Buruh

kelas sosial yang terdiri dari anggota masyarakat yang dipekerjakan dalam pekerjaan tingkat yang lebih rendah
Revisi sejak 18 Oktober 2021 10.12 oleh Erdemaju (bicara | kontrib) (Faktor Pertimbangan Upah dan kondisi perusahaan: menyunting kata "namun" menjadi "tetapi".)

Buruh, pekerja, pegawai, tenaga kerja atau karyawan pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainnya kepada Pemberi Kerja atau pengusaha atau majikan.[1]

Buruh pengangkut beras di Museum Bank Indonesia.

Pada dasarnya, buruh, pekerja, tenaga kerja, maupun karyawan adalah sama. Namun dalam kultur Indonesia, "Buruh" berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran, dan sebagainya.[butuh rujukan] sedangkan pekerja, tenaga kerja, dan karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tetapi otak dalam melakukan kerja.[butuh rujukan] Akan tetapi, pada intinya sebenarnya keempat kata ini sama mempunyai arti satu yaitu pekerja. Hal ini terutama merujuk pada Undang-undang Ketenagakerjaan, yang berlaku umum untuk seluruh pekerja maupun pengusaha di Indonesia.

Buruh dibagi atas 2 klasifikasi besar:

  • Buruh profesional - biasa disebut buruh kerah putih, menggunakan tenaga otak dalam bekerja
  • Buruh kasar - biasa disebut buruh kerah biru, menggunakan tenaga otot dalam bekerja

Flexibel Labour Market

 
Industri garmen di Bangladesh.

Flexibel Labour Market (pasar tenaga kerja yang fleksibel) adalah pasar tenaga kerja yang ditentukan oleh mekanisme permintaan dan penawaran bebas antara pencari kerja, agen pencari kerja dan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja.

Pemerintah Indonesia termasuk di antara negara-negara yang mengadopsi kebijakan Flexibel Labour Market (pasar tenaga kerja yang fleksibel), sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan, yang belum secara signifikan berkurang setelah efek panjang dari krisis ekonomi 1998 (Bappenas, 2004; Widianto, 2006). Bentuk nyata dari kebijakan tersebut adalah adanya pekerja kontrak dan outsourcing. Istilah outsourcing ini secara formal muncul dalam Usulan Reformasi Kebijakan Ketenagakerjaan Bappenas 2005. Outsourcing dipandang sebagai salah satu cara untuk memperbaiki proses perekrutan melalui praktik-praktik yang fleksibel di tempat kerja (AKATIGA, 2006:2)

Pasar tenaga kerja yang fleksibel, setidaknya memiliki sejumlah ciri berikut:

  • Merupakan pasar bebas, yang bebas dari intervensi negara;
  • Memandang kebebasan pelaku untuk bertransaksi sebagai prasyarat bagi kinerja ideal dari pasar tenaga kerja;
  • Mengedepankan tujuan ekonomi dari interaksi pekerja, pencari kerja dan pengusaha;
  • Mengedepankan prinsip-prinsip hukum pasar berkaitan dengan fleksibilitas dalam hal pengangkatan dan pemberhentian, jam kerja, upah dan kesejahteraan.

Peningkatan fleksibilitas pasar tenaga kerja terjadi paling cepat di sektor manufaktur. Alasan berkenaan dengan penggunaan pekerja kontrak dan outsourcing, adalah:

  • Bagi pengusaha, sistem tersebut merupakan strategi baru yang dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi di tengah kerasnya persaingan di pasar komoditas dan fluktuasi tajam ekonomi;
  • Bagi pemerintah, sistem tersebut dianggap sejalan dengan keinginan menciptakan iklim usaha yang ramah investasi;
  • Bagi pemerintah daerah di daerah industri, sistem tersebut juga membantu peningkatan pertumbuhan investasi di sektor industri di daerahnya, yang diharapkan dapat mendongkrak pemasukan daerah.

Pada awalnya, flexibilisasi terjadi pada pekerja di bagian pendukung di sektor manufaktur, seperti pekerja kebersihan, keamanan, sopir, operator gudang dan catering yang memang diizinkan oleh hukum. Namun, belakangan juga merambah para pekerja di lini produksi utama akibat lemahnya pengawasan dan sikap permisif pemerintah.

Tenaga Kerja

Tenaga Kerja adalah penduduk yang berumur di dalam batas usia kerja. Batas usia kerja di Indonesia ialah minimum 10 Tahun, tanpa batas usia maksimum.

Buruh adalah mereka yang berkerja pada usaha perorangan dan di berikan imbalan kerja secara harian maupun borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, baik lisan maupun tertulis, yang biasanya imbalan kerja tersebut diberikan secara harian. Buruh ada 2 yaitu Tenaga Kerja Harian ( Harian Tetap dan Harian Lepas) dan Tenaga Kerja Borongan.

Tenaga Kerja Tetap

Tenaga kerja tetap (permanent employee) yaitu pekerja yang memiliki perjanjian kerja dengan pengusaha untuk jangka waktu tidak tertentu (permanent). Tenaga kerja tetap, menurut PMK-252 ditambahkan menjadi sebagai berikut: Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.

Tenaga Kerja Lepas

Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja. Yang di dapat atau Hak Teanaga kerja Lepas yaitu mendapat gaji sesuai kerjanya atau waktu kerja mereka, tanpa mendapat jaminan sosial. Karena Tenaga Kerja tersebut bersifat kontrak, setelah kontrak selesai, hubungan antara pekerja dan pemberi kerja pun juga selesai.

Jenis Penghasilan Pegawai Tidak Tetap

Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;

  • Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian.
  • Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
  • Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
  • Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.

Tenaga Kerja Indonesia

Tenaga Kerja Indonesia (disingkat TKI) adalah sebutan bagi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri (seperti Malaysia, Timur Tengah, Taiwan, Australia dan Amerika Serikat) dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Namun, istilah TKI sering kali dikonotasikan dengan pekerja kasar. TKI perempuan sering kali disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW).

Tenaga Kerja Borongan

Borongan atau pocokan yaitu hubungan kerja berdasarkan kerja borongan lepas dengan pembagian hasil menurut upah atas satuan hasil kerja atau upah yang diterima berdasarkan barang yang dapat diselesaikannya.

Tenaga lepas

Tenaga lepas atau pekerja lepas (Bahasa Inggris: freelance), adalah seseorang yang bekerja sendiri dan tidak berkomitmen kepada majikan jangka panjang tertentu.

Istilah "tenaga lepas" atau "pekerja lepas" adalah kata nomina untuk seseorang yang melakukan suatu pekerjaan. Pekerjaan yang mereka jalani sendiri disebut "pekerjaan lepas". Dalam bentuk bahasa Inggrisnya, "freelance", istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Sir Walter Scott (1771-1832) dari Britania Raya dalam novelnya "Ivanhoe" untuk menggambarkan seorang "tentara bayaran abad pertengahan" atau metafora untuk sebuah "tombak yang bebas" ("free-lance") (menunjukkan bahwa tombak tidak disumpah untuk melayani majikan apapun, bukan bahwa tombak tersedia gratis).

Bidang yang umum di mana seseorang dapat menjadi tenaga lepas meliputi: jurnalisme, penerbitan buku, penerbitan jurnal, dan bentuk-bentuk menulis, redaktur, redaktur-cetak, pengoreksi-cetak, pengindeksan, penyalin tulisan, programer komputer dan desain grafis, konsultan dan penerjemah

Praktek tenaga lepas sangat bervariasi. Beberapa memerlukan klien mereka untuk menandatangani kontrak tertulis, sementara yang lain dapat melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian lisan, yang mungkin dilaksanakan melalui sifat pekerjaan tersebut. Beberapa pekerja lepas dapat memberikan perkiraan tertulis dari hasil kerja mereka dan meminta pembayaran di muka dari klien mereka.

Pekerja Bangunan

Pekerja bangunan (Bahasa Inggris: labour) biasa disebut juga buruh bangunan. Pembangunan gedung kantor, rumah pribadi, sampai jalan dan jembatan, tak lepas dari peran mereka. Tenaga dan kerja mereka masih sangat dibutuhkan. Tempat tujuan profesi pekerja bangunan tentu saja perkotaan. Sebenarnya di desa juga ada pekerjaan, tetapi sedikit menyerap tenaga kerja. Sifat pekerjaan terbagi atas pekerjaan bangunan pribadi dan pekerjaan yang dikelola oleh suatu perusahaan.

Pekerja bangunan atau ada juga yang menyebut sebagai kuli bangunan terbagi atas dua tingkat. Yang pertama Tenaga atau Laden, ada juga yang menyebutnya Layan. Yang kedua Tukang. Tenaga atau Laden bertugas melayani apa saja kebutuhan Tukang dalam bekerja. Tukang bertugas mengerjakan proses berdirinya suatu bangunan. Tentu saja Tukang tingkatnya lebih tinggi dibanding Tenaga atau Laden. Karena itu bayaran hariannya berbeda.

Tukang juga terbagi menjadi dua, yaitu Tukang Kayu dan Tukang Batu. Biasanya kedua Tukang ini bekerjasama berdasar keahlian. Tapi terkadang ada juga yang mampu merangkap. Seperti halnya pada kepegawaian dengan tingkatan pangkat, pada pekerja bangunan juga mengenal tingkatan karier. Tingkatan terendah adalah Tenaga atau Laden/Layan. Tingkat selanjutnya yang lebih tinggi tentu saja Tukang. Karier profesi pekerja bangunan rata-rata hanya sampai pada tingkat Tukang. Di mana pada tingkat ini biasanya sudah mempunyai spesialisasi tersendiri, misalnya spesialis pemasangan keramik, spesialis finishing pengecatan, spesialis pemasangan kaca, dll. Namun pada dasarnya mereka mempunyai keahlian yang sama dalam pembuatan tembok bangunan.

Sebenarnya karier profesi sebagai Tukang masih bisa berlanjut lagi, tetapi jarang terjadi. Urutan kenaikan karier setelah Tukang adalah Kepala Tukang, Mandor, dan tentu saja Pemborong Bangunan atau bahkan Bos Borong. Kepala Tukang diambil dari Tukang yang nantinya bertanggung jawab terhadap mandor atas apa saja yang dikerjakan.

Buruh, karyawan dan buruh pabrik

Buruh selama ini dipersepsikan sebagai kelompok pekerja di pabrik yang berjumlah ratusan hingga ribuan orang. Dengan kekuatan kuantitatif yang dimiliki oleh buruh, asosiasi yang menaungi mereka memiliki kekuatan untuk mendapatkan posisi tawar saat berhadapan dengan pemilik perusahaan ataupun pemerintah.

Secara umum pengertian Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pengertian buruh di masyarakat adalah orang yang bekerja di wilayah-wilayah “ kasar” seperti pekerja bangunan, pekerja yang bekerja dipabrik.

Merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Sedangkan karyawan adalah orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dan sebagainya) dengan mendapat gaji (upah).

Meskipun KBBI memadankan kedua kata buruh dan karyawan dengan kata pekerja (orang yang melakukan suatu pekerjaan), tetapi kedua istilah pertama punya perbedaan yang mendasar, setidaknya berdasarkan apa yang didefinisikan KBBI.

Buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain, sedangkan karyawan bekerja untuk suatu lembaga atau instansi atau perusahaan.

Sedangkan karyawan (Bahasa Inggris: employee) terikat dalam kontrak kerja dengan lembaga atau perusahaan atau instansi. Ada kontrak tertulis yang ditandatangani kedua belah pihak. Ada gaji yang dibayar. Ada tunjangan yang ditambahkan. Ada fasilitas yang diberikan. Jumlah karyawan lebih dari seorang. Bekerja dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Walaupun si karyawan kenal dengan pemilik perusahaan, niscaya tidak ada hubungan apa-apa antara keduanya. Karyawan hanya memiliki dan menjalin ikatan dengan Bagian Sumber Daya Manusia atau Bagian Personalia. Gajinya diatur oleh orang-orang bagian ini yang memiliki status yang sama dengan orang lain di perusahaan tersebut: sebagai karyawan.

Itulah sebabnya pekerja di Hong Kong dan Taiwan lebih senang disebuh sebagai Buruh Migran Indonesia (BMI) alih-alih Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ataupun Tenaga Kerja Wanita (TKW). Karena mereka memahami betul arti buruh menurut pengertian bahasa dan budaya Indonesia.

Pekerja pabrik bisa saja diartikan sebagai buruh. Istilahnya buruh pabrik (Bahasa Inggris: factory labour), buruh yang bekerja di pabrik.

Karyawan baru

Menjadi karyawan atau pegawai baru dalam suatu perusahaan, berarti menjadi bagian dalam suatu tim yang saling berusaha dengan baik, dalam usaha menyukseskan program program perusahaan yang bersangkutan, seperti menjadi perusahaan terdepan dalam bidangnya, usaha dalam mendapat laba yang melebihi dari tahun sebelumnya, dan masih banyak lagi.

