Langgur adalah pusat pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggara di Provinsi Maluku, Indonesia. Langgur menggantikan Tual sebagai ibukota Kabupaten Maluku Tenggara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2011, tanggal 20 Juli 2011, tentang Pemindahan Ibukota Maluku Tenggara dari Wilayah Kota Tual ke Wilayah Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara yang selanjutnya disebut Kota Langgur.

Perahu adat dari Kepulauan Kei, 1900-1901.

Sejarah

Karena Kei tidak menghasilkan cengkih, pala, maupun emas, kepulauan ini nyaris diabaikan oleh VOC, dan hanya segelintir orang asing yang pernah menyinggahinya.

Setelah VOC bangkrut pada 1796, Pemerintah Kolonial Hindia-Timur Belanda membentuk Gubernemen Maluku Selatan (Bahasa Belanda: Gouvernement der Zuid Molukken) yang juga meliputi kepulauan Kei dan pulau-pulau tenggara lainnya.

Karena Pemerintah Kolonial Belanda menilai penyelenggaraan administrasi secara langsung di daerah tanpa hasil bumi bernilai tinggi akan lebih besar pasak dari pada tiang, maka kepulauan Kei pun hanya dikunjungi secara berkala atau bilamana timbul situasi genting yang memerlukan campur tangan pemerintah. Pejabat Gubernemen akan mengelilingi kepulauan ini dengan kapal uap berbendera Belanda dan diperlengkapi meriam guna menjalin atau memperbaharui persekutuan dengan para pemimpin pribumi setempat, atau untuk menyelesaikan pertikaian besar.

Bilamana para pemimpin pribumi datang menghadap, Gubernemen akan menghadiahi mereka dengan cendera mata berupa tongkat-jalan berhulu perak (rottingknoppen), panji-panji, seperangkat senjata, dan kadang-kadang sepucuk meriam perunggu demi meninggikan derajat sekutu-sekutu yang setia itu.[1]

Ohoingur

 
Sebuah Kapal Uap di perairan Tual, ca. 1915.

Pada era 1800-an, Tual mulai menerima para saudagar Nusantara, Arab, dan Tionghoa untuk menetap sehingga menjadikannya pemukiman termakmur dengan populasi paling heterogen di seluruh kepulauan Kei. Kampung-kampung lain merasa perlu menjalin hubungan baik dengan Raja Tual demi keikutsertaan dalam kemakmuran dan kemajuan Tual. Keadaan ini membuat Raja Tual menjadi pemimpin pribumi yang paling menonjol dan disegani.

Ohoingur (Kampung Pasir) adalah sebuah pemukiman kecil di pesisir timur Pulau Kei Kecil. Tidak seperti Tual di Kai Dullah dan Haar di pulau Kei Besar, Ohoingur tidak tergolong pemukiman yang besar apalagi ramai, karena bukan tempat persinggahan utama para saudagar yang berlayar ke Kepulauan Aru, Papua, dan pesisir utara Australia. Bersama-sama dengan beberapa kampung lain, Ohoingur juga menjalin hubungan akrab dengan Tual dan tunduk di bawah pengaruh besar Raja Tual. Kurangnya kontak langsung dengan dunia luar menjadikan warga Ohoingur teguh berpegang pada kepercayaan warisan leluhur, meskipun banyak warga Tual dan beberapa kampung di sekitarnya mulai memeluk agama Islam.

Pada 1870, pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Batavia menerapkan kebijakan etis baru yang mewajibkan para pejabat pemerintah di seluruh wilayah jajahan untuk "membimbing dan membantu masyarakat pribumi mencapai taraf peradaban yang lebih tinggi, sehingga mereka dapat menikmati buah-buah dari kerja, usaha, dan ketertiban." Demi meningkatkan investasi di daerah jajahan, pada tahun yang sama pemerintah juga mengeluarkan sebuah Akta Agraria (Agrarische Wet) baru yang memperbolehkan badan-badan usaha swasta untuk mendapatkan hak sewa guna selama 75 tahun, yang dapat dialihkan kepemilikannya, atas tanah yang tidak diusahakan.

