Zona riparian, mintakat riparian, atau wilayah riparian adalah daerah peralihan antara sungai dengan daratan. Wilayah ini memiliki karakter yang khas, karena perpaduan lingkungan perairan dan daratan. Salah satunya, komunitas tumbuhan pada daerah ini dicirikan oleh tetumbuhan yang beradaptasi dengan perairan, yakni jenis-jenis tumbuhan hidrofilik; yang dikenal sebagai vegetasi riparian. Perkataan riparian berasal dari bahasa Latin ripa, yang berarti “tepian sungai”.

Zona riparian yang terpelihara baik di kanan-kiri sungai yang memasok air ke Danau Erie, Kanada.

Zona riparian bersifat penting dalam ekologi, pengelolaan lingkungan dan rekayasa sipil, terutama karena peranannya dalam konservasi tanah, keanekaragaman hayati yang dikandungnya, serta pengaruhnya terhadap ekosistem perairan. Bentuk fisik daerah ini bisa bermacam-macam, di antaranya berupa hutan riparian, paya-paya, aneka bentuk lahan basah, ataupun tak bervegetasi. Istilah-istilah teknis seperti sempadan sungai dan kakisu (kanan-kiri sungai) mengacu kepada daerah ini, meski pengertiannya tak sepenuhnya sepadan.

Karakteristik dan fungsi

sunting
 
Skema zona riparian di Everglades, Florida.

Wilayah riparian bisa berbentuk alami atau terbangun untuk keperluan stabilisasi tanah atau rehabilitasi lahan. Daerah ini merupakan biofilter alami yang penting, yang melindungi lingkungan akuatik dari sedimentasi yang berlebihan, limpasan air permukaan yang terpolusi, dan erosi tanah. Zona ini juga menyediakan perlindungan dan makanan untuk banyak jenis hewan akuatis, dan juga naungan yang penting dalam pengaturan temperatur perairan. Banyak karakter yang menunjukkan kapasitas wilayah ini sebagai zona penyangga (bufferzone) bagi kawasan di sekitarnya.

Penelitian menunjukkan bahwa zona ini berperan penting dalam menjaga kualitas air yang masuk ke sungai, baik dari limpasan air permukaan (surface runoff) maupun dari aliran air bawah tanah. Terutama penting untuk mengurangi senyawa nitrat (denitrifikasi) yang berasal dari pupuk yang ditebarkan di lahan-lahan pertanian, yang terbawa oleh aliran air dan berpotensi merusak ekosistem serta mengganggu kesehatan. Fungsi ini diperlihatkan dengan baik oleh daerah yang berupa lahan basah di tepian sungai.

Mintakat riparian juga berfungsi meredam energi aliran air. Kelok liku aliran sungai (meander) dan vegetasi dan perakaran tumbuhan di daerah ini mampu meredam energi pukulan arus sungai, sehingga mengurangi erosi dan kerusakan badan sungai akibat banjir. Ketika banjir besar, zona riparian dapat mencegah kerusakan yang lebih luas di bagian luar sungai, meskipun daerah tersebut dapat menjadi porak-poranda. Sementara itu pada bagian lain zona, sedimen sungai dijerap dan diendapkan, sehingga menurunkan kadar padatan tersuspensi dalam air, mengurangi kekeruhan, menggantikan tanah yang hanyut, serta membentuk tepian yang baru.

Wilayah kanan-kiri sungai merupakan habitat margasatwa dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, yang berfungsi sebagai koridor satwa; yakni daerah yang dijadikan sebagai tempat perlintasan aneka jenis fauna akuatik maupun terestrial dan menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lainnya. Fungsi ini terlihat nyata terutama di wilayah perkotaan, di mana zona-zona riparian yang terpelihara biasa ditinggali atau disinggahi oleh berbagai jenis reptil, amfibia, dan burung. Situasi ini menghubungkan populasi-populasi hewan di hilir dengan sebelah hulu sungai, sehingga kelompok-kelompok itu saling terhubung satu sama lain.

Vegetasi di kanan-kiri sungai memiliki karakter yang khas serta menunjukkan pengaruh dan interaksi dengan lingkungan perairan yang dinamis. Sebagian besar jenis tumbuhan di wilayah riparian ini yang memencar dengan mengandalkan aliran air atau pergerakan ikan. Dari segi ekologi, fenomena ini penting sebagai salah satu mekanisme aliran energi ke dalam ekosistem perairan, melalui jatuhan ranting, daun dan terutama buah tetumbuhan ke air, yang akan menjadi sumber makanan bagi hewan-hewan akuatik.[1]

Dari sudut sosial, kawasan riparian memiliki manfaat bagi nilai-nilai kehidupan masyarakat di sekitarnya. Wilayah tepian sungai yang bervegetasi baik sering dijadikan taman tempat bersantai dan berinteraksi bagi penduduk, terutama di perkotaan. Taman dan hutan kota semacam ini biasa dijadikan tempat rekreasi harian, bersepeda, memancing, berbiduk, dan lain-lain. Pemandangan sungai yang indah, juga di waktu malam di daerah perkotaan, menjadikan banyak restoran dibangun di tepian air.

