Rasionalisme

Revisi sejak 2 Desember 2021 04.51 oleh Saiful Arvandy (bicara | kontrib) (menambahkan isi artikel)

Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran dapat diperoleh hanya melalui hasil pembuktian, logika dan analisis terhadap fakta.[1] Segala sumber pengetahuan dalam rasionalisme berasal dari akal pikiran atau harus bersifat rasional.[2] Pemikir utama yang mengembangkan rasionalisme antara lain René Descartes (1596–1650), Baruch de Spinoza (1632−1677), dan Gottfried Leibniz (1666−1716).[3]

Terminologi

Istilah "rasionalisme" merupakan merupakan turunan kata ratio yang berarti akal manusia. Dalam artian ini, rasionalisme berarti cara berpikir yang mengutamakan pemakaian akal manusia. Akal dijadikan sebagai alat yang mutlak digunakan dalam mengetahui segala sesuatu. Dalam terminologi rasionalisme, segala sesuatu yang tidak rasional harus ditiadakan dari pengetahuan. [4]

Sejarah

Rasionalisme telah dikenal di dalam pemikiran-pemikiran filsafat klasik yang dikemukakan oleh Thales (624-546 SM). Pemikiran mengenai rasionalisme kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh René Descartes (1596–1650), Baruch de Spinoza (1632−1677), Blaise Pascal (1632-1662) dan Gottfried Leibniz (1666−1716). Pemikiran-pemikiran rasionalisme kemudian dikembangkan secara lengkap oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831).[5]

Era klasik

Rasionalisme di era klasik dikembangkan melalui pengetahuan matematika dan geometri. Pengetahuan lainnya hanya berperan sebagai pengetahuan pendukung. Pada masa ini, pengetahuan-pengetahuan selain matematikan dan geometri belum menjadi suatu doksa. Pada masa Plato dan Aristoteles, doksa diartikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuatan politik dari para sofis.[6]

Karakteristik

Rasionalisme sepenuhnya mengandalkan akal budi sebagai sumber untuk memperoleh pengetahuan. SIfat pengetahuan yang diperoleh melalui rasionalisme adalah apriori.[7] Dalam rasionalisme, pengetahuan tidak diperoleh dari pengalaman dan panca indra manusia. Setiap ide yang muncul harus dapat dinilai secara kuantitas khususnya menggunakan matematika. Rasionalisme juga menerima setiap wujud pikiran dan wujud fisik yang berkaitan dengan mekanika dan hukum. Dalam rasionalisme, segala sesuatu yang dirasakan oleh panca indra bersifat tidak dapat diandalkan. Kemandirian pikiran juga tidak dianggap memperoleh pengaruh dari hukum alam. Rasionalisme juga menerima keberadaan manusia, tetapi menolak persepsi dan perasaan yang timbul darinya.[8]

Aspek

Penalaran

Pada rasionalisme, penalaran merupakan salah satu metode untuk memperoleh pengetahuan berdasarkan akal. Pemakaian penalaran didasarkan pada gagasan bahwa kebenaran yang sejati hanya dapat diperoleh menggunakan akal tanpa memerlukan pengalaman. Aspek pengalaman hanya menjadi pendukung bagi akal. Suatu pengetahuan dianggap benar ketika gagasan dan ide yang disampaikan telah sesuai dengan kenyataan. Penalaran dalam rasionalisme dilakukan dengan pembuktian melalui deduksi. Pemakaian penalaran di dalam rasionalisme dirintis oleh René Descartes.[9]

Rasionalisme ada dua macam: dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan autoritas, dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme. Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengritik ajaran agama, rasionalisme dalam bidang filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisme, rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh paling jelas ialah pemahaman kita tentang logika dan matematika. Penemuan-penemuan logika dan matematika begitu pasti. Kita tidak hanya melihatnya sebagai benar, tetapi lebih dari itu kita melihatnya sebagai kebenaran yang tidak mungkin salah, kebenarannya universal.[10]

Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut:

  • Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme yang antroposentrik.
  • Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.

Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, misalnya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer.

Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual.

Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.

