Islam di Indonesia

artikel daftar Wikimedia
Revisi sejak 14 Agustus 2021 09.56 oleh Bayu Fuller (bicara | kontrib) (Distribusi geografi: Persentase Muslim di NTT , Complete Pop. Muslim di Sulsel >>>)

Islam di Indonesia merupakan mayoritas terbesar umat Muslim di dunia. Data Sensus Penduduk 2018 menunjukkan ada sekitar 86,7% atau 231 juta jiwa dari total 266 juta jiwa penduduk beragama Islam. Walau Islam menjadi mayoritas, tetapi Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam. Indonesia sendiri secara konstitusional mengakui 6 agama, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu.[1] Meski tak menerapkan hukum Islam secara menyeluruh sebagaimana halnya Arab Saudi dan Qatar, nafas-nafas Islam tetaplah diakui dan diterima dalam hukum positif di Indonesia dengan adanya sejumlah regulasi/undang-undang tentang perkawinan, peradilan agama, perbankan syariah, wakaf, pengelolaan zakat, penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, serta yang terbaru Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.[2]

Sejarah awal

Penyebaran Islam menurut sejumlah catatan

 
Peta persebaran Islam di Indonesia

Menurut Thomas Walker Arnold, sulit untuk menentukan bilakah masa tepatnya Islam masuk ke Indonesia. Hanya saja, sejak abad ke-2 Sebelum Masehi orang-orang Ceylon telah berdagang dan masuk abad ke-7 Masehi, orang Ceylon mengalami kemajuan pesat dalam hal perdagangan dengan orang Cina. Hinggalah, pada pertengahan abad ke-8 orang Arab telah sampai ke Kanton.[3] Waktu masuknya Islam di Nusantara sudah berlangsung sejak abad ke-7 dan 8 Masehi. Namun, perkembangan dakwah baru betul dimulai kala abad ke-12 dan 13.[4] Artinya dakwah di Nusantara sudah merentang selama beberapa abad di masa-masa awal Penyebaran.[4] Indonesia sendiri di masa-masa itu, tidaklah asing dari pandangan musafir Arab. Sulaiman at-Tajir misalnya, sampai ke kawasan Zabij yang ada di timur India.[5] Dilengkapi pula oleh catatan ahli geografi sejaman, Ibnu Khurdadzbih bahwa Zabij dipimpin seorang Maharaja, yang juga disetujui oleh pendapat Yaqut al-Hamawi dan Al-Mas'udi.[6] Belakangan, pendapat soal negeri Maharaja ini disetujui sejarawan Arab modern, Husain Mu'nis, bahwa ia merujuk pada daerah yang kini ada di kawasan Indonesia modern.[7] Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkan teori masuknya Islam dalam tiga teori besar. Pertama, teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah GujaratIndia melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. Mereka berargumen akan fakta bahwa banyaknya ungkapan dan kata-kata Persia dalam hikayat-hikayat Melayu, Aceh, dan bahkan juga Jawa.[8] Selain itu pula, temuan Marco Polo juga menyatakan sebagai dampak interaksi orang-orang Perlak di Sumatra Utara, mereka telah mengenal Islam. Selama masa-masa ini, dinyatakan oleh Van Leur dan Schrieke, bahwa penyebaran Islam lebih terbantu lewat faktor-faktor politik alih-alih karena niaga.[9] Pandangan lain dari AH Johns dan SQ Fatimi menyebutkan penyebaran Islam bertumpu pada imam-imam Sufi yang cakap dalam soal kebatinan, dan bersedia menggunakan unsur-unsur kebudayaan pra Islam dan mengisinya kembali dengan semangat yang lebih Islami.[10]

 
Peta Indonesia berkisar tahun 1674-1745 oleh Katip Çelebi seorang geografer asal Turki Utsmani.

