Rahmah El Yunusiyah

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan
Revisi sejak 27 Desember 2017 14.57 oleh Rahmatdenas (bicara | kontrib) (←Suntingan Hermanto Kusnendar (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Rahmatdenas)

Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah (29 Desember 1900 – 26 Februari 1969) adalah seorang reformator pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri Diniyah Putri, perguruan yang saat ini meliputi taman kanak-kanak hingga sekolah tinggi. Ia memelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padangpanjang dan menjamin seluruh perbekalan dan membantu pengadaan alat senjata mereka sewaktu Revolusi Nasional Indonesia.

Rahmah El Yunusiyah
Berkas:Rahmah El Yunusiyyah.jpg
Lahir(1900-12-29)29 Desember 1900
Belanda Nagari Bukit Surungan, Padangpanjang, Hindia Belanda
Meninggal26 Februari 1969(1969-02-26) (umur 68)
Indonesia Padangpanjang, Sumatera Barat, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Dikenal atasPendiri Diniyah Putri
Partai politikMasyumi
Orang tuaMuhammad Yunus al-Khalidiyah (ayah)
Rafia (ibu)
KerabatZainuddin Labay El Yunusy (abang)
Isnaniah Saleh (sepupu)

Rahmah sempat belajar di Diniyah School yang dipimpin abangnya, Zainuddin Labay El Yunusy. Tidak puas dengan sistem koedukasi yang mencampurkan pelajar putra dan putri, Rahmah secara inisiatif menemui beberapa ulama Minangkabau untuk mendalami agama, hal tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad ke-20 di Minangkabau. Ia mempelajari berbagai ilmu praktis secara privat yang kelak ia ajarkan kepada murid-muridnya. Dengan dukungan abangnya, ia merintis Diniyah Putri pada 1 November 1923 yang tercatat sebagai sekolah agama Islam perempuan pertama di Indonesia.

Sewaktu pendudukan Jepang, Rahmah memimpin Hahanokai di Padangpanjang untuk membantu perwira Giyugun. Pada masa perang kemerdekaan, ia memelopori berdirinya TKR di Padangpanjang dan mengerahkan muridnya ikut serta melawan penjajah walaupun dengan kesanggupan mereka dalam menyediakan makanan dan obat-obatan. Ia ditangkap oleh Belanda pada 7 Januari 1949 dan ditahan. Dalam pemilu 1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR mewakili Masyumi, tetapi tidak pernah lagi menghadiri sidang setelah ikut bergerilya mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Keberadaan Diniyah Putri kelak menginspirasi Universitas Al-Azhar membuka Kulliyatul Lil Banat, fakultas yang dikhususkan untuk perempuan. Dari Universitas Al-Azhar, Rahmah mendapat gelar kehormatan "Syekhah"—yang belum pernah diberikan sebelumnya—sewaktu ia berkunjung ke Mesir pada 1957, setelah dua tahun sebelumnya Imam Besar Al-Azhar Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyah Putri. Di Indonesia, pemerintah menganugerahkannya tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana secara anumerta pada 13 Agustus 2013.

Kehidupan awal dan keluarga

Rahmah El Yunusiyah lahir pada 29 Desember 1900 [Kalender Hijriyah: 1 Rajab 1319] di Nagari Bukit Surungan, Padangpanjang.[1] Ia adalah anak bungsu dari pasangan Muhammad Yunus al-Khalidiyah dan Rafia, memiliki dua kakak perempuan dan dua kakak laki-laki.[2][a] Keluarga itu adalah penganut agama yang taat. Yunus adalah seorang ulama yang pernah menuntut ilmu di Mekkah selama empat tahun. Ia bekerja sebagai qadi di Pandai Sikek, lima kilometer dari Padangpanjang.[3] Istri Yunus, Rafia memiliki hubungan darah dengan Haji Miskin, ulama pemimpin Perang Padri pada awal abad ke-19.[4] Rafia memiliki saudara seorang bidan bernama Kudi Urai, yang membantunya saat melahirkan Rahmah.[5] Rahmah memiliki sepupu dari keluarga ibu, Isnaniah Saleh, yang kelak meneruskan kepemimpinannya di Diniyah Putri.[6]

Dalam usia enam puluh tahun, Yunus wafat meninggalkan Rahmah yang masih berusia enam tahun. Keluarganya memilihkan salah seorang murid Yunus sebagai guru mengaji Rahmah. Dua abangnya yang pernah belajar di Sekolah Desa mengajarkan Rahmah baca tulis Arab dan Latin. Di bawah asuhan ibu dan kakak-kakaknya, Rahmah tumbuh sebagai anak yang keras hati dan memiliki kemauan kuat. Lewat kemampuannya membaca, ia mempelajari buku-buku yang dimiliki dan ditulis abangnya, Zainuddin Labay El Yunusy.[7] Menginjak usia 10 tahun, Rahmah sudah gemar mendengarkan kajian yang diadakan di beberapa surau. Ia mengambil perbandingan dari kajian-kajian yang diikutinya, berpindah-pindah ke berbagai surau yang ada di Padangpanjang.[3]