Mazhab pemikiran

Rasionalisme kritis

Rasionalisme kritis merupakan salah satu mazhab pemikiran rasionalisme yang menghubungkan antara rasionalisme dan empirisme. Salah satu tokoh pemikir rasionalisme kritis adalah Karl Popper. Ia meyakini bahwa teori-teori yang berisi pengetahuan-pengetahuan merupakan hasil buatan manusia yang diperoleh melalui penemuan-penemuan. Popper memandang bahwa rasionalisme yang bersifat apriori dapat saja menmberikan gambaran mengenau dunia tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Karenanya kegiatan intelektual (rasionalisme) juga memerlukan pengamatan dan percobaan (empirisme).[11]

Tokoh pemikir

René Descartes

 
René Descartes

René Descartes (1596–1650) merupakan filsuf Prancis yang awalnya belajar di kolase rohaniawan Yesuit. Pada awalnya, pandangannya dipengaruhi oleh para tokoh gereja, tokoh agama dan filsuf. Tetapi ia kemudian mulai meragukan segala pemikiran yang diketahuinya. Ia kemudian mengemukakan bahwa manusia ada karena manusia berpikir. Gagasan inilah yang kemudian melandasai rasionalisme modern.[12] Rasionalisme yang disampaikan oleh René Descartes bertentangan dengan empirisme yang dikemukakan oleh John Locke (1632−1704).[13]

Christian Wolff

Christian Wolff (1679−1704) mengembangkan rasionalisme yang asas-asasnya terbentuk setelah masa Descartes. Pemikiran Wolff dibentuk dengan menyadur pemikiran Gottfried Leibniz. Pengaruh pemikiran Wolff tersebar di kalangan borjuis pada universitas-universitas Jerman yang pada masanya sedang bertentangan dengan teologi gereja Lutheran yang menganut Pietisme.[14]

Sudut pandang

Rasionalisme muncul di dunia Barat dan dunia Islam dengan sudut pandang yeng berbeda. Para rasionalis di dunia Barat bersumber dari pandangan yang menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan segala hal. Sementara rasionalis di dunia Islam menganggap bahwa akal mempunyai keterbatasan.[15] Dunia Islam mengenal rasionalisme sebagai salah satu gagasan pemikiran yang mencegah pembaruan gagasan keagamaan.[16]

Pandangan dunia Barat

Modernisme

Rasionalisme dunia Barat berkembang pada abad ke-18 Masehi dan memunculkan modernisme. Lingkup modernisme mencakup segala segi kehidupan dan tindakan sosial manusia. Dalam modernisme, akal pikiran menjadi landasan pemikiran yang mandiri dan berpisah dari pemikiran metafisika dan transenden. Modernisme ini merupakan akibat dari penyelesaian pengalaman yang bersifat partikuler. Rasionalisme pada modernisme berpandangan bahwa akan dapat menghasilkan kebenaran mutlak yang dapat berlaku secara universal tanpa terikat oleh keberadaan waktu.[17]

Pandangan dunia Islam

Aliran muktazilah

Rasionalisme dalam pemikiran Islam dianut oleh mazhab Muktazilah dan Asy'ariyah. Kedua mazhab ini meyakini bahwa argumen rasional dapat digunakan untuk menjelaskan kepercayaan terhadap wahyu. Pada aliran Muktazilah, tindakan mereka dikategorikan sebagai ekstrem karena mereka menafsirkan teks agama dengan menggunakan akal ketika konteks dari teks wahyu bertentangan dengan akal pikiran. Perbedaan antara mazhab Muktazilah dan mazhab Asy'ariyah juga terdapat pada sumber hukum. Aliran Asy'ariyah tetap menggunakan syariat Islam sebagai landasan hukum, sementara mazhab Muktazilah hanya menggunakan akal sebagai sumber hukum.[18]

Peran

Rasionalisme merupakan salah satu sumber pengetahuan. Kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh pengetahuan rasionalisme adalah melalui pembelajaran dan pengkajian karya tulis ilmiah melalui lembaga pendidikan. Dalam perannya sebagai sumber pengetahuan, rasionalisme tetap memerlukan panca indra meskipun hanya sebagai perantara antara akal dan kebenaran pengetahuan.[19]

Pengembangan ideologi

Liberalisme

Liberalisme merupakan ideologi yang muncul dari gabungan antara rasionalisme dengan materialisme, empirisme dan individualisme. Segala kebenaran di dalam liberalisme harus bersifat rasional. Liberalisme menjadikan rasionalitas sebagai sumber pengetahuan yang tertinggi. Nilai pengetahuan tertingginya adalah materi (materialisme) dan pembuktian kebenarannya melalui bukti empiris yang dapat diketahui oleh panca indera (empirisme). Sementara itu, nilai tertinggi di dalam masyarakat dan negara liberal berada pada kebebasan individu (individualisme).[20]

Penerapan praktis

Penelitian kuantitatif

Penelitian kuantitatif menggunakan pendekatan kuantitatif yang positivsme. Pendekatan positivisme berkembang dari rasionalisme dan empirisme. Dalam pendekatan kuantitatif, fenomena realitas sosial merupakan suatu hal yang tunggal. Ciri khas dari penelitian kuantitatif adalah analisis menggunakan metode statistika.

