Sejarah Sumatera Barat

Sejarah Sumatra
Revisi sejak 26 Oktober 2021 09.22 oleh Urang Kamang (bicara | kontrib) (Membatalkan 1 suntingan oleh 114.125.237.226 (bicara) ke revisi terakhir oleh Urang Kamang (TW))

Dari zaman prasejarah sampai kedatangan orang Barat, sejarah Sumatra Barat dapat dikatakan identik dengan sejarah Minangkabau. Walau­pun masyarakat Mentawai diduga te­lah ada pada masa itu, tetapi bukti-bukti tentang keberadaan mereka masih sa­ngat sedikit.

Masa Prasejarah

 
Menhir Mahat

Di pelosok desa Mahat, Suliki Gunung Mas, Kabupaten Lima Puluh Kota banyak ditemukan peninggalan kebudayaan megalitikum. Bukti arkeologis yang dite­mukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah Lima Puluh Kota dan sekitarnya merupakan daerah pertama yang dihuni oleh nenek moyang orang Minangkabau. Penafsiran ini ber­alasan, karena dari luhak Lima Puluh Kota ini mengalir beberapa sungai besar yang bermuara di pantai timur pu­lau Sumatra. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang menjadi sarana transportasi yang penting dari zaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.

Nenek moyang orang Minang­kabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (In­dochina) mengarungi Laut Cina Sela­tan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian melayari sungai Kampar, sungai Siak, dan sungai Inderagiri. Setelah melakukan perjalanan panjang, mereka tinggal dan mengembangkan kebudayaan serta per­adaban di wilayah Luhak Nan Tigo (Lima Puluh Kota, Agam, Tanah Datar) sekarang.

Percampuran dengan para penda­tang pada masa-masa berikutnya me­nyebabkan tingkat kebudayaan mere­ka jadi berubah dan jumlah mereka ja­di bertambah. Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan akhirnya mereka merantau ke berba­gai bagian Sumatra Barat yang lainnya. Sebagian pergi ke utara, menuju Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir. Sebagian lain pergi ke arah selatan menuju Solok, Sijunjung dan Dharmasraya. Banyak pula di antara me­reka yang menyebar ke bagian barat, teruta­ma ke daerah pesisir, seperti Tiku, Pariaman, dan Painan.

Kerajaan-kerajaan Minangkabau

Menurut tambo Minangkabau, pada periode abad ke-1 hingga abad ke-16, banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil di selingkaran Sumatra Barat. Kerajaan-kerajaan itu antara lain Kesultanan Kuntu, Kerajaan Koto Alang, Kerajaan Siguntur, Kerajaan Pasumayan Koto Batu, Bukit Batu Patah, Kerajaan Sungai Pagu, Kerajaan Inderapura, Kerajaan Jambu Lipo, Kerajaan Taraguang, Kerajaan Dusun Tuo, Kerajaan Bungo Setangkai, Kerajaan Talu, Kerajaan Kinali, Kerajaan Parit Batu, Kerajaan Pulau Punjung dan Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan-kerajaan ini tidak pernah berumur panjang, dan biasanya berada dibawah pengaruh kerajaan-kerajaan besar Melayu & Minangkabau seperti, kerajaan Malayu (Dharmasraya), kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Pagaruyung.

Kerajaan Malayu

Kerajaan Malayu diperkirakan pernah muncul pada tahun 645 yang diperkirakan terletak di hulu sungai Batang Hari. Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, kerajaan ini ditaklukan oleh Sriwijaya pada tahun 682. Dan kemudian tahun 1183 muncul lagi berdasarkan Prasasti Grahi di Kamboja, dan kemudian Negarakertagama dan Pararaton mencatat adanya Kerajaan Malayu yang beribu kota di Dharmasraya. Sehingga muncullah Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275-1293 di bawah pimpinan Kebo Anabrang dari Kerajaan Singasari. Dan setelah penyerahan Arca Amonghapasa yang dipahatkan di Prasasti Padang Roco, tim Ekpedisi Pamalayu kembali ke Jawa dengan membawa serta dua putri Raja Dharmasraya yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Petak dinikahkan oleh Raden Wijaya raja Majapahit pewaris kerajaan Singasari, sedangkan Dara Jingga dengan Adwaya Brahman. Dari kedua putri ini lahirlah Jayanagara, yang menjadi raja kedua Majapahit dan Adityawarman kemudian hari menjadi raja Pagaruyung.