Di Pulau Sulawesi, Islam menyebar melalui hubungan Kerajaan-Kerajaan setempat dengan para Ulama dari Mekkah dan Madinah, yang sebelumnya pula sempat singgah di Hadramaut untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Selain itu, pengaruh dari Ulama Minang di wilayah Selatan pulau Sulawesi turut mengantarkan Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bone untuk memeluk agama Islam.[11] Sementara itu, pengaruh dari Kesultanan Ternate turut berperan penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Sulawesi bagian tengah dan Utara. Salah satu buktinya adalah eksistensi Kesultanan Gorontalo sebagai salah satu Kerajaan Islam paling berpengaruh di Semenanjung Utara Sulawesi hingga ke Sulawesi bagian Tengah dan Timur.[12] Selain pengaruh Kesultanan Ternate, Ulama-Ulama besar yang hijrah ke wilayah jazirah utara dan tengah Sulawesi pun turut mempercepat penyebaran agama Islam di wilayah ini. Selain itu, Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad ke-17, telah berhasil melakukan upaya penyebaran agama Islam hingga mencapai wilayah Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.

Kalau ahli sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai abad 11 adalah tidak benar, Abdul Malik Karim Amrullah berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatra (Barus).[13] Pernyataan yang hampir senada dikemukakan Arnold, bahwa mungkin Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad-abad awal Hijriah. Meskipun kepulauan Indonesia telah disebut-sebut dalam tulisan ahli-ahli bumi Arab, di dalam tarikh Cina telah disebutkan pada 674 M orang-orang Arab telah menetap di pantai barat Sumatra.[14]

Pada tahun 30 Hijriyah atau 651 M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan (644-656 M), memerintahkan mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sufyan) ke tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini adalah raja Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam.[15] Namun menurut Hamka sendiri, itu terjadi tahun 42 Hijriah atau 672 Masehi.[16]

Pada tahun 718 M raja Srivijaya Sri Indravarman setelah pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717 - 720 M) (Dinasti Umayyah) pernah berkirim surat dengan Umar bin Abdul Aziz sekaligus berikut menyebut gelarnya dengan 1000 ekor gajah, berdayang inang pengasuh di istana 1000 putri, dan anak-anak raja yang bernaung di bawah payung panji. Baginda berucap terima kasih akan kiriman hadiah daripada Khalifah Bani Umayyah tersebut.[17] Dalam hal ini, Hamka mengutip pendapat SQ Fatimi yang membandingkan dengan The Forgotten Kingdom Schniger bahwa memang yang dimaksud adalah Sriwijaya tentang Muara Takus, yang dekat dengan daerah yang banyak gajahnya, yaitu Gunung Suliki. Apalagi dalam rangka bekas candi di sana, dibuat patung gajah yang agaknya bernilai di aana. Tahun surat itu disebutkan Fatemi bahwa ia bertarikh 718 Masehi atau 75 Hijriah. Dari situ, Hamka menepatkan bahwa Islam telah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah.[18]

Selain itu, fakta yang juga tak bisa diabaikan adalah bahwa adanya kitab Izh-harul Haqq fi Silsilah Raja Ferlak yang ditulis Abu Ishaq al-Makrani al-Fasi yang berasal dari daerah Makran, Balochistan menyebut bahwa Kerajaan Perlak didirikan pada 225 H/847 M diperintah berturut-turut oleh delapan sultan.[19]

Bukti lain memperlihatkan telah munculnya Islam pada masa awal dengan bukti Tarikh Nisan Fatimah binti Maimun (1082M) di Gresik.[20]

 
Umat Islam Indonesia tengah membaca Al Quran setelah menunaikan salat di Masjid Istiqlal, Jakarta. Indonesia memiliki jumlah umat Islam terbesar di dunia