Pada 1882, Gubernemen Maluku Selatan membentuk sebuah Posthouderschaap di Tual sebagai penyelia urusan-urusan pemerintahan di daerah ini. Pada tahun yang sama, Adolf Langen, seorang pengusaha Jerman, mencoba peruntungannya dengan membuka usaha penggergajian kayu di Tual untuk menyuplai kayu ulin gergajian kepada pusat-pusat pembuatan kapal di Makassar dan Batavia.[2]

Langen yang terkesan dengan dampak positif karya misi Katolik pada masyarakat Larantuka di pulau Flores beranggapan bahwa hal yang sama dapat pula terjadi pada masyarakat Kei. Pada 1887, Langen mengirimkan sepucuk surat kepada Uskup Adamus Carel Claessens, Vikaris Apostolik Batavia, memintanya mendirikan misi Katolik di kepulauan Kei.

Langgur

Untuk membendung pesatnya perkembangan agama Islam yang mereka curigai memupuk fanatisme dan pemberontakan, Pemerintah Kolonial Belanda dengan segera mengabulkan permohonan Gereja Katolik untuk membuka misi di kepulauan Kei. Pada 01 Juli 1888, dua orang Misionaris jezuïeten (Yesuit), Johannes Kusters dan Johannes Booms, tiba di Tual. Agama Islam yang sudah kuat berakar di Tual membuat usaha mereka sia-sia.

Setahun kemudian, Ohoingur dilanda wabah kolera. Johannes Kusters, salah seorang Misionaris, datang membagi-bagikan obat-obatan kepada penduduk Ohoingur dan akhirnya berhasil mendapatkan kepercayaan dan rasa hormat mereka. Pada 1889 untuk pertama kalinya dilakukan upacara pembaptisan di Ohoingur, dan pada 1890 misi dipindahkan ke Ohoingur.

Perkembangan misi Katolik di Ohoingur mendapat dukungan dari D. Heyting,[3] Residen Ambon, dan bahkan secara langsung dikunjungi oleh penggantinya, G.W.W.C. van Hoëvell. Ketika warga Ohoingur menolak pungutan untuk ongkos ibadah haji isteri seorang kapitan Tual, mereka dibela oleh Residen. Setelah melewati perdebatan sengit, akhirnya Residen Ambon memutuskan untuk melepaskan Ohoingur dan sembilan kampung lainnya dari yurisdiksi Raja Tual, dan mengganti gelar kepala kampung Ohoingur dari Orangkaya menjadi Raja dengan status yang setara dengan Raja Tual.[4]

Warga Ohoingur berpendapat bahwa kemajuan dan kebebasan yang mereka dapatkan berpangkal pada gagasan Adolf Langen. Sebagai penghargaan atas jasa-jasa usahawan Jerman yang justru beragama Kristen Protestan mazhab Lutheran itu, mereka menyebut kampungnya dengan nama lain, Langgur, yang konon berasal dari kata-kata Langen Gur (Langen Sang Guru). Nama Ohoingur tetap digunakan dalam percakapan yang menggunakan Bahasa Kei, sementara nama Langgur digunakan bilamana mereka bercakap-cakap dalam bahasa lain.

Pusat Misi Katolik

 
Dua orang misionaris Belanda di atas perahu pribumi dekat dermaga Langgur.

Dari sebuah pemukiman kecil yang tidak menonjol, Langgur tumbuh pesat menjadi pusat misi Katolik di kawasan timur Hindia Belanda. Pembangunan Kapel, sekolah-sekolah, bengkel pertukangan, klinik, dermaga, asrama dan lain-lain mengubah Langgur menjadi kawasan pemukiman yang ramai menyaingi pusat pemerintahan kolonial di Tual.

Pada 22 Desember 1902, oleh ketetapan Tahta Suci Vatikan, berdiri Prefektur Apostolik Nugini Belanda (Bahasa Belanda: Apostolische Prefectuur Nederlands Nieuw-Guinea) dengan wilayah yurisdiksi meliputi Papua, Kei, Tanimbar, Aru, Seram, Banda, Ambon, Halmahera, dan pulau-pulau di sekitarnya. Wilayah misi ini dialihkan kepengurusannya kepada para misionaris Heilig Hart (Misionaris Hati Kudus).[5]

