Sejarah Bangka
Sejarah Bangka, Pulau Bangka adalah suatu pulau yang terdapat di samping timur Sumatra, Indonesia dan terhitung dalam lokasi provinsi Kepulauan Bangka Belitung.[1] Pulau Bangka terletak pada posisi 1°-30°-3°-7′ Lintang Selatan dan 105°-45′-107″ Bujur Timur memanjang dari Barat Laut ke Tenggara ± 108 Km.[2] Sejarah mengungkapkan bahwa Pulau Bangka pernah dihuni oleh orang-orang Hindu pada abad ke-7.[2][3] Pada masa Kerajaan Sriwijaya pulau Bangka termasuk pulau sebagai daerah taklukan dari kerajaan yang besar itu.[2][3] Demikian pula Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Mataram tercatat pula sebagai kerajaan-kerajaan yang pernah menguasai Pulau Bangka.[2][3] Tetapi pada masa-masa itu pulau Bangka sedikit sekali mendapat perhatian orang, meskipun letaknya sangat strategis.[2] Walaupun ditemukan oleh orang-orang Eropa, namun pulau tersebut tetap hanya merupakan sebuah embel-embel pulau Sumatra yang tidak ada artinya karena pulau itu tidak menghasilkan rempah-rempah sebagiamna diperlukan.[2] Oleh karena itu diterbengkalaikan oleh orang-orang yang berkuasa saat itu, maka pulau bangka menjadi sasaran bajak laut (lanun), sehingga menimbulkan banyak malapetaka dan penderitaan bagi penduduk saat itu.[2]
Asal usul nama Bangka
Dalam berbagai publikasi dipertengahan abad 20, pulau ini ditulis dengan ejaan "Banka".[4] Kemudian, seorang ahli tambang senior Cornelis de Groot mengusulkan untuk menulis nama dengan ejaan "Bangka".[4] Berikut adalah penamaan pulau bangka:
Mo-Ho-Hsin
Asal-muasal nama Bangka oleh I-Tsing disebut Mo-Ho-Hsin, lokasinya di Kota Kapur, tetangga Sriwijaya.[4] Kota Kapur berada di pantai Selat Bangka, berhadapan dengan delta sungai Musi.[4] Moho berasal dari kata Sansekrta yaitu moha yang berarti "bingung" atau "lingung".[4] Berdasarkan pengertian itu Nia Kurnia (1983) menghubungkan kata bangka dengan istilah tua bangka yang berarti orang yang sudah tua dan linglung.[4]
Vanka, Wangka
Pulau Bangka berasal dari kata wangka (vanca) yang berarti "timah" dalam bahasa Sanksekerta,[4] karena wilayah ini memang kaya barang tambang timah.[5] Nama "Wangka" muncul pertama kali bersama dengan nama "Swarnabhumi" dalam buku sastra India Milindrapantha yang ditulis abad ke 1 SM.[4] Swarnabhumi diidentifikasikan sebagai pulau Sumatra, maka kuat dugaan bahwa yang disebut "Wangka" adalah pulau Bangka.[4][6] Loius-Charles Damais, dalam bukunya Epigrafi dan Sejarah Nusantara, mempertegas bahwa Bangka berasal dari kata wangka (vanca).[7]
Bangkai
Pulau Bangka dalam sejarah Dinasti Ming (1368-1643) disebut Ma-Yi-dong atau Ma-yi-Tung.[4] Ma-yi-dong konon terletak disebelah barat Pulau Gao-lan atau pulau Belitung.[4] Istilah ma-yin-dong merupakan julukan para pedagang Arab untuk pulau Bangka.[4] Kata itu berasal dari kata mayit, bahasa halus dari kata bangkai.[4] Menurut pendapat umum, "bangkai" yang dimaksud adalah bangkai kapal yang banyak kendas atau pecah karena karang yang memenuhi bagian timur pulau ini.[4]
Wangkang
Pendapat lain mengatakan nama pulau Bangka berasal dari kata waka atau wangkang yang berarti jung kapal Tiongkok, yang banyak pecah dan tengelam disekitar pulau bangka.[4]
Prasejarah
Bangka pada masa Pleitosen