Namun adakalanya menjadi pegawai baru itu tak semudah dan seindah yang di bayangkan, akan ada banyak halangan dan rintangan, tetapi ini juga tak selalu ada, tergantung Anda dan tempat di mana Anda bekerja tersebut, dan ganguan gangguan yang biasa di rasakan oleh pegawai baru, seperti di acuhkan oleh senior, di bully, masih di anggap anak-anak, dan masih banyak lagi hal yang membuat tak nyaman bekerja untuk pegawai baru.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah hal yang paling ditakuti oleh pekerja akan tetapi sangat lazim dan sering ditemui di Indonesia. Apa pun penyebab berakhirnya hubungan kerja antara perusahaan dan karyawannya disebut dengan PHK.

Dalam dunia kerja, kita lazim mendengar istilah Pemutusan Hubungan Kerja atau yang sering disingkat dengan kata PHK. PHK sering kali menimbulkan keresahan khususnya bagi para pekerja. Keputusan PHK ini akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup dan masa depan para pekerja yang mengalaminya.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak.

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja jika:

  • Pekerja melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja dan/atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dan pekerja yang bersangkutan telah diberikan tiga surat peringatan, masing-masing dikeluarkan dalam jangka waktu enam bulan dari peringatan sebelumnya secara berturut-turut;
  • Pengusaha melakukan perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja tersebut kedalam perusahaan dengan status yang baru;
  • Perusahaan tutup karena mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 tahun atau keadaan memaksa (force majeur);
  • Perusahaan pailit;
  • Pekerja meninggal dunia
  • Pekerja memasuki usia pensiun;
  • Pekerja mangkir selama lima hari kerja berturut-turut tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah telah dipanggil oleh pengusaha dua kali secara patut dan tertulis; atau
  • Pekerja melakukan kesalahan berat dan telah tetapkan dalam putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pekerja dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

  • menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja;
  • membujuk dan/atau menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
  • tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 bulan berturut-turut atau lebih;
  • tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja;
  • memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
  • memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

Pekerja dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja jika pekerja mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.

Perusahaan Penyedia Tenaga Kerja

Berdasarkan pasal 66 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum (business entities) dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung-jawab di bidang ketenagakerjaan. Ketentuan tersebut dipertegas kembali dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Kep-101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh, khususnya dalam pasal 2 dan pasal 3, bahwa untuk dapat menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh wajib memiliki izin operasional dari instansi yang bertanggung-jawab di bidang ketenagakerjaan (c.q. Dinas Ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota) sesuai domisil perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan. Izin dimaksud berlaku di seluruh Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, dan (selanjutnya) dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.

Dengan demikian suatu perusahaan yang beroperasi di bidang penyedia jasa pekerja/buruh, selain harus memiliki tanda daftar perusahaan (TDP) dari “Dinas Perdagangan“ (sesuai pasal 5 dan 22 jo. pasal 11 dan pasal 12 UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan), juga harus memiliki izin operasional sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dari Dinas Ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota sesuai lokasinya.

Outsourcing (Alih Daya)

Bila merujuk pada Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Outsourcing (Alih Daya) dikenal sebagai penyediaan jasa tenaga kerja seperti yang diatur pada pasal 64, 65 dan 66. Dalam dunia Psikologi Industri, tercatat karyawan outsourcing adalah karyawan kontrak yang dipasok dari sebuah perusahaan penyedia jasa tenaga outsourcing. Awalnya, perusahaan outsourcing menyediakan jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan dan tidak mempedulikan jenjang karier. Seperti operator telepon, call centre, petugas satpam dan tenaga pembersih atau cleaning service. Namun saat ini, penggunaan outsourcing semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan.

Dengan menggunakan tenaga kerja outsourcing, perusahaan tidak perlu repot menyediakan fasilitas maupun tunjangan makan, hingga asuransi kesehatan. Sebab, yang bertanggung jawab adalah perusahaan outsourcing itu sendiri.

Meski menguntungkan perusahaan, tetapi sistem ini merugikan untuk karyawan outsourcing. Selain tak ada jenjang karier, terkadang gaji mereka dipotong oleh perusahaan induk. Bayangkan, presentase potongan gaji ini bisa mencapai 30 persen, sebagai jasa bagi perusahaan outsourcing. Celakanya, tidak semua karyawan outsourcing mengetahui berapa besar potongan gaji yang diambil oleh perusahaan outsourcing atas jasanya memberi pekerjaan di perusahaan lain itu.

Sistem Kerja Outsourcing

Sistem perekrutan tenaga kerja outsourcing sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sistem perekrutan karyawan pada umumnya. Perbedaannya, karyawan ini direkrut oleh perusahaan penyedia tenaga jasa, bukan oleh perusahaan yang membutuhkan jasanya secara langsung. Nanti, oleh perusahaan penyedia tenaga jasa, karyawan akan dikirimkan ke perusahaan lain (klien) yang membutuhkannya.

Dalam sistem kerja ini, perusahaan penyedia jasa outsource melakukan pembayaran terlebih dahulu kepada karyawan. Selanjutnya mereka menagih ke perusahaan pengguna jasa mereka.

Karyawan outsourcing biasanya bekerja berdasarkan kontrak, dengan perusahaan penyedia jasa outsourcing, bukan dengan perusahaan pengguna jasa.

Kontrak kerja

Kontrak kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban. Setiap perusahaan wajib memberikan kontrak kerja pada hari pertama anda bekerja. Dalam KONTRAK KERJA biasanya terpapar dengan jelas pekerja memiliki hak mendapat kebijakan perusahaan yang sesuai dengan Undang- undang ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Di dalamnya juga memuat mengenai prosedur kerja dan kode disiplin yang ditetapkan perusahaan.

Dari bunyi pasal 1601a KUH Perdata dapat dikatakan bahwa yang dinamakan KONTRAK KERJA harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

Adanya pekerja dan pemberi kerja

Antara pekerja dan pemberi kerja memiliki kedudukan yang tidak sama. Ada pihak yang kedudukannya diatas (pemberi kerja) dan ada pihak yang kedudukannya dibawah (pekerja). Karena pemberi kerja mempunyai kewenangan untuk memerintah pekerja, maka kontrak kerja diperlukan untuk menjabarkan syarat, hak dan kewajiban pekerja dan si pemberi kerja.

Pelaksanaan Kerja

Pekerja melakukan pekerjaan sesuai dengan apa yang ditetapkan di perjanjian kerja.

Waktu Tertentu

Pelaksanaan kerja dilakukan dalam kurun waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh pemberi kerja.

Adanya Upah yang diterima

Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya (Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah).

Syarat sahnya kontrak kerja

Pasal 1338 ayat (1) menyatakan bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal 1320 KHU Perdata. Pasal 1320 KHU Perdata menentukan syarat sahnya kontrak kerja yaitu adanya:

Kesepakatan

Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan.

Kewenangan

Pihak-pihak yang membuat kontrak kerja haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subjek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum mempunyai kewenangan untuk membuat kontrak. Yang tidak adalah anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.

Objek yang diatur harus jelas

Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif.

Kontrak kerja harus sesuai dengan Undang - Undang.

Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan. Dan tidak boleh bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan.

Perbedaan Karyawan Kontrak (Outsourcing) dengan Karyawan Tetap

Beberapa orang takut jika mendengar kata outsourcing. Kenapa? Karena stigma tentang kata outsourcing lebih melekat pada karyawan outsourcing. Berikut mungkin dapat menambah informasi Anda tentang perbedaan Karyawan Kontrak (Outsourcing) dengan Karyawan Tetap:

Definisi umum karyawan kontrak (Outsourcing)

Definisi dan ketentuan yang berlaku untuk karyawan kontrak adalah sbb:

  • Karyawan kontrak dipekerjakan oleh perusahaan untuk jangka waktu tertentu saja, waktunya terbatas maksimal hanya 3 tahun.
  • Hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan kontrak dituangkan dalam “Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu”
  • Perusahaan tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan
  • Status karyawan kontrak hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
    • Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya ;
    • Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun ;
    • Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
    • Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
    • Untuk pekerjaan yang bersifat tetap, tidak dapat diberlakukan status karyawan kontrak.
  • Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan yang telah disepakati bersama, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar gaji karyawan sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja
  • Jika setelah kontrak kemudian perusahaan menetapkan ybs menjadi karyawan tetap, maka masa kontrak tidak dihitung sebagai masa kerja.
Definisi umum karyawan tetap

Definisi dan ketentuan yang berlaku untuk karyawan tetap adalah sbb:

  • Tak ada batasan jangka waktu lamanya bekerja
  • Hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan kontrak dituangkan dalam “Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu”
  • Perusahaan dapat mensyaratkan masa percobaan maksimal 3 bulan.
  • Masa kerja dihitung sejak masa percobaan.
  • Jika terjadi pemutusan hubungan kerja bukan karena pelanggaran berat atau karyawan mengundurkan diri maka karyawan tetap mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja (bagi karyawan yang bekerja minimal 3 tahun) dan uang penggantian hak sesuai UU yang berlaku.

Turnover / Perputaran

Turnover intentions (intensi keluar) adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya (Zeffane, 1994). Menurut Bluedorn dalam Grant et al., (2001) turnover intention adalah kecenderungan sikap atau tingkat di mana seorang karyawan memiliki kemungkinan untuk meninggalkan organisasi atau mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaanya. Lebih lanjut dijelaskan Mobley, Horner dan Hollingsworth, 1978 dalam Grant et al., (2001) keinginan untuk pindah dapat dijadikan gejala awal terjadinya turnover dalam sebuah perusahaan. Intensi keluar (turnover intensions) juga dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi. Turnover dapat berupa pengunduran diri, perpindahan keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota organisasi.

Robbins (1996), menjelaskan bahwa turnover dapat terjadi secara sukarela (voluntary turnover) maupun secara tidak sukarela (involuntary turnover). Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, involuntary turnover atau pemecatan menggambarkan keputusan pemberi kerja (employer) untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya.

Turnover didefinisikan sebagai tingkat pekerja yang meninggalkan pekerjaan atau perusahaan. Lebih spesifik, involuntary turnover adalah pemisahan yang dilakukan oleh organisasi (PHK), dan voluntary turnover adalah terjadi ketika perusahaan lebih menyukai pekerja tetap pada pekerjaannya,contohnya pengunduran diri, pindah, dll.

Keinginan untuk pindah atau turnover intention adalah kecenderungan sikap atau tingkat di mana seorang karyawan memiliki kemungkinan untuk meninggalkan organisasi atau mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaanya (Bluedorn, 1982 dalam Grant et al., 2001). Lebih lanjut menurut Mobley (1979), Horner dan Hollingsworth, 1978 dalam Grant et al., 2001) keinginan untuk pindah dapat dijadikan gejala awal terjadinya turnover dalam sebuah perusahaan.

Menurut Bedian dan Achilles (1981); Netemeyer et al, (1990); Sager (1994) dalam Grant et al., (2001), semakin tinggi kepuasan kerja dan komitmen organisasi diharapkan akan menurunkan maksud dan tujuan karyawan untuk meninggalkan organisasi. Lebih lanjut, karyawan yang tidak puas dengan aspek- aspek pekerjaannya dan tidak memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih mungkin mencari pekerjaan pada organisasi yang lain

Menurut Harninda (1999:27), intensi turnover pada dasarnya adalah sama dengan keinginan berpindahnya karyawan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa intensi turnover adalah keinginan untuk berpindah, belum pada tahap realisasi yaitu melakukan perpindahan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya.

Harnoto (2002:2) juga menyatakan intensi turnover adalah kadar intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan, banyak alasan yang menyebabkan timbulnya intensi turnover ini dan di antaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Pendapat tersebut juga relatif sama dengan pendapat yang diungkapkan sebelumnya, bahwa intensi turnover pada dasarnya adalah keinginan untuk meninggalkan (keluar) dari perusahaan.

Toly (2001) menyatakan tingkat keinginan berpindah yang tinggi para staf akuntan telah menimbulkan biaya potensial untuk Kantor Akuntan Publik (KAP). Pendapat ini menunjukkan bahwa intensi turnover merupakan bentuk keinginan karyawan untuk berpindah ke perusahaan lain.

Handoko (2000:322) menyatakan, ”Perputaran (turnover) merupakan tantangan khusus bagi pengembangan sumber daya manusia. Karena kejadian-kejadian tersebut tidak dapat diperkirakan, kegiatan-kegiatan pengembangan harus mempersiapkan setiap saat pengganti karyawan yang keluar. Di lain pihak, dalam kasus nyata, program pengembangan perusahaan yang sangat baik justru meningkatkan intensi turnover.