Kerajaan Pagaruyung

Sejarah propinsi Sumatra Barat menjadi lebih terbuka sejak masa pemerintahan Adityawarman. Ra­ja ini cukup banyak meninggalkan prasasti mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Raja Minangkabau. Aditya­warman memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu negeri yang di­percayai warga Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.

Adityawarman adalah tokoh pen­ting dalam sejarah Minangkabau. Di samping memperkenalkan sistem pe­merintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau. Kon­tribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Buddha. Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Ter­bukti dari nama beberapa nagari di Sumatra Barat dewasa ini yang berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pa­riangan, Padang Barhalo, Candi, Bia­ro, Sumpur, dan Selo.

Sejarah Sumatra Barat sepe­ninggal Adityawarman hingga perte­ngahan abad ke-17 terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Su­matera Barat dengan dunia luar, ter­utama Aceh semakin intensif. Sumate­ra Barat waktu itu berada dalam dominasi politik Aceh yang juga memo­nopoli kegiatan perekonomian di dae­rah ini. Seiring dengan semakin inten­sifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai dimasukkan ke Sumatra Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yang begitu kukuh melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatra Barat. Nilai baru tersebut adalah agama Islam.

Syekh Burhanuddin dianggap sebagai pe­nyebar pertama Islam di Sumatra Barat. Sebelum mengembangkan aga­ma Islam di Sumatra Barat, ulama ini pernah menuntut ilmu di Aceh.

Kerajaan Inderapura

Jauh sebelum Kerajaan Pagaruyung berdiri, di bagian selatan Sumatra Barat sudah berdiri kerajaan Inderapura yang berpusat di Inderapura (kecamatan Pancung Soal, Pesisir Selatan sekarang ini) sekitar awal abad 12. Setelah munculnya Kerajaan Pagaruyung, Inderapura pun bersama Kerajaan Sungai Pagu akhirnya menjadi vazal kerajan Pagaruyung.

Setelah Indonesia merdeka sebagian besar wilayah Inderapura dimasukkan kedalam bagian wilayah provinsi Sumatra Barat dan sebagian ke wilayah Provinsi Bengkulu yaitu kabupaten Pesisir Selatan sekarang ini.

Invasi Majapahit

 
Salah satu model kapal Majapahit.

Invasi Majapahit ke Pagaruyung terjadi pada tahun 1409.[1] Dalam sebuah teks yang luar biasa versi Majapahit yang tersimpan di museum Jawa Timur diceritakan tentang invasi penaklukkan ke Sumatra terutama ke Pagaruyung dengan 500 kapal perang lengkap dengan patih dan hulubalang serta 200.000 prajurit dan seekor kerbau jantan raksasa sebesar gajah. Bala tentara Majapahit tanpa halangan sampai di Jambi yang merupakan pintu masuk ke dataran tinggi Minangkabau melalui sungai besar dan berair dalam yang ada di dataran rendah bagian timur Sumatra.[2]

Sesampai di Pariangan para patih dan hulubalang Majapahit berunding dengan Patih Suatang (Datuk Perpatih Nan Sebatang) serta Patih Ketemanggungan (Datuk Katumanggungan), lalu muncul usulan dari Patih Majapahit untuk mengadu kerbau sebagai simbolisasi perang. Pemilik kerbau yang menang berarti memenangkan peperangan, begitu pula sebaliknya.[2]

Setelah datang waktunya adu kerbau itu pun dilaksanakan. Orang Majapahit mengeluarkan kerbau raksasa sementara orang Patih Suatang mengeluarkan seekor anak kerbau kecil yang kelaparan dan kehausan. Anak kerbau itu secepat kilat menyeruak ke selangkang kerbau raksasa dan menghisap buah pelir kerbau itu. Setelah berputar-putar karena tidak bisa menanduk akhirnya kerbau raksasa itu rubuh sambil berguling-guling karena anak kerbau lapar itu tidak melepaskan hisapannya pada buah pelir kerbau raksasa itu.[2]