Untuk menjelaskan bagaimana metode penyebaran Islam di Indonesia, Arnold mengutip catatan yang dikutip dari C. Semper bahwa para pedagang Muslim menggunakan bahasa dan adat istiadat orang tempatan. Setelah mengadakan pernikahan dengan orang setempat, pembebasan budak, maka ia mengadakan perserikatan dan tak lupa tetap memelihara hubungan persahabatan dengan golongan aristokrat yang juga telah mendukung kebebasannya.[14] Para pedagang ini, tidaklah datang sebagai penyerang, tidak pula memakai pedang, ataupun memakai kelas atas guna menekan kawula-kawula rakyat. Namun dakwah dilakukan dengan kecerdasan, dan harta perdagangan yang mereka punya lebih mereka utamakan untuk modal dakwah.[14]

Selama masa-masa abad pertengahan ini, pedagang-pedagang Muslim turut memberi andil dalam bertumbuhnya perdagangan dan kota-kota yang terlibat di sana. Bersamaan dengan kegiatan dagang orang Tionghoa dari Dinasti Ming, Gresik, Malaka, dan Makassar berubah dari kampung kecil menjadi kota-kota besar dengan penduduk 50 ribu jiwa. Begitupun untuk Aceh, Patani, dan Banten.[21]

Masa kolonial

Pada abad ke-17 masehi atau tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, tetapi pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC, sejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat itu antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.

 
Anak-anak mengaji Al Quran di Jawa pada masa kolonial Hindia Belanda

Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima perang. Potensi-potensi tumbuh dan berkembang pada abad ke-13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan. Para ulama menggelorakan jihad melawan penjajah Belanda.

Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamal-al-Din Afghani dan Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar di Kairo, Mesir banyak berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, di antara mereka ialah Muhammad Djamil Djambek dan Abdul Karim Amrullah. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatra Thawalib (1915). Pada tahun 1906, Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran pembaruan al-Iman di Singapura dan lima tahun kemudian, di Padang terbit koran dwi-mingguan al-Munir.[22].

Demografi

Sebagian besar ummat Islam di Indonesia berada di wilayah Indonesia bagian Barat, seperti di pulau Sumatra, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan untuk wilayah Timur, penduduk Muslim banyak yang menetap di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Utara dan enklave tertentu di Indonesia Timur seperti Kabupaten Alor, Fakfak, Haruku, Banda, Leihitu, Tual dan lain-lain.

Distribusi geografi

Berikut merupakan persebaran umat Islam per provinsi Indonesia. Sensus dihadirkan pada tahun 2018.

Provinsi Muslim[23] %
  Aceh 4.413.244 98.2%
  Sumatra Utara 9.810.473 60.4%
  Sumatra Barat 5.411.932 97.4%
  Riau 5.366.531 88%
  Jambi 3.321.255 95.4%
  Sumatra Selatan 8.030.200 96.9%
  Bengkulu 1.953.391 97.3%
  Lampung 8.675.884 95.5%
  Bangka Belitung 1.953.891 89%
  Kepulauan Riau 1.530.708 77,5%
  DKI Jakarta 83.68%
  Jawa Barat 44.374.684 97%
  Jawa Tengah 35.577.909 96.7%
  Daerah Istimewa Yogyakarta 3.382.421 91.9%
  Jawa Timur 39.554.069 96.4%
  Banten 10.296.096 94.7%
  Bali 425.981 13.4%
  Nusa Tenggara Barat 5.118.846 96.5%
  Nusa Tenggara Timur 511.281 9,45%
  Kalimantan Barat 3.251.481 59.2%
  Kalimantan Tengah 1.907.034 74.3%
  Kalimantan Selatan 3.922.388 96.7%
  Kalimantan Timur 3.155.252 85.4%
  Sulawesi Utara 832.936 30.9%
  Sulawesi Tengah 2.333.910 77.7%
  Sulawesi Selatan 8.175.141 89.6%
  Sulawesi Tenggara 2.126.126 95.2%
  Gorontalo 1.017.396 97.8%
  Sulawesi Barat 957.735 82.6%
  Maluku 776.130 49.6%
  Maluku Utara 771.110 74.3%
  Papua Barat 292.026 38.4%
  Papua 450.096 15.9%
TOTAL 231,069,932 86,7%