Karena jarang bergaul dengan teman sebayanya, Rahmah remaja awalnya adalah gadis pendiam dan pemalu. Ketiadaan ayah membuat Rahmah banyak memikirkan dan menyelesaikan sendiri urusannya.[8] Ia menjahit bajunya dan menyenangi berbagai macam kerajinan tangan. Mengikuti tradisi adat, Rahmah dalam usia 16 tahun dinikahkan oleh keluarganya dengan Bahauddin Lathif, seorang ulama dari Sumpur. Pernikahan mereka berlangsung pada 15 Mei 1916 dan berakhir pada 22 Juni 1922 tanpa meninggalkan anak.[9]

Pendidikan

Berkas:Zainuddin Labay El Yunusy.jpg
Zainuddin Labay El Yunusy, pendiri Diniyah School adalah kakak dan guru bagi Rahmah

Seiring arus pembaruan Islam yang dibawa oleh para ulama penuntut ilmu di Timur Tengah pada awal abad ke-20, sejumlah sekolah agama berdiri di berbagai daerah Minangkabu menggantikan sistem pendidikan tradisional yang berbasis surau. Pada 10 Oktober 1915, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Islam Diniyah School yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum dan dijalankan dengan cara pendidikan modern, menggunakan alat peraga dan memiliki perpustakaan.[10] Hal yang baru bagi sekolah agama saat itu, sekolah ini menerima murid perempuan di kelas yang sama dengan murid laki-laki.[11] Rahmah ikut mendaftar, diterima duduk di bangku kelas tiga (setara tsanawiyah) oleh pihak sekolah menyesuaikan kemampuannya.

Selain menghadiri kelas pada pagi hari di Diniyah School, Rahmah memimpin kelompok belajar di luar kelas pada sore hari. Ia melihat, dengan bercampurnya murid laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama, perempuan tidak bebas dalam mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam belajar.[12] Ia mengamati banyak masalah perempuan terutama dalam perspektif fikih tidak dijelaskan secara rinci oleh guru yang notabene laki-laki, sementara murid perempuan enggan bertanya.[13] Bersama dua temannya Sitti Nansiah dan Djawana Basyir, Rahmah mempeljari fikih lebih dalam kepada Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi. Mereka tercatat sebagai murid-murid perempuan pertama yang ikut belajar di Surau Jembatan Besi, sebagaimana dicatat oleh Hamka.[14][3]

Saat bersekolah di Diniyah School, Rahmah bergabung dengan Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS). Ketika duduk di bangku kelas enam, Rahmah merundingkan gagasannya untuk mendirikan sekolah perempuan sendiri kepada teman-teman perempuannya di PMDS.[12] Ia menginginkan agar perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kesungguhannya untuk mewujudkan gagasannya ia sampaikan kepada abangnya, "Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika kakanda bisa, kenapakah saya, adiknya, tidak bisa. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa."[15][16]

Rahmah kelak meluaskan penguasaannya dalam beberapa ilmu terapan agar dapat diajarkan pada murid-muridnya. Melalui keahlian yang dimiliki oleh mak tuonya, Rahmah belajar ilmu kebidanan. Ia sempat mengikuti kursus kebidanan di beberapa rumah sakit kepada beberapa orang dokter. Di RS Kayutaman, Rahmah belajar kepada Sofyan Rasad dan mendapatkan izin menjalani praktik.[17] Secara privat, ia mempelajari olahraga dan senam dengan seorang guru asal Belanda yang mengajar di Guguk Malintang. Pergaulan Rahmah sebagai pimpinan sekolah mempertemukannya dengan para guru yang mengajar di Padangpanjang. Ia berkenalan dengan Djusair, Rosminanturi Gaban, dan Sitti Akmar[b] yang membawanya untuk mendalami ilmu tentang memasak, pelajaran-pelajaran tentang kewanitaan, menjahit, dan berenang.[17] Selain itu, ia belajar bertenun tradisional menggunakan alat tenun bukan mesin yang pada masa itu banyak dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Pengalamannya bertenun ia dapatkan dari pusat pertenunan rakyat seperti Pandai Sikek dan Silungkang. Berbagai ilmu lainnya seperti ilmu hayat dan ilmu alam ia pelajari sendiri dari buku. Penguasaan Rahmah dalam berbagai ilmu ini kelak memengaruhi metode pendidikan yang ia terapkan di Diniyah Putri.[18][3][19][20]

Diniyah Putri

Pendirian dan perkembangan

Pada 1 November 1923, Rahmah membuka Madrasah Diniyah Li al-Banat sebagai bagian dari Diniyah School yang dikhususkan untuk murid-murid putri. Rahmah mengatur kegiatan belajar mengajar di masjid yang terletak berseberangan dengan rumah kediamannya di Jalan Lubuk Mata Kucing (sekarang Jalan Abdul Hamid Hakim), Pasar Usang, Padangpanjang. Dua teman Rahmah, Sitti Nansiah dan Djawana Basyir termasuk guru terawal, sementara Rahmah merangkap sebagai guru dan pimpinan.[21] Mulanya terdapat 71 orang murid yang kebanyakan adalah ibu-ibu muda.[12] Pelajaran diberikan selama 2,5 jam meliputi dasar pengetahuan agama, gramatika bahasa Arab, dan ilmu alat.[22] Murid-murid duduk di lantai mengelilingi guru secara berkelompok. Guru-guru memakai buku-buku berbahasa Arab dan menerangkan dengan bahasa Indonesia, sementara ilmu pengetahuan umum belum diajarkan pada tahun pertama. Oleh karena itu, Rahmah mengerahkan murid-muridnya bergabung dengan Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS) untuk mendapatkan berbagai pengetahuan umum dan mengikuti berbagai kegiatan seperti kepanduan, organisasi, dan koperasi.[23] Dengan hadirnya bagian untuk putri, Diniyah School peninggalan Zainuddin berangsur-angsur hanya dihadiri oleh murid-murid putra, dan Madrasah Diniyah Li al-Banat yang didirikan Rahmah lebih dikenal sebagai Diniyah Putri.[24][25][26]