Faktor Pertimbangan Upah dan kondisi perusahaan

Sistem Upah merupakan kebijakan dan strategi yang menentukan kompensasi yang diterima pekerja. Kompensasi sendiri merupakan bayaran atau upah yang diterima oleh pekerja sebagai balas jasa atas hasil kerja mereka. Bagi pekerja, masalah sistem upah ini merupakan masalah yang penting karena menyangkut keberlangsungan dan kesejahteraan hidup mereka. Tak heran bila dari buruh hingga direktur sebuah perusahaan, tidak ada topik yang lebih menarik dan lebih sensitif daripada masalah gaji. Isu diskriminasi dan kesenjangan sosial bisa muncul karena adanya perbedaan gaji. Buruh sering kali berunjuk rasa menuntut kenaikan gaji atau menuntut bonus yang belum keluar. Bahkan sering terjadi, karyawan-karyawan dengan potensi baik pindah ke perusahaan lain karena merasa kurang dihargai secara finansial.

Bagi perusahaan sendiri, upah menjadi hal yang penting karena upah bisa mencapai 80% dari biaya operasi dari perusahaan. Upah jika terlalu tinggi akan menghasilkan harga produk menjadi terlalu mahal untuk bersaing secara efektif di pasar. Meskipun demikian, bila gaji itu rendah maka akan membuat pekerja keluar, semangat kerja rendah, dan produksi menjadi tidak efisien. Itulah mengapa sistem upah harus diatur dengan baik sehingga mampu memenuhi kebutuhan pekerja tetapi dengan tetap menjaga pengeluaran perusahaan.

Sebuah perusahaan dalam memberikan gaji kepada karyawannya harus melihat bagaimana perusahaan serupa atau perusahaan dengan industri sejenis di pasar memberikan gaji kepada karyawannya. Sejumlah perusahaan berani memberikan besar karena kondisi perusahaan sedang membaik dan membutuhkan tenaga-tenaga kerja terbaik. Namun bisa jadi, perusahaan memberikan gaji rendah karena bisnis perusahaan tersebut sedang menurun atau tidak dapat berkembang.

Perusahaan juga dapat menggunakan survei gaji (wage survei) untuk mengetahui berapa tingkat gaji yang berlaku di dalam bidang tersebut. Survei gaji merupakan koleksi data yang menyediakan data gaji dalam sebuah industri atau dalam wilayah geografi tertentu. Survei ini dilakukan oleh organisasi tertentu, pemerintah lokal, dan lain-lain. Di Indonesia, salah satu survei gaji dilakukan oleh konsultan SDM Hay Management dengan judul Compensation & Benefit Survei.

Pemerintah mengatur pengupahan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 tanggal 29 Mei 1989 tentang Upah Minimum. Pada Peraturan Menteri ini, upah minimum dibagi dalam 3 kriteria yaitu Upah Minimum Regional, Upah Minimum Sektor Regional, dan Upah Minimum Sub Rektor Regional. Lalu PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom mengubah pemberlakuan Upah Minimum Regional (UMR) menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota ini ditetapkan setahun sekali dengan SK Gubernur.

Upah Minimum Provinsi adalah Upah Minimum yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di suatu provinsi. Sementara itu, Upah Minimum Kabupaten/Kota adalah upah minimum yang berlaku di daerah Kabupaten/Kota. Dari pengertian tersebut, maka istilah Upah Minimum Provinsi dianggap sama dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota. Upah Minimum Provinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001.

Besaran Upah Minimum antardaerah juga tidak sama karena penetapan dilakukan oleh gubernur masing-masing daerah karena pejabat ini paling mengerti kondisi daerahnya. Faktor lain yang turut mempengaruhi UMP/UMK adalah Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), Indeks Harga Konsumen (IHK), kondisi pasar kerja dan tingkat perkembangan ekonomi serta pendapatan per kapita. Menurut Humas Depnakertrans, UMP/UMK merupakan batas terendah yang bisa dibayarkan pengusaha kepada pekerja dan buruh. Perusahaan yang melanggar ketentuan upah minimum dikenai sanksi pidana dan atau denda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

Mengenai pajak penghasilan yang berhubungan dengan upah minimum provinsi atau upah minimum kabupaten/kota, diatur pemerintah melalui PP No. 5 Tahun 2003 mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima oleh Pekerja sampai dengan Sebesar Upah Minimum Provinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota. Peraturan ini dibuat karena berdasarkan kenyataan masih banyak pekerja yang memperoleh penghasilan dalam sebulan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak, tetapi masih di bawah atau sebesar UMP atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Sebagai akibatnya, pekerja tersebut dikenakan PPh Pasal 21 atas penghasilannya, sehingga mungkin mengurangi maksud peningkatan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan. Oleh karena itu, penghasilan pekerja sampai dengan sebesar UMP/UMK, tidak terhutang pajak penghasilan (PPh Pasal 21).

Lima Faktor Pertimbangan Upah Minimum

Penetapan upah minimum di banyak negara tidak terlepas dari kebijakan ILO berkenaan upah minimum sebagaimana tercermin dalam sejumlah konvensi dan rekomendasi ILO. Satu konvensi yang terpenting berkenaan dengan upah minimum adalah Konvensi ILO No 131 yang secara khusus mengatur upah minimum di negara-2 berkembang, diadopsi tahun 1970. Konvensi ini muncul di karenakan fakta bahwa perundingan bersama dan mekanisme lainnya dalam penentuan upah tidak berjalan seluas dan secepat yang di harapkan.

Pada pasal 3 dari konvesi tersebut mensyaratkan bahwa pihak yang berwenang dalam menentukan upah minimum harus mempertimbangkan beberapa unsur berikut ini:

  • kebutuhan dari pekerja dan keluarganya, dengan mempertimbangkan tingkat upah secara umum di negara bersangkutan, biaya hidup, jaminan perlindungan social dan standar kehidupan relative dari kelompok sosial lainnya.
  • Faktor ekonomi, termasuk tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat

produktivitas, dan kemampuan untuk mencapai dan menjaga tingkat pekerjaan yang tinggi. (the desirability of attaining and maintaining a high level of employment).

Sayangnya konvensi ini belum di ratifikasi oleh Indonesia hingga saat ini. Sehingga penetapan upah minimum yang kita lakukan masih berbasis pada kebutuhan hidup lajang dan bukan kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya. Namun demikian, secara umum kriteria yang digunakan dalam penetapan upah minimum sebagian besar di adopsi dari konvesi ILO 131 tentang upah minimum. Hal ini sebagaimana terlihat pada factor pertimbangan upah minimum di Indonesia yang di atur dalam Permenaker No.17 Tahun 2005 dan perubahan revisi KHL dalam permenaker No 13 Tahun 2012.

Adapun factor-faktor yang dipertimbangkan dalam penetapan upah minimum meliputi;

  • Nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
  • Produktivitas makro;
  • Pertumbuhan ekonomi
  • Kondisi pasar kerja
  • Kondisi usaha yang paling tidak mampu (marginal)

Dalam ketentuan ini di tegaskan bahwa dalam menetapkan upah minimum, gubernur harus membahas secara simultan dan mempertimbangkan 5 factor-faktor tersebut.

Lebih jauh ke 5 faktor pertimbangan tersebut diurai secara mendalam dalam sub bab dibawah ini.

  • nilai KHL yang diperoleh dan ditetapkan dari hasil survei;
  • produktivitas makro yang merupakan hasil perbandingan antara jumlah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan jumlah tenaga kerja pada periode yang sama;
  • pertumbuhan ekonomi merupakan pertumbuhan nilai PDRB;
  • kondisi pasar kerja merupakan perbandingan jumlah kesempatan kerja dengan jumlah pencari kerja di daerah tertentu pada periode yang sama;
  • kondisi usaha yang paling tidak mampu (marginal) yang ditunjukkan oleh perkembangan keberadaan jumlah usaha marginal di daerah tertentu pada periode tertentu.

Menilai dan menganalisis sehat tidaknya suatu perusahaan

Setiap perusahaan yang didirikan pasti mempunyai tujuan perusahaan tersebut dapat menghasilkan keuntungan, berkembang dan sehat. Tetapi dalam kenyataannya meskipun perusahaan dapat menghasilkan keuntungan apakah perusahaan tersebut pasti sehat ? untuk itu perlu dianalisis apakah perusahaan yang menghasilkan keuntungan dan tampak berkembang tersebut dalam keadaan sehat.

Suatu perusahaan dapat berada pada salah satu keadaan, di mana (1) perusahaan dalam keadaan likwid dan solvable; (2) likwid tetapi insolvable ; (3) illikwid tetapi solvable dan (4) illikwid dan insolvable. Apabila dijelaskan masing-masing keadaan diatas bahwa perusahaan yang likwid dan solvable adalah keadaan perusahaan yang tidak mengalami kesulitan keuangan dan perusahaan dalam keadaan sehat, sedangkan keadaan yang likwid tetapi insolvable adalah keadaan di mana perusahaan tidak mengalami kesulitan keuangan tetapi dalam keadaan tidak sehat. Untuk keadaan perusahaan yang illikwid tetapi solvable adalah keadaan di mana perusahaan dalam kesulitan keuangan tetapi masih dalam keadaan sehat, sedangkan keadaan yang illikwid dan solvable adalah keadaan di mana perusahaan dalam keadaan kesulitan keuangan dan juga tidak sehat.

Di antara 4 keadaan tersebut yang paling baik adalah keadaan yang pertama yaitu keadaan yang likwid dan solvable (sehat), yang paling tidak baik adalah keadaan ke 4 yaitu keadaan yang illkwid dan insolvable (tidak sehat atau bangkrut), di antara nomor 2 dan 3 (kondisi rawan) meskipun kurang baik tetapi keadaan mana yang masih lebih baik . Di antara nomor 2 dan 3 tersebut, keadaan yang masih lebih baik adalah keadaan nomor 2 yaitu keadaan yang likwid tetapi insolvable, karena kalau pada saat jangka pendek perusahaan bisa membayar semua kwajiban keuangannya tetapi jangka panjang kesulitan keuangan, masih dapat memperbaiki struktur keuangannya dengan menambah modal sendiri atau pinjaman karena masih dipercaya oleh fihak ketiga, tetapi kalau keadaan yang ke 3 yaitu keadaan yang illikwid tetapi solvable, dalam jangka pendek perusahaan kesulitan memenuhi kwajiban keuangannya tetapi jangka panjang tidak ada masalah keuangan. Kalau jangka pendek sudah kesulitan memenuhi kwajiban keuangannya perusahaan akan kehilangan kepercayaan dari fihakinternal maupun eksternal perusahaan terutama bank, sehingga kalau membutuhkan tambahan modal dari pinjaman akan sulit terpenuhi, dan untuk fihak internal perusahaan dampaknya akan menurunkan semangat kerja.

Serikat buruh / Serikat pekerja

Berdasarkan ketentuan umum pasal 1 Undang-undang Tenaga Kerja tahun 2003 no 17, serikat buruh/serikat pekerja merupakan organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Sejarah

Serikat pekerja di indonesia erat hubunganya dengan Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia .Dan semua ini juga hasil dari kemerdekaan negara Republik Indonesia.

Pada 15 September 1945 lahir sebuah organisasi massa buruh yang bernama BBI (Barisan Buruh Indonesia). BBI mengutamakan barisan buruh untuk memudahkan mobilisasi oleh serikat sekerja dan Partai Buruh. Dalam kongresnya pada bulan September 1945 yang dihadiri oleh kaum buruh dan tani, tercetuslah Partai Buruh Indonesia. BBI juga sepakat untuk menuntaskan revolusi nasional. Untuk mempertahankan tanah air dari serangan musuh, BBI membentuk Laskar Buruh bersenjata di pabrik pabrik. Untuk kaum perempuan dibentuk Barisan Buruh Wanita (BBW).

BBI dilebur menjadi GASBI (Gabungan Serikat Buruh Indonesia) pada 1946. Serikat buruh yang tidak sepakat dengan struktur GASBI keluar dan membentuk GASBV (Gabungan Serikat Buruh Vertikal). Tetapi pada bulan November, tahun yang sama, atas usaha Alimin dan Harjono, GASBI dan GASBV berhasil dilebur menjadi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).

SOBSI sempat mengalami perpecahan akibat perbedaan sikap dalam menanggapi perjanjian Renville pada 1948. Tetapi tidak lama kemudian SOBSI berhasil kembali mengkonsolidasikan pecahan-pecahannya. Bahkan dalam pernyataan politiknya tahun 1948, SOBSI kemudian menegaskan menolak perjanjian Renville. SOBSI kemudian menyatakan keluar dari HISSBI (Himpunan Serikat-serikat buruh Indonesia) karena perbedaan garis politik.