Keanekaragaman vegetasi riparian

sunting
 
Hutan riparian
 
Hutan riparian di Jerman.
 
Di tepian Sungai Litroux, Prancis.

Sepanjang kanan-kiri sungai di daerah tropis, mulai dari wilayah hulu hingga ke muaranya di laut, tumbuh berbagai tipe vegetasi, yang pada gilirannya menyediakan habitat bagi aneka komunitas margasatwa. Variasi-variasi dalam zona riparian ini pada dasarnya ditentukan oleh seberapa besar aliran sungai memengaruhi kondisi lingkungan di kanan-kirinya; yang selanjutnya ditentukan oleh topografi lapangan dan sifat-sifat aliran sungai yang bersangkutan.

Di bagian hulu sungai di daerah pegunungan, aliran sungai berkelak-kelok melalui jurang kecil maupun besar. Arus sungai yang deras, fluktuasi permukaan air yang tinggi antara saat-saat hujan dengan tidak hujan, dan curamnya tebing sungai, menjadikan zona riparian di daerah pegunungan ini tidak begitu nyata dan sempit. Wilayah riparian di sini kebanyakan ditumbuhi semak-belukar dan perdu, dengan beberapa pohon besar yang tidak selalu sama jenisnya. Semak-semak seperti kecubung gunung (Brugmansia spp.), sisirihan (Piper aduncum) dan beberapa yang lain sering ditemukan di sini. Juga pohon-pohon seperti kepayang (Pangium edule), benda (Artocarpus elasticus) dan kedawung (Parkia roxburghii).

Tiba di daerah yang lebih datar, aliran sungai mulai melambat dan melebar, menampung lebih banyak arus dari anak-anak sungai, dan fluktuasi debit sungai menyusut. Meskipun sungai-sungai di wilayah ini umumnya bertebing, namun kebanyakan tidak lagi berupa jurang yang dalam seperti halnya di pegunungan. Zona riparian kebanyakan ditumbuhi pepohonan, yang bisa jadi tajuknya bertaut satu sama lain membentuk kanopi (atap tajuk) di atas sungai yang belum seberapa lebar. Jenis-jenis pohon dari keluarga beringin seperti loa (Ficus racemosa), sengkuang (Pometia pinnata), dan keluarga jambu-jambuan seperti halnya jambu mawar (Syzygium jambos) sering didapati di bagian ini.

Mendekat ketinggian laut, di daerah dataran rendah yang luas, aliran sungai bisa menjadi amat lebar, mengalir lambat dan nyaris tidak berubah tinggi airnya sepanjang tahun. Akan tetapi di puncak musim hujan, banjir besar selalu terjadi dan limpasannya dapat menutupi wilayah yang luas di kanan-kiri sungai. Wilayah riparian di bagian ini tidak selalu berupa hutan; bisa jadi bergabung atau berseling dengan rawa atau paya-paya yang luas. Namun karena tanah endapan yang subur dan selalu diperkaya setiap tahun, zona riparian di daerah ini biasa memiliki pohon-pohon besar dan tinggi, yang dari udara relatif mudah dibedakan dari hutan-hutan di sekitarnya yang lebih rendah kanopinya.[2] Komunitas khas ini biasa dikenal sebagai hutan riparian. Beberapa jenis dipterokarpa seperti Dipterocarpus apterus, D. oblongifolius, serta jenis-jenis penghasil tengkawang seperti Shorea macrophylla, S. seminis dan S. splendida biasa dijumpai di sini. Juga kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) dan merbau (Intsia palembanica) yang berharga mahal.[3]

Di bagian yang kerap tergenang atau drainasenya buruk, hutan riparian ditumbuhi jenis-jenis yang lebih beradaptasi dengan lingkungan perairan. Contohnya adalah bintaro (Cerbera spp.), butun darat (Barringtonia racemosa), pidada (Sonneratia caseolaris), rengas (Gluta renghas), terentang (Campnosperma auriculata) dan lain-lain.[2]

Suatu bentuk lain dari vegetasi riparian di daerah kering adalah apa yang dinamai sebagai hutan galeri. Hutan ini merupakan wilayah-wilayah sempit yang selalu hijau, yang tumbuh di sepanjang aliran sungai di antara hamparan hutan musim, savana atau padang rumput di wilayah beriklim kering seperti di Nusa Tenggara.[4] Sungai-sungai itu sendiri mungkin mengering pada sebagian besar waktu sepanjang tahun (di Jawa Timur sungai semacam ini disebut curah), namun kelembaban yang tersimpan dalam tanahnya masih mampu mempertahankan kehijauan vegetasi. Hutan galeri terbentuk di dataran rendah hingga jurang-jurang di daerah yang berbukit, sampai pada ketinggian sekitar 2.000 m dpl.[5] Di daerah pesisir yang bersavana, hutan galeri ini sering digantikan oleh hutan rawa payau yang didominasi gebang (Corypha utan)[6]

Ancaman kelestarian

sunting
 
Wilayah riparian yang penuh hunian di tepi Sungai Elbe, Dresden.