Rasionalis

Pranala luar

Referensi

  1. ^ Kristiawan, Muhammad (2016). Filsafat Pendidikan: The Choice Is Yours. Sleman: Penerbit Valia Pustaka Jogjakarta. hlm. 241. ISBN 978-602-71540-8-7. 
  2. ^ Wahana, Paulus (2016). FIlsafat Ilmu Pengetahuan (PDF). Yogyakarta: Pustaka Diamond. hlm. 31. ISBN 978-979-1953-917. 
  3. ^ Suaedi (2016). Januarini, Nia, ed. Pengantar Filsafat Ilmu (PDF). Bogor: PT Penerbit IPB Press. hlm. 97. ISBN 978-979-493-888-1. 
  4. ^ Sudiarja, A., dkk. (2006). Karya Lengkap Driyakara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 19. ISBN 979-22-2329-0. 
  5. ^ Muliadi (2020). Busro, ed. Filsafat Umum. Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. hlm. 71. ISBN 978-623-7166-42-9. 
  6. ^ Wibowo, Naufal Syahrin (2020). Epistemologi Inkār As-Sunnah: Studi Kritis Pemikiran Rashad Khalifa, Edip Yuksel dan Sam Gerrans. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia. hlm. 157. ISBN 978-623-227-385-6. 
  7. ^ Widi, Restu Kartiko (2018). Menggelorakan Penelitian: Pengenalan dan Penuntun Pelaksanaan Penelitian (PDF). Sleman: Deepublish. hlm. 3. ISBN 978-602-475-527-0. 
  8. ^ Marzuki, I. (2021). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Makassar: Fakultas Teknik Universitas Fajar. hlm. 118. ISBN 978-602-51509-8-2. 
  9. ^ Azwar, W., dan Muliono (2019). Filsafat Ilmu: Cara Mudah Memahami Filsafat Ilmu. Jakarta: Kencana. hlm. 119–120. ISBN 978-602-422-705-0. 
  10. ^ Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 127.
  11. ^ Ibda, Hamidulloh (2018). Filsafat Umum Zaman Now. Pati: CV. Kataba Group. hlm. 138. ISBN 978-602-50213-3-6. 
  12. ^ Waston (2019). Filsafat Ilmu dan Logika. Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Press. hlm. 111–112. ISBN 978-602-361-236-9. 
  13. ^ Alizamar dan Couto, N. (2016). Psikologi Persepsi dan Desain Informasi: Sebuah Kajian Psikologi Persepsi dan Prinsip Kognitif untuk Kependidikan dan Desain Komunikasi Visual (PDF). Yogyakarta: Media Akademi. hlm. 24. ISBN 978-602-74482-5-4. 
  14. ^ Hardiman, F. Budi (2007). FIlsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 122–123. ISBN 979-22-1043-1. 
  15. ^ Soelaiman, Darwis A. (2019). Putra, Rahmad Syah, ed. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Perspektif Barat dan Islam (PDF). Banda Aceh: Penerbit Bandar Publishing. hlm. 125. ISBN 978-623-7499-37-4. 
  16. ^ Sarjito (2020). Engineering dalam Peradaban Islam (PDF). Surakarta: Muhammadiyah University Press. hlm. 13. ISBN 978--602-361-281-9. 
  17. ^ Usuluddin, Win (2013). Serpihan-Serpihan FIlsafat (PDF). Jember: STAIN Jember Press. hlm. 217. ISBN 978-602-8716-66-6. 
  18. ^ Khasanah, Faizatun (2018). Etika Gus Dur: Religius - Rasional (PDF). Tangerang Selatan: Cinta Buku Media. hlm. 56. ISBN 978-602-6747-58-7. 
  19. ^ Nore, Z., dan Dayana, I. (2021). Buku Sains Dasar. Guepedia. hlm. 69. ISBN 978-623-5525-21-1. 
  20. ^ Sulaiman (2016). Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi (PDF). Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh. hlm. 52. ISBN 978-602-1620-46-5.