Pada 13 Februari 1903, Mathias Neyens ditunjuk menjadi prefek pertama untuk prefektur apostolik baru ini. Ia dibantu oleh Henricus Geurtjens, antropolog pertama yang meneliti bahasa dan budaya masyarakat Kei. Pada tahun itu juga mereka tiba di Kei dan menjadikan Langgur sebagai stasi utama.[6]

Pada 29 Agustus 1920, Prefektur Apostolik Nugini Belanda ditingkatkan statusnya menjadi Vikariat Apostolik yang berpusat di Langgur, dan Uskup Johannes Aerts ditunjuk sebagai vikarisnya yang pertama. Misi yang semakin berkembang tak jarang bersinggungan dengan komunitas Muslim dan Protestan yang sama pesat perkembangannya. Saingan terberat kegiatan misi ini adalah zending Protestan yang difasilitasi penuh oleh pemerintah, sementara kaum Muslim tidak menimbulkan gangguan yang berarti karena tertekan di bawah kekuasaan kolonial. Keadaan ini berubah setelah pecahnya Perang Dunia II.

Langgur pada Perang Dunia II

Jepang mendarat di Tual secara mengejutkan tatkala fajar menyingsing pada 30 Juli 1942, bersamaan waktunya dengan pendaratan yang mereka lakukan di Dobo, Larat, dan Saumlaki.[7] Menurut seorang narasumber Belanda, Asisten Residen J. Veeken, Jepang datang atas undangan orang-orang Muslim dari kampung Langiar Fer di Pulau Kei Besar. Setelah pendaratan tentara Jepang di Ambon, Pemerintah Belanda menghukum mati Wakil Raja Langiar Fer, Haji Abdul Manaf, dan seorang warganya yang bernama Abubakar, karena menolak membayar pajak. Warga Langiar Fer menjadi marah atas tindakan Pemerintah Belanda yang dinilai terlampau kejam itu, dan memutuskan untuk berlayar dengan perahu ke Ambon untuk membayar pajak kepada Jepang sekaligus meminta mereka untuk datang ke Kepulauan Kei.[8]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Lindsey, Timothy (Penyunting), Indonesia: Law and Society; Edisi ke-2; The Federation Press, Sydney, 2008.[1] hal. 126
  2. ^ Lindsey, Timothy (Penyunting), Indonesia: Law and Society; Edisi ke-2; The Federation Press, Sydney, 2008.[2] hal. 123
  3. ^ Aritonang, Jan Sihar, dan Steenbrink, Karel Adriaan, A History of Christianity in Indonesia; Koninklijke Brill NV, Leiden, 2008.[3] hal. 405
  4. ^ Aritonang, Jan Sihar, dan Steenbrink, Karel Adriaan, A History of Christianity in Indonesia; Koninklijke Brill NV, Leiden, 2008.[4] hal. 405
  5. ^ Aritonang, Jan Sihar, dan Steenbrink, Karel Adriaan, A History of Christianity in Indonesia; Koninklijke Brill NV, Leiden, 2008.[5] hal. 406
  6. ^ De Gruyter, Walter, Guides to the sources for the history of the nations: Ser. 3, North Africa, Asia and Oceania; Jil. 4; Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dari bahasa Belanda oleh J. W. Veenendaal Barth, K. G. Saur Verlag KG, München, Republik Federal Jerman, 1983.[6] hal. 409
  7. ^ Steenbrink, Karel, Catholics in Indonesia, 1808-1942: A Documented History. Jilid 2: The Spectacular Growth of a Self Confident Minority, 1903-1942; Koninklijke Brill NV, Leiden, 14 Mei 2014.[7] hal. 228-229
  8. ^ Steenbrink, Karel, Catholics in Indonesia, 1808-1942: A Documented History. Jilid 2: The Spectacular Growth of a Self Confident Minority, 1903-1942; Koninklijke Brill NV, Leiden, 14 Mei 2014.[8] hal. 229

Bacaan lebih lanjut

  • Timothy Lindsey (2008). Indonesia, Law and Society. Federation Press.
  • Jan Sihar Aritonang, Karel Adriaan Steenbrink (2008). A History of Christianity in Indonesia. BRILL.
  • Karel A. Steenbrink (2002). Catholics in Indonesia, 1808-1900: A Documented History. KITLV Press.
  • Paschalis Maria Laksono (2002). The Common Ground in the Kei Islands: Eggs from One Fish and One Bird. Galangpress Group.

Pranala luar