak tak jenuh, khususnya asam oleat (C18:1) dan asam linoleat (C18:2, Omega-6), 8-10% asam lemak jenuh, dan sama sekali tidak mengandung asam linolenat. Minyak biji wijen juga kaya akan Vitamin E. Ampas biji wijen (setelah diekstrak minyaknya) menjadi sumber protein dalam pakan ternak. Biji wijen tinggi zat besi dan kalsium. kandungan zat besi pada biji wijen sebesar 9.5 mg/100 gr, sedangkan kandungan kalsiumnya sebesar 1125 mg/100 g.

Kegunaan

sunting

Wijen sudah sejak lama ditanam manusia untuk dimanfaatkan bijinya, bahkan termasuk tanaman minyak yang paling tua dikenal peradaban. Biji wijen putih dan hitam digunakan sebagai topping pada penganan dan penambah cita rasa, misalnya pada onde-onde, roti, dan lain-lain, dengan menaburkannya di permukaan penganan tersebut. Biji wijen dapat dibuat pasta. Berbagai tradisi memasak yang memanfaatkan wijen tersebar mulai dari kawasan Laut Tengah, seperti Yunani dan Turki, hingga Jepang dan semenanjung Korea. Biji wijen yang digiling banyak dimanfaatkan di daerah Afrika sebagai bahan tambahan masakan ikan atau sup.[3]

Kegunaan utama wijen saat ini adalah sebagai sumber minyak wijen. Secara komersial, minyak wijen ditemukan dalam dua jenis. Salah satu jenis dari minyak wijen adalah minyak yang berwarna kuning pucat dan memiliki bau khas wijen dan rasa seperti kacang. Minyak jenis ini cocok sebagai minyak goreng, campuran kosmetik dan digunakan dalam persiapan makanan. Minyak tipe lainnya memiliki warna amber dan aromatic, digunakan sebagai hiasan makanan akan tetapi tidak dimakan karena memiliki rasa dan bau yang tajam.[3]

Kualitas dan Standardisasi Biji Wijen dan Produknya

sunting

Produk utama dari tumbuhan wijen adalah biji dari buah wijennya sendiri. Biji wijen banyak dimanfaatkan sebagai bahan tambahan makanan dan menambah citarasa dari suatu makanan dengan bau dari wijen yang khas. Kualitas umum yang dicari adalah biji wijen harus terbebas dari bau dan rasa yang tidak normal, bersih secara keseluruhan, dan memiliki karakteristik warna sesuai dengan varietasnya. Beberapa karakteristik lainnya yang menentukan kualitas dari biji wijen antara lain keberadaan materi asing (% berat total), keberadaan biji tidak matang dan mati (% berat total), keberadaan campuran dari varietas lain (% berat total), dan kadar air (% berat total). Untuk biji wijen yang umum, kriteria minimal yang harus terpenuhi antara lain memiliki materi asing maksimum 2% dari berat total, maksimum biji mati dan tidak matang maksimum 3% dari berat total, adanya campuran dari varietas lain maksimum 15% dari berat total, dan kadar air maksimum 7%. Terdapat beberapa standar yang mengatur mengenai biji wijen dan standar yang digunakan antara lain: US ISO 542, US ISO 605, US ISO 659, US ISO 660, US ISO 665, US ISO 2171, US ISO 5983-1, US ISO 5985, US ISO 6579, US ISO 6869, US ISO 7251, US ISO 16050, US ISO 16634-1, dan US ISO 21527-2.[4] Di Indonesia sendiri, kriteria dari biji wijen yang baik dicantumkan dalam SNI 01-3176-1992.[5]

Terdapat banyak produk sekunder yang dihasilkan dari biji wijen terutama dalam bidang pangan dan salah satu produk sekunder yang hingga saat ini banyak dimanfaatkan adalah minyak wijen.[6] Minyak wijen diekstrak dari biji wijen. Minyak ini memiliki aroma dan rasa khas dari biji wijen. Minyak wijen banyak dimanfaatkan sebagai tambahan pada salad, minyak goreng, dan berbagai tambahan makanan pada negara di Asia. Di India, minyak ini digunakan sebagai obat tradisional Ayurvedic dalam pemijatan dan dipercaya dapat menghilangkan panas tubuh. Dalam bidang industry, minyak wijen dimanfaatkan sebagai pelarut senyawa obat, minyak dalam kosmetik, dan lain-lain.[7] Di Indonesia sendiri, kriteria dari minyak wijen yang baik dicantumkan dalam SNI 01-4468-1998.[5] Secara internasional, digunakan standard dari FAO. Beberapa kriteria dari FAO antara lain, tidak diperbolehkan adanya penambahan zat tambahan dan zat perasa (CAC/GL 66-2008). Kontaminan dalam produk memiliki tingkat maksimal seseuai General Standard for Contaminants and Toxins in Food and Feed (CODEXSTAN 193-1995). Produk harus memiliki maksimum batas residu pestisida sesuai Codex Alimentarius Comission 6. Kebersihan direkomendasikan untuk mengikuti standar yang disediakan oleh General Principles of Food Hygiene (CAC/RCP 1-1969). Produk harus memenuhi kriteria mikrobiologi (CAC/GL 21-1997). Label dari makanan sesuai standar Labelling of Prepackaged Foods (CODEXSTAN 1-1985). Terakhir, produk harus memiliki warna, bau, dan rasa yang memiliki karakteristik khas sesuai dengan produk dan terbebas dari rasa dan bau asing dan bau busuk.[8]

