Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (1945)
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi adalah sebuah partai politik yang berdiri pada tanggal 7 November 1945 di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Partai ini didirikan melalui sebuah Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945, dengan tujuan sebagai partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan sebagai partai penyatu umat Islam dalam bidang politik.
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia | |
---|---|
Ketua umum | Hasyim Asyari (ke-1), Sukiman, Mohammad Natsir |
Dibentuk | 1945 |
Dibubarkan | 1960 |
Kantor pusat | Jakarta |
Ideologi | Islam, Pan-Islamisme |
Masyumi pada akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960 dikarenakan tokoh-tokohnya dicurigai terlibat dalam gerakan pemberontakan dari dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Melalui Badan Koordinasi Amal Muslimin (BKAM) para pemimpin Islam tidak menyerah begitu saja, pada sidangnya tanggal 7 Mei 1967 dibentuklah panitia 7 (tujuh) yang diketuai oleh tokoh Muhammadiyah yaitu H. Faqih Usman, setelah melalui beberapa kali pertemuan dan perjuangan yang berat, akhirnya pemerintah memberikan izin untuk mendirikan sebuah parpol baru, yaitu Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia), untuk menampung aspirasi umat Islam, khususnya bekas konstituen Masyumi, dengan syarat mantan-mantan pemimpin Masyumi tidak boleh menduduki jabatan yang penting dalam tubuh partai Parmusi.
Parmusi disahkan berdirinya melalui Keputusan Presiden No. 70 tanggal 20 Februari 1968, kemudian diangkatlah sebagai Ketua Umum Djarnawi Hadikusumo dan Sekretaris Umum Drs.Lukman Harun, yang keduanya adalah aktivis Muhammadiyah.
Organisasi Pendiri
Masyumi pada awalnya didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI (Madjlisul Islamil A'laa Indonesia) karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian, Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII). Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh maupun tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam Putera (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi.
Masyumi pada zaman pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi dari empat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.[1] Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian Abadi pada tahun 1947.
Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi. Tokoh NU, KH Hasyim Asy'arie, terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi pada saat itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam kepengurusan Masyumi dan karenanya keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari. Nahdlatul Ulama kemudian ke luar dari Masyumi melalui surat keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 April 1952 akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja.
Hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang-surut secara politis dan sempat merenggang pada Pemilu 1955. Muhammadiyah pun melepaskan keanggotaan istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun 1960.
Pemilu 1955
Hasil penghitungan suara pada Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu.[2] Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.
Berikut Hasil Pemilu 1955:
- Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8,4 juta suara (22,3%)
- Masyumi - 7,9 juta suara (20,9%)
- Nahdlatul Ulama - 6,9 juta suara (18,4%)
- Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6,1 juta suara (16%)
Melalui Pemilu 1955 ini Masyumi mendapatkan 57 kursi di Parlemen.
Tokoh
Di antara tokoh-tokoh Masyumi yang dikenal adalah:
- Hasyim Asy'arie
- Sukiman
- Wahid Hasjim, putra KH Hasyim Asy'arie.
- Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), wakil Masyumi dalam Konstituante
- Muhammad Natsir, Menteri Penerangan dalam beberapa kabinet pada masa revolusi, Perdana Menteri Pertama NKRI, terkenal dengan Mosi Integral Natsir yang mengubah Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
- Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran dalam beberapa kabinet pada masa revolusi, Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Gubernur Bank Indonesia Pertama, terkenal dengan kebijakan Gunting Sjafrudin
- Mr. Mohammad Roem, Diplomat ulung yang dikenal lewat inisiatifnya dalam perundingan yang kemudian dikenal sebagai Perundingan Roem - Royen
- Muhammad Isa Anshari, Ketua Partai Masyumi di Parlemen yang dikenal lantang dan tegas dalam memegang teguh prinsip perjuangan, termasuk saat polemik tentang dasar negara berlangsung di Majelis Konstituante sebelum akhirnya dibubarkan dengan Dekret Presiden tanggal 5 Juli 1959.
- Kasman Singodimedjo, Daidan PETA daerah Jakarta, yang menjamin keamanan untuk diselenggarakannya Proklamasi Kemerdekaan NKRI dan Rapat Umum IKADA.
- Dr. Anwar Harjono, merupakan juru bicara terakhir Partai Masyumi yang dibekukan oleh Pemerintah Orde Lama, sehingga lahirlah Keluarga Besar Bulan Bintang dan pada masa Orde Baru mendirikan Organisasi Dakwah, yakni Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang pada masa Reformasi menjadi inspirator bagi lahirnya kekuatan politik baru penerus perjuangan Masyumi, yakni Partai Bulan Bintang (PBB).