Sesuai kesepakatan, maka pihak Majapahit dianggap kalah, lalu mereka akan pergi namun ditahan oleh Patih Suatang karena mereka akan dijamu makan dan minum. Masih menurut teks versi Majapahit, setelah jamuan makan dan minum itulah terjadi peristiwa kekerasan yang menewaskan patih dan para hulubalang serta separuh prajurit Majapahit. Sementara yang selamat pulang ke Majapahit dan melaporkan peristiwa itu kepada Sang Nata (raja) yang menerimanya dengan amat masygul karena kekalahan besar dan kehilangan para patih dan hulubalang yang diandalkan serta banyak prajurit.[2]

Peristiwa tersebut terjadi di sebuah padang luas yang kemudian diberi nama 'Padang Sibusuk' karena begitu banyaknya mayat bergelimpangan yang kemudian menimbulkan bau busuk. Kisah ini juga tercatat dalam Hikayat Raja-raja Pasai yang merekam berbagai peristiwa di Sumatra sekitar abad tersebut.[2] Sekarang Padang Sibusuk masuk dalam wilayah kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat.

Peristiwa kekalahan dahsyat itu sekaligus sebagai tonggak penanda berakhirnya ekspansi Majapahit ke wilayah barat Nusantara.[2] Pagaruyung yang didirikan Adityawarman pada 1347 yang merupakan kerajaan yang berpengaruh di Sumatra kemudian semakin berkembang menjadi kerajaan yang mempunyai pengaruh besar di wilayah barat Nusantara, Sumatra[3] serta Semenanjung Malaya.

Tentang bagaimana bentuk hubungan Majapahit dengan Pagaruyung sebelumnya masih menjadi perdebatan para ahli. Jayanagara, raja Majapahit ke-2 yang memerintah dari tahun 1309-1328 merupakan raja berdarah Minang/Melayu dan Jawa. Sementara Adityawarman, pendiri Pagaruyung pada 1347 merupakan sepupu dari Jayanagara. Ada ahli yang berpendapat bahwa kerajaan di Minang/Melayu tidak pernah berada dalam posisi sebagai negara taklukan, namun lebih pada bentuk persahabatan Melayu dan Majapahit, serta berdiri sebagai kerajaan tersendiri.[4][5][6]

Masuknya bangsa Eropa

Pengaruh politik dan ekonomi A­ceh yang demikian dominan membuat warga Sumatra Barat tidak senang kepada Aceh. Rasa ketidak­puasan ini akhirnya diungkapkan de­ngan menerima kedatangan orang Belanda. Namun kehadiran Belanda ini juga membuka lembaran baru sejarah Sumatra Barat. Kedatangan Belanda ke daerah ini menjadikan Sumatra Ba­rat memasuki era kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya.

Orang Barat pertama yang datang ke Sumatra Barat adalah seorang pelan­cong berkebangsaan Prancis yang ber­nama Jean Parmentier yang datang sekitar tahun 1529. Namun bangsa Ba­rat yang pertama datang dengan tu­juan ekonomis dan politis adalah bang­sa Belanda. Armada-armada dagang Belanda telah mulai kelihatan di pan­tai barat Sumatra Barat sejak tahun 1595-1598, di samping bangsa Belan­da, bangsa Eropa lainnya yang datang ke Sumatra Barat pada waktu itu ju­ga terdiri dari bangsa Portugis dan Inggris.