Ketika Zainuddin meninggal secara mendadak pada 10 Juli 1924,[27] banyak orang menyangka bahwa usaha yang baru dirintis Rahmah akan hilang di tengah jalan, sebagaimana dicatat oleh Isnaniah Saleh.[28] Dalam suatu rapat pengurus Diniyah Putri yang diadakan oleh Rahmah beberapa hari setelah Zainuddin meninggal, majelis guru sepakat untuk meningkatkan sistem pengajaran Diniyah Putri lengkap dengan sarana.[29] Pada 1925, Rahmah menyewa rumah bertingkat dua di Pasar Usang untuk dijadikan ruangan kelas dan asrama Diniyah Putri. Ia mengupayakan sendiri mencari perlengkapan seperti bangku, meja, dan papan tulis. Sedikitnya 60 orang murid menempati asrama pada tahun pertama.[20] Selain Diniyah Putri, Rahmah membuka program pemberantasan buta huruf untuk kalangan ibu-ibu yang lebih tua pada 1926 setelah melihat kebanyakan mereka tak sempat mengenyam pendidikan formal.[12][30][12][31] Kegiatan itu diikuti oleh 125 orang ibu-ibu pada mulanya, tetapi terpaksa dihentikan setelah Diniyah Putri binasa oleh gempa bumi sehingga sekolah itu menuntut perhatian sepenuhnya dari Rahmah.[32]

 
Pada 28 Juni 1926, gempa bumi berkekuatan 7,6 SR mengguncang Padangpanjang, membuat kota itu ditinggalkan

Seiring banyaknya murid Diniyah Putri, Rahmah mengatur pembagian waktu belajar remaja-remaja perempuan pada sore hari dan ibu-ibu rumah tangga pada malam hari.[30] Pada awal 1926, karena kapasitas asrama yang disediakan di tingkat dua gedung tidak mencukupi, pembangunan gedung baru mulai dilakukan seacara gotong royong.[21] Dalam buku Peringatan 55 Tahun Diniyah Putri dicatat, para murid Diniyah Putri bersama-sama pelajar dari Diniyah School dan Thawalib mengangkat batu kali dari sungai yang berjarak 2,5 km dari sekolah mereka untuk membangun pondasi gedung. Namun, gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter[33] mengguncang Padangpanjang pada 28 Juni 1926, meruntuhkan gedung lama beserta pondasi gedung baru yang dibangun. Nanisah, salah seorang guru, wafat karena tertimpa runtuhan bangunan.[12][25]

Gempa bumi mengakibatkan kegaiatan belajar-mengajar Diniyah Putri berhenti. Gedung dan peralatan mengajar hancur. Bersama separuh penduduk Padangpanjang, seluruh murid Diniyah Putri mengungsi keluar kota.[34][28] Ia menyaksikan orang-orang meninggalkan Padangpanjang "seolah-olah sekumpulan kafilah di gurun Sahara, berbondong-bondong membawa bebannya masing-masing."[35] 40 hari setelah gempa bumi, Rahmah beserta para guru mendirikan kelas darurat, dibantu oleh murid-murid Thawalib kembali secara gotong royong. Kelas dibangun di atas sebidang tanah wakaf dari ibunya, terbuat dari bambu dengan atap daun rumbia berlantaikan tanah. Sambil melanjutkan kegiatan belajar-mengajar di kelas darurat, para guru beserta para wali murid membentuk komite untuk mencari dana pembangunan kembali gedung pembelajaran Diniyah Putri.[36] Rahmah memimpin penggalangan dana ke dalam dan luar Minangkabau. Dari hasil penggalangan dana, pembangunan gedung permanen dapat dimulai pada Desember 1927 dan ditempati pada Oktober 1928. Gedung baru terdiri dari dua tingkat dan merupakan gedung utama yang masih berdiri sampai saat ini.[25]