Kajian Metabolomik

sunting

Salah satu kajian metabolomik yang telah dilakukan adalah penelitian mengenai metabolom dan transcriptome dari tumbuhan wijen pada kondisi lingkungan dengan konsentrasi garam tinggi. Penemuan yang dilakukan oleh peneliti tersebut adalah bahwa gen kandidat dan metabolit yang terlibat dalam pathway biologis meregulasi toleransi garam dari wijen dan meningkatkan pemahaman mekanisme molekuler mengenai bagaimana pengaruh stress konsentrasi garam terhadap wijen.[9]

Kajian metabolomik lain yang pernah dilakukan terhadap tumbuhan wijen adalah penelitian mengenai metabolomik dalam pemuliaan tumbuhan. Kemajuan dari metabolomik tumbuhan saat ini telah membuat kita dapat menseleksi sifat yang diinginkan dari suatu tumbuhan dan memunculkan kemungkinan utuk melakukan rekayasa metabolit dari tumbuhan. Diharapkan kedepannya, integrase dari metabolomik dan omics tools lainnya dapat meningkatkan kemampuan pekebun untuk mendesain dan mengembangkan tumbuhan dengan agronomi yang baik sehingga dapat menghadapi tantangan dari agrikultur pada abad ke-21.[10] Kajian metabolomik lainnya yang pernah dilakukan adalah mengenai komposisi metabolit sekunder dari wijen hitam. Komposisi kimia dari metabolit sekunder menjadi penting dalam kontrol dari kualitas produk agrikultur. Harga dari biji wijen hitam lebih mahal dibandingkan biji wijen putih, akan tetapi saat ini perbedaan komposisi nutrisi antara biji wijen hitam dan putih masih tidak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti perbedaan metabolit dari kedua wijen tersebut. Dengan menggunakan widely targeted metabolomics data, didapatkan struktur dan konten dari 557 metabolit, dari 217 metabolit yang teridentifikasi, dan ditemukan 30 pathway metabolit yang diaktivasi oleh metabolit sekunder pada biji wijen putih maupun hitam. Beberapa pathway berbeda yang ditemukan antara keduanya antara lain biosintesis phenylpropanoid, metabolism tirosin, dan metabolism riboflavin. Kandungan dari indole-3-carboxylic acid, hesperidin, 2-methoxycinnamic acid, vitamin B2, coniferyl aldehyde, phloretin, dan hyoscyamine jauh lebih tinggi pada biji wijen hitam.[11]

Lihat pula

sunting

Sumber

sunting
  • Schuster, W.H. 1992. Ölpflanzen in Europa. DLG Verlag, Frankfurt-am-Main.
  1. ^ Ullah, Najeeb & Mirza, M.Y. & Jilani, Ghulam & Khan, Mubashir & Zhou, Weijun. (2012). Sesame. Technological Innovations in Major World Oil Crops. 1. 131-145. 10.1007/978-1-4614-0356-2_5.
  2. ^ a b Suci Romadhona, Musthofa Lutfi, Rini Yulianingsih. 2015. Studi metode dan lama pemanasan pada ekstraksi minyak biji wijen (Sesamum indicum L.). Jurnal Bioproses Komoditas Tropis. 3(1): 50-57
  3. ^ a b Langham, Derald. (2008). GROWTH AND DEVELOPMENT OF SESAME.
  4. ^ Uganda National Bureau of Standards (UNBS). 2009. A Simplified Uganda Sesame Standard. UNBS. Halaman 1-10
  5. ^ a b Mayang, Wulan Sari. 2018. https://www.scribd.com/document/369501263/SNI-Biji-wijen-01-3176-1992. Diakses pada tanggal 4 April 2019 pukul 20.12
  6. ^ Elleuch, Mohamed & Besbes, Souhail & Roiseux, Olivier & Blecker, Christophe & Attia, Hamadi. (2007). Quality characteristics of sesame seeds and by-products. Food Chemistry. 103. 641-650. 10.1016/j.foodchem.2006.09.008.
  7. ^ Sabahelkhier, Murwan & Elnur, Khogali & Ishag, Ahmed & Yagoub, Abu ElGasim. (2008). Chemical Composition and Oil Characteristics of Sesame Seed Cultivars Grown in Sudan.
  8. ^ Food and Agriculture Organization (FAO). 2015. Codex Alimentarius: Standard for Named Vegetable Oils. Codex Stan 210-1999
  9. ^ Zhang, Y., Li, D., Zhou, R. et al. BMC Plant Biol (2019) 19: 66. https://doi.org/10.1186/s12870-019-1665-6
  10. ^ Kumar R, Bohra A, Pandey AK, Pandey MK and Kumar A (2017) Metabolomics for Plant Improvement: Status and Prospects. Front. Plant Sci. 8:1302. doi: 10.3389/fpls.2017.01302
  11. ^ Wang, D., Zhang, L., Huang, X., Wang, X., Yang, R., Mao, J., Li, P. (2018). Identification of Nutritional Components in Black Sesame Determined by Widely Targeted Metabolomics and Traditional Chinese Medicines. Molecules (Basel, Switzerland), 23(5), 1180. doi:10.3390/molecules23051180