Pleistosen adalah masa antara 1.808.000 hingga 11.600 tahun yang lalu.[4] Disebut juga zaman es ketika temperatur global 15 °C lebih dingin dari masa sekarang (zaman kauter).[4] saat itu Pulau Sumatera, Kepulauan Riau, Jawa, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kalimantan tergabung menjadi satu dengan Asia daratan.[4] Dizaman Pleistosen terjadi dua pristiwa geologi penting yaitu zaman glasial (ditandai meluasnya lapisan es di kedua kutub bumi) dan zaman interglasial (zaman es kembali mencair).[4] Penjelasan geologi tersebut diperjelas dengan hasil pemetaan goemorfologi oleh Obdey pada tahun 1954.[4] Ia menyimpulkan bahwa pada zaman Sriwijaya, Bangka dan Belitung masih tersambung dengan Kepulauan Lingga, Riau, dan Semenanjung Malaya.[4] Penemuan geraham gajah Elephas Sumatranus oleh F. Martin dilapisan endapan timah di Bangka pada tahun 1804 memperkuat pendapat bahwa Bangka masih menjadi satu dengan pulau Sumatera, Kalimantan Barat, dan daratan Asia pada masa Pleistosen.[4] Seiring waktu, daratan ini pecah menjadi pulau-pulau kecil dan selat-selat sempit yang dangkal.[4]
Bangka pada awal sejarah
Prasasti Kota Kapur
Entah sejak kapan Pulau Bangka mulai dihuni manusia.[8] Hingga saat ini, satu satunya tempat yang mempunyai bukti tertulis tertua di Pulau Bangka dan bertarikh bahwa di Bangka telah ada hunian adalah Prasasti Kota Kapur.[8] Prasasti yang ditemukan di Desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka bertanggal 28 April 686 Masehi.[8] Prasasti kota kapur di tulis menggunakan huruf pallawa dalam bahasa Melayu Kuno.[9] Prasasti-prasasti kota kapur ini menunjukan pengaruh Kerajaan Sriwijaya atas pulau Bangka kala itu, diperkirakan antara abad ke-6 Masehi dan abad ke-7 Masehi.[9] Prasasti itu dibuat masa pemerintahan Dapunta Hyang, penguasa kerajaan Sriwijaya.[9] Artifak ini ditemukan oleh seseorang dari Belanda bernama J.K. Van Der Meulen di tahun 1892 di daerah kabupaten Bangka, kecamatan Mendo Barat.[9] Kemudian artifak-artifak tersebut dianalisa oleh H. Kern, seorang ahli Epigrafi, dimana ia menganggap bahwa sriwijaya adalah nama seorang raja, karena sri mengindikasikan seorang "raja". Hingga akhirnya George Cœdès (1886-1969), seorang sejarahwan dan arkeolog Perancis menyatakan bahwa Sriwijaya adalah sebuah Kerajaan.[9] Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak.[9] Isinya berupa low enforcement bagi orang-orang pulau Bangka, yakni semua orang yang melawan atau memberontak terhadap Sriwijaya akan dihukum dan dikutuk.[9] Di dalam salah satu prasasti tersebut tertulis "VANKA" dalam huruf pallawa, yang diartikan "TIMAH".[9] Secara geografis daerah Kota Kapur merupakan dataran yang berhadapan langsung dengan Selat Bangka yang bermuara juga sungai-sungai Upang, Sungsang, dan Saleh dari daratan Sumatra.[8] Disekelilingnya, di sebelah barat, utara, dan timur masih tertutup hutan rawa pantai.[8] Disebelah selatan tanahnya agak berbukit-bukit.[8] Bagian yang tertinggi disebut Bukit Besar dengan ketinggian sekitar 125 meter diatas permukaan laut.[8] Di sebelah utara, membentang dari timur laut menuju barat mengalir Sungai Mendo yang bermuara di Selat Bangka setelah sebelumnya membelah daerah rawa-rawa.[8]
Arca Wisnu