Diniyah Putri memiliki sedikitnya 200 murid pada 1928. Jumlah itu, sebagaimana dicatat oleh Deliar Noer, bertambah menjadi 300 pada 1933 dan 400 pada 1935.[16] Seorang lulusan Diniyah Putri Aishah Ghani menyebut kehidupan Diniyah Putri sangat terkungkung dan diawasi secara ketat. "Mereka benar-benar mempersiapkan murid-murid perempuan menjadi perempuan, dengan mengajarkan menenun, ilmu kerumahtanggan, dan membuat murid-murid mengetahui segala sesuatu dan memiliki rasa tanggung jawab."[37] Pada 1935, Diniyah Putri membuka cabangnya di Jakarta yang membina tiga sekolah dengan bantuan beberapa pedagang asal Minangkabau dan lulusan lembaga pendidikan agama di Padangpanjang. Seiring meningkatnya kebutuhan tenaga pengajar, Rahmah membuka Kulliyyatul Mualimat el Islamiyyah (KMI) pada 1 Februari 1937 sebagai sekolah guru untuk putri dengan lama pendidikan tiga tahun.[38] Sebelum pendudukan Jepang, Diniyah Putri telah memiliki 500 murid pada 1941. Saat pendudukan Jepang, Diniyah Putri di Padangpanjang sempat menjadi tempat perawatan korban kecelakaan, sedangkan cabang Diniyah Putri di Jakarta ditutup.[32]

Pada 1947, dalam rangka menyesuaikan pembagian jenjang pendidikan yang ada di Indonesia, Diniyah Putri dibagi ke dalam Diniyah Rendah dan Diniyah Menengah Pertama. Diniyah Rendah setara SD dengan lama pendidikan tujuh tahun, sedangkan Diniyah Menengah Pertama setara SLTP dengan lama pendidikan berdasarkan peruntukkannya. DMP-B dengan lama pendidikan empat tahun diperuntukkan bagi lulusan SD. Lulusannya disetarakan dengan SLTP dan dipersiapkan untuk melanjutkan ke KMI atau perguruan lanjutan lainnya. Adapaun DMP-C dengan lama pendidikan dua tahun diperuntukan bagi tamatan SLTP yang tidak sempat mendalami agama dan bahasa Arab pada jenjang pendidikan sebelumnya. Lulusan DMP-C dapat melanjutkan pendidikan ke KMI sebagaimana lulusan DMP-B.[39][38]

Kepemimpinan

Lewat usahanya mendirikan Diniyah Putri dengan seluruh tenaga pengajar dari perempuan, Rahmah ingin memperlihatkan bahwa perempuan yang selama ini dipandang lemah dan rendah derajatnya dapat berbuat sebagaimana laki-laki.[19] Rahmah menolak bantuan tenaga laki-laki untuk ikut menggalang dana pembangunan gedung yang hancur pasca-gempa 1927, mengatakan bahwa "buat sementara golongan putri akan mencoba melayarkan sendiri pencalangnya sampai ke tanah tepi" sampai "tenaga putri tidak sanggup lagi menyelamatkan pencalang itu".[40] Hamka mencatat, perwakilan Muhammadiyah di Padangpanjang pernah datang kepada Rahmah pada 1928, menganjurkan agar pengelolaan Diniyah Putri diserahkan kepada Muhammadiyah. Rahmah menolak tawaran tersebut, mengungkapkan bahwa dirinya “tetap percaya kepada kekuatan yang diberikan Allah kepada dirinya sendiri”.[41]

Kepemimpinannya di Diniyah Putri membuatnya sering berpergian ke luar daerah. Dalam rangka penggalangan dana, Rahmah melakukan perjalanan ke sejumlah daerah Minangkabau dan luar Minangkabau pada pengujung 1927.[19][25] Dalam kunjungannya, Rahmah menemui beberapa tokoh pemimpin Muslim, menyampaikan cita-cita dan program Diniyah Putri. Di tiap-tiap daerah yang dikunjunginya, Rahmah berpidato di mimbar untuk menggairahkan umat Muslim berkorban bagi pembangunan Islam, "terutama untuk putri-putri Islam mempelajari agama Islam yang mereka cintai". Kegiatannya ini telah membentuk dirinya sebagai orator sekaligus meluaskan keterkenalan Diniyah Putri di Sumatera.[30] Dalam rangka pengembangan kurikulum, ia mengadakan studi banding melalui kunjungan ke sekolah-sekolah agama di Sumatera dan Jawa pada 1931.[42] Selain itu, ia banyak mengirim siswa-siswa tamatan Diniyah Putri untuk mengajar di berbagai daerah hingga Semenanjung Malaya. Dalam dua kali perjalanannya ke Semenanjung Malaya pada 1933 dan 1935, ia tercatat mengunjungi Pinang, Terengganu, Johor, Negeri Sembilan, Selangor, Perak, Pahang, Kelantan, dan Kedah. Di Sumatera, ia mengunjungi Kesultanan Siak menemui Sultan Siak Sri Indrapura. Dalam berbagai kunjungannya, ia tampil memperkenalkan Diniyah Putri dan menghimpun dana kelanjutan pembangunan sekolah.[43]

Selama pemerintahan kolonial Belanda, Rahmah menghindari aktivitas di jalur politik untuk melindungi kelangsungan sekolah yang dipimpinnya. Ia memilih tidak bekerja sama dengan pemerintah jajahan.[44][45] Ketika pemerintah kolonial Belanda melalui Van Straten, sekretaris atau controleur Padangpanjang menawarkan kepada Rahmah agar Diniyah Putri didaftarkan sebagai lembaga pendidikan terdaftar sehingga dapat menerima subsidi dari pemerintah, Rahmah menolak. Ia mengungkapkan bahwa Diniyah Putri adalah sekolah kepunyaan umat, dibiayai oleh umat, dan tidak memerlukan perlindungan selain perlindungan Allah. Menurutnya, subsidi dari pemerintah akan mengakibatkan keleluasaan pemerintah dalam memengaruhi pengelolaan Diniyah Putri.