Soekarno mengeluarkan dua konsepsi mengenai kabinet karya dan dewan nasional pada tahun 1957. Kabinet karya ini adalah kabinet eksekutif yang menampung orang-orang di parlemen dan partai politik. Buruh sebagai golongan fungsional mendapatkan tempat di Dewan Perancang Nasional. Anggota Dewan ini 77 orang, dan dari 77 itu ada lima wakil angkatan buruh/pegawai yaitu dari SOBSI, SOBRI,RKS dan dua orang dari KBKI.Sementara di Dewan Pertimbangan Agung, duduk dua orang wakil dari buruh yaitu dari SOBSI dan KBKI.

Dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) didirikan sebagai satu-satunya serikat buruh yang diakui pemerintah pada 1973.

Bentuk-bentuk Serikat Pekerja / Buruh

 
Logo Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia

Menurut buku yang diterbitkan oleh sebuah organisasi pekerja / buruh internasional yaitu International Union of Foon and Allied Worker's Association dalam Buku Pegangan Serikat Buruh edisi 5 (10-16) pada prinsipnya serikat pekerja / buruh memiliki beberapa bentuk organisasi yaitu:

Serikat Buruh Kejuruan

Serikat buruh ini merupakan jenis organisasi serikat buruh yang paling tua, serikat jenis ini adalah kumpulan dari orang-orang yang memiliki jenis dan keterampilan yang sama. Cara kerja organisasi serikat buruh ini ada dua, yaitu:

  • Mengawasi bagaimana penambahan jumlah tenaga kerja dalam bidang ini dengan sistem magang.
  • Mengawasi tingkat upah yang dibayarkan terhadap pekerjaan mereka, dengan cara ini mereka dapat menekan majikan untuk membayar upah buruh sesuai dengan tingkat yang ditentukan.
Federasi Umum

Jenis organisasi serikat buruh ini terdiri dari para buruh tanpa memperhatikan perbedaan keterampilan, tempat kerja dan siapa majikan mereka. Pada awalnya serikat jenis ini cenderung mengorganisir buruh tidak terampil seperti serikat buruh kejuruan. Bentuk organisasi ini merupakan alternatif yang terbaik dalam proses pengorganisasian serikat buruh di negara-negara kecil di mana tidak ada satu serikat buruh yang cukup maju.

Organisasi serikat ini biasanya sangat kuat dan besar karena menyatukan para buruh di dalam satu payung organisasi untuk menghadapi para majikan di berbagai tempat, di tingkat lokal, wilayah, dan nasional. Kemampuan mobilisasi buruh di berbagai perusahaan atau jenis industri menyebabkan cukup kuat dalam menghadapi majikan. Serikat ini juga dapat membangun aksi solidaritas atau bantuan keuangan bagi buruh di perusahaan-perusahaan lain.

Meskipun demikian, bentuk organisasi buruh seperti ini bukan tanpa kelemahan. Mulanya mungkin saja ada persaingan di antara anggota serikat buruh ini yang dapat memperlemah kekuatan gerakan buruh. Selain itu, organisasi serikat buruh jenis ini sering kesulitan untuk membentuk suatu kebijakan yang dapat memuaskan setiap anggotannya yang berbeda-beda jenis pekerjaan dan perusahaan. Tapi hal tersebut dapat diatasi dengan membentuk struktur organisasi perwakilan per wilayah yang berimbang.

Serikat Buruh Industri Nasional atau Federasi

Jenis organisasi ini menyatukan seluruh buruh di dalam suatu cabang industri tertentu, seperti serikat buruh makanan atau industri sejenis, logam atau industri kimia. Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara buruh terampil dan buruh tidak terampil, buruh kerah putih (white color) atau kerah biru (blue color). Semuanya bersatu dalam satu organisasi yang bergerak dalam satu cabang industri tertentu.

Para buruh di dalam satu cabang industri biasanya memiliki suatu masalah bersama. Tidak seperti dalam organisasi serikat buruh berbentuk Federasi atau keahlian, dalam serikat buruh yang berasaskan nasional seperti ini, perbedaan kepentingan di setiap bidang dapat diatasi dengan mudah.

Selain itu, serikat buruh industri dapat menyatukan tindakan- tindakan mereka dalam tingkat nasional, seperti bagaimana menghadapi suatu perundang-undangan nasional atau ketika mereka membutuhkan jasa yang biayanya terlalu mahal.

Serikat Buruh Sekerja

Bentuk organisasi ini mengorganisir para buruh di dalam satu pabrik atau perusahaan yang sama. Bentuk organisasi ini memerlukan proses pengorganisasian buruh karena mereka dapat merumuskan suatu tindakan yang memperjuangkan kepentingan mereka menghadapi perusahaan. Meskipun demikian, organisasi ini cenderung tidak terlalu besar dan biasanya juga lemah dalam menghadapi kekuatan para majikan, kerugian lainnya adalah kemungkinan dominasi kalangan manajemen dalam struktur organisasi serikat buruh ini karena mereka juga termasuk buruh dalam satu perusahaan atau pabrik tersebut.

Organisasi Buruh

  • ILO - International Labour Organization
  • FSPS - Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa
  • ABM - Aliansi Buruh Menggugat
  • FPBJ - Federasi Perjuangan Buruh Jabodetabek
  • SPSI - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
  • SPN - Serikat Pekerja Nasional
  • FSBI - Federasi Serikat Buruh Independen
  • GASBIINDO - Gabungan Serikat-serikat Buruh Islam Indonesia
  • KASBI - Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia
  • FSPMI - Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia
  • FSP KEP - Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi Pertambangan dan Umum
  • ASPEK Indonesia - Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia

Buruh pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik secara jasmani maupun rohani.

Buruh pada dasarnya hanya menunjuk kepada tenaga kerja di bidang industri dan jasa.

Fungsi serikat buruh

Sesuai dengan pasal 102 UU Tenaga Kerja tahun 2003, dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja dan serikat pekerja mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

Gerakan Buruh dan Partai Politik

Gerakan politik tak berarti harus mendirikan parpol, menjadi anggota badan legislatif atau kepala daerah. Namun, gerakan buruh memiliki kemampuan memengaruhi kebijakan politik negara, khususnya terkait nasib buruh. Bung Karno pernah mengatakan, gerakan buruh harus melakukan machtsvorming, proses pembangunan atau pengakumulasian kekuatan, melalui pewadahan setiap aksi dan perlawanan kaum buruh dalam serikat buruh, menggelar kursus politik, mencetak dan menyebarluaskan terbitan, mendirikan koperasi buruh, dan sebagainya.

Terlepas dari kesalahan gerakan buruh di masa Orde Lama yang terlalu fokus ke dalam urusan politik ketimbang kesejahteraan buruh, satu hal yang membuat gerakan buruh dulu kuat: mereka memiliki pemahaman ideologis jernih dan pengaruh politik yang kuat. Ini terjadi karena ada pendidikan politik buruh yang diajarkan dalam organisasi buruh. Seseorang yang telah memiliki pemahaman ideologi akan militan: tak mau jadi kutu loncat, berpindah-pindah ke organisasi lain. Jadi, sekalipun serikat buruh dulu terpecah dalam berbagai faksi, perpecahan didasarkan karena perbedaan ideologis. Itu bedanya dengan gerakan buruh era Reformasi.

Ratusan serikat buruh nasional saat ini kebanyakan lahir akibat perpecahan yang dilatari masalah personal: karena kalah dalam perebutan suara saat kongres, marah dan mendirikan organisasi baru. Banyak dari gerakan buruh ini akhirnya terjebak pada kepentingan personal dan perjuangannya terbatas pada tuntutan normatif. Minimnya kemampuan finansial akibat minimnya anggota yang membayar iuran membuat aktivis buruh memilih jalur yang dirasa akan memberikan hasil tercepat dengan cara instan.

Gerakan buruh Indonesia harus segera berefleksi, mengapa kebebasan berserikat yang luas ini belum mampu menunjukkan efek terhadap pengaruh politik buruh? Jawabannya berkisar pada absennya tiga hal pokok. Pertama, serikat buruh tidak bersatu dalam sebuah wadah nasional. Dalam kondisi saat ini, ide penyatuan semua serikat buruh hanya bagus di tingkat wacana, tetapi sulit di tingkat operasional karena persaingan, saling curiga, dan ego personal masih pekat.

Ini hanya rekomendasi wacana untuk jangka panjang. Serikat buruh Jepang, AS, Jerman, dan Pakistan butuh lebih dari 50 tahun untuk bersatu. Karena serikat buruh Indonesia tak memiliki ideologi berbeda, penyatuan gerakan buruh dalam satu wadah tak perlu melewati rute panjang seperti empat negara itu.

Kedua, belum ada kekuatan serikat buruh dominan, atau absennya koalisi gerak- an buruh sebagai kekuatan penyeimbang atas sistem kapitalis. Di banyak negara yang mengizinkan lahirnya banyak serikat, sebuah serikat buruh sulit memiliki pengaruh politik yang kuat akibat tingginya fragmentasi dan konflik horizontal antar serikat dalam rebutan anggota. Jadi, pilihan yang tersedia untuk menguatkan gerakan buruh: menyatukan beberapa serikat buruh yang sehaluan dalam satu koalisi.

Ide koalisi tiga konfederasi buruh besar Indonesia (KSBSI, KSPSI, KSPI yang disebut Majelis Pekerja/Buruh Indonesia [MPBI]) adalah sebuah inisiatif bagus mengatasi kerumitan di atas. Yang harus dijaga adalah MPBI jangan tergoda jadi alat tunggangan politik personal atau dimanfaatkan untuk tujuan politik praktis, khususnya menjelang Pemilu 2014, sebab akan menciptakan trauma jangka panjang buat buruh mendirikan koalisi di masa datang.

Ketiga, masih lemahnya kapasitas pemimpin buruh dalam memperkenalkan solusi alternatif. Yang tampak menonjol masih dalam bentuk menyuarakan tuntutan dan kritik. Serikat buruh pada hakikatnya bukan gerakan oposisi karena ada peran khas yang diembannya dan terikat dalam prinsip bipartitisme dan tripartisme. Dalam relasinya dengan pengusaha dan pemerintah, serikat buruh tidak bisa berperan sebagai oposan murni atas kedua mitranya. Prinsip oposisi tak dikenal dalam prinsip bipartit dan tripartit; yang ada adalah kesediaan merundingkan tuntutan, mendiskusikan pilihan, tanpa keinginan menjatuhkan lawan.

Serikat buruh tidak bisa bergaya seperti partai oposisi, LSM, atau gerakan mahasiswa yang bisa melakukan negasi, kritik, tanpa alternatif operasional. Sebagai salah satu konstituen yang bernegosiasi dalam wadah bipartit dan tripartit, serikat buruh bahkan dituntut ikut menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan untuk menyelamatkan anggotanya dari PHK. Dalam kamus ILO diistilahkan sebagai social dialogue, menggantikan ide klasik Marx dalam bentuk pertentangan kelas melalui jalur social confrontation. Serikat buruh tidak lagi diarahkan merebut alat produksi dari kaum borjuis, tetapi memperjuangkan pembagian keuntungan yang adil.

Hanya saja, syarat utama ide social dialogue: ada jaminan kebebasan berserikat bagi buruh. Tanpa jaminan ini, jalur perjuangan buruh akan tetap berbau konfrontasi. Pengalaman internasional, kian tinggi cakupan buruh diwadahi serikat buruh, semakin harmonis hubungan industri di negara itu. Teori ini juga berlaku sebaliknya. Jadi, kunci utama terciptanya hubungan industri yang harmonis adalah mempertinggi kondisi yang nyaman buat buruh bebas berserikat dan berunding.

Dari tuntutan normatif ke politik

Akibat kurangnya pengaruh politik, aksi gerakan buruh cenderung pada perjuangan ekonomi: menuntut upah, bonus, jaminan sosial, dan hubungan kerja. Mayoritas buruh masih belum paham akar penindasan yang dialaminya saat ini bersumber dari sistem kapitalisme. Untuk memahami ini, buruh harus mengetahui soal ekonomi politik. Tanpa paham ini, aksi buruh akan reaktif dan sporadis. Program aksi harus dipandu sebuah ideologi dan agenda politik jangka panjang. Jangan sampai rezim berganti, nasib buruh tak berubah. Di era Soeharto, buruh direpresi dengan pengekangan kebebasan berserikat.

Di era Habibie, di bawah tekanan reformasi, kebijakan perburuhan sedikit lebih baik karena Indonesia meratifikasi delapan konvensi dasar ILO (salah satunya kebebasan buruh berserikat). Di era Megawati, buruh justru mendapat UU kontroversial (No 13/2013) tentang liberalisasi sistem alih daya dan privatisasi BUMN. Di masa SBY, buruh menghadapi maraknya pelanggaran UU ketenagakerjaan dan ketimpangan pendapatan terparah dalam sejarah Indonesia (rasio Gini). Gerakan buruh tak boleh membiarkan momentum tahun politik berlalu tanpa arti. Masih ada waktu menyatukan suara dan aksi bersama menegosiasikan agenda politik buruh. Jangan lagi buruh hanya tempat mendulang suara partai tanpa komitmen atas aspirasi buruh.