Budaya

Bahasa & adat istiadat

Di Indonesia, telah diketahui bahwa Islam sampai ke Kepulauan Nusantara sejak abad ke-7 dan berkembang di abad ke-12 dan kemudian ke-16. Pada masa ini, selain kata serapan, sistem aksara yang disebut huruf Jawi dan aksara daerah juga tercipta, suatu hal yang sebelumnya tidak ada. Pada masa ini, bahasa Melayu sebagai lingua franca berpadu mengembangkan kebudayaan Islam di jazirah ini. Pengaruh Islam, lewat bahasa Arab, juga memengaruhi perkembangan daerah di Indonesia, seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bima, bahasa Bugis, bahasa Lampung dan bahasa Sasak.[24]

Arsitektur

Islam sangat banyak berpengaruh terhadap arsitektur bangunan di Indonesia. Rumah Betawi salah satunya, adalah bentuk arsitektur bangunan yang banyak dipengaruhi oleh corak Islam. Pada salah satu forum tanya jawab di situs Era Muslim,[25] disebutkan bahwa Rumah Betawi yang memiliki teras lebar, dan ada bale-bale untuk tempat berkumpul, adalah salah satu ciri arsitektur peradaban Islam di Indonesia.

Masjid

 
Masjid Raya Medan al Ma'shun, adalah salah satu ciri bangunan berarsitektur Islam yang ada di Indonesia

Masjid adalah tempat ibadah Muslim yang dapat dijumpai diberbagai tempat di Indonesia. Menurut data Lembaga Ta'mir Masjid Indonesia, saat ini terdapat 125 ribu masjid yang dikelola oleh lembaga tersebut, sedangkan jumlah secara keseluruhan berdasarkan data Departemen Agama tahun 2004, jumlah masjid di Indonesia sebanyak 643.834 buah, jumlah ini meningkat dari data tahun 1977 yang sebanyak 392.044 buah. Diperkirakan, jumlah masjid dan mushala di Indonesia saat ini antara 600-800 ribu buah.[26] Adapun menurut penuturan Komjen Pol Syafruddin Wakil Ketum Dewan Masjid Indonesia menyebut sesuai data tahun 2017, bahwa Indonesia memiliki sekitar 800 ribu masjid. Dalam pada itu, pengelolaan masjid di Indonesia berbeda dengan masjid di negara lain. Pemerintah tak secara langsung membangun dan mengelola masjid, tetapi lewat swadaya masyarakat, begitu juga dalam hal pengelolaannya.[27]

Pendidikan

Pesantren adalah salah satu sistem pendidikan Islam yang ada di Indonesia dengan ciri yang khas dan unik, juga dianggap sebagai sistem pendidikan paling tua di Indonesia.[28]

Politik

Dengan mayoritas berpenduduk Muslim, politik di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dan peranan umat Islam. Kebangunan akan kesedaran berpolitik ini diawali kalangan kaum haji yang membawa kabar-kabar akan serangan Prancis terhadap Maroko, umat Islam Libya diserang, dan gerakan nasionalis Mesir melawan imperialis Inggris. Ini juga membentuk perasaan setia kawan sesama kaum Muslimin, dan membangkitkan ketidaksukan terhadap kolonialisme dan imperialisme Eropa.[29] Walau demikian, Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam, tetapi ada beberapa daerah yang diberikan keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam, seperti Aceh.