Di Kota Kapur selain batu prasasti persumpahan ditemukan juga empat buah arca Wisnu dari batu, runtuhan bangunan suci, dan benteng tanah.[8] Arca Wisnu ditemukan dalam beberapa ukuran panjang; 19,5 cm, 33 cm, dan 108 cm.[4] Salah satu patung terbuat dari batu andesit dan yang lainnya dari batu granit.[4] Penutup kepalanya (kuluk) mempunyai corak khusus berupa silinder.[4] Untuk menentukan pertanggalan arca tersebut dapat dilihat dari bentuk mahkotanya.[8] Dari penggambaran bentuk mahkota tampak dipahat dalam gaya seperti arca-arca Wisnu dari Kamboja, yaitu pada masa seni pre-Angkor.[4][8] Stutterheim berpendapat bahwa arca tersebut berasal dari abad ke-7 Masehi dengan alasan karena tempat ditemukannya sama dengan Prasasti Kota Kapur yang ber-angka tahun 686 Masehi.[10] Berdasarkan bentuk mahkota dan tempat temuannya, maka arca Wisnu Kota Kapur dapat ditempatkan pada abad ke 6-7 Masehi.[10]
Lingga
Selain arca Wisnu, ditemukan juga sebuah lingga yang bentuk puncak dan badannya bulat telur, dengan garis tengahnya berukuran sekitar 30 cm.[8] Namun bagian bawah lingga sudah hilang (patah).[8] Menurut McKinnon, bentuk lingga yang bulat telur ini diduga berasal dari sekitar abad ke 5-6 Masehi.[4][8] Dugaannya itu didasarkan atas perbandingan dengan bentuk-bentuk lingga dari India.[8]
Prasasti Camundi
Jauh setelah Śrīwijaya, pulau Bangka dan Belitung masih diperhitugkan kerajaan lain.[8] Dalam sejarah kuno Indonesia, daerah Bangka, Belitung, sampai Kerajaan Malayu didaerah Batanghari sejak tahun 1380-an termasuk wilayah Kerajaan Singasari.[8] Informasi tentang itu, secara tersirat telah disebut dalam Prasasti Camundi yang dikeluarkan oleh Kĕrtanāgara, Raja dari Singasari.[8]
Data arkeologis yang ditemukan disitus Kota Kapur, dapat memberikan interpretasi bahwa pada sekitar abad ke 5-6 Masehi di Kota Kapur terdapat sebuah kompleks bangunan suci bagi masyarakat penganut ajaran Hindu aliran Waisnawa.[8] Kompleks bangunan tersebut dikelilingi oleh tembok tanah yang panjangnya sekitar 2,5 km dengan ukuran lebar/tebal dan tinggi sekitar 4 meter.[8] Tampaknya di beberapa tempat di lingkungan tembok tanah tersebut terdapat hunian kelompok masyarakat pendukung bangunan suci tersebut yang buktinya berupa pecahan keramik dan tembikar.[8]
Bangka dibawah Majapahit
Kehadiran Majapahit di Bangka memberi arti penting dalam sejarah Bangka.[4] Sistem Kepatihan (pemerintahan) yang teratur mulai diterapkan dan tapal batas kekuasaan ditetapkan.[4] Majapahit mengirim ekspedisi ke Bangka dua kali, yang pertama dipimpin oleh Gajah Mada dan yang kedua dipimpin Tumenggung Dinata.[4] Namun tidak ada yang dapat memastikan tarikh kedua-duanya dan nama raja Majapahit yang memerintah pengiriman.[4] Akan tetapi, kahadiran Majapahit ke Bangka dapat diketahui melalui Tulisan Haji Idris 1861 berikut:[4]
Orang pertama yang mengenal Bangka adalah seorang pedagang Arab bernama nakhoda Sulaiman.[4] Kapalnya singgah di pantai kaki gunung Menumbing.[4] Sulaiman melafaskannya menumbing yang dalam bahasa Arab berarti "tempat berulang datang".[4]
Setelah kembali ke Pulau Jawa (dari pulau Bangka) Sulaiman menghadap penguasa Majapahit, mengabarkan perihal pulau Bangka dan masyarakatnya.[4] Tertarik dengan laporan sulaiman, raja Majapahit mengirim ekspedisi ke pulau Bangka dipimpin oleh patih Gajah Mada.[4] Sulaiman ikut mendamping kembali ke Bangka.[4] Rombongan ini mendarat didaerah kaki gunung Menumbing.[4] Untuk mengetahui situasi dan kondisi Gajah Mada menuju puncak gunung Menumbing.[4] Dari ketinggian Gajah Mada melihat adanya lapangan terbuka dari kejauhan, menandakan daerah pemukiman.[4] Dilapangan terbuka terlihat sebuah tunggul sisa pohon besar yang ditebang, yang disebut punggur oleh masyarakat setempat.[4] Tempat pemukiman tersebut kemudian dinamakan desa punggur.[4] Seseorang kemudian diangkat untuk memimpin masyarakat disana.[4]