Demonstrasi dan kerusuhan buruh

Setiap tanggal 1 Mei disebut dengan hari buruh internasional dengan istilah May Day. Di Indonesia, peringatan hari buruh ini diekspresikan dengan demo besar-besaran. Sepanjang tahun, tuntutan para buruh berkisar pada tiga tuntutan utama yaitu penghapusan sistem kontrak alih daya (outsourcing), perbaikan tingkat upah, dan pemberian jaminan sosial kesehatan. Aksi ini juga merupakan bentuk ekspresi kekecewaan para pekerja terhadap pemerintah yang dianggap tidak peka merespons aspirasi mereka.

Memang tak mudah untuk memenuhi 3 tuntutan buruh di atas, bila pemenuhannya ditanggungkan pada pengusaha semata. Akan ada problem baru. Pengusaha akan memasukkan komponen kenaikan upah ke dalam kenaikan biaya produksi, akan diikuti dengan keputusan menaikkan harga jual barang, terjadi inflasi, daya beli masyarakat semakin rendah dan pada gilirannya buruh tetap kesulitan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi karena kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja yang menjadi pilar sistem kapitalisme. Dengan kebebasan ini, seorang pengusaha yang senantiasa berorientasi keuntungan dianggap sah mengeksploitasi tenaga buruh. Dengan kebebasan ini pula, kaum buruh diberi ruang kebebasan mengekspresikan tuntutannya akan peningkatan kesejahteraan dengan memanfaatkan serikat pekerja, melakukan sejumlah intimidasi bahkan tindakan anarkis sekalipun.

Sedangkan dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha sendiri, disebabkan oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Maka tidak heran namanya Upah Minimum. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum sekadar untuk mempertahankan hidup mereka. Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan Sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.

Seharusnya negara menata dua aspek dengan tatanan regulasi sedemikian sehingga tidak muncul problem perburuhan. Pertama, aspek mikro terkait kontrak kerja antara buruh dan pengusaha. Dengannya akan terjawab bukan hanya besaran upah, tetapi juga masalah kepastian kerja (PHK) dan besarnya pesangon. Kedua, aspek makro menyangkut hak setiap orang, termasuk buruh untuk memperoleh kesejahteraan. Penyelesaian aspek ini, akan menempatkan buruh dan pengusaha pada posisi tawar yang semestinya.

Solusi Persoalan Mikro Perburuhan, bisa diatasi dengan memperbaiki hubungan kontrak kerja antara pekerja dan pengusaha. Transaksi kontrak tersebut sah menururt jika memenuhi persyaratan dan ketentuan yang jelas mengenai: (a) Bentuk dan jenis pekerjaan, (b) Masa Kerja, (c) Upah Kerja dan (d) Tenaga yang dicurahkan saat bekerja. Jika keempat masalah tersebut jelas dan disepakati maka kedua belah pihak terikat dan harus memenuhi apa yang tercantum dalam kesepakatan tersebut.

Intinya penentuan upah buruh adalah kesepakatan antara buruh dengan pengusaha dengan menjadikan manfaat tenaga sebagai patokan penentuannya. Beban kebutuhan hidup, biaya kesehatan dan tanggungan lain buruh tidak menjadi faktor penentu upah. Tidak ada unsur eksploitasi terhadap buruh karena semua hal sudah saling diketahui. Juga tidak akan membebani penguasa karena menanggung beban biaya yang tidak memberikan pengaruh ke produksi semisal asuransi kesehatan, tunjangan pendidikan dan dana pensiun.

Sedangkan aspek makro, prinsipnya setiap orang berhak mendapatkan kesejahteraan. Hal ini bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan, ditanggungkan kepada setiap individu masyarakat. Baik dipenuhi langsung atau melalui ayah, wali dan ahli waris. Kedua, terkait kebutuhan biaya pendidikan, layanan kesehatan dan keamanan menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakannya bagi setiap warga negara. Negara tidak membebani rakyat untuk menanggung sendiri biaya pendidikan, kesehatan dan kemanannya, apalagi dengan biaya yang melambung tinggi. Selain itu negara juga memiliki tanggung jawab menyediakan berbagai fasilitas yang memudahkan setiap orang untuk berusaha (bekerja). Mulai dari kemudahan permodalan, keahlian dan regulasi yang mendukung.

Dengan demikian, berbagai solusi yang dilakukan saat ini, jika tetap menggunakan model solusi ala sistem Kapitalis, pada dasarnya bukanlah solusi. Namun, sekadar “obat penghilang rasa sakit”. Penyakitnya sendiri tidak hilang, apalagi sembuh. Karena sumber penyakitnya tidak pernah diselesaikan. Karena itu, masalah perburuhan ini akan selalu muncul dan muncul, seperti lingkaran “setan”, karena tidak pernah diselesaikan.

Jika memang benar-benar problem perburuan ini ingin selesai dan kesejahteraan buruh secara khusus, serta kesejahteraan setiap warga negara secara umum ingin diwujutkan, maka tidak ada jalan lain kecuali harus kembali kepada penyelesaian mulia, yakni, penyelesaian dengan aturan yang berasal dari Sang Pencipta manusia.

Kesempatan aspirasi buruh untuk berdemonstrasi

Pengertian demonstrasi atau unjuk rasa bisa dilihat dari pasal 1 angka 3 UU no 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan pendapat di Muka Umum. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa unjuk rasa adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.

Kemudian mengenai unjuk rasa yang dilakukan oleh buruh diatur secara umum dalam UU no 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja.

Menurut pasal 4 ayat 1 UU Serikat Pekerja, serikat pekerja dibentuk dengan tujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya. Dan untuk mencapai tujuan tersebut, serikat pekerja memiliki beberapa fungsi yang diatur dalam pasal 4 ayat 1 UU Serikat Pekerja.

Salah satu fungsi yang disebutkan dalam ayat diatas adalah serikat pekerja dibentuk sebagai sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya. Secara tidak langsung, aturan ini menyebutkan soal demonstrasi yang boleh dilakukan oleh buruh sebagai anggota dari serikat kerja untuk menyalurkan aspirasinya dalam rangka memperjuangkan hak buruh dan keluarganya.

Buruh sebagai anggota serikat pekerja dapat menjalankan kegiatannya pada jam kerja sesuai yang disepakati oleh kedua belah pihak dalam perjanjian kerja bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Serikat Pekerja yang berbunyi:

“Pengusaha harus memberi kesempatan kepada pengurus dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh untuk menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dalam jam kerja yang disepakati oleh kedua belah pihak dan/atau yang diatur dalam perjanjian kerja bersama.”

Yang dimaksud dengan pemberian kesempatan dalam pasal ini, adalah membebaskan pengurus dan anggota serikat pekerja/serikat buruh dalam beberapa waktu tertentu dari tugas pokoknya sebagai pekerja/buruh, sehingga dapat melaksanakan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh (Penjelasan Pasal 29 ayat (1) UU Serikat Pekerja).

Kemudian lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam kesepakatan kedua belah pihak dan/atau perjanjian kerja bersama harus diatur mengenai (Pasal 29 ayat (2) UU Serikat Pekerja):

  • jenis kegiatan yang diberikan kesempatan;
  • tata cara pemberian kesempatan;
  • pemberian kesempatan yang mendapat upah dan yang tidak mendapat upah.

Jadi, jika memang salah satu kegiatan serikat pekerja adalah menyalurkan aspirasinya dalam bentuk unjuk rasa, maka hal tersebut dapat saja dilakukan dalam jam kerja. Akan tetapi, tetap harus melihat apakah dalam ketentuan di perjanjian kerja bersama telah disepakati hal tersebut.

Jika tidak disepakati dalam perjanjian kerja, maka kembali lagi kepada pengaturan dalam Pasal 93 UU Ketenagakerjaan. Pekerja tidak dibayar upahnya jika tidak melakukan pekerjaan, kecuali pekerja melakukan tugas serikat pekerja/buruh atas persetujuan pengusaha (Pasal 93 ayat (1) jo. Pasal 93 ayat (2) huruf h UU Ketenagakerjaan).

  • Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
  • Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:
    • pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan

Jadi, pada dasarnya harus disepakati antara pengusaha dan buruh (yang merupakan anggota atau pengurus serikat kerja)dalam perjanjian kerja bersama mengenai buruh menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dalam jam kerja. Atau jika tidak diperjanjikan dalam perjanjian kerja bersama, bisa juga buruh meminta persetujuan kepada pengusaha untuk menjalankan melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh.

Apabila tidak ada kesepakatan maupun persetujuan pengusaha seperti di sebut di atas, maka pada dasarnya demonstrasi yang dilakukan pada jam kerja dianggap pekerja tidak melakukan pekerjaan sehingga upahnya untuk hari itu tidak dibayar.

Buruh dan Pembangunan di Indonesia

Buruh dalam Model Pembangunan Kapitalistik yang Dipandu Negara

Pasca kejatuhan Sukarno tahun 1965 yang sekaligus menandai berkuasanya Rezim Kapitalisme Negara Orde Baru, Perubahan arah dan model pembangunanpun terjadi. Sukarno yang mengedepankan kemandiriaan dianggap gagal untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada saat itu. Pada era kepemimpinan Suharto, model pembangunan orde baru dibuat secara sentralistik, peran Negara dalam merencanakan, melaksanakan dan mengawasinya menjadi sangat kuat. Karena begitu sentralistiknya segala bentuk ancaman atau gangguan terhadap jalannya pembangunan (dalam definisi pemerintah) akan dianggap sebagai pelanggaran dan ditindak secara represif bahkan dengan instrument militer.

Ideology pembangunan yang diusung oleh orde baru dalam sector perburuhan kemudian dimanifestasikan ke dalam konsep “Hubungan Perburuhan Pancasila” (HPP), yang sejak pertengahan tahun 1980-an diubah menjadi “Hubungan Industrial Pancasila” (HIP). Konsep ini menganalogikan hubungan antara buruh dan pengusaha sebagai hubungan anggota dari suatu keluarga, yang tidak mengenal konflik kepentingan melainkan perbedaan pendapat yang dapat dan harus diselesaikan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Pada tingkat politik, perwujudannya dapat kita lihat dalam suatu struktur hubungan perburuhan yang bersifat korporatif yang dibangun sebagai arena bagi Negara melakukan intervensinya terhadap masalah-masalah perburuhan. Hal tersebut tergambarkan dalam suatu tripartite hubungan perburuhan yang terdiri dari organisasi buruh (bentukan pemerintah), federasi para pengusaha dan departemen tenaga kerja.

Selain sudah dikekang secara structural oleh pemerintahan orde baru, buruh juga masih harus berhadapan dengan aparat keamanan bentukan orde baru yang bekerja lintas instansi seperti KOPKAMTIB. Sepanjang tahun 1980 sampai 1988, laporan Forum Solidaritas Buruh (1993) di wilayah Jakarta, Surabaya, Jawa Barat dan Jawa Tengah saja paling sedikit telah terjadi 77 kasus konflik perburuhan yang melibatkan militer. Sepanjang tahun 1990, menurut catatan resmi jumlah pemogokan buruh bahkan telah meningkat 50 persen dengan jumlah kasus pemogokan yang mencapai 92 persen kasus. Angka itu meningkat menjadi 147 kasus pada tahun 1991, dan naik menjadi 177 kasus pada tahun 1992 dengan 63,27 persen diantaranya berupa tuntutan kenaikan upah sesuai dengan ketentuan tentang upah upah minimum (Mulyana W. Kusumah, 1994).

Banyaknya kasus campur tangan militer di dalam penyelesaian konflik perburuhan melalui aksi pemogokan dan unjuk rasa untuk menuntut perbaikan upah dan kondisi kerja hanya merupakan salah satu indikasi pemihakan Negara kepada kelas pemilik modal dan sekaligus pemarginalan kelas buruh. Kebijakan-kebijakan pengekangan bernuansa kelas ini sekali lagi membuktikan bahwa orientasi Negara dalam model pembangunan ini masih berpihak pada para kelas pemodal dan relasinya tetap menjadikan kelas pekerja sebagai objek eksploitasi atas nama pembangunan dan stabilitas Negara.

Represi secara structural terhadap buruh dan serikat buruh ini diperparah lagi oleh model pembangunan rezim otoriter yang korup. Karena pemerintahan ini sangat otoriter maka pengawasan menjadi sangat lemah dan terbatas. Kekuasaan yang sangat luas ini kemudian membuka ruang bagi terjadinya kapitalisme perkoncoan (crony capitalism). Hal ini terjadi secara luas dalam praktik pembangunan orde baru, para borjuasi besar yang ingin membangun usahanya di Indonesia harus memiliki koneksi terhadap rezim yang berkuasa (Eric Hiariej: 2005,hal 78). Akumulasi antara model pembangunan kapitalisme yang memang memiliki kontradiksi inheren dalam dirinya dengan crony capitalism, dalam konteks orde baru akumulasi capital tanpa henti yang dilakukan baik oleh Negara dan kelas borjuasi akhirnya menimbulkan kesenjangan yang ekstrem dan tak mampu di atasi karena disaat yang bersamaan krisis (dalam tubuh kapitalisme secara global) yang melanda dunia juga sedang terjadi.

Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tersebut kemudian juga harus ditanggung akibatnya oleh begitu banyak buruh. Buruh harus dikurangi gajinya akibat pengetatan anggaran yang dilakukan industri tempat mereka bekerja. Buruh juga harus menerima pemecatan akibat industri menghentikan operasi perusahaan karena bangkrut. Lebih lanjut buruh seperti masyarakat Indonesia yang lain hidupnya semakin terhimpit oleh naiknya harga bahan pokok secara tak terkendali sehingga dengan pendapatan yang tidak juga meningkat mereka sekali lagi harus menambah pengeluaran untuk sekadar bertahan hidup.

Runtuhnya rezim orde baru kemudian juga mengantarkan Indonesia ke dalam model pembangunan yang tidak lagi sentralisti dan otoriter. Tetapi pertanyaannya kemudian apakan model pembangunan tersebut adalah model pembangunan yang bersahabat terhadap buruh atau hanya bentuk lain dari model pembangunan kapitalistik yang akan tetap mengeksploitasi dan menghisap kaum buruh. Pertanyaan-pertanyaan inilah kemudian yang akan coba kita jawab dan elaborasi lebih lanjut.

Buruh dalam Model Pembangunan Kapitalistik yang Dipandu Pasar

Setelah rezim orde baru tumbang, Indonesia kemudiaan harus bergelut dengan dampak krisis yang diwariskan oleh rezim sebelumnya. Secara umum Indonesia menjadi sangat demokratis dan bahkan telah melakukan PEMILU secara demokratis. Yang lebih mutakhir lagi adalah Indonesia telah mampu melaksanakan Pemilihan Presiden secara langsung selama dua periode dan dianggap sebagai contoh baik demokrasi. Tetapi demokrasi yangdipraktikkan Indonesia saat ini tidak bisa kita lepaskan dari konteks struktur ekonomi politik global yang berlaku. Struktur ekonomi politik global saat ini yang masih bercorak kapitalistik tetapi tidak lagi dipandu oleh Negara. Struktur ini menganggap bahwa krisis pembangunan yang banyak melanda Negara-negara termasuk Indonesia adalah karena ulah Negara yang terlalu banyak mengintervensi dan menginterupsi mekanisme pasar.

Struktur yang dijelaskan di atas adalah neoliberalisme, paham ini kemudiaan dimanifestasikan kedalam beberapa bentuk kebijakan utama. Kebijakan-kebijakan tersebut kemudiaan dijelaskan dalam Washington Consensus. “Awalnya, ada 10 kata kunci dalam konsensus ini; (1) disiplin fiskal, dengan menjaga defisit serendah-rendahnya, karena defisit yang tinggi akan mengakibatkan inflasi dan pelarian modal; (2) prioritas-prioritas belanja pemerintah, dengan mengurangi atau menghilangkan subsidi dalam sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya; (3) reformasi perpajakan; (4) liberalisasi keuangan; (5) nilai tukar mata uang negara-negara sedang berkembang harus mengadopsi nilai tukar yang kompetitif agar memacu ekspor; (6) liberalisasi perdagangan, dengan meminimumkan hambatan-hambatan tarif dan perizinan; (7) penanaman modal asing harus dibuat seliberal mungkin karena dapat membawa masuk keuntungan modal dan keahlian dari luar negeri; (8) privatisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah; (9) deregulasi sektor ekonomi, karena pengaturan pemerintah yang kuat dan berlebihan dapat menciptakan korupsi dan diskriminasi terhadap perusahaan-perusahaan kecil yang memiliki akses rendah kepada pejabat-pejabat pemerintah di level lebih tinggi; (10) penghargaan terhadap hak milik harus ditegakkan, karena hukum yang lemah dan sistem peradilan yang jelek dapat mengurangi insentif untuk akumulasi modal (dikutip oleh M.Naim, 2000).”

Dalam perkembangannya, ada penambahan 10 kata kunci baru. (1) Bank Sentral yang independen; (2) reformasi baik terhadap sektor publik maupun tata kelola sektor swasta; (3) fleksibilitas tenaga kerja; (4) pemberlakuan kesepakatan-kesepakatan WTO dan harmonisasi standar-standar nasional dengan standar-standar internasional di dalam kegiatan bisnis dan keuangan, tetapi dengan pengecualian (terutama tentang perburuhan dan lingkungan hidup); (5) penguatan sistem keuangan nasional untuk memfasilitasi liberalisasi; (6) pembangunan berkelanjutan; (7) perlindungan masyarakat miskin melalui program jaring pengaman sosial; (8) strategi pengurangan kemiskinan; (9) adanya agenda kebijakan pembangunan nasional; (10) partisipasi demokrasi (dikutip oleh M. Beeson & I. Islam, 2006).

Keseluruhan kebijakan di atas dapat kita sederhanakan menjadi tiga bentuk kebijakan dasar dalam model pembangunan ini. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi liberalisasi, privatisasi dan deregulasi. Keseluruhan praktik tersebut merupakan kebijkan yang digunakan untuk mengurangi intervensi Negara terhadap pasar sehingga actor-aktor swasta dan individu bisa bebas untuk terus beraktivitas dan mengakumulasi kapital. Indonesiapun telah mempraktikkan model-model pembangunan neoliberalisme tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari pola kebijakan pemerintah Indonesia yang mulai mengintegrasikan perekonomiaannya ke perekonomian global, pengurangan subsidi serta privatisasi BUMN yang bekerja di sektor publik.

Lalu, apa artinya pelaksanaan kebijakan tersebut bagi kaum buruh di Indonesia. Hal pertama harus kita beri penekanan adalah pemikiran pemerintah Negara-negara berkembang termasuk Indonesia tentang buruh murah sebagai keunggulan komparatif untuk menarik investasi masuk kenegaranya. Pemikiran ini muncul dengan logika bahwa upah buruh yang rendah akan mengurangi biaya produksi sehingga harga produk bisa semakin murah dan bisa bersaing di pasar internasional. Oleh karena itu upah buruh akan selalu dijaga agar tetap rendah dengan argument agar hasil produksi mereka bisa bersaing di pasar internasional dan pembangunan akan terus tumbuh akibat jumlah investasi yang besar masuk ke Negara mereka.

Masalahnya selanjutnya bagi buruh dalam model pembangunan neoliberalisme ini adalah penerapan labour flexibilization. Labour Flexibilization adalah bentuk strategi yang digunakan pengusaha untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat di pasar internasional. Para pengusung neoliberalisme berpendapat bahwa strategi ini akan membawa keuntungan bagi kedua pihak, buruh akan mendapat kesempakatan kerja yang lebih besar karena adanya system kerja paruh-waktu (part time jobs). Labour flexibilization ini juga dianggap akan memberi kesempatan kepada buruh (secara individu) untuk bernegosiasi langsung dengan pihak perusahaan tanpa perantara seperti serikat buruh. Lebih lanjut memungkinkan adanya kepuasan kerja dengan menyesuaikan jenis dan beban pekerjaan dengan kemampuan buruh.

Fakta di lapangan justru memperlihatkan hal yang berlawanan dengan hal yang dijanjikan melalui strategi Labour Flexibilization tersebut. “Dalam waktu kurang dari satu tahun, terjadi pemecatan massal di hampir semua sektor industri. Menurut laporan ILO tahun 1998, sampai akhir tahun tersebut sekitar 5,5 juta buruh dipecat, umumnya di sektor industri manufaktur ringan, konstruksi dan perdagangan.” Hal ini membuktikan bahwa strategi tersebut memang didesain hanya untuk menguntungkan perusahaan semata. Pelonggaran tersebut telah membuat buruh berada dalam kondisi dan posisi tawar yang sangat lemah terhadap pemilik modal. Dan yang paling jelas terlihat dari pelaksanaan strategi tersebut adalah upaya untuk melemahkan serikat buruh. Upaya tersebut dilakukan dengan membuat buruh dapat berhadapan langsung dengan perusahaan secara individu, dalam artian buruh diupayakan agara bergerak secara individual bukan kolektif.

Pekerja sosial

Pekerja sosial adalah bidang keahlian yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan berbagai upaya guna meningkatkan kemampuan orang dalam melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya melalui interaksi; agar orang dapat menyesuaikan diri dengan situasi kehidupannya secara memuaskan. Kekhasan pekerja sosial adalah pemahaman dan keterampilan dalam memanipulasi perilaku manusia sebagai makhluk sosial.

Pekerja sosial dipandang sebagai sebuah bidang keahlian (profesi), yang berarti memiliki landasan keilmuan dan seni dalam praktik (dicirikan dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi), sehingga muncul juga definisi pekerja sosial sebagai profesi yang memiliki peranan paling penting dalam domain pembangunan kesejahteraan sosial.

Pekerjaan sosial adalah suatu pelayanan professional yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan ketrampilan dalam relasi kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu individu,baik secara perseorangang maupun di dalam kelompok untuk mencapai kepuasan dan ketidaktargantungan secara pribadi dan social (WA . Friedlander)

Metode pekerjaan social

  • Case work yaitu bimbingan social perseorangan yang di tujukan untuk membantu memecahkan permasalahan klien.hal ini dapat diberikan kepda klien itu sendiri maupun keluarga klien.
  • Group work yaitu bimbingan social kepada kelompok, dalam hal ini kelompok digunakan sebagai alat untuk membantu memcahkan masalah klien.

Pendidikan dan pekerjaan: impian, harapan dan realitas

Pendidikan adalah suatu proses penanaman budaya, norma serta nilai-nilai moral dalam masyarakat kepada seorang individu atau kelompok yang mencangkup pengetahuan, perilaku, dan sosial budaya. Proses penanaman ini berjalan secara bertahap dan kontinu selama manusia itu hidup. Pendidikan bertujuan agar kelak orang yang menerima pendidikan tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungan masyarakat dan bermanfaat bagi orang di sekitarnya. Diharapakan dengan adanya pendidikan yang baik di negeri ini akan mendongkrak kesejahteraan masyarakat dan mampu menciptakan generasi penerus bangsa yang cerdas, tangguh, berkarakter, dan mampu bersaing dan maenjawab tantangan era globalisasi sekarang ini.

Mungkin seluruh lapisan masyarakat sudah tidak asing dengan yang namanya “pendidikan”. Ya, pendidikan merupakan salah satu tolak ukur tingkat kemajuan suatu bangsa. Selain itu pendidikan juga merupakan unsur penting dalam meningkatkan harkat dan martabat serta kualitas hidup manusia. Mengapa? Karena pendidikan adalah mata uang yang berlaku di negara manapun. Saya ambil sebuah contoh kecil, dalam ilmu matematika 1 + 1 = 2. Jika kita bertanya dengan pertanyaan yang kepada semua orang di muka bumi, tentu mereka akan menjawab dengan jawaban yang sama. Dari contoh tersebut bisa dilihat bahwa pendidikan adalah hal yang diakui di manapun. Saya akan mengambil sebuah contoh kecil lainnya. Seorang insinyur arsitek membuat sebuah gambar rancangan sebuah gedung. Ketika rancangan tersebut selesai dan hasilnya bagus, maka sang insinyur dapat menjual karyanya dengan harga puluhan juta. Ketika dalam proses pengerjaan, seorang kuli bangunan bekerja keras setiap hari dari pagi sampai sore dan diupah misalnya seratus ribu per hari. Dalam contoh tadi bisa kita lihat dengan jelas peran pendidikan dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.

Pendididikan yang bagaimana yang bisa mengantarkan seseorang pada kesuksesan? Tentu saja pendidikan yang berkualitas dan sesuai porsinya. Ingat, pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan pelajar, bukan pelajar yang harus menyesuaikan diri dengan pendidikan. Karena setiap orang memiliki kemampuan dan potensi yang berbeda-beda. Sebuah sistem pendidikan harus bisa mewadahi seluruh potensi anak-anak bangsanya agar kelak mereka bisa mengembangkan potensi mereka dan menentukan kariernya di masa depan. Kurikulum pendidikan di beberapa negara maju sudah menerapkan pola seperti ini. Contohnya di Inggris, setelah anak-anak sudah menyelesaikan pendidikan dasarnya, mereka akan diarahkan apakah mereka ingin melanjutkan ke bangku kuliah atau melanjutkan ke jenjang kuliah.