 
Rasuna Said, lulusan Diniyah Putri yang mengajar untuk almamaternya.

Ketika kegiatan politik merebak di lembaga-lembaga pendidikan Minangkabau dengan berdirinya Partai Persatuan Muslim Indonesia (Permi) pada 1930, seorang guru sekaligus lulusan Diniyah Putri, Rasuna Said mulai mengemukakan pandangan politiknya melalui pelajaran yang ia berikan di dalam kelas. Ia memandang murid-murid perlu mendapatkan wawasan politik sebagai upaya keluar dari belenggu penjajahan. Rahmah menolak usulan Rasuna, berpendapat bahwa dasar Islam yang murid-murid terima telah menjadi dasar bagi upaya-upaya mereka dalam kegiatan politik. Menurut Rahmah, masalah politik dengan sendirinya akan dapat diketahui oleh para pelajar pada saat mereka terlibat di dalamnya setelah mereka tamat belajar.[46] Ia menarik pandangannya dari pemimpin politik di Minangkabau saat itu yang memperoleh pelajaran agama di lembaga pendidikan yang mereka ikuti, meskipun tidak mendapat pelajaran khusus tentang politik.[47] Namun, kepopuleran Rasuna Said dalam kiprah politiknya saat itu telah menarik sebagian dari murid-murid Diniyah Putri dalam kegiatan politik. Seiring itu, Rahmah melihat bahwa beberapa peraturan yang ia keluarkan dalam rangka pelaksanaan kewajiban agama di sekolahnya, seperti pelaksanaan salat, sering diabaikan oleh para siswa yang aktif dalam bidang perpolitikan. Ketika ditemui Rahmah, Rasuna menyatakan tetap dengan pendiriannya, memilih menarik diri dan pindah ke Padang.[48][49][45][50]

Pada 1931, Muchtar Lutfhi pernah mendekati Rahmah, mengajak Diniyah Putri bernaung di bawah Permi.[51] Sebelumnya, alumni Universitas Cairo Mahmud Yunus melihat, modernisasi sekolah agama berkembang pesat tetapi tidak ada keseragaman program atau buku standar yang digunakan. Ia membawakan gagasannya untuk menggabungkan seluruh sekolah dan perguruan agama ke dalam suatu wadah tunggal yang memiliki kekuatan di bawah Permi.[52] Rahmah menolak Diniyah Putri bergabung. Menurutnya, lebih baik memelihara satu saja tapi terawat daripada bergabung tapi porak poranda. "Jika terjadi sesuatu dengan wadah tersebut, tidak perlu pula seluruh sekolah yang dinaunginya bubar." Ketika Permi membentuk Dewan Pengajaran Permi untuk menyatukan pelajaran sekolah-sekolah Islam, Rahmah membuat wadah sendiri bagi pengajar Diniyah Putri bernama Perserikatan Guru-Guru Agama Putri Islam (PGAPI) pada 1933.[53]

Kiprah Rahmah di jalur pendidikan membuatnya mendapatkan perhatian luas. Ketika pemerintah kolonial berencana memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar[54] yang akan mengakibatkan sekolah tak berizin dari pemerintah ditutup, Rahmah memimpin panita penolakan di Padangpanjang pada 1933. Namun, sewaktu memimpin Rapat Umum Kaum Ibu Padangpanjang, ia dituduh membicarakan politik sehingga mengakibatkannya didenda 100 gulden oleh pengadilan. Pada tahun yang sama, Belanda melalui Politieke Inlichtingen Dienst menggeledah Diniyah Putri. Tiga orang guru Diniyah Putri: Kanin RAS, Chasjiah AR, dan Siti Adam Addarkawi dikenakan larangan mengajar.[39][55] Pada 1935, ia diundang mengikuti Kongres Perempuan Indonesia di Batavia sebagai utusan Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS). Dalam kongres, ia memperjuangkan penggunaan ciri khas budaya Islam ke dalam kebudayaan Indonesia seperti penggunaan kerudung dalam busana perempuan.[56] Pada 1938, ia hadir dalam rapat umum di Bukittinggi untuk menentang Ordonansi Kawin Bercatat. Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh di Kotaraja, Aceh. Ia dipandang oleh ulama-ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di Sumatera.

Pendudukan Jepang

Kedatangan tentara Jepang di Minangkabau pada Maret 1942 membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan dan mengurangi kualitas hidup penduduk non-Jepang. Selama pendudukan Jepang, Rahmah ikut dalam berbagai kegiatan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bergerak di bidang sosial. Dalam situasi perang, Rahmah bersama para anggota Anggota Daerah Ibu mengumpulkan bantuan makanan dan pakaian bagi penduduk yang kekurangan. Ia memotivasi penduduk yang masih bisa makan untuk menyisakan beras genggam setiap kali memasak untuk dibagikan bagi penduduk yang kekurangan makanan. Kepada murid-muridnya, ia menginstruksikan bahwa seluruh taplak meja dan kain pintu yang ada pada Diniyah Putri dijadikan pakaian untuk penduduk.[57] Selain itu, Rahmah bersama para anggota ADI menuntut pemerintah Jepang untuk menutup rumah bordil dan menentang pengerahan perempuan Indonesia sebagai wanita penghibur. Tuntutan ini dipenuhi oleh pemerintah Jepang dan tempat prostitusi di kota-kota Sumatera Barat berhasil ditutup.[58]