Karena sungai banyak memberikan manfaat dan kegunaan bagi manusia, maka hal ini dapat berdampak buruk bagi wilayah riparian. Banyak aktivitas manusia, baik yang terkait langsung dengan pemanfaatan zona riparian, maupun yang tidak langsung seperti kegiatan pemanfaatan sungai, bisa mengancam kelestarian zona ini.

Di hutan-hutan lebat yang dibalak di wilayah pedalaman, sungai sering digunakan sebagai sarana pengangkutan kayu. Kegiatan menyarad dan mengangkut kayu ke sungai hampir selalu dilakukan dengan merusak, berat ataupun ringan, zona riparian ini. Konstruksi jalan-jalan angkutan dalam hutan melintasi banyak sungai dan zona-zona riparian di sekitarnya, terutama karena pohon yang akan dibalak tumbuh alami pada zona-zona riparian ini. Diperkirakan, hutan riparian yang subur dapat memiliki potensi kayu komersial hingga 90 m³ perhektar.[2]

Lokasi permukiman-permukiman di wilayah dengan fasilitas terbatas, seperti di desa-desa pedalaman yang terpencil serta kamp-kamp pekerja kehutanan dan pertambangan sering dibangun mendekati sungai sebagai sumber air dan sarana perhubungan, di mana zona-zona riparian dimanfaatkan secara intensif. Permukiman-permukiman dan perladangan penduduk asli di Kalimantan misalnya, terletak di dekat atau sepanjang aliran-aliran sungai yang masih dapat dilayari dengan biduk ketinting.

Kondisi yang sama juga terlihat pada zona riparian sungai-sungai yang melintasi kota-kota besar yang padat penduduk, misalnya Jakarta, Surabaya, Palembang, Banjarmasin, Pontianak dan lain-lain. Kawasan tepian sungai sering dijadikan pasar atau daerah pergudangan, terutama jika lokasinya terletak tidak jauh dari pelabuhan. Seluruh aktivitas penduduk baik di hutan, di pedalaman, maupun di perkotaan, dapat merusak zona riparian baik secara fisik ataupun fungsional.

Konservasi

sunting

Untuk melindungi keberadaan dan keberlangsungan fungsi wilayah riparian, tiap-tiap negara mengeluarkan peraturan yang berbeda-beda. Indonesia, misalnya, memiliki peraturan untuk memelihara dan mempertahankan apa yang disebut sebagai sempadan sungai. Peraturan ini pada dasarnya menganjurkan pengelola wilayah, umpamanya pemegang HPH, untuk memelihara kawasan dengan lebar tertentu, sejajar dan di sepanjang tepian kanan-kiri sungai. Lebar sempadan ini bergantung kepada ukuran sungai itu sendiri, kondisi tepiannya (apakah masih alami atau buatan), serta letaknya (apakah di hutan, kawasan perkebunan atau di perkotaan).

Untuk skala yang lebih luas dan kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati yang lebih tinggi, perlindungan zona riparian yang penting biasa dicakup dalam rencana konservasi tingkat nasional atau regional; misalnya dicantumkan dalam Biodiversity Action Plan.

Lihat pula

sunting

Rujukan

sunting
  1. ^ Whiten, T., R.e. Soeriaatmadja dan S.A. Afiff. (1999). Ekologi Jawa dan Bali. Prenhallindo, Jakarta. Hal. 449
  2. ^ a b c MacKinnon, K., G. Hatta, H. Halim, A. Mangalik. (1996). The Ecology of Kalimantan. Periplus Edition (HK) Ltd. Pp. 129-130
  3. ^ Whitmore, T.C. (1984). Tropical rain forest of the Far East. Clarendon Press, Oxford. Pp.224-225
  4. ^ Whitmore, T.C. (1984). op.cit.. Pp.196-197
  5. ^ Monk, K.A., Y. de Fretes dan G. Reksodihardjo-Lilley. (2000). Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Prenhallindo, Jakarta. Hal. 234
  6. ^ Monk, K.A., Y. de Fretes dan G. Reksodihardjo-Lilley. (2000). op. cit.. Hal. 293

  • Nakasone, H., Kuroda, H., Kato, T. and Tabuchi, T. (2003). Nitrogen removal from water containing high nitrate nitrogen in a paddy field (wetland). Water Science and Technology, 48(10): 209-216.
  • Mengis, M., Schiff, S.L., Harris, M., English, M.C., Aravena, R., Elgood, R.J., and MacLean, A. (1999). Multiple geochemical and isotopic approaches for assessing ground water NO3 elimination in a riparian zone. Ground Water, 37: 448-457.
  • Parkyn, Stephanie. (2004). Review of Riparian Buffer Zone Effectiveness. Ministry of Agriculture and Forestry (New Zealand), www.maf.govt.nz/publications.
  • Tang, Changyuan; Azuma, Kazuaki; Iwami, Yoshifumi; Ohji, Baku; Sakura, Yasuo. (2004). Nitrate behaviour in the groundwater of a headwater wetland, Chiba, Japan. Hydrological Processes, 18(16): 3159-3168.

Pranala luar

sunting