Perang Padri

Perang Padri merupakan peristiwa kekerasan yang panjang yang bermula dari tahun 1803. Mulanya perang ini adalah konflik antara suatu kelompok kaum ulama dan pengikutnya, yang disebut kaum Padri, dengan masyarakat yang tidak taat pada ajaran Islam. Kaum ulama ingin menerapkan ajaran Islam sebagaimana mestinya pada masyarakat Minangkabau yang pada masa itu banyak yang menyukai judi, sabung ayam, serta minuman keras. Tidak hanya itu, kaum ulama juga ingin menerapkan hukum Islam dalam masyarakat sebagai pengganti hukum adat yang sudah berlangsung lama. Keinginan kaum ulama ini kemudian mendapatkan tentangan dari kaum adat yang didukung pihak kerajaan Pagaruyung.

Terjadilah konflik berdarah antara kaum Padri dengan kaum adat yang tercatat sebagai konflik atau perang saudara yang dahsyat yang pernah terjadi di Minangkabau. Sejarah juga mencatat peristiwa ini sebagai konflik antara kaum Islam penganut ajaran murni dengan kelompok masyarakat lainnya yang pertama di Asia Tenggara dan merupakan peristiwa satu-satunya di Nusantara.

Rencana besar kaum Padri untuk menerapkan ajaran Islam secara murni tidak hanya terbatas di Minangkabau, tapi juga bergerak ke arah timur atau wilayah Riau dan utara yang mencakup wilayah Mandailing, Angkola, dan Batak Toba di sekitar danau Toba. Militer Padri yang dibentuk oleh Haji Piobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin berkembang dengan pesat. Ketiga ulama tersebut merupakan perwira yang pernah berkarier pada kesatuan Janisary Turki yang terkenal di Timur Tengah pada masanya.

Dengan militer yang kuat, Kaum Padri mencapai banyak kemenangan, baik di Minangkabau maupun dalam invasinya ke arah utara. Dalam tempo yang singkat pasukan Padri menguasai wilayah Mandailing, Angkola, dan wilayah sekitaran danau Toba. Di semua wilayah itu kaum Padri menegakkan ajaran Islam yang murni pada masyarakat yang belum taat dan mengislamkan orang-orang yang masih menganut pagan. Penaklukan ini menimbulkan banyak korban jiwa.

Sementara di Minangkabau kaum Padri berhasil menguasai istana Pagaruyung pada tahun 1815 dan membakarnya. Dalam peristiwa kekerasan ini banyak bangsawan Pagaruyung yang terbunuh. Sultan Arifin Muningsyah yang berhasil selamat karena menyingkir ke wilayah lain kemudian mengajak pihak Belanda pada tahun 1821 untuk membantunya menghadapi kaum Padri. Ajakan ini disetujui Belanda sehingga mengubah peta peperangan menjadi perang antara Kaum Padri lawan Belanda yang beraliansi dengan kaum adat.

Setelah perang berlangsung beberapa lama, kaum adat kemudian merasa dirugikan oleh Belanda, lalu menimbulkan suatu kesadaran untuk bersatu dengan kaum Padri melawan Belanda. Sejak tahun 1833 perang ini berubah menjadi perang orang Minangkabau melawan Belanda. Perang ini berlangsung secara sporadis hingga 1838. Perang tiga episode yang cukup panjang ini berlangsung dari tahun 1803 hingga 1838, dan memakan banyak korban jiwa, baik pemimpin maupun prajurit dari ketiga belah pihak, serta masyarakat biasa. Satu hal monumental yang juga mengiringi ujung peperangan panjang ini adalah runtuh dan hilangnya kerajaan Pagaruyung yang telah berumur hampir 500 tahun sejak pendiriannya pada tahun 1347 oleh Adityawarman.

Perang Belasting

Pada tahun 1908 Belanda menghapus sistem Tanam Paksa dan memberlakukan pajak langsung. Perang Belasting pun meletus.

Gerakan Islam Modernis di Minangkabau

Perlawanan terhadap Belanda di Sumatra Barat pada awal abad ke-20 memiliki warna Islam yang pekat. Dalam hal ini gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya.

Ulama-ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama mereka umumnya hanya memusatkan perhatian pada dakwah dan pendidikan. Abdullah Ahmad mendirikan majalah Al-Munir (1911-1916), dan beberapa ulama kaum Muda lain seperti H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Muhammad Thaib ikut menulis di dalamnya.