Dalam politik, Rahmah bergabung dengan Majelis Islam Tinggi Minangkabau yang berkedudukan di Bukittinggi. Ia menjadi Ketua Hahanokai di Padangpanjang untuk membantu perjuangan perwira yang terhimpun dalam Giyugun. Seiring memuncaknya ketegangan di Padangpanjang, Rahmah membawa sekitar 100 orang muridnya mengungsi untuk menyelamatkan mereka dari serbuan tentara Jepang. Selama pengungsian, ia menaggung sendiri semua keperluan murid-muridnya.[49] Ketika terjadi kecelakaan kereta api pada 23 Desember 1944 dan 11 Maret 1945 di Padangpanjang, Rahmah menjadikan bangunan sekolah Diniyah Putri sebagai tempat perawatan korban kecelakaan.[59] Hal ini membuat Diniyah Putri mendapatkan piagam penghargaan dari pemerintah Jepang. Menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang membentuk Cuo Sangi In yang diketuai oleh Muhammad Sjafei. Rahmah duduk sebagai salah seorang anggota peninjau Cuo Sangi In.[58]

Revolusi Nasional Indonesia

Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Setelah mendapatkan berita tentang proklamasi kemerdekaan langsung dari Ketua Cuo Sangi In Muhammad Sjafei, ia segera menggerek bendera Merah Putih di halaman perguruan Diniyah Putri. Ia tercatat sebagai orang yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat.[44] Berita bahwa bendera Merah Putih berkibar di sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok kota dan daerah Batipuh.[58] Ketika Komite Nasional Indonesia terbentuk sebagai hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945, Soekarno yang melihat kiprah Rahmah mengangkatnya sebagai salah seorang anggota. Namun, ketika KNPI mengadakan sidang di Malang, Rahmah tidak hadir karena tak bisa meninggalkan ibunya yang sedang sakit di Padangpanjang.[60]

Pada 5 Oktober 1945, Soekarno mengeluarkan dekret pembentukan Tentara Keamanan Rakyat. Pada 12 Oktober 1945, Rahmah memelopori berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk Padangpanjang dan sekitarnya. Ia memanggil dan mengumpulkan bekas anggota Giyugun, mengusahakan logistik dan pembelian beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang dimilikinya. Bersama dengan bekas anggota Hahanokai, Rahmah mengatur dapur umum di kompleks perguran Diniyah Putri untuk kebutuhan TKR. Anggota-anggota TKR ini menjadi tentara inti dari Batalyon Merapi di bawah pimpinan Anas Karim.[61][c]

Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda kedua, Belanda menangkap sejumlah pemimpin-pemimpin Indonesia di Padangpanjang. Rahmah meninggalkan kota dan bersembunyi di lereng Gunung Singgalang. Namun, ia berhasil ditangkap Belanda pada 7 Januari 1949, membuatnya mendekam di tahanan wanita di Padang Panjang.[59] Setelah tujuh hari, ia dibawa ke Padang dan ditahan di satu ruangan bekas SPG Negeri Putri Padang. Ia melewatkan tiga bulan di Padang sebagai tahanan rumah (huis arrest), sebelum diringankan sebagai tahanan kota (stad arrest) selama lima bulan berikutnya.[62]

Pasca-revolusi

Pada Oktober 1949, Rahmah meninggalkan Kota Padang untuk memenuhi undangan Kongres Pendidikan II Indonesia di Yogyakarta. Di kota yang sama, ia hadir dalam Kongres Muslimin Indonesia yang diselenggarakan pada 20–25 Desember 1949. Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Rahmah kembali ke Padangpanjang pada Januari 1950 untuk memimpin Diniyah Putri setelah tiga belas bulan ditinggalnya.[63] Rahmah bergabung dengan partai Islam Masyumi. Dalam pemilu 1955, ia terpilih sebagai anggota DPR mewakili Sumatera Tengah. Melalui DPR, ia membawa aspirasinya tentang pendidikan dan pelajaran Islam.[64] Pada 1955, Imam Besar Al-Azhar Abdurrahman Taj berkunjung ke Indonesia dan atas ajakan Muhammad Natsir, melihat keberadaan Diniyah Putri. Imam mengungkapkan kekagumannya pada Diniyah Putri, sementara Al-Azhar sendiri saat itu belum memiliki bagian khusus perempuan.[65]

Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke Timur Tengah. Usai menunaikan ibadah haji, ia mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan "Syekhah" dari Universitas Al-Azhar; kali pertama Al-Azhar memberikan gelar kehormatan syekh pada perempuan.[66] Hamka mencatat, Diniyah Putri memengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka Kulliyatul Lil Banat, bagian Universitas Al-Azhar yang dikhususkan untuk putri pada 1962[41][67] Sebelum kepulangannya ke Indonesia, Rahmah sempat mengunjungi Suriah, Lebanon, Yordania, dan Irak.[68][69]