Di samping mengangkat kepala desa, Gajah Mada juga menetapkan batas, menetapkan tata-cara pemerintahan, meninggalkan piagam daun lontar dan sepotong tembaga berbahasa Arab dan bertulis huruf Jawa sebagai simbol pengukuhan.[4] Setelah perjalanan singkat itu rombongan Gajah Mada kembali ke Jawa.[4]
Bertahun-tahun sudah ditinggal rombongan Majapahit, masyarakat Bangka berkembang lebih maju dengan mengikuti tatanan kemasyarakatan yang sudah diajarkan.[4] Tempat, gunung dan sungai sudah bernama, diambil dari nama manusia, binatang, ikan, pohon, serta warna.[4] Pulau Bangka ditinggalkan terbengkalai oleh Majapahit.[4] Tidak pernah ada utusan Majapahit yang datang dalam masa yang panjang.[4] Akhirnya Majapahit mengutuskan pangeran Tumenggung Dinata untuk meninjau kembali.[4] Rombongan pengeran datang melalui sungai Bantilan dan meneruskan jalan darat sampai kampung Mendo (Menduk) dan kampung Jeruk.[4] Di Mendo, dipilih seorang menjadi kepala kampung, dan diberi gelar Patih Tali.[4] Dikampung Jeruk diangkat kepala kampung dengan gelar Patih Panjang Jiwa.[4]
Tumenggung Dinata pun berlayar kembali ke Jawa dan menyerahkan wewenang kepada kedua patih itu.[4] Selanjutnya Bangka sepenuhnya diatur oleh orang Bangka sendiri.[4] Kepatihan Jeruk dipengang oleh Patih Raksa Kuning dibantu Hulubalang Selangor.[4] Kepatihan Mendo dipengang Patih Ngincar, dan Depak dibawah patih Kembar, dibantu Layang Sedap, Mengandu, Mangirat, dan Sekapucik.[4]
Bangka dibawah Johor dan Minagkabau
Islamisasi
Kerajaan Johor dan Minangkabau memainkan peran penting dalam Islamisai di Bangka, khususnya ketika berkuasa di Bangka.[4] Tuan Syarah (dari Johor) menjadi raja Bangka Kota dan menyebarkan ajaran agama Islam.[4] Sedangkan Alam Harimau Garang (dari Minangkabau) menjadi raja dikota Beringin dimana ia mengembangkan tata tertib bermasyarakat sesuai ajaran Islam.[4] Sejak berlangsungnya penguasaan Johor dan Minagkabau maka terjadilah percampuran antara adat Jawa dan Melayu.[4] Secara keseluruhan, kepemimpinan pulau Bangka berada dibawah kesultanan Johor.[4] Tuan Syarah memimpin Bangka dengan sukses.[4] Ia membawa kebahagian dan kemakmuran bagi penduduknya.[4] Ketika Tuan Syarah wafat, ia dimakamkan di Bangka Kota.[4] Makamnya disebut sebagai Keramat Tuan Syarah.[4]
Sepeninggalan Tuan Syarah, Raja Alam Harimau Garang menempati Kota Waringin didamping Patih Raksa Kuning dan Hulubalang Selangor.[4] Maka Pulau Bangka kemudian berada dibawah Minangkabau.[4] Pada masa pemerintahan Minangkabau, gunung Maras meletus, menghamburkan bebatuan dan tanah, dan membinasakan perkampungan dan penghuninya.[4] Ketika Raja Alam wafat, ia dimakamkan di Kota waringin yang disebut Makam Keramat Garang.[4]
Bangka dibawah Kesultanan Banten