Seiring dengan reformasi 1998, di Indonesia jumlah partai politik Islam kian bertambah. Pada Pemilu 1999, 17 partai Islam—yaitu 12 partai Islam dan 5 partai lain berazaskan Islam dan Pancasila—ikut berlaga dalam pemilihan tersebut. Kesiapan mereka dalam hal administrasi—terkecuali PPP yang memang sudah tua—mengagumkan mengingat mereka dapat mengikuti segala syarat pemilu yang cukup ketat, serupa bahwa setiap partai harus punya cabang sekurangnya di 14 provinsi. Namun demikian, seluruh partai Islam itu kalah jauh dari PDI yang meraup sekitar 34% suara.[30] Dalam Pemilu tersebut, PPP meraih 11.329.905 suara (10,7 persen) dan bercokol pada peringkat ketiga,[31] karena itu Partai Persatuan Pembangunan meraih 5 besar. Partai Bulan Bintang mampu membentuk fraksi sendiri walau cuma 13 anggota, dan Partai Keadilan hanya memperoleh 7 kursi DPR saja.[30] Bila sebelumnya hanya ada satu partai politik Islam, yakni Partai Persatuan Pembangunan-akibat adanya kebijakan pemerintah yang membatasi jumlah partai politik, pada pemilu 2004 terdapat enam partai politik yang berasaskan Islam, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bintang Reformasi, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Bulan Bintang.

Referensi

  1. ^ Yang, Heriyanto (August 2005). "The History and Legal Position of Confucianism in Post Independence Indonesia" (PDF). Marburg Journal of Religion. 10 (1): 8. Diakses tanggal 2 October 2006. 
  2. ^ Dinata, Ari Wirya (21 Januari 2021). "Eksistensi dan Penerapan Hukum Islam dalam Hukum Positif di Indonesia". Hukum Online. Diakses tanggal 18 April 2021. 
  3. ^ Arnold 1985, hlm. 317.
  4. ^ a b Mahfud et al. Muyasaroh, hlm. 227.
  5. ^ Amnan 2021, hlm. 3.
  6. ^ Amnan 2021, hlm. 4.
  7. ^ Amnan 2021, hlm. 5.
  8. ^ Saifullah 2010, hlm. 15.
  9. ^ Reid 2019, hlm. 22.
  10. ^ Reid 2019, hlm. 23.
  11. ^ Abdullah, A. (2016). Islamisasi Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah. Paramita: Historical Studies Journal, 26(1), 86-94.
  12. ^ Mashadi, M., & Suryani, W. (2018). Jaringan Islamisasi Gorontalo (Fenomena Keagamaan dan Perkembangan Islam di Gorontalo). Al-Ulum, 18(2), 435-458.
  13. ^ Amrullah 2017, hlm. 3-4.
  14. ^ a b c Arnold 1985, hlm. 318 – 319.
  15. ^ H Zainal Abidin Ahmad. Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang; Bulan Bintang, 1979. 
  16. ^ Amrullah 2017, hlm. 3.
  17. ^ Amrullah 2017, hlm. 136.
  18. ^ Amrullah 2017, hlm. 137.
  19. ^ Saifullah 2010, hlm. 11.
  20. ^ Saifullah 2010, hlm. 10.
  21. ^ Reid 2019, hlm. 31.
  22. ^ Ricklefs 1991, hlm. 353-356.
  23. ^ admin (2017-11-07). "Jumlah Penganut Agama di Indonesia Tiap Provinsi". TUMOUTOUNEWS. Diakses tanggal 2021-08-08. 
  24. ^ Mahfud et al. Muyasaroh, hlm. 227, 230.
  25. ^ Pengaruh Arsistektur Peradaban Islam di Indonesia, situs Era Muslim
  26. ^ Gerakan Memakmurkam Masjid, Institut Manajemen Masjid
  27. ^ Tejomukti 2018, hlm. 12.
  28. ^ "Nurun Maksuni, Pesantren dalam wajah Islam Indonesia, nusyria.net:2007". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-07. Diakses tanggal 2008-06-12. 
  29. ^ Anwar 2011, hlm. 19.
  30. ^ a b Usman 2001, hlm. 67.
  31. ^ Abdulsalam, Husein (25 Juni 2018). "Pemilu 1999: Parpol Islam dan Nasionalis Berlaga tanpa Komunis". Tirto.id. Diakses tanggal 28 Juli 2018. 

Daftar pustaka

Pranala luar