Sekembalinya dari kunjungan ke berbagai negara di Timur Tengah, Rahmah merasa bahwa Soekarno telah terbawa arus kuat PKI. Ia merasa tidak nyaman berjuang di Jakarta, memilih kembali pulang ke Padangpanjang.[70] Rahmah melihat bahwa mencurahkan perhatiannya untuk memimpin perguruannya akan lebih bermanfaat daripada duduk di kursi parlemen sebagai anggota DPR yang sudah dikuasai komunis.[71] Ketika terjadi pergolakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Tengah akhir 1958 akibat ketidaksetujuan atas sepak terjang Soekarno, Rahmah ikut bergerilya di tengah rimba bersama tokoh-tokoh PRRI dan rakyat yang mendukungnya. Dengan beberapa anggota keluarganya, ia berpindah-pindah dari satu desa ke satu desa sampai ke hutan-hutan yang cukup jauh dari pemukiman penduduk. Pada Agustus 1961, satu rombongan yang terdiri dari beberapa anggota keluarga dan pemuda berangkat menjemput Rahmah di tempat terakhir pengembaraannya, melalui jalan darat yang rusak dan menyeberangi beberapa sungai.[71]

Meninggal

Pada 1961, Rahmah kembali memimpin perguruannya setelah tiga tahun ditinggalkannya pasca-pergolakan PRRI.[71] Pada 1964, Rahmah menjalani operasi tumor payudara di RS Pirngadi, Medan.[72] Pada Desember 1967, Rahmah berkunjung ke Jakarta untuk terakhir dalam rangka pembentukan Dewan Kurator Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Pada Juli 1968, dengan kondisi fisik yang semakin lemah, Rahmah berangkat menuju Kelantan ditemani keponakannya Isnaniah Saleh. Rahmah menemui alumni Diniyah Putri di beberapa negara bagian Malaysia didampingi Datin Sakinah, alumni Diniyyah Putri asal Perak yang tinggal di Kelantan bersama suaminya, Datok Mohammad Asri yang merupakan Menteri Besar Kelantan. Mereka menyinggahi Penang, Perak, Kuala Terengganu, dan Kuala Lumpur.[71] Namun, dalam kunjungannya yang ketiga dan terakhir ke Malaysia itu, ia tidak dapat bicara banyak karena kesehatannya yang menurun.[73]

Rahmah meninggal mendadak dalam usia 71 tahun dalam keadaan berwudu hendak salat Magrib pada 26 Februari 1969. Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga yang terletak di samping rumahnya. Sehari sebelum ia wafat, Rahmah sempat menemui Gubernur Sumatra Barat saat itu, Harun Zain, mengharapkan pemerintah memperhatikan sekolahnya. Dalam pertemuannya dengan Harun Zain, ia mengatakan, "Pak Gubernur, napas ini sudah hampir habis, rasanya sudah sampai dileher. Tolonglah Pak Gubernur dilihat-lihat dan diperhatikan Sekolah Diniyah Putri."[70] Setelah Rahmah wafat, kepimpinan Diniyah Putri dilanjutkan oleh Isnaniah Saleh sampai 1990. Saat ini, Diniyah Putri dipimpin oleh Fauziah Fauzan sejak September 2006 dan telah memiliki jenjang pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi.

Dalam bukunya Islam dan Adat Minangkabau, Hamka menyinggung kiprah Rahmah di dunia pendidikan dan pembaruan Islam di Minangkabau. Dalam sejarah Universitas Al Azhar, baru Rahmah seoranglah perempuan yang diberi gelar Syekhah. Dalam sejumlah esainya, Azyumardi Azra menyebut perkembangan Islam modern dan pergerakan Muslimah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari nama Rahmah sebagai perintis.

Pandangan

Berkas:Rahmah el Yunusiyah.jpg
Rahmah El Yunusiyah

Rahmah memperoleh pendidikan atas inisiatifnya sendiri, pada saat masyarakat memandang kurang perlunya pendidikan bagi perempuan. Rahmah melihat bahwa perempuan tertinggal dari laki-laki, berada dalam kebodohan dan kepasrahan pada keadaan sehingga masyarakat pada umumnya termasuk perempuan sendiri mengganggap diri mereka makhluk yang lemah dan terbatas. Ia menginginkan setiap wanita menjadi ibu yang baik dalam rumah tangga dan masyarakat. Hal itu menurutnya hanya dapat dicapai melalui pendidikan. Meski menolak pembatasan mencari ilmu bagi perempuan, Rahmah menolak emansipasi seperti yang digaungkan oleh feminis. Sarah Larasati Mantovani dari Universitas Muhammadiyah Surakarta menulis, Rahmah ingin perempuan tetap pada fitrahnya dan anak didiknya menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak. Ia tetap memasukkan pendidikan rumah tangga seperti menjahit, memasak dan keterampilan rumah tangga lainnya ke dalam kurikulum sekolahnya.[74]