Lalu bagaiamana dengan kualitas pendidikan di Indonesia sekarang? Menurut laporan pendidikan dunia, pendidikan di Indonesia merupakan yang terbesar ke empat di dunia, tetapi sayangnya sistem pendidikan yang ada adalah yang terburuk jika dibandingkan dari 50 negara lainnya. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa pendidikan di Indonesia masih belum berhasil menciptakan generasi penerus bangsa yang unggul dan mampu menjawab tantangan globalisasi. Namun bukan berarti pendidikan di Indonesia gagal. Karena masih banyak juga anak bangsa yang mampu menorehkan prestasi gemilang baik di tingkat nasional maupun internasional. Tentu menjadi pertanyaan bagi kita semua mengapa pendidikan di Indonesia masih belum berhasil menjawab ekspektasi masyarakat dan dunia. Pendidikan di Indonesia masih belum bisa memfasilitasi para pelajar untuk bisa mempersiapkan masa depannya. Sistem pendidikan di Indonesia yang menuntut para pelajar untuk bisa menguasai banyak pelajaran membuat mereka menjadi kesulitan untuk mengembangkan potensi diri mereka. Sebagai contoh, jika kita bertanya kepada seorang anak sekolah tentang cita-citanya dia pasti bingung untuk menjawabnya. Kebanyakan anak sekolah membiarkan persoalan ini berlarut-larut dan berujung pada kegagalan dalam menentukan karier di masa depan. Makanya tak heran jika kita banyak melihat orang bergelar sarjana yang tak kunjung dapat pekerjaan atau bekerja pada yang bukan bidangnya.

Saat ini kita sedang dihebohkan dengan adanya kurikulum 2013. Sebuah inovasi yang dicanangkan pemerintah untuk menjawab berbagai persoalan terkait pendidikan di negeri ini. Pada kurikulum yang satu ini pemerintah mencoba untuk mengubah sistem pembelajaran di sekolah dari yang lebih mengutamakan akademik menjadi pendidikan karakter dengan perbandingan 60% sikap dan 40% sisanya akademik. Dalam proses pembelajaran, siswa dituntut untuk berpikir kritis dalam setiap persoalan dalam pelajaran. Selain itu, dalam kurikulum 2013 ada beberapa mata pelajaran ditiadakan. Mata pelajaran yang tersedia dalam kurikulum 2013 dibagi menjadi mata pelajaran wajib A, wajib B, peminatan, dan pilihan untuk mengasah skill lainnya. Hal ini disesuaikan untuk mengarahkan siswa pada sistem pembelajaran yang lebih spesifik seperti halnya dalam kuliah. Dengan adanya kurikulum 2013 diharapkan adanya suatu pembaharuan di ranah pendidikan di Indonesia serta menciptakan siswa yang memiliki karakter bangsa.

Sayangnya kenapa pemberlakuan sistem tersebut tidak dilakukan sejak dahulu. Seharusnya kesinkronan antara sekolah dan kuliah harus sudah ada sejak dulu. Dalam pelaksanaan kurikulum 2013 pun masih banyak kendala yang dihadapi berbagai sekolah. Pengadaan buku teks pelajaran, pengadaan fasilitas penunjang dalam pembelajaran, pemahaman guru yang kurang tentang konten kurikulum 2013, dan sistem penilaian yang rumit adalah sedikit dari sekian banyak masalah yang dihadapi. Para siswapun masih banyak dibingungkan dengan model pembelajaran yang diterapkan pada kurikulum 2013 karena banyak siswa yang belum terbiasa dengan metode pembelajaran yang berbeda yang mengharuskan siswa terlibat dan aktif dalam proses belajar mengajar. Tentunya ini sangat disayangkan karena inovasi yang seharusnya mendatangkan solusi malah menjadi buah simalakama bagi siswa di Indonesia.

Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah lebih cekatan lagi untuk merangkul seluruh elemen pendidikan di negeri ini dan bekerja sama untuk membangun pendidikan Indonesia yang lebih baik. Karena pemerintah saja tidak cukup untuk mengemban tugas tersebut. Harus ada kesinambungan antara pemerintah, instansi pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Jadi ini adalah tanggungjawab kita semua sebagai warga Indonesia untuk bisa mengembangkan pendidikan di Indonesia, karena seperti yang katakan tadi, pendidikan merupakan proses penanaman budaya dan nilai moral, jadi pendidikan tidak hanya sebatas belajar di sekolah saja.

Di sinilah kita berjumpa dengan tegangan abadi antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Sederhananya, dunia pendidikan menghidupkan impian, harapan, dan cita-cita akan yang ideal. Lain halnya dengan dunia pekerjaan yang melukiskan kenyataan hidup dengan segenap seluk-beluk persoalannya.

Kalau begitu, manakah yang perlu kita utamakan: dunia pendidikan atau dunia pekerjaan? Justru persoalan makin pelik ketika kita mengutamakan yang satu di atas yang lain. Ketika mengutamakan dunia pendidikan, kita cenderung menjerumuskan manusia dalam imajinasi tanpa pijakan yang membumi. Demikian pula sebaliknya, ketika dunia pekerjaan diunggulkan, manusia cenderung tak pernah puas atau menjadi tak terkendali di hadapan pengaruh uang (modal/materi).

Dengan demikian, menghidupi tegangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja adalah suatu keniscayaan. Tegangan inilah yang membuat manusia menyadari kemanusiaannya dan membedakan dengan mahkluk lainnya. Ia punya kebebasan untuk menghidupi impiannya sekaligus dituntut untuk menjawab berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-harinya alias bekerja.

Karena itulah kita perlu mengenalkan gambaran yang utuh mengenai dunia pekerjaan sejak dini. Caranya adalah dengan mengenalkannya di tingkat pendidikan dasar yang terintegrasi dengan kurikulum pendidikan. Anak-anak dikenalkan dengan berbagai macam profesi mulai dari manajer, dokter, pegawai negeri, tentara, wartawan, seniman, buruh, dan sebagainya.

Berbagai macam profesi yang dikenalkan pada anak-anak akan memperkaya imajinasi mereka sekaligus mengajarkan mereka untuk menghargai tiap profesi. Tidak hanya itu, penggambaran suka dan duka suatu profesi yang apa adanya akan membentuk cara pandang anak-anak secara utuh.

Metodenya tentu dapat kita kemas secara kreatif dan populer. Misalnya, orang tua murid dapat terlibat sebagai narasumber untuk menceritakan profesinya pada jam-jam sekolah. Atau, anak-anak juga dapat diajak untuk mengunjungi berbagai instansi sebagai proses pembelajaran terpadu, seperti rumah sakit, perusahaan, bank, kantor redaksi pers, dan lain-lain.

Hal-hal ini penting karena mendorong anak-anak untuk mewujudkan impian mereka secara konkret. Misalnya saja, ada seorang anak yang punya impian dan berbakat menjadi seorang seniman karawitan. Maka, dengan mengenalkan seluk-beluk profesi seniman karawitan sejak dini, anak tersebut tidak akan malu bahkan kecewa bila kelak akan memasuki sekolah kejuruan seni karawitan. Mengapa? Karena anak-anak beserta lingkungan pendidikan sudah dapat mengapresiasi tiap profesi yang ada sehingga citra dan kualitas sekolah kejuruan dapat ditingkatkan. Apresiasi yang sama juga berlaku baik untuk ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, yang bersifat teoretis maupun terapan.

Dengan kata lain, anak-anak didukung untuk mewujudkan impiannya sejak dini. Mereka akan bekerja dengan penuh gairah, meski kesulitan dan tantangan untuk menekuni tiap profesi akan selalu ada. Barangkali dalam pengertian inilah ketegangan dunia pendidikan dan dunia pekerjaan dapat diselaraskan, yakni berani mewujudkan impian sejak usia dini.

Buruh dan Kependudukan

Konsep/Penjelasan Teknis
  • Penduduk usia kerja adalah penduduk berumur 15 tahun dan lebih.
  • Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, ataupunya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja dan pengangguran.
  • Penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang masih sekolah, mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainnya selain kegiatan pribadi.
  • Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pola kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi.
  • Punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja adalah keadaan dari seseorang yang mempunyai pekerjaan tetapi selama seminggu yang lalu sementara tidak bekerja karena berbagai sebab, seperti: sakit, cuti, menunggu panenan, mogok dan sebagainya. Contoh:
    • Pekerja tetap, pegawai pemerintah/swasta yang sedang tidak bekerja karena cuti, sakit, mogok, mangkir, mesin/ peralatan perusahaan mengalami kerusakan, dan sebagainya.
    • Petani yang mengusahakan tanah pertanian dan sedang tidak bekerja karena alasan sakit atau menunggu pekerjaan berikutnya (menunggu panen atau musim hujan untuk menggarap sawah).
    • Pekerja profesional (mempunyai keahlian tertentu/khusus) yang sedang tidak bekerja karena sakit, menunggu pekerjaan berikutnya/pesanan dan sebagainya. Seperti dalang, tukang cukur, tukang pijat, dukun, penyanyi komersial dan sebagainya
  • Penganggur terbuka, terdiri dari:
    • Mereka yang tak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan.
    • Mereka yang tak punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha.
    • Mereka yang tak punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.
    • Mereka yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum molai bekerja.(lihat pada "An ILO Manual on Concepts and Methods")
    • Mencari pekerjaan adalah kegiatan seseorang yang pada saat survei orang tersebut sedang mencari pekerjaan, seperti mereka:
      • Yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan.
      • Yang sudah pernah bekerja, karena sesuatu hal berhenti atau diberhentikan dan sedang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan.
      • Yang bekerja atau mempunyai pekerjaan, tetapi karena sesuatu hal masih berusaha untuk mendapatkan pekerjaan lain.
        • Usaha mencari pekerjaan ini tidak terbatas pada seminggu sebelum pencacahan, jadi mereka yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan dan yang permohonannya telah dikirim lebih dari satu minggu yang lalu tetap dianggap sebagai mencari pekerjaan asalkan seminggu yang lalu masih mengharapkan pekerjaan yang dicari. Mereka yang sedang bekerja dan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang lain tidak dapat disebut sebagai penganggur terbuka.
    • Mempersiapkan suatu usaha adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang dalam rangka mempersiapkan suatu usaha/pekerjaan yang "baru", yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan/keuntungan atas risiko sendiri, baik dengan atau tanpa mempekerjakan buruh/pekerja dibayar maupun tidak dibayar. Mempersiapkan yang dimaksud adalah apabila "tindakannya nyata", seperti: mengumpolkan modal atau perlengkapan/alat, mencari lokasi/tempat, mengurus surat izin usaha dan sebagainya, telah/sedang dilakukan.
    • Mempersiapkan usaha tidak termasuk yang baru merencanakan, berniat, dan baru mengikuti kursus/pelatihan dalam rangka membuka usaha.
    • Mempersiapkan suatu usaha yang nantinya cenderung pada pekerjaan sebagai berusaha sendiri (own account worker) atau sebagai berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar atau sebagai berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar.
      • Penjelasan: Kegiatan mempersiapkan suatu usaha/pekerjaan tidak terbatas dalam jangka waktu seminggu yang lalu saja, tetapi bisa dilakukan beberapa waktu yang lalu asalkan seminggu yang lalu masih berusaha untuk mempersiapkan suatu kegiatan usaha.
  • TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) adalah persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja.
  • Pekerja Tidak Penuh adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Pekerja Tidak Penuh terdiri dari:
    • Setengah Penganggur adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu), dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan (daholu disebut setengah pengangguran terpaksa).
    • Pekerja Paruh Waktu adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu), tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain (daholu disebut setengah pengangguran sukarela).
  • Sekolah adalah kegiatan seseorang untuk bersekolah di sekolah formal, molai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi selama seminggu yang lalu sebelum pencacahan. Tidak termasuk yang sedang libur sekolah.
  • Mengurus rumah tangga adalah kegiatan seseorang yang mengurus rumah tangga tanpa mendapatkan upah, misalnya: ibu-ibu rumah tangga dan anaknya yang membantu mengurus rumah tangga. Sebaliknya pembantu rumah tangga yang mendapatkan upah walaupun pekerjaannya mengurus rumah tangga dianggap bekerja.
  • Kegiatan lainnya adalah kegiatan seseorang selain disebut di atas, yakni mereka yang sudah pensiun, orang-orang yang cacat jasmani (buta, bisu dan sebagainya) yang tidak melakukan sesuatu pekerjaan seminggu yang lalu.
  • Pendidikan tertinggi yang ditamatkan adalah tingkat pendidikan yang dicapai seseorang setelah mengikuti pelajaran pada kelas tertinggi suatu tingkatan sekolah dengan mendapatkan tanda tamat (ijazah).
  • Jumlah jam kerja seluruh pekerjaan adalah lamanya waktu dalam jam yang digunakan untuk bekerja dari seluruh pekerjaan, tidak termasuk jam kerja istirahat resmi dan jam kerja yang digunakan untuk hal-hal di luar pekerjaan selama seminggu yang lalu.
  • Bagi pedagang keliling, jumlah jam kerja dihitung molai berangkat dari rumah sampai tiba kembali di rumah dikurangi waktu yang tidak merupakan jam kerja, seperti mampir ke rumah famili/kawan dan sebagainya.
  • Lapangan usaha adalah bidang kegiatan dari pekerjaan/usaha/perusahaan/kantor tempat seseorang bekerja. Lapangan pekerjaan pada publikasi ini didasarkan pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2009.
  • Jenis pekerjaan/jabatan adalah macam pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang atau ditugaskan kepada seseorang yang sedang bekerja atau yang sementara tidak bekerja. Jenis pekerjaan pada publikasi ini, didasarkan atas Klasifikasi Baku Jenis Pekerjaan Indonesia (KBJI) 2002 yang mengacu kepada ISCO 88.
  • Upah/gaji bersih adalah imbalan yang diterima selama sebolan oleh buruh/karyawan baik berupa uang atau barang yang dibayarkan perusahaan/kantor/majikan. Imbalan dalam bentuk barang dinilai dengan harga setempat. Upah/ gaji bersih yang dimaksud tersebut adalah setelah dikurangi dengan potongan-potongan iuran wajib, pajak penghasilan dan sebagainya.
  • Status pekerjaan adalah jenis kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan di suatu unit usaha/kegiatan. Molai tahun 2001 status pekerjaan dibedakan menjadi 7 kategori yaitu:
    • Berusaha sendiri, adalah bekerja atau berusaha dengan menanggung risiko secara ekonomis, yaitu dengan tidak kembalinya ongkos produksi yang telah dikeluarkan dalam rangka usahanya tersebut, serta tidak menggunakan pekerja dibayar maupun pekerja tak dibayar, termasuk yang sifat pekerjaannya memerlukan teknologi atau keahlian khusus.
    • Berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar, adalah bekerja atau berusaha atas risiko sendiri, dan menggunakan buruh/pekerja tak dibayar dan atau buruh/pekerja tidak tetap.
    • Berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar, adalah berusaha atas risiko sendiri dan mempekerjakan paling sedikit satu orang buruh/pekerja tetap yang dibayar.
    • Buruh/Karyawan/Pegawai, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain atau instansi/kantor/perusahaan secara tetap dengan menerima upah/gaji baik berupa uang maupun barang. Buruh yang tidak mempunyai majikan tetap, tidak digolongkan sebagai buruh/karyawan, tetapi sebagai pekerja bebas. Seseorang dianggap memiliki majikan tetap jika memiliki 1 (satu) majikan (orang/rumah tangga) yang sama dalam sebolan terakhir, khusus pada sektor bangunan batasannya tiga bolan. Apabila majikannya instansi/lembaga, boleh lebih dari satu.
    • Pekerja bebas di pertanian, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih dari 1 majikan dalam sebolan terakhir) di usaha pertanian baik berupa usaha rumah tangga maupun bukan usaha rumah tangga atas dasar balas jasa dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang, dan baik dengan sistem pembayaran harian maupun borongan. Usaha pertanian meliputi: pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan dan perburuan, termasuk juga jasa pertanian.
    • Majikan adalah orang atau pihak yang memberikan pekerjaan dengan pembayaran yang disepakati.
    • Pekerja bebas di nonpertanian adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih dari 1 majikan dalam sebolan terakhir), di usaha non pertanian dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang dan baik dengan sistem pembayaran harian maupun borongan.Usaha non pertanian meliputi: usaha di sektor pertambangan, industri, listrik, gas dan air, sektor konstruksi/ bangunan, sektor perdagangan, sektor angkutan, pergudangan dan komunikasi, sektor keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan, sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan.Huruf e dan f yang dikembangkan molai pada publikasi 2001, pada tahun 2000 dan sebelumnya dikategorikan pada huruf d dan a (huruf e termasuk dalam d dan huruf f termasuk dalam a).
    • Pekerja keluarga/tak dibayar adalah seseorang yang bekerja membantu orang lain yang berusaha dengan tidak mendapat upah/gaji, baik berupa uang maupun barang. Pekerja tak dibayar tersebut dapat terdiri dari:
      • Anggota rumah tangga dari orang yang dibantunya, seperti istri/anak yang membantu suaminya/ayahnya bekerja di sawah dan tidak dibayar.
      • Bukan anggota rumah tangga tetapi keluarga dari orang yang dibantunya, seperti famili yang membantu melayani penjualan di warung dan tidak dibayar.
      • Bukan anggota rumah tangga dan bukan keluarga dari orang yang dibantunya, seperti orang yang membantu menganyam topi pada industri rumah tangga tetangganya dan tidak dibayar.