Datang sekelompok orang dengan sebuah kapal dari Banten berlabu di Bangka Selatan dengan keperluan melengkapi berbekalan pelayaran.[4] Mereka bertemu dengan penduduk Bangka didekat kampung Sukal dan mendengan cerita riwayat pulau Bangka dari penduduk setempat.[4] Ketika mereka tiba kembali di Banten, pengalam awak kapal terdengan oleh sultan Banten.[4] Setelah mempelajari cerita mereka, sultan Banten paham bahwa Bangka pernah berada dibawah kerajaan Majapahit dan Mataram dimasa lalu.[4] Sultan kemudian mengirim utusan ke Bangka untuk lebih lanjut.[4] Mereka adalah Pangeran Penambahan Serpu dan seorang bupati bernama Nusantra.[4] Setelah tiba di Bangka, masyarakat memberi jalan kepada Bupati Nusantara dan sultan untuk memerintah di pulau Bangka.[4] Bupati Nusantara menjadi pemimpin di Bangka dan berjanji kepada masyarakat untuk memilih orang Bangka sebagai patih dan batin.[4]
- 1 orang patih di Punggur distrik (Mentok) dibantu 5 batin.[4]
- 1 orang patih di Jebus dibantu 3 batin.[4]
- 1 orang patih di Panji dibantu 5 batin.[4]
- 1 orang patih di Jeruk dibantu 9 batin.[4]
- 1 orang patih di Mendo dibantu 5 batin.[4]
- 1 orang patih di Balar dibantu 5 batin.[4]
- 1 orang patih di Pakuk dibantu 5 batin.[4]
Piagam sebagai tanda pemberian kekuasaan diberikan kepada para patih tersebut kecuali patih yang berasal dari Jeruk, Punggur dan Mendo. Mereka memakai piagam yang pernah didapatkan dari patih Gajah Mada.[4] Bupati Nusantara kemudian menetapkan batas-batas wilayah kekuasaan tiap patih.[4] Bupati Nusantara memerintah Bangka dengan gelar "Raja Muda".[4]
Bangka dibawah Kerajaan Palembang
Setelah Bupati Nusantara wafat, kekuasaan jatuh ke tangan putri tunggalnya dan oleh karena putrinya telah dikawinkan dengan sultan Palembang yaitu Sulyan Ratu Abdurrahman KhalifahtulSaydul Iman atau di kenal dengan sunan Cinde (1659-1706), maka dengan sendirinya pulau Bangka dan sekitarnya menjadi bagian dari kesultanan Palembang Darrussalam. Setelah meninggal Sultan Ratu Abdurrahman di gantikan anaknya yaitu Sultan Muhammad manyur Jayo ing lago (1706-1714) Semenjak kesultanan Palembang Darrussalam di perintahkan oleh Sultan Muhammad Mansyur Ing Lago daerah Jambi melepaskan diri di karenakan Sultan Manyur banyak menggunakan tangan besi dalam memerintah, Setelah beliau Wafat tahun 1714 kemudian mau diangkat anaknya yaitu Pangeran Purbaya. Karena Pangeran Purbaya meninggal di racun sebelum mau di angkat menjadi sultan maka Kesultanan palembang Darussalam di angkat menjadi sultan adalah adik sultan Mansyur Ing Lago yaitu Sultan Agung Kamaruddin Sri Terono (1714-1724) Setelah meningal Pangeran Purbaya keluarga dan adiK-adiknya di ungsikan ke kesultanan Banten yang masih hubungan saudara, di karenakan dalam keluarga kesultanan tidak harmonis lagi untuk menyelamatkan keselamatan anak dari almarhum Sultan Mansyur Ing Lago. Pada tahun 1724 anak dari Sultan Muhammad Mansyur yaitu Pangeran Tumenggung Muhammad ali dan adiknya Raden Jayo Wikramo meminta kepada pamannya yaitu Sultan Agung Kamarudin mengembalikan kesultanan palembang Darussalam kepada mereka yang dari ayahnya. Untuk menghindari pertumpahan darah kemudian atas kebijaksanan pamannya maka Kesultanan Palembang di bagi 2 Yaitu Pulau Bangka di angkat Pangeran Tumenggung Muhammad ali menjadi Sultan di Bangka dengan nama Sultan Muhammad Ali !724-1851) dan Raden jayo Wikramo menjadi Sultan di palembang dengan nama Sultan Mahmud Badarudin (1724-1758) dengan syarat berpasangan dengan menantu beliau yang sudah janda.