Sepanjang hidupnya, Rahmah menampilkan dirinya dengan pakaian baju kurung dan mudawarah. Zamzami Kimin menulis bagaimana Rahmah memberikan perumpamaan menutup aurat dengan membandingkan dua orang berjualan di tepi jalan raya. Penjual yang satu membiarkan jualannya terbuka sementara penjual yang satu lagi menutupi jualannya itu dengan rapi, takut dihinggapi debu yang berterbangan. "Kalau sekiranya saudara ingin membeli jualan itu yang manakah yang akan saudara beli," tulis Zamzami menirukan ucapan Rahmah. Selain itu, Rahmah telah menampilkan ciri khas anak-anak putri dengan pakaian khas Diniyah, kerudung putih yang mereka lilitkan di kepala, baik di ruangan kelas maupun di halaman sekolah. "Bila masyarakat melihat gadis-gadis atau wanita-wanita memakai mudawarah, baju kurung membalut tubuh,... sehingga yang kelihatan hanya tangan, muka, dan kaki, maka dengan spontan mereka menyebut, itulah dia murid-murid Rahmah El Yunusiyah," tulis Zazami.[23]

Catatan kaki

Keterangan
  1. ^ Empat orang kakak Rahmah adalah Zainuddin Labay, Mariah, Muhammad Rasyad, dan Rihanah.[2]
  2. ^ Sitti Akmar adalah seorang guru dari Meisjes Normaal School atau Sekolah Guru Wanita di Padangpanjang. Ia berasal dari Sungai Limau dan menikah dengan Bagindo Dahlan Abdullah pada 1930.
  3. ^ Ketika TKR untuk Sumatera Tengah terbentuk, rapat para pemimpin TKR pada 1 Januari 1946 di Padangpanjang menetapkan nama Divisi III Banteng di bawah pimpinan Komandan Divisi Kolonel Dahlan Djambek. Divisi III Banteng mempunyai empat resimen. Batalyon Merapi adalah satu dari tiga batalyon untuk Resimen I.
Rujukan
  1. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 176.
  2. ^ a b Rasyad, dkk 1991, hlm. 36.
  3. ^ a b c d Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 177.
  4. ^ Rasyad, dkk 1991, hlm. 33.
  5. ^ Munawaroh 2002, hlm. 6.
  6. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 248.
  7. ^ Munawaroh 2002, hlm. 5.
  8. ^ Rasyad, dkk 1991, hlm. 37.
  9. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 225.
  10. ^ Edwar 1981, hlm. 186 – 195.
  11. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 42.
  12. ^ a b c d e f Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 44.
  13. ^ Rasyad, dkk 1991, hlm. 365.
  14. ^ Hamka 1967, hlm. 315.
  15. ^ Munawaroh 2002, hlm. 12.
  16. ^ a b Kahin 2005, hlm. 109.
  17. ^ a b Pewarta Indonesia 2011.
  18. ^ Rasyad, dkk 1991, hlm. 39.
  19. ^ a b c Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 179.
  20. ^ a b Nata 2005, hlm. 30.
  21. ^ a b Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 273.
  22. ^ Munawaroh 2002, hlm. 13.
  23. ^ a b Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 246.
  24. ^ Nata 2005, hlm. 31.
  25. ^ a b c d Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 45.
  26. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 280.
  27. ^ Rasyad, dkk 1991, hlm. 44.
  28. ^ a b Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 181.
  29. ^ Munawaroh 2002, hlm. 14.
  30. ^ a b c Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 245.
  31. ^ Rasyad, dkk 1991, hlm. 100.
  32. ^ a b Noer 1991, hlm. 62 – 65.
  33. ^ Tempo.co 2010.
  34. ^ Hadler 2008, hlm. 141.
  35. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 274.
  36. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 182.
  37. ^ Kahin 2005, hlm. 111.
  38. ^ a b Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 48.
  39. ^ a b Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 47.
  40. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 276.
  41. ^ a b Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 27.
  42. ^ Rasyad, dkk & 1991 77.
  43. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 257.
  44. ^ a b Ensiklopedia Islam 2002, hlm. 152.
  45. ^ a b Kahin 2005, hlm. 110.
  46. ^ Nata 2005, hlm. 33.
  47. ^ Susiyanto 2014.
  48. ^ Nata 2005, hlm. 34.
  49. ^ a b Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 183.
  50. ^ Noer 1996, hlm. 437 – 438.
  51. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 279.
  52. ^ Munawaroh 2002, hlm. 22.
  53. ^ Munawaroh 2002, hlm. 23.
  54. ^ Noer 1991, hlm. 202.
  55. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 184.
  56. ^ Munawaroh 2002, hlm. 24.
  57. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 250.
  58. ^ a b c Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 186.
  59. ^ a b Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 190.
  60. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 251.
  61. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 187.
  62. ^ Rasyad, dkk 1991, hlm. 62.
  63. ^ Rasyad, dkk 1991, hlm. 80.
  64. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 253.
  65. ^ Munawaroh 2002, hlm. 28.
  66. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 195.
  67. ^ Gatra 2009.
  68. ^ Peringatan 55 Tahun... 1978, hlm. 255.
  69. ^ Munawaroh 2002, hlm. 20.
  70. ^ a b Rasyad, dkk 1991, hlm. 137.
  71. ^ a b c d Rasyad, dkk 1991, hlm. 63.
  72. ^ Rasyad, dkk 1991, hlm. 81.
  73. ^ Rasyad, dkk 1991, hlm. 64.
  74. ^ Mantovani & tt.
Daftar pustaka