Program Keluarga Berencana (KB) di lingkungan perusahaan

Program Keluarga Berencana (KB) bertujuan tidak hanya untuk menekan jumlah penduduk tetapi juga kesejahteraannya. Program KB Perusahaan misalnya, dengan keluarga kecil bahagia, karyawan yang ikut program ini diharapkan bisa lebih produktif.

Ada sekitar 16 ribu perusahaan di seluruh Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), baik perusahaan besar, menengah dan kecil. Untuk meningkatkan produktivitas, perusahaan-perusahaan ini pun didorong untuk ikut Program KB Perusahaan. Dari 237,6 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 102,55 juta orang yang berstatus bekerja. Untuk dapat menekan angka kelahiran, BKKBN pun menyasar karyawan-karyawan Indonesia dengan menghidupkan kembali Program KB Perusahaan.

Program KB Perusahaan sebenarnya pernah berjaya pada tahun 80-an hingga 90-an. Program ini telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian peserta KB baru dan upaya peningkatan kesejahteraan keluarga karyawan dan karyawati. Karyawan yang menjadi peserta KB, akan lebih sejahtera karena dengan jumlah keluarga kecil mereka dapat menghemat biaya pendidikan, kesehatan dan meminimalisir biaya keperluan rumah tangga. Sedangkan dari sisi pemilik perusahaan, keuntungan yang bisa diperoleh berupa peningkatan produktivitas dan kinerja karyawan. Karena itu perusahaan dapat memperoleh output yang lebih besar dan dapat menghemat biaya-biaya yang terkait dengan masalah kesehatan karyawan.

Sayangnya, kala reformasi bergulir pada tahun 1998, program ini sempat ditinggalkan. Barulah pada tahun 2012, BKKBN berkomitmen menghidupkan kembali Program KB Perusahaaan. Untuk dapat meningkatkan peranan swasta, BKKBN pun menggandeng Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia).

Diharapkan dengan berjalannya Program KB Perusahaan, setiap perusahaan memiliki klinik khusus KB yang dapat memberikan akses untuk alat-alat kontrasepsi. Manfaatnya tidak hanya akan memudahkan si karyawan dan karyawati untuk memperoleh akses KB, tetapi juga masyarakat di sekitar lingkungan perusahaan. BKKBN juga mengharapkan agar perusahaan-perusahaan di Indonesia bisa memberikan waktu untuk melakukan sosialisasi tentang program-program KB di perusahaan.

Dengan berjalannya Program KB Perusahaan ini, angka kelahiran total (TFR) di Indonesia diharapkan dapat turun dan laju pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia dapat ditekan. Akhirnya, kesejahteraan masyarakat pun semakin meningkat.

Asosiasi Pengusaha Indonesia

Asosiasi Pengusaha Indonesia atau yang biasa dikenal dengan APINDO, adalah organisasi independen non partisan para pengusaha Indonesia yang bergerak di bidang perekonomian. Organisasi ini didirikan pada 31 Januari 1952 dengan nama Badan Permusyawaratan Sosial Ekonomi Pengusaha Seluruh Indonesia (PUSPI). Pada Musyawarah Nasional (Munas) APINDO II di Surabaya, tahun 1985, PUSPI berubah nama menjadi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).

Keanggotaan

Keanggotaan APINDO terdiri dari dua jenis, yaitu Anggota Biasa dan Anggota Luar Biasa.

  • Anggota Biasa adalah perusahaan berbentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
  • Anggota Luar Biasa adalah perusahaan tertentu baik berskala Nasional atau Internasional yang terdaftar langsung pada Dewan atau Pimpinan Nasional dan/atau Dewan Pimpinan Provinsi.

Ancaman psikologis buruh

Seperti umumnya pandangan tentang kesehatan mental di Indonesia, kesehatan mental TKI masih menjadi hal yang tidak terperhatikan. Besarnya jumlah TKI yang berangkat ke luar negeri dari tahun ke tahun tidak kunjung membuat layanan psikologi menjadi hal yang diperhatikan saksama oleh pemerintah. Kesehatan mental sangat terhubung dengan kesehatan fisik. Plaut dan Friedman (1981), menemukan keterhubungan antara stress dan kesehatan. Stress, dalam penelitian keduanya, menurunkan ketahanan tubun, imunitas dan katahanan tubuh atas alergi tertentu. Penelitian tersebut turut mengungkap fakta menurunnya antibodi saat seseorang sedang berselera negatif pada situasi tertentu (bad mood).

Ancaman stress dan gangguan psikologis lain mengancam buruh migran tidak hanya terkait dengan situasi kerja. Perbedaan kebudayaan dan situasi negara tempat bekerja adalah ancaman lain, selain kecemasan yang timbul akibat kekhawatiran terhadap keluarga yang ditinggalkan. Stress dan gangguan kecemasan adalah ancaman terbesar bagi TKI.

Stress secara umum dapat diamati melalui tiga kategori gejala, yaitu gelaja psikologis, fisik dan perilaku. Gejala psikologis stress dapat dirasakan dalam pelbagai bentuk, seperti cemas, keinginan mengurung diri, kebosanan, kehilangan semangat hidup, menurunnya fungsi intelektual atau kognitif, lelah mental, bingung, marah dan sensitif. Gejala fisik stress dapat muncul dalam bentuk gangguan fisik, seperti naiknya detak jantung dan tekanan darah, gangguan lambung, kecenderungan mudah merasakan lelah, gangguan pernapasan, ketegangan otot, migrain dan sakit kepala lain, gangguan pada kulit hingga kecenderungan berkeringat yang lebih. Stress juga dapat muncul dalam perilaku yang teramati, seperti menunda atau menghindari pekerjaan, menurunnya kinerja, kecenderungan peningkatan zat adiktif dan psikotropika, perilaku sabotase, kehilangan nafsu makan, kecenderungan melakukan tindakan yang nekat (ngebut dan menantang bahaya), dan meningkatnya agresifitas (Therry dan Newman, 1978).

Gangguan mental perlu menjadi perhatian TKI. Ancaman gangguan ini sama setara dengan ancaman gangguan kesehatan lainnya. TKI perlu mempertimbangkan menemui konselor atau psikolog apabila merasakan adanya persoalan psikologis yang dialami. Secara sederhana, TKI dapat pula mengamati perubahan-perubahan psikologis yang dialami. Gangguan psikologis cenderung mengarahkan pada hal dan reaksi negatif. Pengamatan sederhana tersebut bisa membantu TKI mencegah terjadinya gangguan mental. Tentu tidak ada yang ingin gangguan mental membuyarkan cita-cita migrasi para TKI.

muhammad husin baasir rahayaan

Lihat pula

Bacaan

  • Ford, Glen (February 2015). Capitalism's War on Democracy. "Black Agenda Report's Glen Ford says capitalism's greatest foes are an organized and united working class." The real news network
  • Blackledge, Paul (2011). "Why workers can change the world". Socialist Review 364. London. 
  • Engels, Friedrich, Condition of the Working Class in England [in 1844], Stanford University Press (1968), trade paperback, ISBN 0-8047-0634-4 Numerous other editions exist; first published in German in 1845. Better editions include a preface written by Engels in 1892.
  • Ernest Mandel, Workers under Neo-capitalism
  • Moran, W. (2002).Belles of New England: The women of the textile mills and the families whose wealth they wove. New York: St Martin's Press, ISBN 0-312-30183-9.
  • Rose, Jonathan, The Intellectual Life of the British Working Classes. New Haven and London: Yale University Press, 2001.
  • Rubin, Lillian Breslow, Worlds of Pain: Life in the Working Class Family, Basic Books (1976), hardcover ISBN 0-465-09245-4; trade paperback, 268 pages, ISBN 0-465-09724-3
  • Shipler, David K., The Working Poor: Invisible in America, Knopf (2004), hardcover, 322 pages, ISBN 0-375-40890-8
  • Skeggs, Beverley. Class, Self, Culture, Routledge, (2004),
  • Thompson, E.P, The Making of the English Working Class - paperback Penguin, ISBN 0-14-013603-7
  • Zweig, Michael, Working Class Majority: America's Best Kept Secret, Cornell University Press (2001), trade paperback, 198 pages, ISBN 0-8014-8727-7

Referensi

  1. ^ working class. Oxford Dictionaries. Retrieved 8 May 2014.

Pranala luar