Dari majalah ini pemikiran kaum muda semakin disebarkan. Ulama Kaum Muda menantang konsep agama tradisional yang sudah mapan, menentang taqlid buta, dan merangsang sikap kebebasan berpikir. Tulisan dan pidato mereka memicu pertentangan dan perdebatan sengit di ranah Minang.

Tahun 1918 sebagai kelanjutan perguruan agama tradisional Surau Jembatan Besi berdirilah sekolah Sumatra Thawalib. Selain pendirinya H. Abdul Karim Amrullah guru lain yang berpengaruh di sekolah ini adalah Zainuddin Labai el-Yunusiah yang juga mendirikan sekolah Diniyah. Berbeda dengan Sumatra Thawalib yang terutama adalah perguruan agama sekolah Diniyah menekankan pada pengetahuan umum, seperti matematika, ilmu falak, ilmu bumi, kesehatan dan pendidikan. Kedua sekolah ini berhubungan erat.

Banyak tokoh pergerakan atau ulama seperti Ahmad Rasyid Sutan Mansur, Djamaluddin Tamin, H. Dt. Batuah, H.R. Rasuna Said dan Hamka merupakan murid atau pernah mengajar di perguruan di Padang Panjang ini.

Di kedua perguruan ini berkembang berbagai gagasan radikal. Pada dasawarsa 1920-an sebuah gagasan baru mulai menarik hati para murid sekolah Padang Panjang: komunisme. Di Padang Panjang pentolan komunis ini terutama Djamaluddin Tamin dan H. Datuk Batuah. Gagasan baru ini ditentang habis-habisan Haji Rasul yang saat itu menjadi guru besar Sumatra Thawalib.

Gerakan Islam Modernis ini tidak didiamkan saja oleh ulama tradisional. Tahun 1930 ulama tradisional mendirikan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) untuk mewadahi sekolah Islam Tradisional.

Gerakan Partai Komunis Indonesia

Djamaluddin Tamin sudah bergabung dengan PKI pada 1922. Dalam perjalanan singkat ke Aceh dan Jawa pada tahun 1923 Datuk Batuah bertemu dengan Natar Zainuddin dan Haji Misbach. Agaknya ia terkesan dengan pendapat Haji Misbach yang menyatakan komunisme sesuai dengan Islam. Bersama Djamaluddin Tamin ia menyebarkan pandangan ini dalam koran Pemandangan Islam. Natar Zainuddin kemudian kembali dari Aceh dan menerbitkan koran sendiri bernama Djago-djago. Akhir tahun itu juga Djamaluddin Tamin, Natar Zainuddin dan Dt. Batuah ditangkap Belanda.

Setelah penangkapan tersebut pergerakan komunis malah menjadi-jadi. Tahun 1924 Sekolah Rakyat didirikan di Padang Panjang, meniru model sekolah Tan Malaka di Semarang. Organisasi pemuda Sarikat Rakyat, Barisan Muda, menyebar ke seluruh Sumatra Barat. Dua pusat gerakan komunis lain adalah Silungkang dan Padang. Bila di Padang Panjang gerakan berakar dari sekolah-sekolah di Silungkang pendukung komunis berasal dari kalangan saudagar dan buruh tambang.

Sulaiman Labai, seorang saudagar, mendirikan cabang Sarekat Islam di Silungkang, Sawahlunto pada 1915. Pada tahun 1924 cabang ini diubah menjadi Sarekat Rakyat. Selain itu berdiri juga cabang organisasi pemuda komunis, IPO.

Di Padang basis PKI berasal dari saudagar besar pribumi. Salah satu pendiri PKI cabang Padang adalah Sutan Said Ali, yang sebelumnya menjadi pengurus Sarikat Usaha Padang. Di bawah kepemimpinannya mulai tahun 1923 PKI seksi padang meningkat anggotanya dari hanya 20 orang menjadi 200 orang pada akhir 1925.

Pertumbuhan gerakan komunisme terhenti setelah pemberontakan di Silungkang 1927. Para aktivis komunis ditangkap, baik yang terlibat pemberontakan ataupun tidak. Banyak di antaranya yang dibuang ke Digul.