KESULTANAN BANGKA (1724-1851) Setelah di angkatnya sultan Muhamad Ali di bangka belitung pusat pemerintahan berada di bangka kota (kute) dengan kepandaiannya dalam menata pemerintahan pulau bangka belitung menjadi maju pesat dalam pertanian lada,karet,cengkeh dan hasil tambangnya yaitu timah. Kesultanan di bagi dalam raja kecil yaitu Bernama Depati. Setiap DEPATI di dampingi seorang penasehat yang yang di panggil syeh.Syeh inilah sangat memegang peranan penting dalam sistim pemerintahan depati dakwah islam di setiap daerah. Dalam bidang keamanan depati di pimpin seorang Hulu Balang (komandan) setiap Hulubalang di setiap Depati di bekali Kebatinan (ilmu keahlian). Di setiap kampung di kepalai seorang yang bernama KEGADING. Setiap kegading di bantu seorang Dukun sebagai sarana pengobatan rakyat dan keamanan.untuk urusan perkawinan di sebut PENGHULU untuk menikahkan perkawinan, Dalam penerimaan pajak di sebut PUNGUT sebagai zakat untuk di bayar kepada Kesultanan besarnya sudah di tentukan menurut syareat Isalam. Dalam penyebaran islam di bangka kesultanan bangka ini cukup berhasil di semua daerah karena bangka sebelumnya masih banyak yang masuk islam kepercaan masyarakatnya masih di pengaruhi kerajaan kota kapur dan sriwijaya
Penemuan dan Ekspolitasi Timah
Orang-orang Johor dan Siantan-lah yang pertama mengali timah di pulau Bangka, karena pangalaman mereka yang sudah didapatkan di Semenanjung Malaka.[2] Dengan ditemukannya timah (sekitar tahun 1710) mulailah Bangka disinggahi oleh segala macam perahu dari seluruh Asia dan Eropa.[2] Perusahaan-perusahaan pengali timah pun sangat maju, sehingga sultan Palembang mengirim orang-orang ke Semenanjung dan negeri Tiongkok untuk mencari tenaga-tenaga ahli.[2] Pada tahun 1722 VOC mengadakan perjanjian yang mengikat dengan Sultan Ratu Anom Kamaruddin dari palembang untuk membeli timah secara monopoli.[2] Dimana menurut laporan Van Haak perjanjian antara pemerintah Belanda dan Sultan Palembang berisi:[3]
- Sultan hanya menjual timahnya kepada kompeni.[3]
- Kompeni dapat membeli timah sejumlah yang diperlukan.[3]
V.O.C mulai melakukan kecurangan dan pelangaran janji yang menyebabkan ketegangan dan sikap permusuhan.[2] Pada tahun 1811 dalam masa pertukaran kekuasaan dari Belanda ke tangan Inggris Sultan Mahmud Badarudin mengadakan serangan terhadap kantor V.O.C yang berdada di Palembang dan semua orang V.O.C mati terbunuh.[2] Hal ini mengakibatkan Inggris mengadakan pembalasan dan dan menangkap dan membunuh Sultan Badaruddin.[2] Sebagai gantinya diangkatlah putranya, Najamuddin yang kemudian dipaksa menyerahkan pulau Bangka Belitung kepada Inggris (1812).[2] Dengan itu berakhirlah kekuaasaan Kerajaan Palembang di Kepulauan Bangka Belitung.[2]
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin(1774-1803), Bangka merupakan pemasok timah terbesar di Asia.[8] Teknologi penambangan timah yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa, membuat produksi timah bertambah tinggi.[8] Penjualan kepada VOC rata-rata 20.000 pikul/tahun (1 pikul = 62,5 Kg.).[8] Sejalan dengan majunya teknologi penambangan dan bertambahnya permintaan pasar, bertambah banyak pula produksi timah dari Bangka.[8] Beberapa kota yang dibangun oleh koloni penambang timah, misalnya Mentok, SungaiLiat, dan Toboali.[8] Kota-kota ini dapat dikatakan merupakan kota tua yang dibangun oleh penambang-penambang Tionghoa.[8] Setelah timah ditemukan pada abad ke-17, membuat Bangka mendapatkan kekayaan dan terkenal sebagai penghasil Timah terbesar di Indonesia.[5] Sekarang meski masih ditambang namun tidak sebanyak seperti dahulu.[5]