Sumatra Barat: 1930-an

Merebaknya partai-partai politik

 
HR Rasuna Said, aktivis Permi

Meskipun komunisme menjadi sangat populer pada dasawarsa 1920-an kaum agama yang tak setuju dengan ideologi baru itu pun tetap berkembang. Awal tahun 1920 berdiri PGAI (Persatuan Guru Agama Islam) dengan tujuan mengumpulkan ulama-ulama di Sumatra Barat. Atas prakarsa H. Abdullah Ahmad tahun 1924 berdirilah sekolah Normal Islam di Padang. Sekolah ini dimaksudkan sebagai sekolah lanjutan, lebih tinggi daripada Sumatra Thawalib yang merupakan sekolah rendah.

Setelah melawat ke Jawa tahun 1925 dan bertemu pemimpin-pemimpin Muhammadiyah di sana Haji Rasul turut mendirikan cabang Muhammadiyah. Pertama di Sungai Batang dan kemudian di Padang Panjang. Organisasi ini dengan cepat menjalar ke seluruh Sumatra Barat.

Muhammadiyah berperan penting dalam menentang pemberlakuan Ordonansi Guru di Sumatra Barat tahun 1928. Dengan ordonansi ini guru agama diwajibkan melapor kepada pemerintah sebelum mengajar. Peraturan ini dipandang mengancam kemerdekaan menyiarkan agama. Sebelumnya Muhammadiyah di Jawa sudah memutuskan meminta ordonansi ini dicabut. Pada tanggal 18 Agustus 1928 diadakanlah rapat umum yang kemudian memutuskan menolak pemberlakuan ordonansi guru.

Meskipun terlibat dalam penolakan Ordonansi Guru, berbeda dengan organisasi komunis seperti Sarikat Rakyat, pada umumnya Muhammadiyah menghindari kegiatan politik. Penumpasan gerakan komunis tahun 1927 menyebabkan banyak anggota Sarekat Rakyat atau simpatisannya berpaling ke Muhammadiyah mencari perlindungan. Para anggota yang lebih radikal ini tidak puas dan kemudian banyak yang keluar untuk aktif dalam Persatuan Sumatra Thawalib. Organisasi ini pada tahun 1930 menjelma menjadi partai politik bernama Persatuan Muslim Indonesia, disingkat Permi. Dengan asas Islam dan kebangsaan (nasionalisme) Permi dengan cepat menjadi partai politik terkuat di Sumatra Barat, dan menyebar ke Aceh, Tapanuli, Riau, Jambi dan Bengkulu. Partai ini menjadi wadah utama paham Islam modernis. Tokoh-tokoh Permi yang terkenal antara lain Rasuna Said, Iljas Jacub, Muchtar Lutfi dan Djalaluddin Thaib.

Partai lain yang juga penting adalah PSII cabang Sumatra Barat yang berdiri tahun 1928, dan PNI Baru. PSII Sumatra Barat seperti Permi sangat kuat sikap anti-penjajahannya. Namun tidak seperti Permi yang berakar dari perguruan agama tokoh-tokoh PSII umumnya berasal dari pemimpin adat.

Cabang PNI Baru di Bukittinggi diresmikan Hatta tak lama setelah kepulangannya dari Belanda tahun 1932. Sebelumnya cabang Padang Panjang sudah didirikan oleh Khatib Sulaiman.

PARI pimpinan Tan Malaka (didirikan di Bangkok 1929) punya pengaruh cukup besar, meskipun anggotanya sendiri tidak banyak. Pengaruh PARI terutama lewat tulisan Tan Malaka yang disebarkan sampai tahun 1936.

Penumpasan

Pada pertengahan 1933 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan larangan berkumpul. Yang menjadi sasaran utama di Sumatra Barat adalah Permi dan PSII. Sementara itu Rasuna Said sudah ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Jawa. Tokoh-tokoh Permi dan PSII awalnya dilarang bepergian, kemudian kedua partai dikenai larangan terbatas dalam mengadakan rapat umum. Pada akhirnya tokoh-tokoh Permi dan PSII ditangkap dan dibuang ke Digul. Permi akhirnya bubar pada 18 Oktober 1937.