Sebelum Indonesia Merdeka
Perlawanan Depati Bahrin
Pada awal Oktober 1819, pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Laemlin menyerang pasukan pertahanan Depati Bahrin di Bangka Kota.[4] Tetapi Belanda tidak mampu menghadapi perlawanan hebat Depati Bahrindan pasukannya.[4] Pasukan Kapten Laemlin pun mundur kearah Mentok.[4] Selama perjalanan mundur menuju Mentok dan melewati perkambungan, pasukan Leamlin tidak putus-putusnya diserang pengikut Bahrin.[4] Setalah peristiwa Bangka Kota, Depati Bahrin memindahkan pusat kekuatannya ke Kota Waringin dan Kampung Nyireh.[4] Kemudian terjadi hal yang sangat memalukan Belanda dalam catatan sejarahnya, yaitu Residen Smissaert tewas dalam satu sergapan yang merupakan gabungan pengikut Depati Bahrin dari Kampung Jeruk.[4] Belanda menaruh dendam pada Depati Bahrin atas kematian Smissaert dan kekalahan di tempat lain.[4] Oleh karena itu, Belanda menjanjikan hadia sebesar 500 ringgit bagi mereka yang dapat membunuh Bahrin.[4]
Perlawanan Depati Amir
Pada tahun 1830 setelah Depati Bahrin Menyerah, Belanda mengangkat anak sulung Bahrin yang bernama Depati Amir sebagai pengganti.[4] Upaya ini adalah strategi Belanda untuk memikat hati rakyat Bangka.[4] Depati Amir membawahi daerah Mendara dan Mentadai (Merawang).[4] Tetapi sejak awal Amir menunjukan tidak mau diperintah Belanda.[4] Hal lain yang menambah kerisauan Belanda adalah Depati Amir ternyata mahir menghimpun pengikut untuk membangun kekuatan.[4] Dalam laporan Belanda, dikatakan Amir menyusun kekuatan dengan menghimpun bajak laut, para pelarian penjahat dari pulau-pulau lain, dan preman-preman.[4] Sikap perlawanan yang ditunjukan Amir terhadap Belanda, diartikan rakyat sebagai sinyal untuk memberontak melawan Belanda.[4] Maka Amir dan pengikutnya masuk hutan dan melakukan perang gerilya.[4]
Indonesia Merdeka
API dibentuk
Sejak terdengarnya siaran berita Indonesia merdeka putra-putra Bangka segera membenah diri menyadiakan tenaga yuntuk menghadapi segala kemungkinan.[2] Menurut surat dari Gubernur Sumatera Mr. Teuku Mohd. Hasan dari Bukit Tinggi, pulau Bangka dan Belitung masuk dibawah kekuasaan Gubernur Militer Sumatera Selatan.[2] Semua berkas anggota Syu Sangikai (DPR ala Jepang) dijadikan anggota Komite Nasional Indonesia (KNI).[2] Pimpinana pemerintah Bangka dipercaya kepada Masyarif Datuk Bendaharo Lelo, bekas ketua Syu Sangikai dengan jabatan Residen dan wakilnya adalah Saleh Amad sebagai Asisten Residen.[2] Para pemuka masyarakat dan bekas pemimpin Gyugun serta Heiho dengan semangat yang berapi-api pada awal bulan September 1945 membentuk suatu badan yang diberi nama "Angkatan Pemuda Indonesia" disingkat (API).[2] Mula-mula hanya beranggotan 50 orang.[2] Badan tersebut dicetus disuatu gedung yang terletak dijalan Jendral Sudirman (sekarang tempat kediaman Kuasa Unit Penambangan Timah Bangka)[2]
TKR dibentuk
Tanggal 29 Oktober 1945 datanglah utusan dari Palembang yang dipimpin oleh Mayor F. Manusama untuk membentuk "Tentara Keamanan Rakyat" (TKR) di Bangka.[2] Mayor F. Manusama, A. Kamil dan Munzir Talib membentuk satu Resimen TKR di Bangka dibagi dalam tiga Batalyon, yakni:[2]
- Batalyon I Pangkalpinang dibawah pimpinan Mayor H. Muhiddin dengan 3 kompi: Kompi Ismail Hasan, Kompi Darmomulyo dan Kompi Sukmadi.[2]
- Batalyon II Mentok dibawah pimpinan Mayor Saparudin dengan 3 kompi: Kompi Saman Idris, Kompi Tumbuan dan Kompi Admi Husin.[2]
- Batalyon III, persiapan untuk Belitung dibawah pimpinan Komandan Munzir.[2]
Bung Karno dan Hatta diasing
Tanggal 6 Februari 1949 Presiden Soekarno dan Mentri Luar Negeri Haji Agus Salim atas desakan BFO diangkut oleh Belanda dari Prapat (Sumatera Utara) ke Bangka dan disatukan dengan Moh Hatta dalam kamp Menumbing.[2]
Daerah yang Kaya
Nama Bangka disebut-sebut juga dalam berbagai catatan asing, seperti misalnya catatan Tionghoa, Portugis, Belanda, Inggris, serta dokumen-dokumen Kesultanan Palembang-Darussalam dan Kesultanan Banten.[8] Dari catatan-catatan sejarah itu, diperoleh suatu gambaran bahwa Pulau Bangka merupakan sebuah pulau yang cukup kaya.[8] Dengan hasil bumi (lada) dan hasil tambang (timah).[8] Kedua hasil ini merupakan komoditi penting pada masa Kesultanan.[8] Selain itu letaknya cukup strategis di lintas pelayaran antara Jawa, India, Asia Tenggara daratan, dan Tiongkok.[8] Sebagai sebuah tempat yang memiliki sejarah yang cukup panjang, tentu banyak ditemukan peninggalan budayanya, baik yang berupa bangunan, maupun benda-benda hasil budaya.[8]
Lihat juga
Referensi
- ^ (Indonesia) "Wisata Pulau Bangka". Pulau Bangka. Diakses tanggal 12 Mei 2014.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac (Indonesia) Husnial Husin Abdullah. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I. Di Bangka Belitung. (Jakarta: Karya Unipress, 1983)
- ^ a b c d e f (Indonesia) "Asal Mula Bangka". Sejarah Bangka. Diakses tanggal 10 Mei 2014.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay az ba bb bc bd be bf bg bh bi bj bk bl bm bn bo bp bq br bs bt bu bv bw bx by bz ca cb cc cd ce cf cg ch ci cj ck cl cm cn co cp cq cr cs ct cu cv cw cx cy cz da db (Indonesia) SUTEDJO SUJITNO. Lagenda Dalam Sejarah Bangka (Jakarta: Cempaka Publishing, 2011) ISBN 979166960-1.
- ^ a b c (Indonesia) "Indonesia Trevel". Trevel Indonesia. Diakses tanggal 10 Mei 2014.
- ^ (Indonesia) Raden Panji Soejono. Jaman Prasejarah Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1984)
- ^ Loius Charles Darmis & George Coedes, Kedaulatan Sriwijaya: Penelitian tentang Sriwijaya (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan École Française d'Extrême-Orient EFEO, 1995) hal.85
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag (Indonesia) "Kementrian Pendidikan dan Budaya" (PDF). Bangka Belitung dalam Lintas Niaga. Diakses tanggal 12 Mei 2014.
- ^ a b c d e f g h (Indonesia) "Nama Pulau Bangka" (PDF). Asul-usul nama Pulau Bangka. Diakses tanggal 12 Mei 2014.
- ^ a b (Inggris) Stutterheim, W.F., 1937, Note on a Newly Found Fragment of a Four Armed Figure from Kota Kapur (Bangka), dalam Indian Art and Letters Vol. XI No.2:105-111