Pada saat yang sama di Batavia tokoh-tokoh Partindo dan PNI Baru juga ditangkap. Sukarno diasingkan ke Flores, Hatta dan Sjahrir ke Digul. Pimpinan PNI Baru cabang Sumatra Barat sendiri dibiarkan bebas karena mereka membatasi kegiatan politik partai. Sementara itu tokoh-tokoh PARI berhasil ditahan Belanda yang bekerja sama dengan dinas Intelijen Inggris. Tan Malaka, pimpinannya, lolos.

Pendudukan Jepang

Lihat pula: Sumatra Barat pada masa pendudukan Jepang

Jepang memasuki Padang pada 17 Maret 1942. Sukarno yang pada saat itu berada di Padang berhasil meyakinkan sebagian besar tokoh-tokoh nasionalis di Sumatra Barat agar mau bekerja sama dengan Jepang.

Tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian Gyu Gun untuk membantu pertahanan. Gyu Gun di Sumatra Barat dipimpin oleh Chatib Sulaiman yang memilih dan merekrut calon perwira dari Sumatra Barat, Riau dan Jambi. Gyu Gun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatra Barat. Tentara Sukarela ini kemudian menjadi inti Divisi Banteng.

Agresi Militer Belanda I dan II

 
Bagindo Aziz Chan, wali kota Padang yang gugur sebagai pahlawan bangsa.

Agresi militer Belanda pertama yang berlangsung dari Juli hingga Agustus 1947 juga menimbulkan korban jiwa di Sumatra Barat. Suatu peristiwa kekerasan yang dilancarkan Belanda di kota Padang akhirnya merenggut nyawa Bagindo Aziz Chan, seorang wali kota Padang yang kukuh mempertahankan wilayahnya dari pelanggaran yang dilakukan pihak Belanda. Bagindo Aziz Chan kemudian dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Agresi militer Belanda yang kedua pada Desember 1948 ke Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia berhasil menguasai pusat pemerintahan dan menangkap Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan pemimpin lainnya. Peristiwa ini melumpuhkan pemerintahan Indonesia. Sjafruddin Prawiranegara kemudian membentuk pemerintahan darurat di Sumatra Barat dengan ibu kota Bukittinggi. Ini menjadikan Sumatra Barat sebagai pusat perjuangan melawan Belanda yang berkonsekuensi Sumatra Barat menjadi sasaran utama penyerangan oleh militer Belanda. Terjadilah peperangan dan pengeboman di Sumatra Barat yang dilancarkan pihak Belanda.

Dalam masa ini juga banyak berjatuhan korban, baik dari para pejuang maupun dari masyarakat sipil. Dalam suatu penyerangan oleh Belanda yang kemudian disebut sebagai "Peristiwa Situjuah", para pejuang kehilangan beberapa pemimpin dan puluhan pasukan pengawal, di antaranya Khatib Sulaiman, Arisun Sutan Alamsyah, Munir Latief, dan lainnya.

Referensi

  1. ^ Muljana, Slamet (2005). "Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara" PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 16. ISBN 979-98451-16-3.
  2. ^ a b c d e f Hadler, Jeffrey (2010). "Sengketa Tiada Putus"[pranala nonaktif permanen] Freedom Institute. hlm. 16–21. ISBN 978-979-19466-5-0.
  3. ^ Marsden, William (1811). "The History of Sumatra". London.
  4. ^ "Sejarah Majapahit Perlu Dikaji Ulang" Kompas.com, 10 Maret 2010. Diakses 24 Januari 2015.
  5. ^ "Asal Usul Raja Adityawarman masih Diperdebatkan" Website Resmi Arkeologi Indonesia, 8 Maret 2010. Diakses 24 Januari 2015.
  6. ^ "Faktanya, Nusantara Bukanlah Wilayah Majapahit" Kompas.com, 13 Oktober 2013. Diakses 24 Januari 2015.

Bacaan lanjutan

Lihat pula